Arjuna pulang seperti orang linglung. Ia benar-benar merasa bersalah pada semua orang, terutama pada Reni. Bagaimana jika Reni sampai tau kejadian tadi malam? "Enggak! Reni nggak boleh tau. Kalau sampai Reni tau, bukan hanya pertunangan ini saja yang putus. Bisa-bisa leherku juga putus digorok sama dia!" gumam Arjuna seraya bergidik ngeri. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan sesuatu yang buruk terjadi padanya ketika ia jujur pada Reni. "Aku harus baik-baikin Sandra. Agar, jangan sampe dia ngirim video itu ke Reni." gumam Arjuna lagi. Ia mengangguk pada dirinya sendiri untuk memastikan bahwa itu ide terbaik. Ia tidak menyangka, jika keinginannya untuk melepaskan beban pikiran sejenak dengan meminum alkohol. Malah berujung pada petaka selama ini. *** Reni tersenyum sepanjang hari ini. Semenjak berangkat tadi, ia sangat senang. Malam minggu kali ini galeri begitu ramai. Kedatangan banyak orang membuat energi Reni serasa terisi kembali. Pandangan Rendi tak p
Jam sudah bergerak menuju dini hari ketika Reni tiba di apartemennya. Kedua tangannya menenteng banyak sekali kantong kresek berisi makanan. Rendi mentraktirnya jajanan yang mereka temui di jalan. Semuanya dibeli, tanpa terkecuali. Tentu saja Reni senang bukan main. Setelah berhasil membuka pintu apartemennya dengan susah payah, Reni meletakkan semua jajanannya di meja. Meja itu jadi tak terlihat lagi bentuknya. "Ini kita bisa habisin nggak ya?" tanya Reni setelah melihat bahwa yang mereka beli terlalu banyak. "Ya dimakan aja dulu. Kalau emang nggak habis masih bisa dimakan besok pagi atau dibawa ke galeri. Pasti yang lainnya juga mau kok!" Saran Rendi sangat tepat. Akhirnya Reni duduk di bawah lesehan dan menikmati satu per satu makanannya. Untungnya tadi Rendi selalu memesan setengah porsi meskipun dimakan berdua. Kata Rendi, 'takut kalau tidak habis'. "Eh, ini crepesnya enak banget, Ren!" seru Reni kegirangan. Perempuan itu seperti baru pertama kali saja mem
Minggu pagi memang lebih nikmat jika digunakan untuk bersantai. Tak lain halnya dengan Arjuna. Lelaki itu sudah bangun sedari subuh. Sebenarnya ia hendak melanjutkan tidurnya, tetapi matanya sulit sekali terpejam. Akhirnya ia hanya merebahkan diri setelah selesai sarapan. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuat Arjuna meletakkan ponselnya. Ia segera bangkit dari tidurnya dan membuka pintu. "Ada apa, Ma?" tanyanya setelah pintu terbuka dan menampakkan Mamanya bersandar di daun pintu. "Kamu hari Minggu kok malah males-malesan sih, Jun!" Andini mengelus rambut Arjuna yang sudah semakin memanjang. Setelah membukakan pintu, Arjuna kembali merebahkan dirinya di kasur. "Ya nggak apa-apa, Ma. Mau ngerecharge energi soalnya akhir-akhir ini sering banget lembur! Jadinya capek banget!" Andini tersenyum. "Kamu tuh emang kebiasaan! Dibilangin jangan terlalu keras kalo kerja nggak pernah mau dengerin! Nanti kalau udah kecapekan baru tuh berhenti kerjanya!" Arjuna
Kali ini Reni dan Rendi tidak pulang dini hari. Tepat setelah selesai dari galeri, mereka mampir ke kedai yamin yang masih buka dan segera memesan makanan lalu makan. Mereka memilih segera pulang agar tidak terlalu malam karena besok, jam magang mereka dimulai pukul delapan. "Akhirnyaaaa!!" Rendi menghempaskan tubuhnya di sofa milik Reni. Hari ini ia benar-benar sibuk berkeliling galeri untuk menjadi guide berkali-kali. Sebenarnya ada teman yang lain yang bisa membantunya. Tetapi, para tamu malah memilih ditemani Rendi dengan alasan penampilan Rendi jauh lebih menjanjikan. "Mandi dulu gih!" seru Reni setelah ia menyalakan kran air panas di kamar mandi. "Langsung tidur aja, Ren!" tukas Rendi sembari memejamkan matanya. "Ih, jangan dibiasain nggak mandi deh! Kamu tuh seharian habis keliling galeri nggak berhenti-berhenti. Pasti keringetan! Belum lagi kena debu di jalan. Duh, udah deh buruan mandi. Tinggal mandi doang juga!" Rendi bangun dan langsung memeluk Reni.
Hari ini Reni libur magang. Semalam, ia sudah janjian dengan Arjuna akan bertemu. Reni akan menyusul Arjuna ke kantornya sembari menunggu lelaki itu menyelesaikan pekerjaannya. "Kamu nggak mau bawain Arjuna makanan, Ren?" tanya Mamanya saat mereka sarapan bersama. Reni meneguk air putihnya sampai tandas. "Kita rencananya pengen lunch di luar, Ma. Makanya aku nggak bawain Arjuna makan siang. Kan nanti jadinya malah piknik, bukan lunch di luar!" Lesmana tertawa mendengar penuturan putrinya tersebut. "Ya udah. Pokoknya kamu jangan pulang malem-malem. Meskipun besok magang siang, kamu harus banyak istirahat. Oke, sayang?" "Siap, Pak Bos!" Reni melakukan sikap hormat membuat Lesmana mengacak rambutnya. "Yah, Papa! Reni udah susah-susah ngaturnya malah diacak-acak!" gerutunya sebelum akhirnya ia menyudahi sarapan dan segera berangkat. *** Arjuna bersiul-siul sejak memasuki kantornya sampai selesai meeting intern dengan seluruh karyawannya. Hal ini tentu saja
Setelah membereskan beberapa pekerjaannya, akhirnya Arjuna mengajak Reni dari areal perkantorannya. Ketika baru keluar dari ruangan, sebisa mungkin Reni menahan tawa agar ia tak menyinggung perasaan Fina. "Saya mau keluar dulu ya, Fin! Nanti kalau ada yang cari suruh tunggu atau balik ke sini hari Senin." pesan Arjuna sembari merapikan jasnya. Fina mengangguk. "Baik, Pak!" tak lama kemudian ia menunduk, tak mau berkontak mata dengan Reni atau dia akan malu. Rinda yang melihat adegan saling berusaha menghindari kontak mata itu hanya mampu menahan bibirnya agar tidak kelepasan tertawa. Ia melihat bagaimana Reni membuang muka untuk menyembunyikan tawanya. Sementara Fina menunduk agar tidak merasa malu pada Reni. Baru setelah Arjuna dan Reni menghilang dari balik pintu lift, tawa Rinda pecah menggelegar. Bahkan membuat rekan-rekan kerjanya yang lain sampai melemparinya sampah kertas. "Puas banget lo kayaknya ngetawain gue!" desis Fina sembari melempar penghapus cuk
Hari ini, Reni sangat-sangat bahagia. Ia bisa menikmati waktu liburnya bersama dengan Arjuna, tunangannya. Meskipun kadang ia tak percaya bahwa ia sudah berstatus sebagai tunangan orang, tetapi ia tidak punya pilihan untuk mundur. Tinggal menjalani semuanya menurut garis takdir semesta. "Oh iya, proyek kamu yang di Semarang itu jadi dimulai kapan?" tanya Reni sembari memakan basrengnya yang mereka beli di street food tadi. Arjuna berjalan di depan Reni. Malam ini ia menuruti keinginan Reni untuk datang ke pasar malam yang kata Reni adalah night street food. Entahlah apa itu sebutannya, yang Arjuna lihat memang semua pedagangnya menjajakan makanan. "Ini kemarin aku baru aja meeting dan ternyata udah dapet kontraktor besar. Sepertinya dua atau tiga minggu lagi." Arjuna berhenti di ujung jalan. "Dan proyek ini aku sendiri yang menangani, kamu nggak lupa itu kan?" Dengan bibir monyong-monyong karena kepedesan, Reni mengangguk. "Kamu pasti lama di sana, kan?" "T
Rendi sedang merebahkan diri di dalam kamarnya, ketika Andre, teman satu kosnya tiba-tiba saja masuk. "Weeiits! Ada jomblo layu niih!" pekiknya kemudian menghempaskan diri di sebelah Rendi. "Apaan sih lo? Dateng-dateng bukannya bawain makanan malah berisik!" ujar Rendi kesal. Ia sedang asyik bermain game online. Andre terkikik. "Sesama anak kos mana mungkin saling ngasih makanan? Yang ada ya dimakan sendiri-sendiri lah!" Rendi terbangun dari rebahannya saat game yang ia mainkan usai dan memberikan hasil kemenangan bagi timnya. "Ngapain lu? Tumben masih sore udah cari temen ghibah. Biasanya jam segini masih berduaan sampe kuping gue panas denger desahan kalian!" Andre sontak tertawa terpingkal-pingkal. "Jadi kedengeran sampe sini?" "Ya iya lah, beegooo!" Rendi menoyor kepala Andre yang semakin keras suara tawanya. "Ayang lagi datang bulan, jadinya nggak dikasih jatah deh!" "Ceilaah, kasian merana nggak dikasih jatah!" Rendi menatap Andre penuh ib
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce