Setelah Ryo berangkat, Reni baru keluar dari kamarnya. Ia sudah mencangklong tas ransel di pundaknya. Tak lupa sepatu kets kesayangannya yang sudah semakin buluk ia pakai.
Reni berlari ke belakang mencari Mamanya.
"Ma, Reni mau berangkat!" pekiknya ketika melihat Santi sedang menyirami anggrek kesayangannya di belakang rumah.
"Kamu mau kemana sayang?" tanya Santi setelah mematikan kean air. Ia mengelap tangannya yang sedikit basah.
"Mau ke kampus, Ma. Mau ngurusin magang. Bulan depan kan Reni udah harus mulai magang. Jadi hari ini Reni mau daftar dulu. Biar bisa milih tempat magangnya."
Santi mengangguk dan membulatkan bibirnya membentuk huruf O.
"Ya udah, hati-hati, ya. Nanti kalau nggak sempet makan siang di rumah, makan siang di luar bareng Arjuna ya?"
Reni yang hendak mencium tangan Mamanya terhenti mendengar nama Arjuna
Arjuna meremas kuat-kuat kertas yang tadi digambarnya. Padahal gambaran itu sudah hampir selesai, ternyata ia salah membuat rancangan. Dengan wajah kesal bukan main, Arjuna membuang kertas itu ke dalam tempat sampah. Arsitek tampan itu harus dengan segera merancang ulang sebelum lusa diberikan pada kontraktor yang akan menggarap proyek besar ini. Jarum jam masih menunjuk ke angka 11 ketika Arjuna beranjak dari tempat duduknya. Ia memilih untuk ke dapur kantor dan membuat kopi di sana sebagai pelarian dari rasa suntuknya. Ia menyeduh kopinya sendiri kemudian duduk di bangku belakang kantor sendirian. Setelah hampir 15 menit, suara Fina membuyarkan lamunannya. "Pak Arjuna kalau mau kopi kok nggak bilang? Kan saya bisa buatin, Pak!" serunya lembut. Arjuna menoleh seraya tersenyum. Senyuman yang bisa membuat Fina klepek-klepek. "Nggak apa-apa, Fin. Lagi pengen bikin kopi sendiri."&n
Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada dua satpam yang mendapat jadwal shift malam di depan kantor. Arjuna berjalan santai di lobi kantornya ketika semua lampu sudah dimatikan. Saat melirik jam tangannya, sudah pukul sepuluh malam ternyata. "Pak Arjuna baru pulang?" sapa satpam yang tadi bertugas mengambilkan mobil Arjuna dan memarkirkan di depan pintu lobi. Arjuna mengangguk. "Iya nih, Pak! Habis lembur soalnya." Ia tersenyum. "Oh iya, jangan lupa dicek ya Pak semua ruangan, takutnya ada yang belum terkunci." "Baik, Pak!" serunya seraya menyerahkan kunci mobil Arjuna. Arjuna mengemudikan mobilnya dengan santai. Sembari melepas lelah, ia ingin menikmati angin malam kota Jakarta. Sudah lama sekali ia tidak pernah keluar malam karena biasanya jam segini ia akan sibuk dengan mempelajari dokumen-dokumen di ruang kerjanya yang ada di rumah. Jalanan sudah cukup lenga
Setelah dua hari yang lalu Reni mendaftar untuk magang, hari ini ia dan Rendi akan ke galeri Aldo untuk mengantarkan proposal magang keduanya. Rendi menawarkan diri untuk menjemput Reni. Naik motor biar cepat, katanya. Reni sedang menikmati sandwich sebagai sarapannya kali ini ketika Si Mbok memanggilnya dengan tergopoh-gopoh. "Di depan ada temennya Non Reni. Katanya mau ke galeri gitu, Non!" seru Si Mbok dengan sedikit ngos-ngosan ketika sampai di sebelah Reni. Reni mengangguk. "Iya, Mbok. Udah disuruh masuk?" "Masnya nggak mau! Katanya mau di depan aja sambil ngeliatin Mang Ujang motong rumput!" Reni tertawa. Ia segera meneguk susu coklatnya dan bergegas keluar. Ia melihat Rendi sedang berjongkok di pinggir taman sembari mengajak Mang Ujang bercakap-cakap. "Seru banget nih!" celetuk Reni menginterupsi percakapan Rendi dengan Mang Ujang.
Setelah cukup puas mengelilingi galeri, Reni dan Rendi memilih untuk duduk di teras belakang galeri. Suasana yang sedikit hangat karena matahari mulai meninggi membuat Reni melepas jaketnya. Ia paling tidak tahan gerah. "Panas, Ren?" tanya Rendi yang dijawab anggukan oleh Reni. Rendi segera mengeluarkan sebotol air minum dari dalam tasnya. "Nih!" Reni menoleh dan menerima botol minuman itu dengan sedikit heran. "Beli dimana?" Rendi mengeluarkan beberapa snack dari tasnya. Reni rasa, di dalam sana sudah seperti kantung Doraemon. Bedanya ini hanya mengeluarkan snack saja. "Tadi sebelum berangkat. Karena kupikir, kita pasti bakalan lama di sini. Eh, ternyata bener. Ya udah, berguna berarti aku bawa cemilan sama minum. Biar nggak bosen juga kan nungguinnya?" Reni mengangguk pasrah kemudian menenggak air mineral dari dalam botol tersebut. Akhir
Garis hitam di bawah mata Arjuna membuat semua orang tahu, lelaki itu sudah bekerja keras akhir-akhir ini. Kemarin, Arjuna sampai tidak pulang dari kantor karena harus merampungkan bahan presentasi dibantu dengan Fina. Sekretarisnya itu baru pulang menjelang pukul sebelas malam. Awalnya ia ingin membantu Arjuna sampai selesai. Namun, Arjuna melarangnya. Akhirnya, Arjuna menyelesaikan semuanya sendiri sampai menjelang pagi. Ia baru tidur sekitar pukul empat pagi tadi. Ia bangun pukul tujuh karena akan ada meeting pukul delapan. Selama Arjuna mempersiapkan diri, Fina dibantu dengan Rinda menyiapkan kebutuhan untuk meeting. Keduanya sudah datang pukul enam pagi tadi. "Gila ya, padahal Pak Arjuna bisa loh nyuruh kita-kita buat lembur gitu. Eh, ini malah dihandle sendiri semuanya sama dia. Workaholic parah!" celetuk Rinda sembari mengecek berkas-berkas untuk meeting pagi ini. Ia tentu senang-senang saja apabila diminta lembur, karen
Motor Rendi berhenti tepat di sebelah mobil Lesmana. Sepertinya, Papa Reni pulang lebih cepat hari ini. Reni langsung turun dan melengang masuk. Sementara Rendi menghampiri Mang Ujang yang sedang duduk-duduk santai di sebelah taman. "Nih, Mang. Saya bawain kue pancong spesial!" "Loh, beneran dibeliin?" tanya Mang Ujang kaget. "Padahal tadi saya cuma bercanda. Eh, ternyata beneran dibeliin sama Mas Rendi. Uapik tenan toh, Mas!" Mang Ujang menerima bungkusan dari Rendi dan memakannya. Keduanya asyik membicarakan banyak hal hingga melebar kemana-mana. Sementara itu, Reni sudah berganti pakaian. Ia mengenakan t-shirt dan celana pendek selutut. Hari ini cuaca begitu gerah sehingga ia tidak tahan bila berlama-lama mengenakan baju panjang. "Papa kok tumben pulang cepet?" tanya Reni seraya menghampiri Papanya yang sedang asyik menikmati cemilan di ruang tengah sendirian. Ma
Mobil Arjuna masuk ke dalam pekarangan rumah Reni. Hari sudah gelap ketika Arjuna turun dari mobilnya. Tak lupa, ia membawa buah tangan untuk keluarga Reni. "Assalamualaikum!" serunya ketika memasuki rumah yang tidak tertutup itu. "Waalaikumsalam!" jawab Lesmana dan Santi bersamaan. "Loh, Nak Juna! Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Santi segera beranjak dari tempat duduknya di ruang tengah dan segera menghampiri Arjuna. Arjuna mencium punggung tangan perempuan itu dan juga suaminya. "Iya, Tante. Tadi Arjuna masih ada kerjaan di kantor. Habis itu, kok kangen sama Reni. Ya udah langsung ke sini aja. Hehehe" Arjuna menyerahkan bingkisan yang dibawanya. "Duh, Nak Juna ini selalu repot bawain Tante!" Lesmana menoleh ke atas. "Reni kayaknya nggak tau kalau kamu mau ke sini. Dia dari tadi sore di kamar. Kayaknya masih tidur. Kamu langsung samperin a
Mobil Arjuna melipir di pinggiran kota. Setelah menunggu Reni berdandan sebentar, ia harus meminta izin kepada kedua orang tua Reni untuk mengajak putrinya keluar. Tadi sebelum mereka berangkat, Reni meminta agar Arjuna berhenti sebentar di supermarket. Reni membeli seplastik besar cemilan. Katanya untuk jaga-jaga agar tidak kelaparan. Dan ketika tiba di tempat, mereka malah seperti piknik. Arjuna mengeluarkan kain yang digunakan sebagai alas, sementara Reni menata cemilan mereka. Kini mereka berada di dataran tinggi pinggir kota. Terlihat banyak sekali lampu-lampu di bawah sana. Di hadapan mereka sepertinya adalah perkampungan yang padat. "Sejuk banget di sini!" seru Reni seraya menatap ke langit. Malam ini, langit sedang cerah. Tidak ada satupun awan mendung yang menutupinya. Bulan sabit sedang bersinar terang di atas sana dengan sedikit bintang. "Iya dong. Nggak terlalu ramai juga. M
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce