Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya.
"Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!"
Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai.
Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya.
"Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?"
Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya.
Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu.
"Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain buat angkat Tuan."
Lantas Tini bergegas keluar kamar. Sejak ia datang, perempuan itu tak mendapati satu pun pekerja laki-laki.
"Mbok De ...!" Tini menghampiri Bibinya yang kini sibuk menyiangi sayuran.
"Ada apa lagi?" jawab perempuan itu sembari menoleh ke arah jam dinding di dapur luas itu.
"Saya nggak kuat ngangkat Tuan Ario ke atas."
"Loh ...!" Sontak kepala Tumini menoleh ke arah keponakannya. "Tadi Mbok De tinggal, Tuan masih di kursi."
"Iya." Suara Tini membisik. "Itu tadi Nyonya yang bikin jatuh Tuan."
"Ohh ...!"
Tumini mengangguk, tak terkejut dengan informasi itu. Lantas ditinggalnya sebakul kacang panjang dan bergegas menuju kamar Tuan Ario.
"Mbok De, kenapa nggak panggil tukang kebun aja biar dibantuin ngangkat?"
"Di sini nggak ada babu laki-laki. Semua perempuan."
Jawaban itu membuat Tini semakin penasaran. "Loh ... kenapa?"
"Ya mungkin Nyonya nggak nyaman kalau ada laki-laki lain. Kalau perempuan semua kan enak, bebas."
"Oh gitu. Eh ... Mbok De, kata Nyonya Arini, tadi Mbok De digigit Tuan? Mana? Berdarah nggak?" tanya Tini sembari memperhatikan tangan bibinya yang berayun.
"Itu sih biasa. Jangan takut. Tadi Mbok De agak gereget aja makanannya disemburin terus. Bahkan kena muka Mbok De juga. Jadi Mbok De jejelin satu sendok penuh. Terus tangan Mbok De digigit."
Tini tercengang mendengar itu. Sikap Bibinya itu sangat kurang ajar. "Tuan Ario kan majikan kita, Mbok De. Kok Mbok De, gitu?"
Tini kemudian memperhatikan bekas gigitan membiru di bawah ibu jari tangan kanan Bibinya.
"Lah, orang Nyonya Arini yang nyuruh. Lagian Tuan Ario itu keterlaluan. Udah lumpuh, diurus baik-baik, kok malah nggak bersyukur, sering bikin Nyonya kesel. Pasti tadi Tuan Ario kurang ajar sampai Nyonya Arini bikin dia jatuh dari kursi. Kamu lihat sendiri. Laki-laki kayak gitu, siapa yang nggak jengkel. Kalau Mbok De, udah tak tinggal laki-laki nggak tahu diri begitu."
"Iya, sih. Kasihan tadi lihat Nyonya. Sampai nangis. Itu Tuan Ario gimana bisa kecelakaan, Mbok De?"
Suara Tini semakin rendah, mencoba mengimbangi jalan Bibinya yang lambat.
"Ceritanya panjang," balas Tumini dengan suara tak kalah pelan. "Jadi, dulu Nyonya Arini tuh lama nggak punya anak. Ada mungkin lima belas tahun. Itu Tuan Ario kan tiga puluh limaan. Nyonya Arini tiga puluh dua. Udah diperiksa ke dokter mana-mana. Dari dokter darah Belanda sampai dokter Jawa, tabib China, katanya Nyonya Rini nggak subur. Berobat dari yang modern sampai alternatif udah semua tapi nggak ada hasil. Jadi mertuanya jodohin Tuan Ario sama perempuan lain. Nyonya Arini ya nerima, mau dimadu. Eh dilalahnya satu hari sebelum ijab kabul, Tuan Ario jatuh dari kuda."
"Kalau lumpuh kok itu Nyonya Arini bisa hamil? Apa Nyonya selingkuh?"
Pertanyaan Tini sontak membuat langkah Tumini terhenti. Dengan gemas perempuan itu mengetuk dahi Tini.
"Kamu itu pikirannya ya ...! Pembantu laki-laki di rumah ini aja nggak ada. Nyonya Arini juga nggak pernah deket-deket sama laki-laki lain. Kan cuma kakinya aja itu yang lumpuh. Jadi masih bisa buat anak. Kamu itu nggak punya suami, makanya nggak tahu. Makanya sana cari suami, nanti kamu tahu."
Tini yang tidak mengerti apa yang dimaksud bibinya justru semakin dilanda penasaran. Namun langkah mereka yang tiba di kamar Tuan Ario mencegahnya bertanya lebih.
"Kamu angkat badannya, Tin. Biar Mbok De angkat kakinya."
Tini kemudian bergegas menyelipkan lengannya di ketiak Tuan Ario, sementara Tumini mengangkat lutut.
"Wes, siap? Mbok De kasih aba-aba, hitungan ketiga langsung naik yo."
Tini yang telah siap mengangguk.
"Siji, loro, telu ...!"
Meski telah dibantu Bibinya, Tini masih kesulitan mengangkat badan Tuan Ario, hingga punggung pria itu membentur tepian ranjang.
"Piye to, Tin ...?!"
Tumini bergegas melepas pegangannya pada kaki Tuan Ario yang telah naik di atas tempat tidur, sementara badan Tuan Ario hampir terjatuh bersama Tini yang oleng.
Tumini pun menahan tubuh Tuan Ario tepat waktu dan menaikkannya ke ranjang.
"Tini, Tini. Masih muda kok nggak ada tenaganya," gerutu Tumini sembari membetulkan bantal di kepala Tuan Ario yang memandangnya penuh kebencian.
Tini yang jatuh berlutut di sisi tempat tidur kemudian mencoba bangkit, ia belum terbiasa dengan bobot berat majikannya.
"Sudah, apalagi?" tanya Tumini dengan napas berat. "Kamu tahu cara pakai kursi roda kan, Tin? Kamu dulu kan pernah kerja ngurus jompo."
Perempuan itu kemudian menuju sudut ruangan dan mendorong kursi roda ke sisi ranjang.
"Su-sudah Mbok De, matur nuwun ...!" balas Tini dengan memijit lututnya yang menghantam lantai.
"Ya, sudah Mbok De mau ke dapur lagi. Besok mau ada tamu, jadi ini repot bikin makanan banyak."
"Eh ... Mbok De ...!" Tini cepat-cepat menyusul Bibinya yang berjalan menuju pintu, lalu memelankan suaranya. "Itu Tuan kalau mau buang air gimana?"
Lalu Tumini menghela napas sembari menoleh ke arah Tuan Ario yang terbaring.
"Sebenernya, Tuan Ario itu cuma lumpuh kaki dari ujung jari sampai ke lututnya sama nggak bisa ngomong. Baru tadi pagi dia nggak bisa gerakin badan atasnya. Kemarin-kemarin malah bisa pindah sendiri ke kursi roda. Tangannya masih kuat ngapa-ngapain. Mau buang air juga bisa itu di toilet duduk."
"Ohhh ...!" Tini menggangguk-anggukkan kepalanya. "Kok nggak dibawa ke rumah sakit, Mbok De?"
"Hihhh ...! Kamu ini kebanyakan tanya dari tadi. Kenapa kamu jadi pembantu, harusnya kamu jadi wartawan sana! Kamu nggak papa tanya-tanya begini sama Mbok De, tapi selain sama Mbok De, jangan kebanyakan tanya. Bisa dipecat kamu. Udah nggak usah dipikirin itu buang airnya gimana, orang nggak mau makan minum ya paling nggak pengen buang air. Yang penting kamu bersihin dulu badannya! Cepetan! Ingat, nanti jam lima semua pembantu harus pulang. Pembantu yang boleh tidur di sini cuma yang ngurus bayi sama Mbok De. Kamu kan belum ngurus bayi, jadi kamu juga pulang."
"Loh ... kenapa, Mbok De?" tanya Tini dengan mata membulat.
"Duhh ... Duhhh ... Duhhh ... Tini ... Tini ...! Kebanyakan tanya! Nanti lagi ngomongnya!"
Tumini yang tak tahan dengan keponakannya yang suka bertanya itu kemudian cepat-cepat melenggang pergi. Sementara Tini berjalan tersandung-sandung menuju lemari pakaian.
Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. "Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem." Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang. Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya. Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya. Hingga sang majikan kin
Tini pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata aneh majikannya itu. Lantas ia terngiang pesan Nyonya Arini tentang suaminya yang mungkin akan menyampaikan hal buruk tentang perempuan itu, membuatnya semakin yakin bahwa Tuan Ario sedikit gila. Tini kemudian mengabaikan ucapan Tuan Ario dan kembali meraih mangkuk di atas nakas saat pria itu berucap lagi, “Kamu bisa mati kalau kerja di sini. Cepat pergi!” Kali ini nada suara Tuan Ario meninggi, membuat Tini terhenyak. “Maaf, kalau saya pulang dan berhenti bekerja, yang mati mungkin bukan hanya saya, Tuan. Tapi ibu saya yang sedang sakit, juga bayi saya. Maaf, apa maksud Tuan berkata seperti itu? Tolong Tuan jangan apa-apakan saya, ya. Saya di sini cuma mau kerja.” Kewaspadaan Tini sontak meningkat, takut, mungkin saja pria itu akan melukainya, namun mengingat Tuan Ario lumpuh, perempuan itu pun agak tenang. “Bukan saya yang akan mencelakakan kamu, tapi Arini,” bisik Tuan Ario sembari melirik ke arah pintu yang masih tertutup. “Cepat
Tuan Ario pun terhenyak mendengar pertanyaan Tini. Pembantu yang semula sopan kepadanya, kini nada suaranya mulai terdengar menyebalkan seperti Tumini. "Saya menyuruh Jumiati membeberkan ritual sesat yang dilakukan istri saya, agar istri saya mau berhenti. Karena saya sudah berulang kali memperingatkan istri saya, tapi dia tidak mau mendengar. Saya hanya ingin istri saya sadar, kalau apa yang dia lakukan tidak benar." Pria itu lantas menjeda kata-katanya sejenak, memperhatikan ekspresi Tini yang masih tampak tak percaya pada ucapannya. Lalu dengan menghela napas, pria itu menambahkan, "Semenjak saya kecelakaan, saya tidak pernah menyentuh istri saya, Tini. Tetapi beberapa bulan setelah itu, justru istri saya hamil. Sebelumnya istri saya tidak pernah melakukan ritual-ritual dan membuat sesaji. Jadi antara kehamilan istri saya dan kelakuannya yang mulai aneh-aneh hampir berbarengan. Awalnya saya curiga dia selingkuh. Tapi dia tidak pernah terlihat dengan laki-laki lain. Bahkan di ruma
Mendengar penuturan panjang nyonya Arini, Tini perlahan dirayapi ketakutan. Bayangan wajah Tuan Ario yang muncul saat ia mandi dan membuka pakaian seketika berkelebat, perempuan itu pun susah payah menelan ludah. Tini yang semula menganggap itu hanya khayalannya saja kini mulai beranggapan bahwa itu adalah Tuan Ario, membuat perempuan itu semakin was-was. “Jadi Tini …,” suara Nyonya Arini seketika menyita perhatian Tini, “nanti kalau mulai maghrib, kamu jangan keluar kamar, ya?! Kamar yang akan kamu tempati nanti sudah disediakan kamar mandi langsung di dalamnya. Jadi kalau belum pagi jangan keluar, kunci pintu. Kamu yang lebih muda dari dua ibu susu yang lain, paling cantik juga, jadi … jangan sekali-kali buka pintu sebelum pagi. Apapun yang kamu dengar di luar pintu, jangan pernah keluar. Dua pembantu lain yang jadi ibu susu anak-anak saya begitu setiap hari, biar tidak diganggu Mas Ario. Tapi kamu jangan takut, yang penting kamu dengar kata-kata saya, kamu nggak akan kenapa-napa.
“Iya, kalau sesajen memang ada banyak. Tapi itu cuma kebiasaan lama keluarga Nyonya Arini. Kayak mbah-mbah jaman dulu gitu lho, Mbok …! Keluarga Nyonya Arini itu masih kayak orang-orang kuno. Nyonya Arini juga orangnya bersih banget, sukanya yang wangi, cantik, rapi. Jadi tadi Tini juga disuruh mandi, luluran, terus ganti pakaian yang bagus. Nyonya Arini nggak suka bau asem. Badan Tini juga diasepin pakai dupa, biar wangi.” “Ohh … gitu.” Ibu Tini pun mengangguk-anggukkan kepala. “Mudah-mudahan itu cuma tradisi keluarga, nggak ada sangkut pautnya sama barang sesat. Coba kamu wudhu lagi di belakang, Tin. Dada kamu juga diusap pakai air wudhu. Ganti dulu pakaian kamu, pakai baju kamu yang biasa.” “Iya, Mbok …!” Tini pun bergegas menuju bagian belakang rumah berlantai tanah yang dipadatkan itu untuk mengerjakan apa yang disarankan oleh ibunya. Tak lama, putri cantik Tini mau disusukan. Tini pun lega dibuatnya. Dengan agak mengantuk, perempuan itu duduk bersandarkan tiang rumah, memper
Lalu pandangannya berganti pada Tumini. Perempuan itu dengan sangat hati-hati membantu Nyonya Arini menuruni undakan batu. Namun langkahnya terhenti sampai di undakan ke tiga di mana permukaan air bergelombang pelan menyapu batuan hitam. Sedang kaki pucat Nyonya Arini terus melangkah turun memasuki air yang tampak menghitam ditinggal cahaya sore. Tini yang agak kesulitan menonton apa yang dilakukan majikannya itu lantas mendekat, mengendap-endap di antara rumpun bunga mawar warna-warni yang dirawat rapi dan kemudian bersembunyi di balik batang besar pohon asam. Rupanya Nyonya Arini tengah berendam hingga ke batas bawah dada dan dua tangannya terentang dengan anggun, lalu menangkup membentuk sembah tepat di depan wajah. “Dinginnya begini kok Nyonya Arini mandi, to?” Tini pun dibuat bertanya-tanya sembari mengusap lengannya yang dirambati dingin. Bahkan beberapa menit berlalu, Nyonya Arini masih diam. Setengah tubuhnya terbenam dalam air, tampak mengagumkan dikelilingi kabut ti
Sementara Tuan Ario yang berbaring di atas ranjang masih terus mengerang sakit dan sesekali terdengar seperti orang yang mau muntah. Sedang pandangan Tini terus tertuju ke arah pintu yang perlahan dibuka. Jantungnya pun semakin berdebar tak karuan saat cahaya temaram dari arah jendela kamar yang tak ditutup menampakkan kaki berbalut jarik masuk dan terus mendekat ke arah ranjang. Dengan sangat hati-hati Tini pun mundur semakin jauh ke dalam kolong ranjang, menghindari sesaji di bawah tempat tidur yang telah padam dupanya. “Rasain … kalau siang lagaknya bukan main …!” Terdengar suara Tumini yang mendengkus saat berbicara. Meski Tini merasa agak tenang karena bibinya yang memasuki kamar Tuan Ario, namun Tini masih bertahan di bawah kolong sebab bingung kepada siapa ia harus percaya setelah melihat satu lagi keanehan keluarga majikannya itu.Perempuan itu pun bersyukur saat Tumini hanya membungkuk seraya menggapai-gapai bawah kolong tempat tidur tanpa melongokkan kepala untuk mengamb
Namun tak ada apapun yang bisa dilihat Tini dari lubang kunci. Lorong itu sepi setelah Tumini memasuki kamar Nyonya Arini dengan baskom enamel putih berisi air hangat. Tini yang masih bingung dengan segala keganjilan di rumah majikannya itu hanya bisa duduk termenung menyandar ke daun pintu yang ia kunci. Lalu ketukan di pintu membuat perempuan itu tersentak, entah sudah berapa lama ia terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh Nyonya Arini, Tuan Ario, dan bibinya, agak sulit menentukan mana di antara orang-orang di rumah itu yang ucapannya lebih mendekati kebenaran. Sampai-sampai kakinya yang sedari tadi ia tekuk terasa kebas saat terburu berdiri, dan perempuan itu terkejut manakala mendapati Nyonya Arini berdiri di depan kamarnya dengan menggendong bayi dibungkus kain jarik corak hitam. Anehnya perempuan itu kini telah cantik dengan kebaya hitam berhias sulaman benang emas yang membalut tubuh indahnya. “Tin, Susuin bayi saya, sekarang …! Jangan dikunci dulu pintun
Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il
Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s
Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,
Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj
“Saya anaknya Tumirah, Nyonya. Ibu saya adik perempuannya Mbok De Tumini.”“Jadi kamu keponakannya Tumini. Terus … bapak kamu siapa?“ tanya Ibu Tuan Ario dengan nada lebih serius.Kali ini Tini agak malu mengungkapkan siapa ayahnya. Lalu dengan menunduk semakin dalam ia menjawab, “Ibu saya istri mudanya mantan lurah Sukardi.”“Ohhh … Almarhum Sukardi? Pantas saja. Rasanya kamu berbeda, tidak seperti pembantu lain. Dulu sekali bapak kamu pernah menjadi orang yang berjaya dan ditakuti banyak orang. Sampai di akhir masa tuanya Lurah Sukardi masih terus menjadi lurah, tidak ada yang berani menjadi pesaingnya, dan ibumu dulu pernah membuat geger karena hamil dengan Lurah Sukardi yang dulu adalah majikannya, lalu bersedia menjadi istri muda Lurah Sukardi yang sudah memasuki umur tujuh puluh tahun.”Lantas dengan menoleh ke arah Tumini yang masih duduk bersimpuh di lantai ia mengimbuhkan, “Saya tidak tahu kalau Tumini adalah saudara istri muda Almarhum Sukardi. Dulu yang lebih membuat geger
