"Maaf Pak coba Bapak perhatikan ini" Bawahanku menyerahkan setumpuk lembaran berkas. "Kalau bapak masih belum percaya, ini bisa Bapak lihat langsung aslinya di komputer saya. Semua datanya lengkap tanpa ada yang di sembunyi-sembunyi kan." Mataku menyusuri huruf demi huruf laporan keuangan perusahaan. Ya Tuhan apakah semua ini nyata? Aku sedang tidak bermimpi kan? Untuk meyakinkan penglihatan kutelusuri sekali lagi dengan ketelitian maksimum. Akhirnya kuputuskan bahwa aku tidak sedang salah lihat. "Bagaimana semua ini bisa terjadi? Miliaran uang perusahaan hilang? Kemana perginya. Kalau begini bagaimana kita bisa melanjutkan gerak maju perusahaan ke depannya.!" Aku tidak bisa berpikir secara jernih lagi. Dengan begini sudah bisa dipastikan perusahaan mengalami kebangkrutan yang nyata. "Ini semua karena kalian tidak becus menjalankan tugas masing-masing." Beberapa dari mereka malah geleng-geleng kepala. "Bapak tidak bisa menyalah
Aku meluncurkan mobil menuju rumah sakit dimana ibu di rawat. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi, ada apa gerangan pihak rumah sakit menelponku untuk segera datang. "Ya Tuhan, tolong ibu saya, berikan kesembuhan padanya." Tidak henti-hentinya doa ku panjatkan di dalam hati. Aku mempercepat laju kendaraan. Sesampainya di rumah sakit, sesegera mungkin aku mempercepat langkah kaki yang mulai terasa berat. Mungkin karena ketakutan jika seandainya harus kehilangan seorang ibu. "Huss... Kamu tidak boleh berpikir seperti itu, Habib. Seharusnya kamu berpikir ke arah positif saja. Siapa tahu dokter ingin menyampaikan bahwa ibumu telah sembuh sepenuhnya" Aku bergumam seperti sedang menasihati diri sendiri. Sebelum memasuki ruangan, aku berdiri sebentar dengan kedua tangan kutempelkan kedada. "Ya Tuhan, semoga ibuku tidak apa-apa. Berikan dia kesembuhan. Semoga berita yang akan di sampaikan kepadaku adalah berita yang tidak mengecewakan." "Anda
Hari ini aku memutuskan untuk memasak sendiri. Kubebaskan Bik Yah dari pekerjaan itu. Aku sedang memasak udang laut dengan caraku sendiri ketika bell rumah berbunyi. Kutinggalkan pekerjaanku untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ayah? Ternyata beliau yang datang. Sudah lama sekali ayah tidak pernah berkunjung ke rumahku. Bahkan sejak awal pernikahanku dan Habib. Baru dua kali ayah datang berkunjung. "Ayaah? Silahkan masuk." "Iya, Aliyah. Apa kabar, Nak?" "Alhamdulillah baik, Yah." "Sebentar, Aliyah buatin minuman buat Ayah." Ayah menganggukkan kepala. Aku kembali ke belakang untuk membuatkannya minuman. Entah, dari gestur mukanya, aku menduga pikiran ayah sedang tidak baik-baik saja. Ada beban tersembunyi. Nanti saja kutanyakan. Untuk sementara biarlah ayah kusuruh beristirahat dulu. Supaya dia bisa lebih tenang. "Sini biar Bibik saja yang buat minumannya." Bik Yah mengambil gelas yang ada di tanganku. Tapi segera kuambil balik.
Tidak terasa hampir dua bulan kepergian ibu. Aku semakin menjadi seperti orang gila. Perusahaan bangkrut total, ibu yang sangat kusayangi juga telah meninggalkanku untuk selamanya. Melihat keadaan yang semakin memburuk, satu persatu asisten rumah tangga mulai melepaskan diri. Mungkin mereka tidak mau jika harus bekerja tanpa dibayar. Sedangkan aku memang sudah tidak memiliki cukup banyak uang untuk membayar para art yang jumlahnya bisa di bilang tidak sedikit. Dari berapa banyak pekerja yang ada di rumahku, hanya tersisa pak Somad saja yang masih mau bertahan. Itupun dari bayang-bayang ucapannya, dia juga mau mengundurkan diri. Keadaan rumah jauh berbeda dengan ketika masih ada ibu. Setiap sudut ruangan, mulai berdebu. Tidak ada lagi makanan yang selalu di siap sediakan oleh para pembantu di tudung saji. Bahkan kadang untuk makan, terpaksa ku beli di luaran saja. Untuk memasak sendiri aku tidak bisa. Karena sejak kecil aku tidak terbiasa berkecimpung di
Aku membuka kedua mata, berat. Aku berada di ruangan berwarna putih. Dengan selang infus terhubung di pergelangan tangan kiriku. Ku usahakan mengangkat kepala, berat. Kutenangkan diri terlebih dahulu. Ku arahkan pandangan ke segala arah. Untuk memastikan di ruangan apa aku berada. Rumah sakit, sedikit demi sedikit Aku mulai bisa mengenali sekeliling. "Syukurlah kalau bapak sudah sadar." Ku lihat ke arah sumber suara. Pak Somad. "Ada apa ini pak Somad? Kenapa saya berada di sini." Pak Somad mendekat. "Dua hari yang lalu, Bapak kecelakaan. Bapak terjatuh bersama mobil yang Bapak kendarai. Mobil itu menerjang pinggiran jembatan dan jatuh ke sungai. Bapak sendiri terlempar keluar, tercebur ke sungai. Menurut dokter, Bapak mengemudi dalam keadaan mabuk." Aku kembali mengingat-ingat. Oh iya pak Somad benar. Malam itu aku pulang dengan keadaan masih mabuk. Inikah bahaya mengemudi dalam keadaan mabuk? Aku berusaha untuk bangkit, tapi nyeri dit
Salah satu dari para pengintai yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka merasa terpanggil untuk menunjukkan keberadaannya, siapakah dia? "Oh ternyata ini yang kalian lakukan, memeras dan menipu orang." Sebuah suara berat seorang laki-laki mengganggu kebahagiaan mereka. Dua perempuan licik itu menoleh. Bilna seperti mengingat-ingat sesuatu. "Anda siapa ya? seperti saya pernah melihat tapi di mana ya?" Bilna bertanya dengan gugup. Laki-laki tadi mendekat. Dari nada bicaranya bisa ditebak laki-laki tersebut sedang menahan amarah. "Tentu saja kamu pernah melihatku aku pernah datang ke acara pernikahanmu dan Habib." Kedua mata pria itu menatap tajam kearah Bilna dan ibunya secara bergantian. namun Bu Naura juga menatap tidak kalah tajam. "lalu Apa tujuanmu kemari masuk ke rumahku tanpa permisi kamu pikir rumah siapa ini sehingga membuatmu merasa bebas memasukinya tanpa pamit padaku sang tuan rumah." Bu Naura mendekati lelaki yang datang
"Bilna anak saya tidak bersalah, Pak. Semuanya saya yang melakukannya sendiri." Setelah semua bukti di sodorkan, akhirnya Terpaksa aku menyerah juga. "Berhubung dengan hal ini, rekening ibu terpaksa kami sita. Untuk mengganti kerugian korban yang telah Anda tipu." Seorang kepala kepolisian berkata tegas. Aku harus berpikir lebih keras, sebelum pengadilan diadakan. Sebuah inisiatif muncul di kepala. Sebaiknya aku suapi saja mereka dengan uang. Uang hasil menjual rumah Ibu Eri dulu masih tersisa banyak. Dan juga dengan tujuan lain untuk menutup mulut mereka, karena aku tidak menginginkan kasusku menjual rumah orang tua Habib itu dibongkar. Sedangkan Rama, dia ikut campur masalah ini hanya karena ingin membantu calon mertuanya. baiklah akan ku berikan sejumlah uang untuk mengganti rugi kepada ayahnya Aliyah. sekaligus calon mertuanya. Seandainya saja rumah itu bukan atas nama Ibunya Aliyah, mungkin masalahnya tidak akan serumit ini.*** Berkat i
Dengan langkah lemas, aku meninggalkan kediaman lelaki yang telah menanamkan benih di perutku. Padahal aku tidak meminta untuk dinikahi, cuma ingin agar dia bisa menerima anak ini sebagai anaknya. Jadi setelah anak ini lahir, aku bisa meninggalkan anak ini padanya. Namun jangankan menerima, bersimpati saja tidak. Pria jahat. Tapi apa daya, memang dulu sudah keinginanku agar bisa hamil, buat memanfaatkan Habib yang mandul. Tapi kenyataannya, baru sebentar saja aku dan ibu menikmati keberhasilan, ada yang ikut campur masalah kami. Rama. Rama, lelaki yang begitu berkharisma, tega-teganya membuat kami menderita. Apa Aliyah yang telah membujuknya? Dia kan mengaku calon suaminya Aliyah. Pas sekali. dugaanku sudah pasti tepat. Ku pinggirkan mobil di bawah sebuah pohon di pinggir jalanan. Disini air mataku mengalir deras. Mungkin Aliyah ingin membuatku iri melihat calon suami barunya. Meski memang dalam hati rasa iri itu ada. Mengapa justru Aliyah berna