Home / Horor / Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 4. Jangan Suka Penasaran!

Share

4. Jangan Suka Penasaran!

Author: Hayisa Aaroon
last update Last Updated: 2023-07-30 20:19:19

Langkah kaki Tumini yang hampir melewati kamar mandi sontak terhenti mendengar nada suara Tini yang menuntut jawaban.

Rasanya perempuan paruh baya itu ingin berlalu begitu saja, namun hati kecilnya tak bisa mengabaikan Tini yang merupakan keponakannya. 

Lalu dengan mengusap ke belakang anak-anak rambut di dahinya yang bandel mencuat, Tumini kembali mendekat. 

"Sudah to Nduk ...! Jangan banyak tanya. Apa yang jadi tugas kamu di sini kerjakan. Di luar itu, sudah jangan penasaran. Mbok De tuh paling anti bawa orang kerja yang masih muda. Kayak Jumiati gitu. Kebanyakan tanya. Kalau bukan karena keluarga, Mbok De nggak akan mau bawa kamu. Di rumah ini memang sesekali kelihatan ular, tapi udah biarin aja. Mereka nggak akan gigit. Kamu belum pernah denger to ada orang kerja di sini mati digigit ular? Di sini kan jauh dari pemukiman, masih deket hutan, jadi wajar ada ular sesekali nyasar ke sini."

Mendengar itu, Tini pun semakin mengerutkan dahi. "Tapi kan bahaya, Mbok De. Memangnya Nyonya Arini nggak nyuruh orang buat nangkepin ular-ular itu? Saya tuh paling takut ular, Mbok De."

Tumini yang berharap keponakannya akan berhenti penasaran justru mendapat pertanyaan baru lagi, membuatnya menghela napas panjang. 

"Gini lho. Nduk. Kata orang tua jaman dulu nggak baik bunuh ular apalagi yang punya rumah lagi hamil. Jadi Nyonya nggak berani bunuh ular-ular itu. Tapi jarang banget kok. Orang Mbok De aja malah belum pernah lihat. Dulu si Jumiati yang sering lihat. Kalau pembantu lain pernah lihat sesekali pas lagi bersihin taman. Tapi ularnya diem aja. Setelah ini kamu jaga sikap, jaga omongan yo, Nduk. Pokoknya, kalau kamu jadi pembantu yang nggak kebanyakan tingkah, pasti Nyonya sayang, nanti kamu makmur kerja di sini. Lihat nih gimana Mbok De."

Tumini pun menggerak-gerakkan tangannya dan 7 gelang emas putih tipis bergemincing. Masih ditambah lagi beberapa cincin yang berkilau diterpa cahaya.

"Lihat! Kamu saja yang belum kerja sama sekali udah dapat enak begini. Nyonya Rini perlakuin kamu baik, supaya kamu juga sepenuh hati nanti urus bayinya. Udah jangan pikir yang macem-macem. Satu lagi, apa yang kamu lihat sama denger di sini jangan dicerita-ceritain di luar sana kayak Jumiati. Itu orang kurang ajar, nggak tahu terima kasih. Cerita yang aneh-aneh tentang Nyonya Arini di luar sana. Udah cepetan mandinya, Nyonya Arini nggak suka sama orang bau."

Kalimat itu kemudian diakhiri dengan senyuman ceria dan Tini hanya bisa mengangguk pelan menanggapi nasihat bibinya itu. 

Entah mengapa ia merasa semua orang di rumah majikannya itu terasa aneh, tak terkecuali bibinya sendiri yang keluar dari kamar mandi dengan terus mengembangkan senyum, seakan-akan ia baru saja mendapatkan kesenangan luar biasa. 

Tini pun menggeser lagi slot kayu pada pintu kamar mandi. Hening yang menyelimuti rumah itu membuat suara gesekan kayu terdengar begitu nyaring. 

Hujan di luar sana pun telah reda, namun apapun yang dikatakan oleh Bibinya tak cukup meredakan was-was di hatinya. 

Perempuan itu masih ngeri memandang ke sekeliling, berharap ular itu tak muncul lagi. Lalu tatapannya yang sekilas melihat ke arah tempayan tanah liat mendapati kelopak-kelopak bunga merah di permukaannya bergerak-gerak seperti permukaan air mendidih.

Tini yang penasaran mendekat dan disibaknya permukaan air penuh bunga menggunakan gayung batok kelapa. Setelah bunga-bunga itu dikumpulkannya dalam gayung, ia tak mendapati apapun di sana. Airnya begitu jernih disorot lampu minyak. 

Namun samar-samar dilihatnya pantulan bayangan dirinya tak sendiri. Tini pun semakin memusatkan perhatiannya pada permukaan air yang masih bersisa beberapa kelopak bunga.

Kini dilihatnya wajah Tuan Ario tersenyum tepat di belakangnya. Tini sontak menoleh ke belakang, tapi tak ada siapapun.

Lalu dengan cepat pandangannya berganti ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin jika majikan laki-lakinya sedang menggoda karena mata kepalanya menyaksikan bagaimana pria itu lumpuh di kursi dan tidak ada pintu lain di kamar mandi itu.

Tini yang mulai dirasuki lagi hawa mencekam kemudian cepat-cepat mengguyur air ke kepalanya sembari menggosok setiap jengkal kulitnya yang licin karena lulur. 

Namun di antara bunyi deburan air yang menghantam lantai, ia seperti bisa mendengar suara pria tertawa, tapi Tini tak mempedulikannya. 

"Duhh ... ini rumah angker atau gimana to?" gumam Tini yang bergegas menyudahi mandinya.

Perempuan itu lantas menyelimutkan kain jarik bersih ke tubuhnya dan  menggerak-gerakkan badan agar kain jarik basah yang menempel di badannya melorot. 

Lalu langkahnya tergesa keluar dari bilik kayu itu sembari memeras kain basahan dan menghampiri lemari kayu di mana pakaian telah disediakan di antara guci-guci kecil berisi bahan-bahan rempah yang digunakan untuk wewangian mandi. 

Tini kemudian menyelimutkan kain jarik ke bahunya dan membawa satu setel kebaya beserta pernak-perniknya menuju dapur. 

"Mbok De Tumini ...!" seru Tini pada tiga perempuan yang sedang mengupas bawang di lantai tegel dapur.

Perempuan-perempuan yang hampir seumuran itu menoleh serentak dan bisik-bisik mereka sontak mereda. 

"Ono opo, Tin?" tanya Tumini bergegas bangkit dari duduknya di lantai. 

"Mbok De, tolong bantu saya pakai kebaya biar rapi. Nanti kalau nggak rapi Nyonya marah."

"Ya udah sini, ayo!" Tumini pun memimpin jalan, perempuan itu menuju kamar di mana Tini sempat diperiksa tubuhnya oleh sang majikan. 

"Kalau kerja di sini memangnya harus pakai kebaya bagus ya, Mbok De? Kita kan cuma babu Mbok De. Kok pakai kebaya bagus begini?" tanya Tini seraya mengelus kebaya hitam cantik di tangannya.

"Iya, Nyonya Arini itu orangnya baik sama pembantu. Beliau juga masih pegang tradisi kuno. Jadi nanti kamu jangan kaget atau penasaran kalau Nyonya taruh sesaji di tempat-tempat tertentu. Kamu juga jangan dekatin sesaji-sesaji itu kecuali Nyonya yang nyuruh kamu beresin atau ganti yang baru," balas Tumini sembari melilitkan kain jarik ke pinggang keponakannya. 

"Sesaji itu buat apa sih, Mbok De?" tanya Tini sembari membetulkan kutang yang kebesaran.

"Mbok De nggak tahu. Mbok De juga takut tanya-tanya. Lagian itu bukan urusan Mbok De. Tahu atau enggak, nggak ada untungnya buat Mbok De. Kamu tuh orangnya gampang penasaran. Itu bisa bikin kamu celaka karena selalu ingin tahu urusan orang lain. Terkadang, apa yang seharusnya nggak perlu tahu memang sebaiknya nggak usah tahu. Ingat itu Tini."

"Tapi namanya kerja di tempat baru pasti banyak pertanyaan, Mbok De. Kalau kita lebih kenal dan paham lingkungan kerja, kita bisa lebih bawa diri. Kalau di tempat Pak Haji dulu malah Tini dikasih tahu ini itu, biar nggak salah. Omong-omong, Tuan Ario itu ... sakit atau gimana, Mbok De? Kok makan disuapin?"

"Iya, sakit. Jatuh dari kuda. Jadi nggak bisa jalan lagi. Badannya ke atas nggak lumpuh tapi kadang lemah gerakannya."

"Ohh ... kasihan. Apa Tuan Ario punya kembaran, Mbok De?"

Sontak Tumini yang sedang melilitkan stagen ke perut Tini terhenti tangannya. Perempuan itu menegakkan punggung dengan wajah serius. 

Related chapters

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   5. Weton Kamu Apa?

    "Kenapa kamu tanya begitu?" Nada suara Tumini yang terdengar ceria sedari tadi tiba-tiba menjadi serius, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran. "Ahh ... enggak, Mbok De. Cuma saya kayak pernah lihat di mana gitu." Tini tak menuturkan apa yang dilihatnya, ia sendiri tak terlalu yakin dengan itu. "Yo cuma mirip aja mungkin." Suara Tumini kini kembali menjadi ceria. "Tuan Ario nggak punya kembaran. Orang beliau aja anak tunggal." Tumini pun kembali sibuk memasangkan stagen, sementara Tini mengamati bagaimana Bibinya itu memasang jarik dengan sangat rapi, hingga kain bercorak motif sawat itu membalut indah tubuhnya. "Ini semua baru ya, Mbok De?" tanya Tini dengan memperhatikan motif dua sayap yang terlihat baru tenunannya. "Iya. Nyonya Rini tuh baik banget orangnya. Makanya kamu jangan bikin Nyonya jengkel. Nyonya kan lagi hamil, jadi gampang marah." Perempuan itu kemudian merapikan kebaya brokat hitam yang semakin mempercantik tampilan sederhana namun anggun itu. "Ja

    Last Updated : 2023-07-30
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   6. Suami Istri yang Berkelahi

    Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala. "E-enam bulan, Nyonya." Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang. Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar. Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!" Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar. Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya. Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi. "Meskipun bodo tapi kamu cantik.

    Last Updated : 2023-08-03
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   7. Kamu Kebanyakan Tanya

    Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya. "Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!" Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai. Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya. "Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?" Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya. Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu. "Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain bu

    Last Updated : 2023-08-03
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   8. Lebih Baik Kamu Jangan Balik Lagi Besok!

    Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. "Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem." Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang. Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya. Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya. Hingga sang majikan kin

    Last Updated : 2023-08-03
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   9. Sedikit Gila

    Tini pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata aneh majikannya itu. Lantas ia terngiang pesan Nyonya Arini tentang suaminya yang mungkin akan menyampaikan hal buruk tentang perempuan itu, membuatnya semakin yakin bahwa Tuan Ario sedikit gila. Tini kemudian mengabaikan ucapan Tuan Ario dan kembali meraih mangkuk di atas nakas saat pria itu berucap lagi, “Kamu bisa mati kalau kerja di sini. Cepat pergi!” Kali ini nada suara Tuan Ario meninggi, membuat Tini terhenyak. “Maaf, kalau saya pulang dan berhenti bekerja, yang mati mungkin bukan hanya saya, Tuan. Tapi ibu saya yang sedang sakit, juga bayi saya. Maaf, apa maksud Tuan berkata seperti itu? Tolong Tuan jangan apa-apakan saya, ya. Saya di sini cuma mau kerja.” Kewaspadaan Tini sontak meningkat, takut, mungkin saja pria itu akan melukainya, namun mengingat Tuan Ario lumpuh, perempuan itu pun agak tenang. “Bukan saya yang akan mencelakakan kamu, tapi Arini,” bisik Tuan Ario sembari melirik ke arah pintu yang masih tertutup. “Cepat

    Last Updated : 2023-09-07
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   10. Bertambah Gila

    Tuan Ario pun terhenyak mendengar pertanyaan Tini. Pembantu yang semula sopan kepadanya, kini nada suaranya mulai terdengar menyebalkan seperti Tumini. "Saya menyuruh Jumiati membeberkan ritual sesat yang dilakukan istri saya, agar istri saya mau berhenti. Karena saya sudah berulang kali memperingatkan istri saya, tapi dia tidak mau mendengar. Saya hanya ingin istri saya sadar, kalau apa yang dia lakukan tidak benar." Pria itu lantas menjeda kata-katanya sejenak, memperhatikan ekspresi Tini yang masih tampak tak percaya pada ucapannya. Lalu dengan menghela napas, pria itu menambahkan, "Semenjak saya kecelakaan, saya tidak pernah menyentuh istri saya, Tini. Tetapi beberapa bulan setelah itu, justru istri saya hamil. Sebelumnya istri saya tidak pernah melakukan ritual-ritual dan membuat sesaji. Jadi antara kehamilan istri saya dan kelakuannya yang mulai aneh-aneh hampir berbarengan. Awalnya saya curiga dia selingkuh. Tapi dia tidak pernah terlihat dengan laki-laki lain. Bahkan di ruma

    Last Updated : 2023-09-29
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   11. Bayi Tini

    Mendengar penuturan panjang nyonya Arini, Tini perlahan dirayapi ketakutan. Bayangan wajah Tuan Ario yang muncul saat ia mandi dan membuka pakaian seketika berkelebat, perempuan itu pun susah payah menelan ludah. Tini yang semula menganggap itu hanya khayalannya saja kini mulai beranggapan bahwa itu adalah Tuan Ario, membuat perempuan itu semakin was-was. “Jadi Tini …,” suara Nyonya Arini seketika menyita perhatian Tini, “nanti kalau mulai maghrib, kamu jangan keluar kamar, ya?! Kamar yang akan kamu tempati nanti sudah disediakan kamar mandi langsung di dalamnya. Jadi kalau belum pagi jangan keluar, kunci pintu. Kamu yang lebih muda dari dua ibu susu yang lain, paling cantik juga, jadi … jangan sekali-kali buka pintu sebelum pagi. Apapun yang kamu dengar di luar pintu, jangan pernah keluar. Dua pembantu lain yang jadi ibu susu anak-anak saya begitu setiap hari, biar tidak diganggu Mas Ario. Tapi kamu jangan takut, yang penting kamu dengar kata-kata saya, kamu nggak akan kenapa-napa.

    Last Updated : 2023-09-30
  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   12. Keluarga Tini

    “Iya, kalau sesajen memang ada banyak. Tapi itu cuma kebiasaan lama keluarga Nyonya Arini. Kayak mbah-mbah jaman dulu gitu lho, Mbok …! Keluarga Nyonya Arini itu masih kayak orang-orang kuno. Nyonya Arini juga orangnya bersih banget, sukanya yang wangi, cantik, rapi. Jadi tadi Tini juga disuruh mandi, luluran, terus ganti pakaian yang bagus. Nyonya Arini nggak suka bau asem. Badan Tini juga diasepin pakai dupa, biar wangi.” “Ohh … gitu.” Ibu Tini pun mengangguk-anggukkan kepala. “Mudah-mudahan itu cuma tradisi keluarga, nggak ada sangkut pautnya sama barang sesat. Coba kamu wudhu lagi di belakang, Tin. Dada kamu juga diusap pakai air wudhu. Ganti dulu pakaian kamu, pakai baju kamu yang biasa.” “Iya, Mbok …!” Tini pun bergegas menuju bagian belakang rumah berlantai tanah yang dipadatkan itu untuk mengerjakan apa yang disarankan oleh ibunya. Tak lama, putri cantik Tini mau disusukan. Tini pun lega dibuatnya. Dengan agak mengantuk, perempuan itu duduk bersandarkan tiang rumah, memper

    Last Updated : 2023-10-05

Latest chapter

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   24. Hubungan Ibu Tuan Ario dan Lurah Sukardi

    Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   23. Tangisan Bayi

    Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   22. Mendhem Ari-ari

    Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   21. Asal Usul Tini

    Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   20. Tulang Wangi

    “Saya anaknya Tumirah, Nyonya. Ibu saya adik perempuannya Mbok De Tumini.”“Jadi kamu keponakannya Tumini. Terus … bapak kamu siapa?“ tanya Ibu Tuan Ario dengan nada lebih serius.Kali ini Tini agak malu mengungkapkan siapa ayahnya. Lalu dengan menunduk semakin dalam ia menjawab, “Ibu saya istri mudanya mantan lurah Sukardi.”“Ohhh … Almarhum Sukardi? Pantas saja. Rasanya kamu berbeda, tidak seperti pembantu lain. Dulu sekali bapak kamu pernah menjadi orang yang berjaya dan ditakuti banyak orang. Sampai di akhir masa tuanya Lurah Sukardi masih terus menjadi lurah, tidak ada yang berani menjadi pesaingnya, dan ibumu dulu pernah membuat geger karena hamil dengan Lurah Sukardi yang dulu adalah majikannya, lalu bersedia menjadi istri muda Lurah Sukardi yang sudah memasuki umur tujuh puluh tahun.”Lantas dengan menoleh ke arah Tumini yang masih duduk bersimpuh di lantai ia mengimbuhkan, “Saya tidak tahu kalau Tumini adalah saudara istri muda Almarhum Sukardi. Dulu yang lebih membuat geger

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   19. Ibu Tuan Ario

    Tini pun duduk bersimpuh di lantai mengikuti dua pengasuh bayi lain, tepat di dekat pintu masuk. Sedang ruang tamu luas itu masih didominasi suara perempuan paruh baya yang sedang mengomentari cucu kedua yang menurutnya terlihat agak kurus. “Kamu ini bagaimana Arini …! Anak-anak harus naik berat badannya, bukan malah turun …! Kamu mengurus dua anak saja tidak becus …!” Mata Tini melebar mendengar itu, lalu mengangkat wajah, memperhatikan ibu susu lain yang duduk bersimpuh di hadapannya dalam balutan kebaya putih dan kain jarik corak hitam dan putih. Kepala dua perempuan di hadapannya tertunduk dalam. Mereka sedikit lebih gemuk daripada Tini. Kemudian didorong rasa penasaran, pandangan Tini semakin terangkat, memperhatikan Tumini yang berdiri dengan menunduk di ambang pintu, masih dengan menggendong bayi. “Mana ini ibu susunya, suruh ke sini …!” Suara ibu Tuan Ario kembali terdengar, diikuti rengekan anak kedua Nyonya Arini yang mulai menangis. Perempuan di hadapan Tini sont

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   18. Bayi Yang Disembunyikan

    “Kok kamu tanya gitu terus to Tin?” Tumini bertanya balik, mulai tak senang keponakannya itu kembali bertanya. “Ibu susu yang lain hlo nggak ada yang secerewet kamu tanya-tanya terus. Lama-lama heran. Memangnya kamu lihat bayinya ada dua?” “Iya, Mbok De,” jawab Tini pelan dengan menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. “Saya nggak sengaja lihat Nyonya Arini lahiran di kamar, ada dua bayi.” Tumini pun berdecak lidah mendengar itu. “Pasti kamu mimpi, Tin.” “Enggak, Mbok De. Beneran ini nggak mimpi. Saya nggak sengaja lewat, pintu kamarnya Nyonya Arini kebuka sedikit, kayaknya pas itu Mbok De mau angkat air anget, jadi dibiarin kebuka. Apa yang satu cacat, Mbok De? Kok disembunyiin. Kemarin saya kurang jelas lihat gimana rupa bayinya.” Tini pun lanjut mengunyah makanan yang membuat pipinya menggembung, setelah makan hampir setengah nasi di piring enamel berhias bunga merah itu, tetap saja tangannya masih gemetaran saking laparnya. Perempuan itu mengamati wajah Tumini yang berker

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   17. Kemana Bayi yang Lain?

    Tak ada yang bisa Tini lakukan selain menahan pedih yang seakan terus merambat sampai ke puncak kepala. Namun untungnya, sang bayi akhirnya mulai lemah hisapannya matanya yang indah telah terkatup, terbuai dalam tidur. Dengan sangat hati-hati kemudian Tini meletakkan sang bayi di tengah tempat tidur dan membingkainya dengan dua bantal di sisi kanan dan kiri, lalu memandangi puncak dadanya yang didera nyeri, tampak kemerahan.“Masak baru lahir minumnya udah kayak bayi berapa bulan, nanti kalau udah berapa bulan kayak apa? Duhh …!”Tini pun meniup-niup dadanya dan perlahan mulai mereda denyut nyerinya. Kemudian perut perempuan itu tiba-tiba berbunyi keroncongan, membuat Tini melirik meja dipenuhi makanan, rasanya agak canggung makan lagi setelah seharian ia makan banyak.Namun berlalunya detik semakin rasa laparnya menjadi, Tini pun menoleh ke arah bayi yang tertidur lelap. Lalu dengan sangat hati-hati menuruni tempat tidur dan melangkah ke meja, duduk di kursi yang sandaran dan duduka

  • Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib   16. Dua Bayi

    “Eng-enggak apa-apa, Mbok De …! Ini loh … saya kaget kok bayinya kayak udah bisa ngelihat ya? Padahal kata orang-orang tua, biasanya bayi kalau baru lahir kan matanya belum jelas.” “Ya itu karena dia pas melek ke arah atas aja, jadi kayak ngeliatin kamu,” balas Tumini dengan memperhatikan bayi yang sedang memandangi wajah Tini dengan sorot aneh. “Tapi setiap bayi ya beda-beda Tin … jangan kamu samain anaknya Nyonya Arini sama bayi-bayi lain di kampung. Anak-anaknya nyonya Arini udah mateng di perut, mungkin karena ibunya makannya cukup. Nggak kayak orang kampung yang cuma makan singkong.” “Ohhh … gitu ya, Mbok De. Ini badannya juga udah mantep, ya? Udah kayak bayi sebulan. Kalau si Genduk dulu waktu lahir kecil. Kurus, kayak anak kucing. Omong-omong, ibu susu yang lain kok tadi seharian nggak pernah kelihatan ya, Mbok De?” “Ya ada lah … di kamarnya. Anaknya Nyonya Arini yang pertama itu kan udah disapih, udah dua tahunan umurnya, jadi udah nggak punya ibu susu. Yang masih nyusu it

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status