"Patih apakah semua pasukan sudah siap?" Tanya Galih Panuraga yang sudah siap dengan jubah tempurnya dan pusaka kebanggaannya yang menjadi saksi pengembaraannya saat muda dulu.
"Semua prajurit sudah siap gusti, hanya tinggal menunggu perintah dari Gusti Prabu," jawab Patih Almatama.
Galih Panuraga mengangguk pelan, dia sudah sedikit lega karena Sri Pramudita dan putranya Banyu Aji sudah bergerak meninggalkan keraton menuju salah satu Perguruan Silat.
"Dengarkan aku, pemberontakan yang di lakukan Jaka Waruga adalah penghinaan nama besar Kerajaan Sungaisari. Mereka harus mendapatkan hukuman atas tindakan mereka ini, jika sudah berani datang ke Kotaraja, maka tidak ada tempat untuk mereka kembali, kecuali kematian... " Galih Panuraga orasi membakar semangat tempur prajuritnya.
Semangat prajurit menggelora mendengar orasi dari Galih Panuraga. Mereka jelas terbakar semangatnya, menyaksikan semangat raja mereka yang juga akan turun ke medan tempur. Atas nama kehormatan Kerajaan Sungaisari dan tanah leluhur mereka, kematian bukan sesuatu yang menakutkan bagi para prajurit itu. Lebih baik mati membelah kehormatan, dari pada diam di pijak penjajah.
"Kita hancurkan mereka, tunjukkan jika kita jauh lebih kuat... "
"Hancurkan mereka... "
Suara para prajurit itu menggema memenuhi alun-alun Keraton. Mereka seolah mendapatkan suntikan kekuatan dan tenaga, serta meningkatmya mentalitas mereka untuk turun ke medan perang.
Galih Panuraga langsung melompat ke depan, dia akan memompa langsung pasukan Keraton untuk bergerak menyambut pemberontakan yang di lakukan oleh Jaka Waruga bersama keloninya itu. Di dampingi oleh Patih Almatama dan beberapa orang pangling perang yang mereka miliki.
"Raka Galih, menyeranglah dan aku akan memberimu posisi yang pantas untukmu," Jaka Waruga yang baru tiba di depan Keraton itu berseru dengan lantang memberi penawaran kepada Galih Panuraga.
"Menyerah? Hanya pengecut yang menyerah, tetapi lebih pengecut lagi seseorang yang lupa balas budi malah menusuk dari belakang, paman. Kau tidak lebih dari sampah di mataku saat ini," Galih Panuraga menyering ke arah Jaka Waruga.
Jaka Waruga tersenyum pahit, kepala terasa panas bak air yang mendidih di atas tunggu yang panas. Menurutnya, Galih Panuraga tidak tahu terima kasih, dia sudah berbaik hati menawarkan posisi kepada Galih Panuraga dan mencegah pertumpahan darah.
"Jadi kau begitu menginginkan pertumpahan darah di antara kita," Jaka Waruga kembali berseru keras.
"Jaka Waruga!!! Jaga ucapanmu, tidak pantas kau berbicara seperti itu di depan Gusti Prabu," Patih Almatama membuka suara, setelah sejak awal memiliki bungkam, "Bukan Gusti Prabu Prabu yang menginginkan pertumpahan darah, tapi ambisi busukmu itu yang menyebabkan terjadi pertumpahan darah."
"Paman, sudah tidak ada lagi yang perlu kita diskusikan. Hanya perang yang akan menyelesaikan masalah di antara kita, aku tidak akan bisa memaafkan pemberontakan yang kau lakukan," ucap Galih Panuraga.
"Serang!!!"
"Serang!!!"
Bersamaan dengan itu pula, genderang perang di tabuh dan menggema memenuhi alun-alun keraton itu.
Semua prajurit langsung bergerak ke depan dengan senjata di tangannya masing-masing.
Suara dentingan besi beradu terdengar keras di seluruh penjuru alun-alun. Tidak lama setelah itu, jeritan kesakitan ikut menggema, bersama dengan itu satu orang tumbang dan menghembuskan nafas terakhirnya.
"Paman, aku masih tidak percaya kau melakukan pemberontakan setelah apa yang telah aku berikan kepadamu," ucap Galih Panuraga.
"Kau terlalu naif, Galih. Kau terlalu memberi kebebasan kepadaku dan Kadipaten Waruna Angin, sehingga aku dapat dengan mudah menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaanmu," balas Jaka Waruga.
Galih Panuraga hanya tersenyum tipis, dia menyadari kesalahannya yang terlalu percaya kepada Jaka Waruga selama ini. Mengingat sosok ini adalah keluarganya sendiri.
"Ternyata memang, musuh itu tidak hanya datang dari luar, tetapi musuh yang datang dari dalam jauh lebih berbahaya,"
Bersama dengan itu pula, Galih Panuraga bergerak maju dengan pedang di genggaman tangannya yang sudah di alirkan tenaga dalam, sehingga membuat semburat cahaya biru langit.
Di waktu yang sama pula, Jaka Waruga bergerak maju menyongsong serangan dari Galih Panuraga.
Pertemuan dua pedang itu dengan cepat mencipta gelombang kejut yang besar, sehingga membuat banyak prajurit menjaga jarak karena tidak ingin terkena serangan salah sasaran.
Dua orang itu saling mengadu kecepatan ayunan pedangnya. Dentingan keras terdengar begitu nyaring saat dua bilah pedang itu saling berbenturan, percikan energi kekuatan terpancar di hasilkan dari pertemuan dua pusaka itu.
Dalam waktu singkat, dua manusia itu sudah bertukar lebih dari belasan serangan.
"Ternyata kekuatan inu yang membuatmu begitu yakin mampu memenangkan pertempuran ini, paman," ucap Galih Panuraga.
"Apa kau pikir aku hanya mengandalkan kekuatanku saja? Aku memiliki dua perguruan besar yang berpengaruh di tanah Java Dwipa ini, kekuatan dua ketua perguruan itu sudah sangat lebih dari cukup untuk membuat keraton ini rata dengan tanah... "
Galih Panuraga tersenyum getir, dia masih tidak percaya jika dua perguruan besar yang berdiri di bawah kekuasaan Kerajaan Sungaisari itu akan dengan tega berkhianat.
"Memang sudah pantas jika iblis berkerja sama dengan iblis. Sekalipun kalian memenangkan pertempuran ini, akan ada orang lain yang akan menuntut balas atas semua penghianatan kalian semua," Galih Panuraga berseru keras ke arah Jaka Waruga. Luapan emosi atas penghianatan yang di lakukan oleh Jaka Waruga tergambarkan jelas di wajahnya.
"Bersetan dengan iblis, aku akan melakukan apapun demi kejadian penguasa negeri ini, penguasa di seluruh Java Dwipa... "
Galih Panuraga tersenyum getir, dia merasa jika Jaka Waruga sudah tersesat terlalu jauh.
"Kau telah di sesatkan oleu ambisimu sendiri paman,"
Galih Panuraga menarik nafas panjang, sebelum bergerak maju kembali menyerang Jaka Waruga. Dengan sangat tangkas dan cekatan Galih Panuraga mengayunkan pedangnya menghujani Jaka Waruga dengan hujan serangan. Untuk beberapa saat, Galih Panuraga mendominasi pertarungan dan mendikte semua pergerakan dari Jaka Waruga.
Galih Panuraga berada di atas angin, karena memang dalam hal kekuatan Jaka Waruga jauh di bawahnya. Galih Panuraga sangat percaya diri mampu keluar sebagai pemenang dalam pertarungan kali ini. Jika bukan karena memperhitungkan dua perguruan besar yang berada di belakang Jaka Waruga, maka Galih Panuraga tidak akan memberikan perintah kepada permaisurinya untuk pergi mengungsi.
Jaka Waruga yang sadar akan posisinya, jelas tidak tinggal diam. Segala cara sudah di lama oleh Jaka Waruga untuk keluar dari tekanan. Namun, semua gerakannya seolah terkunci oleh Galih Panuraga.
"Gandrik!!! Ternyata kemampuannya tidak menurun sedikitpun, sekalipun selama ini dia di sibukkan dengan urusan keraton," umpat Jaka Waruga yang tidak menyangka jika Galih Panuraga semakin kuat. Padahal dia menebak jika kemampuan Galih Panuraga sudah menurun karena tidak pernah berlatih lagi.
Satu yang menjadi kesalahan utama dari Jaka Waruga, yaitu terlalu meremehkan Galih Panuraga. Padahal selama di Keraton, Galih Panuraga masih rutin melatih ilmu silatnya, sehingga terus mengalami peningkatan setiap saat. Hal ini di lakukan oleh Galih Panuraga untuk berjaga-jaga jika ada serangan seperti yang terjadi saat ini.
ka Waruga harus menelan dalam-dalam ludahnya karena terlalu meremehkan Galih Panuraga. "Apa paman pikir selama ini aku tidak pernah lagi melatih kemampuanku? Kau salah paman, aku sudah memperhitungkan jika suatu hari nanti akan terjadi pemberontakan, tapi aku tidak pernah menduga jika pemberontakan itu di lakukan oleh orang yang sudah ku tolong dan ku berikan posisi Adipati," ucap Galih Panuraga."Haha kau terlalu mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain, Galih. Tanpa kau sadari jika orang lain itu tidak akan puas dengan posisi yang telah kau berikan, bagiku menjadi Raja Kerajaan Sungaisari adalah puncak impianku selama ini," balas Jaka Waruga.Galih Panuraga menggeleng pelan, sebenarnya Galih masih memiliki belas kasih kepada Jaka Waruga, jika dia berhasil memenangkan pertempuran ini, Galih Parunurga hanya ingin memasukkan Jaka Waruga ke penjara tahanan bawah tanah, tetapi setelah melihat ambisi besarnya, membuat Galih Panuraga berubah pikiran."Maaf paman, aku tidak bisa memb
4. Pemberontakan Jaka Waruga IVDua kilatan cahaya saling beradu dan menciptakan gelombang kekuatan yang sangat besar.Kilatan biru dan hitam pekat itu membuat kondisi alun-alun Semaki porak-porandakan. Dua kekuatan itu juga merenggut banyak nyawa akibat salah sasaran."Kau sangat tangguh rupanya, Mahapatih," Junggo tanpa sungkan sekali lagi memberikan pujiannya."Kau terlalu memuji, aku hanya mengikuti permainanmu," balas Patih Almatama.Junggo tertawa kecil, sebelum kembali membangun serangan dengan luapan energi yang sangat besar dari pedangnya.Bukannya takut, tatapi Patih Almatama malah bergerak ke depan menyongsong serangan yang di lakukan oleh Junggo.Gelegar!!!Gelagar!!!Gelegar!!!Benturan dua kekuatan besar itu membuat banyak kerusakan demi kerusakan dinding beton alun-alun.Baik Patih Almatama ataupun Junggo sama-sama terlempar jauh ke belakang dan merasakan sesak di bagian dadanya. Namun, Ninggalkan menderita luka yang lebih parah sampai membuatku memuntahkan isi perutnya
Gelegar!!!Galih Panuraga terpental jauh ke belakang, hingga tubuhnya menghantam bagian beton dinding Keraton."Uhukkk ... " Galih Panuraga terbatuk keras. Dia merasakan sesak di bagian dadanya itu."Apakah kau baik-baik saja, Jaka?" Tanya seorang laki-laki berusia payah."Terima kasih, Tetua. Jika tidak ada dirimu aku tidak apakah masih bernyawa," balas Jaka Waruga."Hemm, kau berhutang satu nyawa denganku. Suatu hari aku akan menagih gantinya,"Jaka Waruga hanya tersenyum tipis, jika saja dia memiliki kekuatan yang besar, maka sudah ingin sekali Jaka Waruga ingin melenyapkannya.'Suatu hari, aku akan menghabisimu!!!' batin Jaka Waruga."Saryoni, ternyata Perguruan Cakra Dewa benar-benar sudah menghianatiku. Ternyata apa yang sudah ku berikan tidak cukup untuk membuat kalian menegakkan keadilan, nama Cakra Dewa terlalu berambisi sampai tanpa sadar sudah tersesat terlalu jauh. Kalian rela berkerja sama dengan aliran sesat... " Galih Panuraga tersenyum tipis, tidak terlihat rasa ketak
Tepat bersamaan dengan Galih Panuraga yang menghembuskan nafas terakhirnya, Saryoni juga terlena jauh ke belakang.Saryoni sedikit lebih baik dari Galih Panuraga, dia masih bernafas, sekalipun mengalami luka yang parah.Saryoni dengan cepat mengambil posisi duduk bersila berusaha meredam luka dalamnya.Sleshhh!!!"Akhh... "Namun betapa terkejutnya Saryoni saat bilah pedang menusuk punggung belakangnya."Jaka Waruga, apa yang kau lakukan?""Maafkan aku, Saryoni. Kau terlalu berbahaya Saryoni, kau harus di lenyapkan agar tidak menjadi halangan dan batu sandungan untukku di masa depan," ucap Jaka Waruga.Saryoni bak tersambar petir dan tersedak ludahnya sendiri. Jaka Waruga menghianatinya setelah semua bantuan yang telah di berikannya dan pula Perguruan Cakra Dewa."Kau akan menyesal, Jaka. Perguruan Cakra Dewa tidak akan tinggal diam dengan kematianku ini," tegas Saryoni, bersama dengan itu pula mulutnya mengeluarkan darah kehitaman."Itu tidak akan terjadi, karena tidak akan ada yang
Hutan yang menjadi wilayah pertarungan antara Senopati Arya dan Segoro dengan cepat menjadi medan pertarungan untuk menciptakan banyak kerusakan.Dalam waktu singkat, banyak pepohonan mulai tumbang akibat dari serangan salah sasaran dari dua orang tersebut.Hanya dalam hitungan menit, Senopati Arya dan Segoro sudah bertukar belasan serangan yang dahsyat. Kecepatan ke-duanya dalam membangun serangan menunjukkan jika keduanya sudah malang melintang di dunia persilatan dalam waktu yang lama.Senopati Arya dengan aliran pedang lembut mampu memberikan perlawanan sengit dengan Segoro yang lebih pada aliran pedang lentur. Meskipun ke-dua aliran ini di katakan sama, tetapi keduanya saling bertolak belakang satu sama lain.Tring!!!Tring!!!Dua pedang itu bertemu dan menghasilkan dentingan suara yang memekakkan telinga. Tidak ada yang mendominasi serangan dalam rentan waktu yang lama, lebih tepatnya mereka saling bergantian mendominasi pertarungan.Senopati Arya yang memilih konsentrasi tingka
8. Banyu Aji10 tahun sudah berlalu pasca pemberontakan yang di lakukan oleh Jaka Waruga dan kelompoknya. Seorang anak manusia berdiri di tengah tanah lapang sedang memainkan pedang kayu sejak pagi tadi.Anak itu berusia 10 tahun, memiliki fisik yang berisi dan rambut yang panjang. Anak itu bernama Banyu Aji, putra dari mendiang Galih Panuraga yang telah tewas dalam pemberontakan yang di lakukan oleh Jaka Waruga."Banyu, kemarilah," seorang laki-laki paruh baya berambut putih memanggil anak itu.Banyu Aji langsung menghentikan kegiatannya dan berlari ke arah laki-laki paruh baya itu."Iya, kek? Ada apa?" Tanya Banyu Aji.Laki-laki paruh baya itu bernama Whira Bumi, Ketua Perguruan Tirta Kencana. Dia adalah orang yang merawat sosok Banyu Aji sejak bayi setelah di titipkan oleh Sri Pramudita.Whira Bumi ingat betul kala itu ketika waktu menjelang malam, satu kereta kencana datang ke perguruannya."Arya, siapa yang kau bawa?" Tanya Whira Bumi.Senopati Arya melompat dari atas kereta kuda
9. Mewarisi Bakat Yang Hebat Whira Bumi mengelus pucuk rambut Banyu Aji. Selama lima tahun terakhir Banyu Aji terus berlatih di bawah bimbingan langsung Whira Bumi.Selama itu pula Banyu Aji terus menunjukkan perkembangan yang pesat. Bahkan, di usia yang baru mencapainya 10 tahun, Banyu Aji sudah menikah fisik yang berisi layaknya anak usia 15 tahun."Kakek, kenapa kau memanggilku tadi?" Tanya Banyu Aji."Kakek hanya ingin kau istirahat, sudah sejak pagi tadi kau berlatih, apa kau tidak merasa letih?" Whira Bumi balik bertanya.Banyu Aji menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Aku tidak merasa letih, aku harus cepat menjadi kuat, agar kakek mau mengajarkanku ilmu yang kakek miliki,"Whira Bumi tersenyum, dia merasa tidak salah mengangkat Banyu Aji menjadi murid dan cucunya. Membesarkan seorang pewaris dari Kerajaan Sungaisari yang saat ini sedang di duduki oleh orang yang serakah adalah sebuah kebanggaan bagi Whira Bumi."Tapi tetap saja kau harus menjaga kesehatanmu itu," ucap Whira
10. Pewaris Pedang Naga IblisPertarungan yang melibatkan Ki Ranang Rupo dan Sayuri Geni itu benar-benar hebat. Bukan hanya menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi, tetapi juga dengan Ajian yang meledak-ledak dan hanya beberapa pendekar saja yang memilikinya dan mampu menggunakannya.Beberapa pendekar yang memperhatikan pertarungan dua pendekar sepuh itu sudah kehilangan nyawa dengan mengenaskan."Mau sampai kapan kita terus bertarung, Sayuri? Apa kau ingin lembah ini hancur dan menjadi cekungan raksasa?" Tanya Ki Ranang Rupo.Sayuri Geni tersenyum tipis, dia yang bertindak sebagai seorang Biksu memang paling menghindari pertarungan yang akan mencipta kerusakan dan kehancuran, tetapi kali ini posisinya sedikit berbeda. Jika Pedang Naga Iblis itu jatuh ke tangan yang salah, maka dunia akan dalam kehancuran.Sayuri Geni tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu memilih bersikap netral sama seperti saat terjadi peperangan antara Galih Panuraga dan Jaka Waruga yang akhirnya di mena