Share

2. Pemberontakan Jaka Waruga II

"Patih apakah semua pasukan sudah siap?" Tanya Galih Panuraga yang sudah siap dengan jubah tempurnya dan pusaka kebanggaannya yang menjadi saksi pengembaraannya saat muda dulu.

"Semua prajurit sudah siap gusti, hanya tinggal menunggu perintah dari Gusti Prabu," jawab Patih Almatama.

Galih Panuraga mengangguk pelan, dia sudah sedikit lega karena Sri Pramudita dan putranya Banyu Aji sudah bergerak meninggalkan keraton menuju salah satu Perguruan Silat.

"Dengarkan aku, pemberontakan yang di lakukan Jaka Waruga adalah penghinaan nama besar Kerajaan Sungaisari. Mereka harus mendapatkan hukuman atas tindakan mereka ini, jika sudah berani datang ke Kotaraja, maka tidak ada tempat untuk mereka kembali, kecuali kematian... " Galih Panuraga orasi membakar semangat tempur prajuritnya.

Semangat prajurit menggelora mendengar orasi dari Galih Panuraga. Mereka jelas terbakar semangatnya, menyaksikan semangat raja mereka yang juga akan turun ke medan tempur. Atas nama kehormatan Kerajaan Sungaisari dan tanah leluhur mereka, kematian bukan sesuatu yang menakutkan bagi para prajurit itu. Lebih baik mati membelah kehormatan, dari pada diam di pijak penjajah.

"Kita hancurkan mereka, tunjukkan jika kita jauh lebih kuat... "

"Hancurkan mereka... "

Suara para prajurit itu menggema memenuhi alun-alun Keraton. Mereka seolah mendapatkan suntikan kekuatan dan tenaga, serta meningkatmya mentalitas mereka untuk turun ke medan perang.

Galih Panuraga langsung melompat ke depan, dia akan memompa langsung pasukan Keraton untuk bergerak menyambut pemberontakan yang di lakukan oleh Jaka Waruga bersama keloninya itu. Di dampingi oleh Patih Almatama dan beberapa orang pangling perang yang mereka miliki.

"Raka Galih, menyeranglah dan aku akan memberimu posisi yang pantas untukmu," Jaka Waruga yang baru tiba di depan Keraton itu berseru dengan lantang memberi penawaran kepada Galih Panuraga.

"Menyerah? Hanya pengecut yang menyerah, tetapi lebih pengecut lagi seseorang yang lupa balas budi malah menusuk dari belakang, paman. Kau tidak lebih dari sampah di mataku saat ini," Galih Panuraga menyering ke arah Jaka Waruga.

Jaka Waruga tersenyum pahit, kepala terasa panas bak air yang mendidih di atas tunggu yang panas. Menurutnya, Galih Panuraga tidak tahu terima kasih, dia sudah berbaik hati menawarkan posisi kepada Galih Panuraga dan mencegah pertumpahan darah.

"Jadi kau begitu menginginkan pertumpahan darah di antara kita," Jaka Waruga kembali berseru keras.

"Jaka Waruga!!! Jaga ucapanmu, tidak pantas kau berbicara seperti itu di depan Gusti Prabu," Patih Almatama membuka suara, setelah sejak awal memiliki bungkam, "Bukan Gusti Prabu Prabu yang menginginkan pertumpahan darah, tapi ambisi busukmu itu yang menyebabkan terjadi pertumpahan darah."

"Paman, sudah tidak ada lagi yang perlu kita diskusikan. Hanya perang yang akan menyelesaikan masalah di antara kita, aku tidak akan bisa memaafkan pemberontakan yang kau lakukan," ucap Galih Panuraga.

"Serang!!!"

"Serang!!!"

Bersamaan dengan itu pula, genderang perang di tabuh dan menggema memenuhi alun-alun keraton itu.

Semua prajurit langsung bergerak ke depan dengan senjata di tangannya masing-masing. 

Suara dentingan besi beradu terdengar keras di seluruh penjuru alun-alun. Tidak lama setelah itu, jeritan kesakitan ikut menggema, bersama dengan itu satu orang tumbang dan menghembuskan nafas terakhirnya.

"Paman, aku masih tidak percaya kau melakukan pemberontakan setelah apa yang telah aku berikan kepadamu," ucap Galih Panuraga.

"Kau terlalu naif, Galih. Kau terlalu memberi kebebasan kepadaku dan Kadipaten Waruna Angin, sehingga aku dapat dengan mudah menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaanmu," balas Jaka Waruga.

Galih Panuraga hanya tersenyum tipis, dia menyadari kesalahannya yang terlalu percaya kepada Jaka Waruga selama ini. Mengingat sosok ini adalah keluarganya sendiri.

"Ternyata memang, musuh itu tidak hanya datang dari luar, tetapi musuh yang datang dari dalam jauh lebih berbahaya," 

Bersama dengan itu pula, Galih Panuraga bergerak maju dengan pedang di genggaman tangannya yang sudah di alirkan tenaga dalam, sehingga membuat semburat cahaya biru langit.

Di waktu yang sama pula, Jaka Waruga bergerak maju menyongsong serangan dari Galih Panuraga.

Pertemuan dua pedang itu dengan cepat mencipta gelombang kejut yang besar, sehingga membuat banyak prajurit menjaga jarak karena tidak ingin terkena serangan salah sasaran.

Dua orang itu saling mengadu kecepatan ayunan pedangnya. Dentingan keras terdengar begitu nyaring saat dua bilah pedang itu saling berbenturan, percikan energi kekuatan terpancar di hasilkan dari pertemuan dua pusaka itu.

Dalam waktu singkat, dua manusia itu sudah bertukar lebih dari belasan serangan.

"Ternyata kekuatan inu yang membuatmu begitu yakin mampu memenangkan pertempuran ini, paman," ucap Galih Panuraga.

"Apa kau pikir aku hanya mengandalkan kekuatanku saja? Aku memiliki dua perguruan besar yang berpengaruh di tanah Java Dwipa ini, kekuatan dua ketua perguruan itu sudah sangat lebih dari cukup untuk membuat keraton ini rata dengan tanah... "

Galih Panuraga tersenyum getir, dia masih tidak percaya jika dua perguruan besar yang berdiri di bawah kekuasaan Kerajaan Sungaisari itu akan dengan tega berkhianat.

"Memang sudah pantas jika iblis berkerja sama dengan iblis. Sekalipun kalian memenangkan pertempuran ini, akan ada orang lain yang akan menuntut balas atas semua penghianatan kalian semua," Galih Panuraga berseru keras ke arah Jaka Waruga. Luapan emosi atas penghianatan yang di lakukan oleh Jaka Waruga tergambarkan jelas di wajahnya.

"Bersetan dengan iblis, aku akan melakukan apapun demi kejadian penguasa negeri ini, penguasa di seluruh Java Dwipa... "

Galih Panuraga tersenyum getir, dia merasa jika Jaka Waruga sudah tersesat terlalu jauh. 

"Kau telah di sesatkan oleu ambisimu sendiri paman,"

Galih Panuraga menarik nafas panjang, sebelum bergerak maju kembali menyerang Jaka Waruga. Dengan sangat tangkas dan cekatan Galih Panuraga mengayunkan pedangnya menghujani Jaka Waruga dengan hujan serangan. Untuk beberapa saat, Galih Panuraga mendominasi pertarungan dan mendikte semua pergerakan dari Jaka Waruga.

Galih Panuraga berada di atas angin, karena memang dalam hal kekuatan Jaka Waruga jauh di bawahnya. Galih Panuraga sangat percaya diri mampu keluar sebagai pemenang dalam pertarungan kali ini. Jika bukan karena memperhitungkan dua perguruan besar yang berada di belakang Jaka Waruga, maka Galih Panuraga tidak akan memberikan perintah kepada permaisurinya untuk pergi mengungsi.

Jaka Waruga yang sadar akan posisinya, jelas tidak tinggal diam. Segala cara sudah di lama oleh Jaka Waruga untuk keluar dari tekanan. Namun, semua gerakannya seolah terkunci oleh Galih Panuraga.

"Gandrik!!! Ternyata kemampuannya tidak menurun sedikitpun, sekalipun selama ini dia di sibukkan dengan urusan keraton," umpat Jaka Waruga yang tidak menyangka jika Galih Panuraga semakin kuat. Padahal dia menebak jika kemampuan Galih Panuraga sudah menurun karena tidak pernah berlatih lagi.

Satu yang menjadi kesalahan utama dari Jaka Waruga, yaitu terlalu meremehkan Galih Panuraga. Padahal selama di Keraton, Galih Panuraga masih rutin melatih ilmu silatnya, sehingga terus mengalami peningkatan setiap saat. Hal ini di lakukan oleh Galih Panuraga untuk berjaga-jaga jika ada serangan seperti yang terjadi saat ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status