Hutan yang menjadi wilayah pertarungan antara Senopati Arya dan Segoro dengan cepat menjadi medan pertarungan untuk menciptakan banyak kerusakan.
Dalam waktu singkat, banyak pepohonan mulai tumbang akibat dari serangan salah sasaran dari dua orang tersebut.
Hanya dalam hitungan menit, Senopati Arya dan Segoro sudah bertukar belasan serangan yang dahsyat. Kecepatan ke-duanya dalam membangun serangan menunjukkan jika keduanya sudah malang melintang di dunia persilatan dalam waktu yang lama.
Senopati Arya dengan aliran pedang lembut mampu memberikan perlawanan sengit dengan Segoro yang lebih pada aliran pedang lentur. Meskipun ke-dua aliran ini di katakan sama, tetapi keduanya saling bertolak belakang satu sama lain.
Tring!!!
Tring!!!
Dua pedang itu bertemu dan menghasilkan dentingan suara yang memekakkan telinga. Tidak ada yang mendominasi serangan dalam rentan waktu yang lama, lebih tepatnya mereka saling bergantian mendominasi pertarungan.
Senopati Arya yang memilih konsentrasi tingkat tinggi mampu menghalau semua serangan cepat yang di lakukan oleh Segora yang mengandalkan kecepatannya dalam membangun serangan.
"Jadi hanya ini kemampuanmu, Arya. Lemah, aku tidak tahu mengapa Gusti Prabu memilihmu menjadi seorang Senopati," ejek Segoro yang terlihat mulai mampu mengendalikan pertarungan.
Senopati Arya tidak menanggapi karena dia tidak ingin fokusnya terpecah karena terpancing emosi. Meskipun berada di posisi yang terdesak, tetapi Senopati Arya tetap tenang dalam menghalau semua serangan yang di lakukan oleh Segoro.
Segora mulai terlihat putus asa, saat menyadari semua serangannya tidak membuahkan hasil sama sekali. Sementara Senopati Arya hanya beberapa kali saja membuat serangan balik, tetapi hampir semua serangannya telak mengenai sasaran.
"Bagaimana bisa kau menghindari semua seranganku," ucap Segaro dengan nada bertanya itu.
"Sederhana, aku mampu menebak dan membaca arah seranganmu dengan baik," jawab Senopati Arya dengan singkat.
Segaro merasa tidak terima dengan jawaban dari Senopati Arya, kembalinya meningkatkan intensitas serangannya dua kali lipat dari sebelumnya.
"Aku ingin melihat apakah kau masih bisa menebak arah seranganku ini,"
"Kilatan Angin Menusuk Sukma"
Tebasan demi tebasan di lepaskan oleh Segoro. Setiap tebasan itu sangat cepat bak kilat yang membelah angin.
Berbeda dari sebelumnya, Senopati Arya kali ini benar-benar kewalahan. Tebasan demi tebasan akhirnya bersarang pula di tubuh Senopati Arya. Beberapa luka sayatan akhirnya berhasil memberikan perih dan rasa sakit.
Segoro yang merasa di atas semakin percaya diri. Dia terus memainkan pedangnya melakukan serangan demi serangan.
Segoro tanpa sadar telah membuka celah pertahanan, karena terlalu asik membangun serangan.
Senopati Arya mengubah sedikit kuda-kudanya, sebelum melakukan gerakan sedikit berputar ke samping dan melepaskan tiga tendangan yang mengenai bagian punggung dan pinggang Segoro.
Segora harus puas terjungkal mencium tanah dan merasakan sesak di bagian dadanya.
Satu tendangan cangkul menghantam punggungnya dan menghempaskan tubuh Segoro lebih keras ke tanah.
Segora bahkan memuntahkan darah segar, sangking kerasnya tendangan cangkul yang di lepaskan oleh Senopati Arya.
"Terkadang, kecepatan dan kekuatan bisa membuatmu memenangkan pertarungan, tetapi jika tidak sertai dengan otak dan konsentrasi, maka kau tetap saja akan kalah... " Ucap Senopati Arya.
Segora yang mendengarnya menggeram.
"Jangan terlalu bangga, Arya. Kau hanya sedikit beruntung saja, setelah ini aku yang akan membunuhmu!!!" Segoro menyeringai keras.
Segora kembali bergerak ke depan, lengkap dengan pedangnya yang sudah di alirkan tenaga dalam berjumlah besar.
Senopati Arya mengubah kuda-kudanya dan siap menyongsong serangan yang di lakukan oleh Segoro. Di detik kemudian, serangan demi serangan kembali terjadi. Gelombang kekuatan besar membuat dedaunan terangkat dan terbang ke sembarang tempat.
Senopati Arya masih tetap terlihat tenang. Setiap serangan dan tebasan yang di lakukan oleh Segoro, mampu di halau dengan baik oleh Senopati Arya.
"Tendangan Musim Semi"
Senopati Arya menggenjot tubuh ke udara, memanfaatkan tumpaannya membuatnya mampu melompat tinggi, sebelum satu tendangan keras menghantam bagian batok kepala Segoro.
Sekali lagi, Segoro terhempas ke tanah dan mencium tanah yang kesekian kalinya. Sama seperti sebelumnya tendangan cangkul kembali menghantam tanah lebih keras.
Segoro benar-benar di buat putus asa oleh Senopati Arya. Dia sudah meningkatkan kecepatan serangannya, serta menambah tenaga dalamnya lebih besar, tetapi Senopati Arya masih mampu menghalau semuanya.
"Bagaimana kau bisa sekuat ini? Ah, tidak. Kau tidak lebih kuat dariku, tapi kenapa seranganku selalu berhasil kau halau?" Tanya Segoro yang penasaran.
"Sudah aku katakan, aku bertarung mengandalkan kombinasi otak dan otot, tidak sepertimu yang terlalu mengandalkan otot semata," jawab Senopati Arya.
"Jadi kau menganggapku bodoh?"
Senopati Arya tertawa, "Aku tidak pernah mengatakanmu bodoh, kau sendiri yang mengatakan hal itu bukan?"
Emosi Segoro seketika naik ke atas ubun-ubunnya, dia paling tidak suka jika ada orang lain mengatakannya bodoh.
"Kau memang harus mati, Arya!!!" Teriak Segora.
Segoro langsung melesat dengan dengan cepat, bersama dengan itu hujan serangan kembali menghujani Senopati Arya. Senopati Arya kali ini mengalirkan tenaga dalam pada tumitnya, agar mampu bergerak jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Sekali lagi, Segoro di buat sangat terkejut menyadari Senopati Arya masih mampu bergerak lebih cepat dan membuat semua serangannya menjadi sia-sia.
"Kau memang memiliki kemampuan yang jauh di atasku, tetapi ketidakmampuanmu untuk mengontrol emosi dan kekuatan, membuatku mampu mengimbangimu," ucap Senopati Arya.
Senopati Arya menarik pedangnya sedikit ke belakang, sebelum melesat kembali ke depan.
"Sang Angin Merobek Sukma"
Pedang milik Senopati Arya melesat cepat ke arah Segoro. Kecepatan serangan yang di lakukan oleh Senopati Arya kali ini gagal untuk di ikuti oleh mata Segoro.
Bleshh!!!
"Akhhh... " Segoro memekik kesakitan saat pedang milik Senopati Arya bersarang di bagian bahu kanannya.
Segoro memekik memekik sekali lagi saat pedang itu di tarik dengan paksa dan menciptakan pendarahan pada bagian bahu kanannya.
Senopati Arya tidak berhenti di satu serangan saja, dia memutar tubuhnya sedikit dan melepaskan tendangan yang mengenai betis Segoro hingga membuatnya jatuh berlutut.
"Segoro, aku sungguh tidak pernah menduga jika aku akan membunuhmu!!!"
Senopati Arya mengayunkan pedangnya menebas leher Segoro bak memotong tahu.
Segoro tumbang ke tanah dengan bagian kepalanya menggelinding ke tanah.
Sementara itu, Sri Pramudita yang berada di dalam kereta kuda hanya memeluk erat Banyu Aji. Dia sungguh tidak ikhlas jika putra semata wayangnya ini juga ikut gugur.
Sri Pramudita dapat bernafas lega setelah Senopati Arya mengatakan jika dia sudah berhasil mengatasi pemberontakan dari Segoro.
"Gusti, kita akan melanjutkan perjalanan menuju Perguruan Tirta Kencana... " Ucap Senopati Arya.
"Perguruan Tirta Kencana?" Tanya Sri Pramudita.
Sri Pramudita memang tidak tahu kemana arah tujuannya, yang terpenting adalah mereka melarikan diri jauh dari Keraton.
"Benar Gusti, perguruan Tirta Kencana sudah lama menarik diri dari dunia p
ersilatan, mereka tidak akan curiga jika kita bersembunyi di sana... " Jelas Senopati Arya.
8. Banyu Aji10 tahun sudah berlalu pasca pemberontakan yang di lakukan oleh Jaka Waruga dan kelompoknya. Seorang anak manusia berdiri di tengah tanah lapang sedang memainkan pedang kayu sejak pagi tadi.Anak itu berusia 10 tahun, memiliki fisik yang berisi dan rambut yang panjang. Anak itu bernama Banyu Aji, putra dari mendiang Galih Panuraga yang telah tewas dalam pemberontakan yang di lakukan oleh Jaka Waruga."Banyu, kemarilah," seorang laki-laki paruh baya berambut putih memanggil anak itu.Banyu Aji langsung menghentikan kegiatannya dan berlari ke arah laki-laki paruh baya itu."Iya, kek? Ada apa?" Tanya Banyu Aji.Laki-laki paruh baya itu bernama Whira Bumi, Ketua Perguruan Tirta Kencana. Dia adalah orang yang merawat sosok Banyu Aji sejak bayi setelah di titipkan oleh Sri Pramudita.Whira Bumi ingat betul kala itu ketika waktu menjelang malam, satu kereta kencana datang ke perguruannya."Arya, siapa yang kau bawa?" Tanya Whira Bumi.Senopati Arya melompat dari atas kereta kuda
9. Mewarisi Bakat Yang Hebat Whira Bumi mengelus pucuk rambut Banyu Aji. Selama lima tahun terakhir Banyu Aji terus berlatih di bawah bimbingan langsung Whira Bumi.Selama itu pula Banyu Aji terus menunjukkan perkembangan yang pesat. Bahkan, di usia yang baru mencapainya 10 tahun, Banyu Aji sudah menikah fisik yang berisi layaknya anak usia 15 tahun."Kakek, kenapa kau memanggilku tadi?" Tanya Banyu Aji."Kakek hanya ingin kau istirahat, sudah sejak pagi tadi kau berlatih, apa kau tidak merasa letih?" Whira Bumi balik bertanya.Banyu Aji menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Aku tidak merasa letih, aku harus cepat menjadi kuat, agar kakek mau mengajarkanku ilmu yang kakek miliki,"Whira Bumi tersenyum, dia merasa tidak salah mengangkat Banyu Aji menjadi murid dan cucunya. Membesarkan seorang pewaris dari Kerajaan Sungaisari yang saat ini sedang di duduki oleh orang yang serakah adalah sebuah kebanggaan bagi Whira Bumi."Tapi tetap saja kau harus menjaga kesehatanmu itu," ucap Whira
10. Pewaris Pedang Naga IblisPertarungan yang melibatkan Ki Ranang Rupo dan Sayuri Geni itu benar-benar hebat. Bukan hanya menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi, tetapi juga dengan Ajian yang meledak-ledak dan hanya beberapa pendekar saja yang memilikinya dan mampu menggunakannya.Beberapa pendekar yang memperhatikan pertarungan dua pendekar sepuh itu sudah kehilangan nyawa dengan mengenaskan."Mau sampai kapan kita terus bertarung, Sayuri? Apa kau ingin lembah ini hancur dan menjadi cekungan raksasa?" Tanya Ki Ranang Rupo.Sayuri Geni tersenyum tipis, dia yang bertindak sebagai seorang Biksu memang paling menghindari pertarungan yang akan mencipta kerusakan dan kehancuran, tetapi kali ini posisinya sedikit berbeda. Jika Pedang Naga Iblis itu jatuh ke tangan yang salah, maka dunia akan dalam kehancuran.Sayuri Geni tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu memilih bersikap netral sama seperti saat terjadi peperangan antara Galih Panuraga dan Jaka Waruga yang akhirnya di mena
11. Keputusan Perguruan Tirta Kencana Whira Bumi yang melihat kemunculan Naga Iblis Merah itu tertegun. Dia tidak pernah menduga jika dirinya akan menyaksikan di mana ruh Naga Iblis Merah yang bersemayam di sebilah pusaka itu akhirnya bangkit. Tidak ada yang tidak mengetahui tentang kehebatan pusaka itu, Pedang Naga Iblis adalah satu di antara Pusaka Tanpa Tanding yang ada di dunia persilatan. Setiap yang memiliki pusaka itu niscaya akan menjadikan dirinya tanpa tanding dan menguasai dunia persilatan."Rangga, pastikan semua murid yang masuk ke dalam hutan mencari kayu bakar telah kembali, entah kenapa firasatku buruk," perintah Whira Bumi.Rangga mengangguk pelan, tidak ingin menerima perintah dua kali, Rangga bergegas pergi untuk memastikan semua murid telah kembali.Whira Bumi menghela nafas dengan pelan, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal hatinya."Guru Surya Bumi, apa ini yang kau katakan dahulu, jika gonjang-ganjing dunia persilatan akan terjadi di masa depan," Salah s
Banyu Aji adalah putra pertama dari pasangan Prabu Galih Panuraga dan Sri Pramudita.Kelahiran sosok Banyu Aji di ramalkan akan membawa kejayaan dan kemakmuran di seluruh penjuru negeri. Bahkan salah seorang tabib yang memeriksa tubuh Banyu Aji ketika baru lahir di buat begitu terkejut, karena sosok ini memiliki tubuh spesial dan di takdirkan menjadi seorang pendekar yang tangguh dan perkasa di masa depan nantinya."Anakmu sangat berbakat Gusti Prabu... " Ucap tabib itu.Galih Panuraga tersenyum, dirinya dibelah menemukan sosok yang akan menjadi penerusnya di masa, putra pertamanya, BANYU AJI.Kelahiran Banyu Aji semakin membuat kebahagiaan keluarganya semakin lengkap, dia akan bertekad mencarikan guru yang hebat untuk mendidik Banyu Aji menjadi sosok pendekar yang tangguh dan di takuti lawan nan di segani oleh kawan.Perkembangan Banyu Aji bisa di katakan sangat luar biasa, di usianya yang ketiga bulan saja dia sudah mampu berjalan seorang diri, seolah kembali menunjukkan jika diriny
"Patih apakah semua pasukan sudah siap?" Tanya Galih Panuraga yang sudah siap dengan jubah tempurnya dan pusaka kebanggaannya yang menjadi saksi pengembaraannya saat muda dulu."Semua prajurit sudah siap gusti, hanya tinggal menunggu perintah dari Gusti Prabu," jawab Patih Almatama.Galih Panuraga mengangguk pelan, dia sudah sedikit lega karena Sri Pramudita dan putranya Banyu Aji sudah bergerak meninggalkan keraton menuju salah satu Perguruan Silat."Dengarkan aku, pemberontakan yang di lakukan Jaka Waruga adalah penghinaan nama besar Kerajaan Sungaisari. Mereka harus mendapatkan hukuman atas tindakan mereka ini, jika sudah berani datang ke Kotaraja, maka tidak ada tempat untuk mereka kembali, kecuali kematian... " Galih Panuraga orasi membakar semangat tempur prajuritnya.Semangat prajurit menggelora mendengar orasi dari Galih Panuraga. Mereka jelas terbakar semangatnya, menyaksikan semangat raja mereka yang juga akan turun ke medan tempur. Atas nama kehormatan Kerajaan Sungaisari d
ka Waruga harus menelan dalam-dalam ludahnya karena terlalu meremehkan Galih Panuraga. "Apa paman pikir selama ini aku tidak pernah lagi melatih kemampuanku? Kau salah paman, aku sudah memperhitungkan jika suatu hari nanti akan terjadi pemberontakan, tapi aku tidak pernah menduga jika pemberontakan itu di lakukan oleh orang yang sudah ku tolong dan ku berikan posisi Adipati," ucap Galih Panuraga."Haha kau terlalu mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain, Galih. Tanpa kau sadari jika orang lain itu tidak akan puas dengan posisi yang telah kau berikan, bagiku menjadi Raja Kerajaan Sungaisari adalah puncak impianku selama ini," balas Jaka Waruga.Galih Panuraga menggeleng pelan, sebenarnya Galih masih memiliki belas kasih kepada Jaka Waruga, jika dia berhasil memenangkan pertempuran ini, Galih Parunurga hanya ingin memasukkan Jaka Waruga ke penjara tahanan bawah tanah, tetapi setelah melihat ambisi besarnya, membuat Galih Panuraga berubah pikiran."Maaf paman, aku tidak bisa memb
4. Pemberontakan Jaka Waruga IVDua kilatan cahaya saling beradu dan menciptakan gelombang kekuatan yang sangat besar.Kilatan biru dan hitam pekat itu membuat kondisi alun-alun Semaki porak-porandakan. Dua kekuatan itu juga merenggut banyak nyawa akibat salah sasaran."Kau sangat tangguh rupanya, Mahapatih," Junggo tanpa sungkan sekali lagi memberikan pujiannya."Kau terlalu memuji, aku hanya mengikuti permainanmu," balas Patih Almatama.Junggo tertawa kecil, sebelum kembali membangun serangan dengan luapan energi yang sangat besar dari pedangnya.Bukannya takut, tatapi Patih Almatama malah bergerak ke depan menyongsong serangan yang di lakukan oleh Junggo.Gelegar!!!Gelagar!!!Gelegar!!!Benturan dua kekuatan besar itu membuat banyak kerusakan demi kerusakan dinding beton alun-alun.Baik Patih Almatama ataupun Junggo sama-sama terlempar jauh ke belakang dan merasakan sesak di bagian dadanya. Namun, Ninggalkan menderita luka yang lebih parah sampai membuatku memuntahkan isi perutnya