Baru saja Fina duduk di kursinya sudah ada lagi perempuan yang menghampirinya. Penampilan perempuan ini jauh lebih elegan daripada nenek lampir tadi. Apalagi perempuan yang mengenakan setelah celana kulot dan blus ini lebih terlihat seperti wanita karir.
"Pak Arjunanya ada?" tanya perempuan itu lembut membuat Fina tak jadi memasang wajah judes.
"Apakah sudah membuat janji dengan Pak Arjuna?" tanya Fina ramah.
Perempuan itu menggeleng. Fina berdiri, "Saya tanyakan dulu ke Paj Arjuna. Ibu silakan tunggu di sini, ya!"
Fina masuk setelah dipersilakan oleh Arjuna. Bosnya itu masih belum mengalihkan pandangan dari dokumen-dokumen kontrak sampai suara kaki Fina berhenti di depannya.
"Ada apa, Fin?"
"Itu, Pak. Ada tamu lagi di depan."
Arjuna mendongak. "Reni?"
Fina menggeleng membuat Arjuna mengernyit heran. "Su
Untuk menyelesaikan kegalauan Reni, Nadya mengajaknya berolahraga pagi ini. Keduanya sudah ada di gor terdekat dan melakukan pemanasan. "Kita mau olahraga apaan, Nad?" tanya Reni sembari berlari-lari kecil di tempat. "Badminton aja gimana?" tanya Reni lagi sebelum Nadya sempat menjawab. Nadya masih sibuk dengan ponselnya. Merasa tidak adanya jawaban dari Nadya, Reni akhirnya mengambil ponsel Nadya membuat atensinya berpindah ke Reni. "Dih, apaan sih lo?" "Ya elo tuh, dari tadi diajakin ngomong malah sibuk main HP!" seru Reni kesal. "Jadinya mau olahraga apaan?" "Kita mau badminton. Tapi tunggu ada lagi yang mau ikutan!" Reni hanya ber-oh ria. Ia tidak ingin kepo siapa orang yang akan menemani mereka berolahraga. Toh, yang Reni butuhkan saat ini hanyalah berolahraga agar semua pikiran negatif hilang. Ia sadar, tidak akan bisa
Hari ini Nadya tidak lagi menginap di rumah Reni. Melihat suasana hati Reni yang sudah jauh lebih baik, Nadya memutuskan untuk pulang. Takutnya jika Nadya terus berada di rumah Reni, yang ada anak itu angin-anginan. Bisa jadi ketika Nadya pulang Reni kembali bad mood dan tidak mau berbicara lagi dengan Arjuna. "Kenapa nggak seminggu aja sih lo di sini?" rengek Reni berusaha membujuk Nadya. "Ren, ntar yang ada mood lo itu cuma tergantung ke gue. Kalau gue ada di sini mood lo baik. Kalo gue pergi, nggak baik lagi. Lo harus bisa ngatur mood lo sendiri sekarang," Nadya menoleh. "Emang mau sampe kapan diemin Arjuna terus?" Reni bergeming. Ia memang sempat luluh dengan perhatian kecil Arjuna kemarin. Otaknya memaksa menyerah, tetapi hatinya bersikeras menolak kalah. Jadilah ia tidak berbicara sepatah katapun pada Arjuna. Ia memilih diam dan membiarkan Arjuna bertanya-tanya. "Yah, gue coba deh
Ryo mendengar obrolan adiknya dengan Arjuna. Ia tahu, pasti sulit menerima masa lalu bahwa tunangannya adalah mantan kekasih sepupunya. Semacam drama romansa yang hanya diisi tangisan. Ryo menghela napas perlahan. 'Mungkin ini yang bakalan mendewasakan lo, Ren' batinnya. Arjuna turun dengan langkah tenang. Ia segera menghampiri Ryo yang sedang duduk santai di teras depan rumah. Ia tidak berhasil menjelaskan pada Reni, tetapi setidaknya ia tidak langsung diusir oleh perempuan itu. "Masih belum bisa diajak ngomong?" tanya Ryo seraya menyeruput kopinya yang hampir dingin. Tak lupa ia juga minta Si Mbok membuatkan untuk Arjuna. Arjuna menghidu aroma kopi dari gelasnya. Agak sedikit tenang sekarang suasana hatinya. "Seenggaknya dia udah bilang kalau butuh waktu lagi. Kayaknya, dia emang butuh suasana yang tenang pikiran yang tenang juga ketika dengerin cerita gue ini," Ryo mengang
Lesmana menyendokkan sendok yang sudah dipenuhi nasi, tempe dan telur dadar buatan Reni ke mulutnya. Ia sedang mencerna cita rasa makanan putri bungsunya. "Emm..." sembari mengunyah makanan, Lesmana masih menebak-nebak. Reni sudah gugup di tempat. Tanganya bahkan basah oleh keringat, takut jika hasil masakannya gagal. "Gimana rasanya, Pa?" tanya Santi tidak sabar melihat suaminya mengunyah begitu lama. Lesmana mengangkat kedua jempol tangannya membuat Reni menghembuskan napas lega. Tanpa sadar, ia sempat menahan napas tadi. "Enak kok. Cuma sedikit keasinan. Kayaknya kamu udah pengen banget nikah, ya?" goda Lesmana sembari kembali melanjutkan makannya. Reni tersipu. Ia duduk dan menyendokkan nasi beserta lauk pauk ke dalam piringnya, begitu pula dengan Mamanya. Si Mbok hari ini bisa istirahat masak sarapan dan melanjutkan bersih-bersih rumah saja
"Serius adik lo masaknya keasinan?" seru Arjuna seraya menahan tawa ketika Ryo bercerita esok paginya saat keduanya membicarakan proyek terbaru mereka. "Iya anjir! Telur dadarnya doang sih. Yang lain masih aman kata Papa. Malemnya dia masak lagi. Masih ada yang keasinan tapi tetep enak!" Ryo tertawa. "Heran gue sama tuh anak! Kayaknya udah ngebet banget nikah sampe semua masakan diasinin!" Tawa Arjuna pecah. Ia tidak menyangka jika Reni akan dipaksa memasak oleh Mamanya untuk mengisi masa liburannya. "Yah, tapi ide Mama lo bagus juga! Biar ntar gue nggak jajan di luar terus lah!" seru Arjuna. Ryo tertawa menanggapi seruan Arjuna. Padahal dari dulu, Reni paling anti dengan dapur. Ke dapur hanya untuk membuat mie instan atau minuman kesukaannya saja. Tapi ketika Si Mbok melihat Reni masuk dapur, pasti akan langsung ia ambil alih. "Ya, maklumlah. Reni tuh manja banget
Reni menggerutu sepanjang jalan gara-gara dipaksa Mamanya mengantarkan makan siang khusus untuk Arjuna. "Biar calon suamimu itu nyicipin masakanmu!" dalih Mamanya ketika Reni hendak menolak. Mamanya selalu memiliki alasan yang jauh lebih kuat agar permintaannya tidak tertolak sama sekali. Reni memarkir mobilnya di basement. Ia melirik jam sebelum naik ke kantor Arjuna. Pukul satu siang, berarti jam makan siang sudah habis. Reni menimbang beberapa
Reni membuang muka ke jendela di yang langsung menatap jalanan. Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur Jakarta siang ini. Mau tidak mau, Reni harus menunggu di kantor Arjuna. Hujan deras begini dikhawatirkan akan disertai petir dan Reni paling takut dengan suara satu itu. "Ngapain sih, ujannya diliatin?" tanya Arjuna tanpa menoleh ke arah Reni. Ia tetap fokus menggambar di papan gambarnya yang besar. "Siapa tau kalau diliatin dia mau berhenti!" jawab Reni sedikit ketus. Ia sebal harus terjebak di ruang kerja Arjuna padahal ia masih enggan berbicara banyak dengan lelaki itu. "Sejak kapan ada ilmu hujan akan berhenti ketika ditatap oleh perempuan cantik? Aku baru mendengarnya," "Sejak hari ini!" jawaban Reni kali ini jauh lebih sewot membuat Arjuna tertawa. Ia merasa bahwa Reni masih kesal padanya. Mungkin berada satu ruangan dengan orang yang seharusnya ia hindari adalah malapetaka. Makany
Liburan panjang Reni sudah berjalan satu bulan. Hari-harinya masih diisi dengan privat memasak bersama sang Mama. Selain itu, Reni juga mulai mencicil membeli literatur guna keperluan tugas akhirnya. Jadwal rutin Reni sekarang tiap pagi adalah memasak. Menjelang siang, ia harus mengantarkan makan siang buatannya khusus untuk Arjuna. Malamnya, ia akan berkutat dengan literatur yang sudah ia beli untuk memulai mencari topik yang akan ia jadikan tugas akhir. Sebenarnya, ia berniat untuk pergi liburan. Namun, Mamanya selalu menghalangi dengan dalih 'nanti saja kalau sudah menikah sekalian bulan madu'. Jadilah kegiatan Reni diisi dengan hal yang lebih bermanfaat daripada liburan. Malam ini Reni sudah menyelesaikan bacaannya. Akan tetapi, matanya masih saja sulit terpejam. Reni sampai menurunkan suhu AC agar menjadi lebih dingin sehingga ia bisa berselimut dengan rapat dan segera pergi tidur. Ternyata usahanya berakhir sia-sia.