Hari ini Nadya tidak lagi menginap di rumah Reni. Melihat suasana hati Reni yang sudah jauh lebih baik, Nadya memutuskan untuk pulang. Takutnya jika Nadya terus berada di rumah Reni, yang ada anak itu angin-anginan. Bisa jadi ketika Nadya pulang Reni kembali bad mood dan tidak mau berbicara lagi dengan Arjuna.
"Kenapa nggak seminggu aja sih lo di sini?" rengek Reni berusaha membujuk Nadya.
"Ren, ntar yang ada mood lo itu cuma tergantung ke gue. Kalau gue ada di sini mood lo baik. Kalo gue pergi, nggak baik lagi. Lo harus bisa ngatur mood lo sendiri sekarang," Nadya menoleh. "Emang mau sampe kapan diemin Arjuna terus?"
Reni bergeming. Ia memang sempat luluh dengan perhatian kecil Arjuna kemarin. Otaknya memaksa menyerah, tetapi hatinya bersikeras menolak kalah. Jadilah ia tidak berbicara sepatah katapun pada Arjuna. Ia memilih diam dan membiarkan Arjuna bertanya-tanya.
"Yah, gue coba deh
Ryo mendengar obrolan adiknya dengan Arjuna. Ia tahu, pasti sulit menerima masa lalu bahwa tunangannya adalah mantan kekasih sepupunya. Semacam drama romansa yang hanya diisi tangisan. Ryo menghela napas perlahan. 'Mungkin ini yang bakalan mendewasakan lo, Ren' batinnya. Arjuna turun dengan langkah tenang. Ia segera menghampiri Ryo yang sedang duduk santai di teras depan rumah. Ia tidak berhasil menjelaskan pada Reni, tetapi setidaknya ia tidak langsung diusir oleh perempuan itu. "Masih belum bisa diajak ngomong?" tanya Ryo seraya menyeruput kopinya yang hampir dingin. Tak lupa ia juga minta Si Mbok membuatkan untuk Arjuna. Arjuna menghidu aroma kopi dari gelasnya. Agak sedikit tenang sekarang suasana hatinya. "Seenggaknya dia udah bilang kalau butuh waktu lagi. Kayaknya, dia emang butuh suasana yang tenang pikiran yang tenang juga ketika dengerin cerita gue ini," Ryo mengang
Lesmana menyendokkan sendok yang sudah dipenuhi nasi, tempe dan telur dadar buatan Reni ke mulutnya. Ia sedang mencerna cita rasa makanan putri bungsunya. "Emm..." sembari mengunyah makanan, Lesmana masih menebak-nebak. Reni sudah gugup di tempat. Tanganya bahkan basah oleh keringat, takut jika hasil masakannya gagal. "Gimana rasanya, Pa?" tanya Santi tidak sabar melihat suaminya mengunyah begitu lama. Lesmana mengangkat kedua jempol tangannya membuat Reni menghembuskan napas lega. Tanpa sadar, ia sempat menahan napas tadi. "Enak kok. Cuma sedikit keasinan. Kayaknya kamu udah pengen banget nikah, ya?" goda Lesmana sembari kembali melanjutkan makannya. Reni tersipu. Ia duduk dan menyendokkan nasi beserta lauk pauk ke dalam piringnya, begitu pula dengan Mamanya. Si Mbok hari ini bisa istirahat masak sarapan dan melanjutkan bersih-bersih rumah saja
"Serius adik lo masaknya keasinan?" seru Arjuna seraya menahan tawa ketika Ryo bercerita esok paginya saat keduanya membicarakan proyek terbaru mereka. "Iya anjir! Telur dadarnya doang sih. Yang lain masih aman kata Papa. Malemnya dia masak lagi. Masih ada yang keasinan tapi tetep enak!" Ryo tertawa. "Heran gue sama tuh anak! Kayaknya udah ngebet banget nikah sampe semua masakan diasinin!" Tawa Arjuna pecah. Ia tidak menyangka jika Reni akan dipaksa memasak oleh Mamanya untuk mengisi masa liburannya. "Yah, tapi ide Mama lo bagus juga! Biar ntar gue nggak jajan di luar terus lah!" seru Arjuna. Ryo tertawa menanggapi seruan Arjuna. Padahal dari dulu, Reni paling anti dengan dapur. Ke dapur hanya untuk membuat mie instan atau minuman kesukaannya saja. Tapi ketika Si Mbok melihat Reni masuk dapur, pasti akan langsung ia ambil alih. "Ya, maklumlah. Reni tuh manja banget
Reni menggerutu sepanjang jalan gara-gara dipaksa Mamanya mengantarkan makan siang khusus untuk Arjuna. "Biar calon suamimu itu nyicipin masakanmu!" dalih Mamanya ketika Reni hendak menolak. Mamanya selalu memiliki alasan yang jauh lebih kuat agar permintaannya tidak tertolak sama sekali. Reni memarkir mobilnya di basement. Ia melirik jam sebelum naik ke kantor Arjuna. Pukul satu siang, berarti jam makan siang sudah habis. Reni menimbang beberapa
Reni membuang muka ke jendela di yang langsung menatap jalanan. Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur Jakarta siang ini. Mau tidak mau, Reni harus menunggu di kantor Arjuna. Hujan deras begini dikhawatirkan akan disertai petir dan Reni paling takut dengan suara satu itu. "Ngapain sih, ujannya diliatin?" tanya Arjuna tanpa menoleh ke arah Reni. Ia tetap fokus menggambar di papan gambarnya yang besar. "Siapa tau kalau diliatin dia mau berhenti!" jawab Reni sedikit ketus. Ia sebal harus terjebak di ruang kerja Arjuna padahal ia masih enggan berbicara banyak dengan lelaki itu. "Sejak kapan ada ilmu hujan akan berhenti ketika ditatap oleh perempuan cantik? Aku baru mendengarnya," "Sejak hari ini!" jawaban Reni kali ini jauh lebih sewot membuat Arjuna tertawa. Ia merasa bahwa Reni masih kesal padanya. Mungkin berada satu ruangan dengan orang yang seharusnya ia hindari adalah malapetaka. Makany
Liburan panjang Reni sudah berjalan satu bulan. Hari-harinya masih diisi dengan privat memasak bersama sang Mama. Selain itu, Reni juga mulai mencicil membeli literatur guna keperluan tugas akhirnya. Jadwal rutin Reni sekarang tiap pagi adalah memasak. Menjelang siang, ia harus mengantarkan makan siang buatannya khusus untuk Arjuna. Malamnya, ia akan berkutat dengan literatur yang sudah ia beli untuk memulai mencari topik yang akan ia jadikan tugas akhir. Sebenarnya, ia berniat untuk pergi liburan. Namun, Mamanya selalu menghalangi dengan dalih 'nanti saja kalau sudah menikah sekalian bulan madu'. Jadilah kegiatan Reni diisi dengan hal yang lebih bermanfaat daripada liburan. Malam ini Reni sudah menyelesaikan bacaannya. Akan tetapi, matanya masih saja sulit terpejam. Reni sampai menurunkan suhu AC agar menjadi lebih dingin sehingga ia bisa berselimut dengan rapat dan segera pergi tidur. Ternyata usahanya berakhir sia-sia.
Reni memasak dengan menampakkan wajah cemberut. Ia tidak habis pikir dengan semua rencana Mamanya yang disebut sebagai 'kejutan'. Karena Reni merasa ini bukan seperti kejutan, tetapi lebih seperti kutukan karena ia bangun kesiangan dan harus memasakkan makanan istimewa untuk tamu kesayangan Mamanya. "Kamu jangan cemberut terus dong, Ren! Nanti rasa masakannya nggak enak dong!" Santi mencolek Reni yang sedang menumis dengan wajah masam. "Sejak kapan rasa masakan dipengaruhi sama mood yang masak?" tanya Reni masih sewot. Santi tertawa kecil. Ia lupa jika hanya mengajarkan Reni cara memasak dengan fisik, belum mengajarkannya memasak dengan hati. Jadilah Reni bisa bertanya demikian. "Ren, Mama kasih tau ya. Memasak itu juga perlu pakai hati. Mood kita tanpa sadar akan berpengaruh ke cita rasa masakan kita. Kalau kita badmood, rasa masakannya juga akan jadi nggak karuan. Kalau kita masak pen
Setelah acara makan siang itu, ternyata Arjuna tidak langsung kembali ke kantornya. Meeting siang ini dibatalkan dan dijadwalkan ulang oleh sekretarisnya. Mendengar hal itu tentu Santi sangat senang, karena Arjuna bisa lebih lama di sini. Sementara Reni mulai tidak nyaman. Ia masih canggung setelah 'perang dingin' yang terjadi di antara keduanya. "Nak Juna nggak keburu pulang, kan?" tanya Santi basa-basi membuat Reni melemparkan tatapan mautnya. Namun, sang Mama tentu tidak akan mempan ditatap seperti itu. Arjuma tersenyum. Sekilas ia melirik ekspresi Reni yang nampak tidak senang dengan pertanyaan yang dilemparkan Mamanya. Ia pasti merasa tidak nyaman setelah peristiwa yang menimpa mereka saat hari pertunangan dan kemarin. "Enggak kok, Tante! Saya krasan di sini," Arjuna menekankan kata krasan agar membuat Reni kesal. Benar saja, Reni mendengus sebal sembari melengos. "Kebetulan Tante
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce