Setelah acara makan siang itu, ternyata Arjuna tidak langsung kembali ke kantornya. Meeting siang ini dibatalkan dan dijadwalkan ulang oleh sekretarisnya. Mendengar hal itu tentu Santi sangat senang, karena Arjuna bisa lebih lama di sini. Sementara Reni mulai tidak nyaman. Ia masih canggung setelah 'perang dingin' yang terjadi di antara keduanya.
"Nak Juna nggak keburu pulang, kan?" tanya Santi basa-basi membuat Reni melemparkan tatapan mautnya. Namun, sang Mama tentu tidak akan mempan ditatap seperti itu.
Arjuma tersenyum. Sekilas ia melirik ekspresi Reni yang nampak tidak senang dengan pertanyaan yang dilemparkan Mamanya. Ia pasti merasa tidak nyaman setelah peristiwa yang menimpa mereka saat hari pertunangan dan kemarin.
"Enggak kok, Tante! Saya krasan di sini," Arjuna menekankan kata krasan agar membuat Reni kesal. Benar saja, Reni mendengus sebal sembari melengos.
"Kebetulan Tante
Semenjak hari itu, hubungan antara Reni dengan Arjuna berangsur membaik. Bahkan bisa dibilang mereka sangat romantis. Setiap siang, Reni akan mengirimi Arjuna makan siang yang selanjutnya perempuan itu menemani Arjuna menyelesaikan pekerjaannya sampai sore. Beberapa kali pernah bahkan sampai malam hingga akhirnya mereka tidak pulang ke rumah tetapi ke apartemen Reni. Membaiknya hubungan Arjuna-Reni ini membuat kedua belah pihak keluarga sangat bahagia. Mereka merasa hari-hari yang dijalani begitu menyenangkan. Bahkan Santi dan Andini sudah mencari-cari wedding organizer untuk pernikahan anak-anak mereka. Alasannya adalah untuk mencarikan Ryo, tetapi ada keinginan untuk menggunakan jasa yang sama di pernikahan Arjuna-Reni kelak. Reni semakin sibuk membantu persiapan pernikahan kakaknya yang sudah semakin dekat. Ryo akhirnya memutuskan untuk menikah bulan ini agar Tania pun tidak menunggunya terlalu lama. Hal itu tentu saja membu
Sandra tahu, keberadaannya di sini sama sekali tidak diharapkan. Semua keluarga inti Reni dan Arjuna menatapnya dengan tatapan kebencian. Pasti mereka sudah tahu cerita tentang malam pertunangan Arjuna-Reni. Atau, bahkan sudah dengar cerita beberapa waktu yang lalu. Namun, Sandra tetap tidak peduli. Ia memilih untuk fokus pada tujuannya merebut Arjuna dari Reni. Semua itu ia lakukan karena ia merasa berhak memiliki Arjuna dikondisinya yang seperti ini. Sandra yang membuat sifat cuek Arjuna luluh. Sandra juga yang menuntun Arjuna untuk mulai membuka diri agar mudah mendapatkan klien. Memang bodoh ketika dia memilih meninggalkan Arjuna untuk pria lain karena Sandra benar-benar haus perhatian. Jujur Sandra kaget ketika tahu bahwa Arjuna yang dijodohkan dengan sepupunya adalah Arjuna yang juga pernah mengisi hari-harinya di masa lalu. Awalnya Sandra berusaha melupakan Arjuna. Tetapi, lama-kelamaan hasrat untuk kembali memadu kasih
Pagi-pagi sekali Arjuna dan Reni sudah keluar dari kamar hotel. Keduanya memutuskan untuk berolahraga pagi di sekitar area hotel. Arjuna dan Reni yang sudah mengenakan setelan olahraga segera joging santai. Ketika sudah mendapatkan tiga putaran, tiba-tiba salah satu pegawai hotel menghentikan mereka. "Untuk Tuan dan Nona, apabila masih ingin berolahraga di lantai dasar ini ada ruang gym yang bisa diakses gratis oleh keluarga pengantin yang semalam melakukan reservasi seluruh area hotel." ujarnya sopan kemudian segera pergi setelah Arjuna dan Reni mengangguk dan berterima kasih atas informasi yang ia berikan. "Mau ke sana?" tanya Arjuna ketika Reni meneguk minumannya. Kemudian Reni menggeleng. Ia tidak terlalu suka berolahraga menggunakan peralatan. Ia lebih senang berlari atau berenang. "Mending nanti berenang aja. Aku nggak suka nge-gym. Kalau misal kamu mau nge-gym ya nggak apa-apa."
Matahari sudah sedikit naik ketika Reni menceburkan diri ke dalam kolam renang. Ia berenang kesana kemari menikmati air kolam yang cukup dingin untuk cuaca yang sedikit terik ini. Setelah beberapa waktu menenggelamkan wajah di dalam air, Reni menepikan diri. "Kamu nggak mau ikutan nyebur juga?" tanya Reni ketika Arjuna mendekatinya. Arjuna memang dari tadi hanya memperhatikan Reni yang berenang. "Masih belum pingin. Habis ini deh!" ujarnya santai. Akhirnya, Reni kembali masuk ke dalam air. Arjuna senang sekali melihat tubuh Reni yang lincah di dalam air. Perempuan itu seperti menemukan surganya ketika berenang. Sepertinya, Reni sangat menyukai air. Sudah hampir satu jam ia berenang dan tidak juga naik. Karena cuaca yang semakin panas, Arjuna akhirnya menceburkan diri ke dalam kolam. Reni tertawa ketika terkena cipratan air dari Arjuna. "Nggak tahan juga akhirnya!" e
Pagi-pagi Reni sudah uring-uringan. Padahal hari ini kedua kakaknya akan berbulan madu. Tetapi, wajah Reni sudah masam sedari pagi. "Yailah! Cuman ditinggal seminggu doang mukanya seper banget kek jeruk mau busuk!" goda Ryo seraya mengacak-acak rambut adiknya. "Ya habisnya, bisa-bisanya Arjuna ngasih hadiah Kakak bulan madu ke Belanda. Kan gue yang pengen ke sana, Kak!" seru Reni seraya manyun. Salah satu dream listnya adalah liburan ke negeri kincir angin tersebut. Hal yang sudah sejak lama ia impikan. Tetapi malah kakaknya duluan yang mendapatkan kesempatan ke sana. "Ya nanti elo tinggal minta ke Arjuna. Gampang, kan?" Ryo mengerlingkan matanya pada Reni, membuat anak bungsu itu semakin kesal dan menginjak kaki Ryo. "Aww! Dih, awas ya lo!!" pekik Ryo saat Reni berlalu meninggalkannya. Reni memilih untuk mengunci diri di dalam kamar. Ia benar-benar kesal bukan main
Setelah Ryo berangkat, Reni baru keluar dari kamarnya. Ia sudah mencangklong tas ransel di pundaknya. Tak lupa sepatu kets kesayangannya yang sudah semakin buluk ia pakai. Reni berlari ke belakang mencari Mamanya. "Ma, Reni mau berangkat!" pekiknya ketika melihat Santi sedang menyirami anggrek kesayangannya di belakang rumah. "Kamu mau kemana sayang?" tanya Santi setelah mematikan kean air. Ia mengelap tangannya yang sedikit basah. "Mau ke kampus, Ma. Mau ngurusin magang. Bulan depan kan Reni udah harus mulai magang. Jadi hari ini Reni mau daftar dulu. Biar bisa milih tempat magangnya." Santi mengangguk dan membulatkan bibirnya membentuk huruf O. "Ya udah, hati-hati, ya. Nanti kalau nggak sempet makan siang di rumah, makan siang di luar bareng Arjuna ya?" Reni yang hendak mencium tangan Mamanya terhenti mendengar nama Arjuna
Arjuna meremas kuat-kuat kertas yang tadi digambarnya. Padahal gambaran itu sudah hampir selesai, ternyata ia salah membuat rancangan. Dengan wajah kesal bukan main, Arjuna membuang kertas itu ke dalam tempat sampah. Arsitek tampan itu harus dengan segera merancang ulang sebelum lusa diberikan pada kontraktor yang akan menggarap proyek besar ini. Jarum jam masih menunjuk ke angka 11 ketika Arjuna beranjak dari tempat duduknya. Ia memilih untuk ke dapur kantor dan membuat kopi di sana sebagai pelarian dari rasa suntuknya. Ia menyeduh kopinya sendiri kemudian duduk di bangku belakang kantor sendirian. Setelah hampir 15 menit, suara Fina membuyarkan lamunannya. "Pak Arjuna kalau mau kopi kok nggak bilang? Kan saya bisa buatin, Pak!" serunya lembut. Arjuna menoleh seraya tersenyum. Senyuman yang bisa membuat Fina klepek-klepek. "Nggak apa-apa, Fin. Lagi pengen bikin kopi sendiri."&n
Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada dua satpam yang mendapat jadwal shift malam di depan kantor. Arjuna berjalan santai di lobi kantornya ketika semua lampu sudah dimatikan. Saat melirik jam tangannya, sudah pukul sepuluh malam ternyata. "Pak Arjuna baru pulang?" sapa satpam yang tadi bertugas mengambilkan mobil Arjuna dan memarkirkan di depan pintu lobi. Arjuna mengangguk. "Iya nih, Pak! Habis lembur soalnya." Ia tersenyum. "Oh iya, jangan lupa dicek ya Pak semua ruangan, takutnya ada yang belum terkunci." "Baik, Pak!" serunya seraya menyerahkan kunci mobil Arjuna. Arjuna mengemudikan mobilnya dengan santai. Sembari melepas lelah, ia ingin menikmati angin malam kota Jakarta. Sudah lama sekali ia tidak pernah keluar malam karena biasanya jam segini ia akan sibuk dengan mempelajari dokumen-dokumen di ruang kerjanya yang ada di rumah. Jalanan sudah cukup lenga
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce