Setelah magang hari ini selesai, Reni dipanggil masuk ke ruangan Aldo. Sepertinya pemilik galeri itu ingin menemui anak emasnya setelah sekian lama tidak bertemu. "Halo, Reni!" sapa Aldo ramah ketika Reni mebuka pintu ruang kerjanya. "Halo, Kak Aldo! Sibuk banget nih sampe baru sempet ke galeri sekarang?" Reni membalas tak kalah ramah. Aldo tergelak. Akhir-akhir ini ia memang disibukkan dengan berbagai event pameran bahkan sampai ke luar kota. Selain itu, beberapa waktu lalu ada kunjungan dari maestro seni pahat dunia ke Jakarta. Jadilah Aldo super sibuk dan belum bisa menengok galeri seninya yang satu ini. Padahal di sini, ada Reni. Anak emasnya di bidang fotografi yang sudah berguru padanya sejak masih SMA. Ketika sudah kuliah, Aldo selalu mengikutsertakan Reni dalam perlombaan fotografi tingkat manapun. Tak heran bila Reni sering memboyong piala kemenangan dalam berbagai perlombaan fotografi tersebut. "Iya. Banyak banget projek di luar. Untungnya pas kamu ma
Sesampainya di rumah, Arjuna segera memasukkan motornya ke dalam garasi kecil di samping rumah. Ia melepas kancing kemeja teratasnya ketika Sandra membuka kunci pintu rumah. Keduanya segera masuk. Sandra mengunci kembali pintunya. "Kenapa dikunci? Bukannya biasanya dibuka aja biar ada angin masuk? Gerah nih, San!" cecar Arjuna kemudian membuka kemejanya. Sandra juga ikut-ikutan membuka kancing kemejanya. "Eh, eh! Kamu kalau mau buka baju di kamar aja, jangan di sini!" Arjuna menahan jemar Sandra yang sudah hendak membuka satu kancing lagi yang akan membuat dada perempuan itu menyembul ke luar. "Aku juga gerah!" keluh Sandra. Tanpa sadar, tangan Arjuna menggosok dada Sandra yang membuat perempuan itu mendesah pelan. "Kamu ngapain sih?" tanya Arjuna bingung melihat sikap aneh Sandra. "Aku bentar lagi mau menstruasi." jawab Sandra. "Ya terus?" Arjuna mengerutkan kening. Sandra mendekat membuat Arjuna mundur perlahan. Ketika ia sudah menabrak te
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya menggoda putranya yang sudah menatapnya tajam.“Ya udah yuk, ke belakang aja. Aku udah siapin makanan di sana!” ajak Santi.Kedua pasangan orang tua itu p
Reni memarkir mobilnya di halaman luas indekos Rendi. Nampak ada beberapa motor yang terparkir di sana. Beberapa pintu kamar kos juga setengah terbuka menandakan bahwa pemiliknya ada di dalam. Sembari menenteng kantung kresek berukuran besar, Reni turun dari mobilnya. Ia celingukan, di kamar sebelah mana Rendi hidup selama ini? Melihat ada yang kebingungan, seorang bapak-bapak pun mendekat. "Nengnya teh cari siapa?" tanyanya seraya mendekat. Reni menoleh dan mengulas senyum. "Saya mau cari kosnya Rendi, Pak. Kebetulan saya baru pertama kali ke sini, Pak!" "Oh, cari Mas Rendi. Mangga, Neng. Saya antar!" Bapak yang diperkirakan Reni berusia sekitar 50 tahunan itu berjalan terlebih dahulu. "Nengnya ini pacarnya Mas Rendi, ya? Meni gelis pisan!" Reni tertawa. "Saya temannya Rendi, Pak. Hari ini saya ke sini karena katanya Rendi sedang sakit. Kasian, Pak. Biasanya anak kos kalau sakit kan makin malas keluar kamar meskipun cuma untuk beli makan." Bapak terseb
Setelah insiden tiba-tiba itu, keduanya duduk diam. Bahkan suara napas keduanya pun seperti hilang tidak terdengar. Hanya suara hewan mengerik di luar sana yang mengisi kesunyian di kamar kos kecil itu. "Ehm, aku minta maaf," Rendi membuka suara setelah hampir sepuluh menit ia memilih diam. "Maaf karena aku udah kurang ajar sama kamu." Reni menggeleng. "Enggak kok, Ren. Aku juga tadi yang salah. Kenapa bisa-bisanya tidur di sebelah kamu tanpa ijin. Coba aja kalau aku nggak sembrono, kamu nggak mungkin tiba-tiba aja begitu tadi." "Enggak, Ren. Kamu nggak salah–" "Kamu juga nggak salah, aku yang salah!" Sahut Reni tak mau kalah. "Kan aku yang mulai du–" satu kecupan singkat dibibir Rendi membuatnya tak jadi melanjutkan kata-katanya. Saking gemasnya, Reni menghentikan perdebatan keduanya dengan memberikan kecupan singkat itu. "Udah ya, jangan didebatin lagi!" ujar Reni lirih. Ia sendiri malu sebenarnya sudah main cium cium saja. Rendi mengangguk dan suasan
Arjuna terbangun ketika tenggorokannya terasa begitu kering. Dengan mata sedikit menyipit, Arjuna mendudukkan tubuhnya. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya. Setelah melakukan sedikit peregangan, ia segera mencari ponselnya. Matanya menyipit kala cahaya dari ponsel menyilaukan matanya. Sudah pukul dua pagi dan ada banyak sekali notifikasi. Cepat-cepat Arjuna membuka aplikasi WhatsApp dan benar saja. Notifikasi itu muncul dari Reni. "Mampus! Kenapa aku bisa ketiduran!" Arjuna menepuk keningnya. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Arjuna mencoba menghubungi Reni, sialnya nomor itu tidak aktif. "Apa Reni marah ya?" gumamnya mulai panik. Arjuna benar-benar melupakan janjinya untuk selalu memberikan kabar pada Reni. Gara-gara tadi terlalu menikmati adegan bersama Sandra, ia sampai melupakan tunangannya. Pikiran Arjuna mulai kacau. Ia benar-benar merasa bodoh kali ini karena membiarkan dirinya dikuasai nafsu dan bukannya mendahulukan logikanya. Arjuna bangk
Reni terdiam mendengar apa yang dikatakan Mamanya bahwa Arjuna semalaman mencoba menghubungi. Mamanya juga bilang bahwa Arjuna ketiduran setelah meninjau proyek seharian. "Kamu kenapa sampai matiin HP, Ren?" tanya Lesmana sembari menikmati sarapan paginya. Pagi ini, Santi memasak banyak sekali makanan lezat. Ia sudah berjanji akan mengirimi Rendi makanan agar anak baik itu segera sembuh dari sakitnya. "Kesel aja, Pa. Masak buat ngasih kabar aja susah? Emangnya di Semarang susah sinyal ya, Pa?" Lesmana meletakkan sendoknya. "Bukan masalah susah sinyal, Sayang. Mungkin setelah meninjau proyek, Arjuna langsung pulang. Ketika sudah di tempat kontrakannya, ia terlalu lelah dan akhirnya tertidur jadi belum sempat menghubungimu. Lagipula, jika dia memang tidak berniat menghubungimu, untuk apa dia susah payah menghubungi Mama?" Reni terdiam. Ia benar-benar sudah kesal pada Arjuna karena mulai sering mengabaikan dirinya. Padahal, Reni tidak menuntutnya harus menelepon a
Ponsel di genggaman tangan Arjuna menggantung. Arjuna melongo ketika teleponnya diputus begitu saja oleh Reni. Otaknya mendadak berhenti beroperasi untuk mencari cara agar bisa membuat Reni mau memaafkannya ketika panggilan itu berakhir sepihak. Ia merasakan rasa bersalah luar biasa karena sudah mengkhianati Reni dengan tidur bersama Sandra. Apalagi ia baru beberapa minggu di sini. Bagaimana jika berbulan-bulan ke depan, Arjuna semakin tidak bisa mengerem tindakannya? Lelaki berambut klimis itu terus merutuki kebodohannya. Padahal ia begitu ingat bagaimana tatapan tidak rela Reni ketika mengantar kepergiannya ke bandara. Bahkan, ada pesam yang terus terngiang di telinga Arjuna untuk tidak genit kepada perempuan lain. Tapi, ia bahkan melewati garis batas dari arti kata 'genit' itu sendiri. "Apa Reni mulai merasa kalau aku menyembunyikan sesuatu, ya?" Arjuna berpikir keras seraya mondar-mandir. Ia tidak bisa tenang sampai Reni memaafkannya nanti. "Pokoknya aku ha