Tini pun duduk bersimpuh di lantai mengikuti dua pengasuh bayi lain, tepat di dekat pintu masuk. Sedang ruang tamu luas itu masih didominasi suara perempuan paruh baya yang sedang mengomentari cucu kedua yang menurutnya terlihat agak kurus. “Kamu ini bagaimana Arini …! Anak-anak harus naik berat badannya, bukan malah turun …! Kamu mengurus dua anak saja tidak becus …!” Mata Tini melebar mendengar itu, lalu mengangkat wajah, memperhatikan ibu susu lain yang duduk bersimpuh di hadapannya dalam balutan kebaya putih dan kain jarik corak hitam dan putih. Kepala dua perempuan di hadapannya tertunduk dalam. Mereka sedikit lebih gemuk daripada Tini. Kemudian didorong rasa penasaran, pandangan Tini semakin terangkat, memperhatikan Tumini yang berdiri dengan menunduk di ambang pintu, masih dengan menggendong bayi. “Mana ini ibu susunya, suruh ke sini …!” Suara ibu Tuan Ario kembali terdengar, diikuti rengekan anak kedua Nyonya Arini yang mulai menangis. Perempuan di hadapan Tini sont
“Kok kamu tanya gitu terus to Tin?” Tumini bertanya balik, mulai tak senang keponakannya itu kembali bertanya. “Ibu susu yang lain hlo nggak ada yang secerewet kamu tanya-tanya terus. Lama-lama heran. Memangnya kamu lihat bayinya ada dua?” “Iya, Mbok De,” jawab Tini pelan dengan menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. “Saya nggak sengaja lihat Nyonya Arini lahiran di kamar, ada dua bayi.” Tumini pun berdecak lidah mendengar itu. “Pasti kamu mimpi, Tin.” “Enggak, Mbok De. Beneran ini nggak mimpi. Saya nggak sengaja lewat, pintu kamarnya Nyonya Arini kebuka sedikit, kayaknya pas itu Mbok De mau angkat air anget, jadi dibiarin kebuka. Apa yang satu cacat, Mbok De? Kok disembunyiin. Kemarin saya kurang jelas lihat gimana rupa bayinya.” Tini pun lanjut mengunyah makanan yang membuat pipinya menggembung, setelah makan hampir setengah nasi di piring enamel berhias bunga merah itu, tetap saja tangannya masih gemetaran saking laparnya. Perempuan itu mengamati wajah Tumini yang berker
Tak ada yang bisa Tini lakukan selain menahan pedih yang seakan terus merambat sampai ke puncak kepala. Namun untungnya, sang bayi akhirnya mulai lemah hisapannya matanya yang indah telah terkatup, terbuai dalam tidur. Dengan sangat hati-hati kemudian Tini meletakkan sang bayi di tengah tempat tidur dan membingkainya dengan dua bantal di sisi kanan dan kiri, lalu memandangi puncak dadanya yang didera nyeri, tampak kemerahan.“Masak baru lahir minumnya udah kayak bayi berapa bulan, nanti kalau udah berapa bulan kayak apa? Duhh …!”Tini pun meniup-niup dadanya dan perlahan mulai mereda denyut nyerinya. Kemudian perut perempuan itu tiba-tiba berbunyi keroncongan, membuat Tini melirik meja dipenuhi makanan, rasanya agak canggung makan lagi setelah seharian ia makan banyak.Namun berlalunya detik semakin rasa laparnya menjadi, Tini pun menoleh ke arah bayi yang tertidur lelap. Lalu dengan sangat hati-hati menuruni tempat tidur dan melangkah ke meja, duduk di kursi yang sandaran dan duduka
“Eng-enggak apa-apa, Mbok De …! Ini loh … saya kaget kok bayinya kayak udah bisa ngelihat ya? Padahal kata orang-orang tua, biasanya bayi kalau baru lahir kan matanya belum jelas.” “Ya itu karena dia pas melek ke arah atas aja, jadi kayak ngeliatin kamu,” balas Tumini dengan memperhatikan bayi yang sedang memandangi wajah Tini dengan sorot aneh. “Tapi setiap bayi ya beda-beda Tin … jangan kamu samain anaknya Nyonya Arini sama bayi-bayi lain di kampung. Anak-anaknya nyonya Arini udah mateng di perut, mungkin karena ibunya makannya cukup. Nggak kayak orang kampung yang cuma makan singkong.” “Ohhh … gitu ya, Mbok De. Ini badannya juga udah mantep, ya? Udah kayak bayi sebulan. Kalau si Genduk dulu waktu lahir kecil. Kurus, kayak anak kucing. Omong-omong, ibu susu yang lain kok tadi seharian nggak pernah kelihatan ya, Mbok De?” “Ya ada lah … di kamarnya. Anaknya Nyonya Arini yang pertama itu kan udah disapih, udah dua tahunan umurnya, jadi udah nggak punya ibu susu. Yang masih nyusu it