"Kenapa kamu tanya begitu?"
Nada suara Tumini yang terdengar ceria sedari tadi tiba-tiba menjadi serius, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran.
"Ahh ... enggak, Mbok De. Cuma saya kayak pernah lihat di mana gitu."
Tini tak menuturkan apa yang dilihatnya, ia sendiri tak terlalu yakin dengan itu.
"Yo cuma mirip aja mungkin." Suara Tumini kini kembali menjadi ceria. "Tuan Ario nggak punya kembaran. Orang beliau aja anak tunggal."
Tumini pun kembali sibuk memasangkan stagen, sementara Tini mengamati bagaimana Bibinya itu memasang jarik dengan sangat rapi, hingga kain bercorak motif sawat itu membalut indah tubuhnya.
"Ini semua baru ya, Mbok De?" tanya Tini dengan memperhatikan motif dua sayap yang terlihat baru tenunannya.
"Iya. Nyonya Rini tuh baik banget orangnya. Makanya kamu jangan bikin Nyonya jengkel. Nyonya kan lagi hamil, jadi gampang marah."
Perempuan itu kemudian merapikan kebaya brokat hitam yang semakin mempercantik tampilan sederhana namun anggun itu.
"Jan ...! Ayu tenan kowe, Tin ...!” seru Tumini sembari menata rambut Tini. “Abis luluran kamu tambah kinclong."
Tini pun bersemu mendapat pujian itu. "Opo lah, Mbok De. Wong cuma babu. Ayu opo. Nyonya Arini itu, ayu tenan."
“Kamu belajar nata rambut yang rapi, Tin. Pokoknya Nyonya Arini tuh suka sama yang rapi, wangi, cantik,” tutur Tumini seraya menyematkan tusuk konde dihias bunga cantik. "Nah … sudah, sana cepetan ke ruang tamu. Udah ditunggu sama Nyonya."
"Njihh ... matur suwun, Mbok De."
Tini pun kembali menyusuri koridor yang menuntunnya ke ruang tamu di mana Nyonya Aini terlihat sedang sibuk dengan buku kulit warna cokelat selebar telapak tangan.
Tini yang jalannya tersandung-sandung karena melangkah cepat sontak merenggut perhatian sang majikan.
Untuk sejenak Nyonya Arini terpana dengan tampilan Tini, cukup puas dengan pembantu baru yang berpakaian sesuai perintahnya.
"Duduk!" seru Nyonya Arini sembari mengedik ke arah lantai tegel di depan meja.
Tini kemudian mencoba duduk, agak kesusahan dengan kain jarik yang terlalu ketat membalut tubuhnya.
Namun lama ia menanti, majikannya itu tak kunjung selesai, sibuk dengan buku catatannya itu. Tini pun mulai mengantuk, rasa-rasanya ada tangan yang membelai kepalanya.
Berulang kali Tini mengusap rambutnya ke belakang, mencoba memahami sensasi hangat yang mengelus kepalanya.
Punggungnya yang tegak karena stagen kencang kemudian merasakan seperti ada seseorang menempel. Tini sekuat tenaga mengabaikan itu, namun rasa itu benar-benar nyata.
Sementara Nyonya Arini sesekali memandang ke arah belakangnya. Entah apa yang dilihat perempuan yang masih berkutat dengan bukunya itu, seakan-akan ada orang lain di balik badan Tini.
"Kamu lahir hari apa?"
Suara serak perempuan hamil besar berbalut kebaya cantik warna putih itu mengalun dingin, menyentak Tini yang sedari tadi duduk bersimpuh di lantai tegel ruang tamu rumah bergaya joglo itu.
Setelah hampir setengah jam lamanya ia menanti, majikan barunya bersuara, namun pertanyaan tak umum justru didapatnya.
Perempuan yang sedari tadi was-was itu semakin dilanda kengerian yang tak dimengertinya. Ditambah lagi lantai tegel dingin dalam udara gerimis yang menyalurkan dingin menusuk sampai ke tulang, perempuan muda itu sampai tergagap menjawab.
"Jum'at, Nyonya ...!"
"Jum'at apa?"
Pertanyaan dari Nyonya Arini sontak membuat Tini mengangkat wajah, termangu menatap perempuan luar biasa cantik kisaran 30-an yang duduk di kursi tamu pelitur cokelat tua dengan bantalan busa putih.
Sorot mata sendu itu seakan memikul pedih yang tak tergambarkan oleh kata-kata, membuat Tini cepat-cepat menundukkan pandangan.
"Pertanyaan saya belum kamu jawab, Hartini! Apa kamu tidak paham? Kamu lahir Jum'at apa? Weton lahir kamu yang saya maksud."
Pertanyaan itu terdengar ketus, tak serasi dengan wajah ayu kalem dan gerak-gerik luwes perempuan kaya istri tuan tanah itu.
Sedangkan Tini tampak ragu, terngiang nasehat neneknya yang pernah berpesan bahwa tak boleh weton lahir diumbar kepada sembarang orang.
"Kamu baru satu hari bekerja di rumah ini sudah seperti ini Tini, tidak menjawab pertanyaan saya. Lebih baik kamu cari pekerjaan di tempat lain saja. Saya tidak suka pembantu yang bahkan tidak mau menjawab satu pertanyaan saja. Pergi kamu dari sini! Saya akan bayar satu jam kamu duduk di sini."
Lalu terdengar suara gemerincing koin, Tini sedikit mengangkat pandangannya dan mendapati perempuan bersanggul rapi itu memilah beberapa keping koin di tangannya.
Kini Tini dilanda bimbang akan bekerja pada perempuan yang terasa aneh itu. Entah mengapa ia ingin pergi, hatinya yang membisik demikian.
Namun di sisi lain ia benar-benar sulit mengelak tawaran gaji besar di tengah paceklik.
"Ngapunten, Nyonya ...," bisik lirih Tini dengan menangkupkan dua tangan, memohon maaf atas kelancangannya yang tak segera menjawab pertanyaan sang majikan. "Saya tadi hanya sedang mengingat-ingat weton saya. Karena saya agak lupa. Kalau tidak salah … Kamis Pon."
Lalu terdengar embusan napas kasar dari perempuan yang perutnya seperti sedang hamil kembar itu.
"Tadi kamu bilang lahir Jum'at, tapi sekarang bilang Kamis. Yang bener yang mana?!"
Perempuan berkulit kuning langsat mulus itu kemudian membanting koin di tangannya ke meja ukiran berpelitur cokelat gelap.
Entah apa yang membuat majikannya tampak begitu kesal, padahal sedari tadi perempuan itu hanya sibuk dengan buku saku yang sesekali ditandainya dengan pulpen tinta merah.
Bahkan buku bersampul kulit cokelat itu tak luput dibanting beserta pulpen yang menggelinding ke dekat Tini.
"Ngapunten Nyonya, saya hanya perempuan bodo!"
Tini yang masih duduk bersimpuh kemudian membungkuk dalam-dalam. Hawa di ruangan itu semakin berat saat perempuan itu meluapkan amarahnya, membuat Tini semakin ketakutan.
"Kamu memang bodonya bukan main. Sampai-sampai hamil saja tidak tahu siapa bapaknya!"
Kalimat itu telak menusuk rongga dada Tini dan tubuhnya yang masih membungkuk di lantai itu dengan cepat dirambati keringat dingin.
Tatapan perempuan kisaran 19 tahun itu seperti kosong, dan kelebatan malam nahas itu membuat setiap sendinya seakan hampir-hampir tak bisa menahan tubuhnya.
"Saya tidak suka dengan perempuan bodo. Apalagi yang pasrah saja diperlakukan laki-laki seenaknya sendiri. Kamu jawab jujur. Majikan kamu yang sebelumnya, yang bikin kamu hamil? Kenapa kamu tidak minta tanggung jawab? Malah kamu pulang kampung dan bikin malu ibu kamu yang sakit-sakitan itu. Tini ... Tini ...! Semurah itu harga diri kamu. Majikan kamu kasih uang berapa sampai kamu rela dibuang? Kalau saya jadi kamu, sudah saya bikin mampus itu laki-laki!"
Tini tak seberapa mendengar kata-kata majikan barunya itu sebab benaknya berkutat dengan trauma yang bergejolak.
"Terus, anak kamu sekarang umur berapa?"
Beberapa menit itu berlalu dengan keheningan, Tini masih berkutat dengan kenangan kelamnya, berusaha menyimpannya kembali rapat-rapat di sudut tergelap kepalanya.
"Tini!" jerit kesal sang majikan. "Kamu tidak budeg, kan? Baru di sini satu jam saja kamu sudah mau bikin saya sakit kepala! Saya tanya, anak kamu umur berapa?"
Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala. "E-enam bulan, Nyonya." Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang. Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar. Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!" Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar. Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya. Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi. "Meskipun bodo tapi kamu cantik.
Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya. "Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!" Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai. Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya. "Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?" Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya. Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu. "Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain bu
Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. "Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem." Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang. Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya. Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya. Hingga sang majikan kin
Tini pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata aneh majikannya itu. Lantas ia terngiang pesan Nyonya Arini tentang suaminya yang mungkin akan menyampaikan hal buruk tentang perempuan itu, membuatnya semakin yakin bahwa Tuan Ario sedikit gila. Tini kemudian mengabaikan ucapan Tuan Ario dan kembali meraih mangkuk di atas nakas saat pria itu berucap lagi, “Kamu bisa mati kalau kerja di sini. Cepat pergi!” Kali ini nada suara Tuan Ario meninggi, membuat Tini terhenyak. “Maaf, kalau saya pulang dan berhenti bekerja, yang mati mungkin bukan hanya saya, Tuan. Tapi ibu saya yang sedang sakit, juga bayi saya. Maaf, apa maksud Tuan berkata seperti itu? Tolong Tuan jangan apa-apakan saya, ya. Saya di sini cuma mau kerja.” Kewaspadaan Tini sontak meningkat, takut, mungkin saja pria itu akan melukainya, namun mengingat Tuan Ario lumpuh, perempuan itu pun agak tenang. “Bukan saya yang akan mencelakakan kamu, tapi Arini,” bisik Tuan Ario sembari melirik ke arah pintu yang masih tertutup. “Cepat
Tuan Ario pun terhenyak mendengar pertanyaan Tini. Pembantu yang semula sopan kepadanya, kini nada suaranya mulai terdengar menyebalkan seperti Tumini. "Saya menyuruh Jumiati membeberkan ritual sesat yang dilakukan istri saya, agar istri saya mau berhenti. Karena saya sudah berulang kali memperingatkan istri saya, tapi dia tidak mau mendengar. Saya hanya ingin istri saya sadar, kalau apa yang dia lakukan tidak benar." Pria itu lantas menjeda kata-katanya sejenak, memperhatikan ekspresi Tini yang masih tampak tak percaya pada ucapannya. Lalu dengan menghela napas, pria itu menambahkan, "Semenjak saya kecelakaan, saya tidak pernah menyentuh istri saya, Tini. Tetapi beberapa bulan setelah itu, justru istri saya hamil. Sebelumnya istri saya tidak pernah melakukan ritual-ritual dan membuat sesaji. Jadi antara kehamilan istri saya dan kelakuannya yang mulai aneh-aneh hampir berbarengan. Awalnya saya curiga dia selingkuh. Tapi dia tidak pernah terlihat dengan laki-laki lain. Bahkan di ruma
Mendengar penuturan panjang nyonya Arini, Tini perlahan dirayapi ketakutan. Bayangan wajah Tuan Ario yang muncul saat ia mandi dan membuka pakaian seketika berkelebat, perempuan itu pun susah payah menelan ludah. Tini yang semula menganggap itu hanya khayalannya saja kini mulai beranggapan bahwa itu adalah Tuan Ario, membuat perempuan itu semakin was-was. “Jadi Tini …,” suara Nyonya Arini seketika menyita perhatian Tini, “nanti kalau mulai maghrib, kamu jangan keluar kamar, ya?! Kamar yang akan kamu tempati nanti sudah disediakan kamar mandi langsung di dalamnya. Jadi kalau belum pagi jangan keluar, kunci pintu. Kamu yang lebih muda dari dua ibu susu yang lain, paling cantik juga, jadi … jangan sekali-kali buka pintu sebelum pagi. Apapun yang kamu dengar di luar pintu, jangan pernah keluar. Dua pembantu lain yang jadi ibu susu anak-anak saya begitu setiap hari, biar tidak diganggu Mas Ario. Tapi kamu jangan takut, yang penting kamu dengar kata-kata saya, kamu nggak akan kenapa-napa.
“Iya, kalau sesajen memang ada banyak. Tapi itu cuma kebiasaan lama keluarga Nyonya Arini. Kayak mbah-mbah jaman dulu gitu lho, Mbok …! Keluarga Nyonya Arini itu masih kayak orang-orang kuno. Nyonya Arini juga orangnya bersih banget, sukanya yang wangi, cantik, rapi. Jadi tadi Tini juga disuruh mandi, luluran, terus ganti pakaian yang bagus. Nyonya Arini nggak suka bau asem. Badan Tini juga diasepin pakai dupa, biar wangi.” “Ohh … gitu.” Ibu Tini pun mengangguk-anggukkan kepala. “Mudah-mudahan itu cuma tradisi keluarga, nggak ada sangkut pautnya sama barang sesat. Coba kamu wudhu lagi di belakang, Tin. Dada kamu juga diusap pakai air wudhu. Ganti dulu pakaian kamu, pakai baju kamu yang biasa.” “Iya, Mbok …!” Tini pun bergegas menuju bagian belakang rumah berlantai tanah yang dipadatkan itu untuk mengerjakan apa yang disarankan oleh ibunya. Tak lama, putri cantik Tini mau disusukan. Tini pun lega dibuatnya. Dengan agak mengantuk, perempuan itu duduk bersandarkan tiang rumah, memper
Lalu pandangannya berganti pada Tumini. Perempuan itu dengan sangat hati-hati membantu Nyonya Arini menuruni undakan batu. Namun langkahnya terhenti sampai di undakan ke tiga di mana permukaan air bergelombang pelan menyapu batuan hitam. Sedang kaki pucat Nyonya Arini terus melangkah turun memasuki air yang tampak menghitam ditinggal cahaya sore. Tini yang agak kesulitan menonton apa yang dilakukan majikannya itu lantas mendekat, mengendap-endap di antara rumpun bunga mawar warna-warni yang dirawat rapi dan kemudian bersembunyi di balik batang besar pohon asam. Rupanya Nyonya Arini tengah berendam hingga ke batas bawah dada dan dua tangannya terentang dengan anggun, lalu menangkup membentuk sembah tepat di depan wajah. “Dinginnya begini kok Nyonya Arini mandi, to?” Tini pun dibuat bertanya-tanya sembari mengusap lengannya yang dirambati dingin. Bahkan beberapa menit berlalu, Nyonya Arini masih diam. Setengah tubuhnya terbenam dalam air, tampak mengagumkan dikelilingi kabut ti
Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il
Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s
Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,
Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj
“Saya anaknya Tumirah, Nyonya. Ibu saya adik perempuannya Mbok De Tumini.”“Jadi kamu keponakannya Tumini. Terus … bapak kamu siapa?“ tanya Ibu Tuan Ario dengan nada lebih serius.Kali ini Tini agak malu mengungkapkan siapa ayahnya. Lalu dengan menunduk semakin dalam ia menjawab, “Ibu saya istri mudanya mantan lurah Sukardi.”“Ohhh … Almarhum Sukardi? Pantas saja. Rasanya kamu berbeda, tidak seperti pembantu lain. Dulu sekali bapak kamu pernah menjadi orang yang berjaya dan ditakuti banyak orang. Sampai di akhir masa tuanya Lurah Sukardi masih terus menjadi lurah, tidak ada yang berani menjadi pesaingnya, dan ibumu dulu pernah membuat geger karena hamil dengan Lurah Sukardi yang dulu adalah majikannya, lalu bersedia menjadi istri muda Lurah Sukardi yang sudah memasuki umur tujuh puluh tahun.”Lantas dengan menoleh ke arah Tumini yang masih duduk bersimpuh di lantai ia mengimbuhkan, “Saya tidak tahu kalau Tumini adalah saudara istri muda Almarhum Sukardi. Dulu yang lebih membuat geger
Tini pun duduk bersimpuh di lantai mengikuti dua pengasuh bayi lain, tepat di dekat pintu masuk. Sedang ruang tamu luas itu masih didominasi suara perempuan paruh baya yang sedang mengomentari cucu kedua yang menurutnya terlihat agak kurus. “Kamu ini bagaimana Arini …! Anak-anak harus naik berat badannya, bukan malah turun …! Kamu mengurus dua anak saja tidak becus …!” Mata Tini melebar mendengar itu, lalu mengangkat wajah, memperhatikan ibu susu lain yang duduk bersimpuh di hadapannya dalam balutan kebaya putih dan kain jarik corak hitam dan putih. Kepala dua perempuan di hadapannya tertunduk dalam. Mereka sedikit lebih gemuk daripada Tini. Kemudian didorong rasa penasaran, pandangan Tini semakin terangkat, memperhatikan Tumini yang berdiri dengan menunduk di ambang pintu, masih dengan menggendong bayi. “Mana ini ibu susunya, suruh ke sini …!” Suara ibu Tuan Ario kembali terdengar, diikuti rengekan anak kedua Nyonya Arini yang mulai menangis. Perempuan di hadapan Tini sont
“Kok kamu tanya gitu terus to Tin?” Tumini bertanya balik, mulai tak senang keponakannya itu kembali bertanya. “Ibu susu yang lain hlo nggak ada yang secerewet kamu tanya-tanya terus. Lama-lama heran. Memangnya kamu lihat bayinya ada dua?” “Iya, Mbok De,” jawab Tini pelan dengan menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. “Saya nggak sengaja lihat Nyonya Arini lahiran di kamar, ada dua bayi.” Tumini pun berdecak lidah mendengar itu. “Pasti kamu mimpi, Tin.” “Enggak, Mbok De. Beneran ini nggak mimpi. Saya nggak sengaja lewat, pintu kamarnya Nyonya Arini kebuka sedikit, kayaknya pas itu Mbok De mau angkat air anget, jadi dibiarin kebuka. Apa yang satu cacat, Mbok De? Kok disembunyiin. Kemarin saya kurang jelas lihat gimana rupa bayinya.” Tini pun lanjut mengunyah makanan yang membuat pipinya menggembung, setelah makan hampir setengah nasi di piring enamel berhias bunga merah itu, tetap saja tangannya masih gemetaran saking laparnya. Perempuan itu mengamati wajah Tumini yang berker
Tak ada yang bisa Tini lakukan selain menahan pedih yang seakan terus merambat sampai ke puncak kepala. Namun untungnya, sang bayi akhirnya mulai lemah hisapannya matanya yang indah telah terkatup, terbuai dalam tidur. Dengan sangat hati-hati kemudian Tini meletakkan sang bayi di tengah tempat tidur dan membingkainya dengan dua bantal di sisi kanan dan kiri, lalu memandangi puncak dadanya yang didera nyeri, tampak kemerahan.“Masak baru lahir minumnya udah kayak bayi berapa bulan, nanti kalau udah berapa bulan kayak apa? Duhh …!”Tini pun meniup-niup dadanya dan perlahan mulai mereda denyut nyerinya. Kemudian perut perempuan itu tiba-tiba berbunyi keroncongan, membuat Tini melirik meja dipenuhi makanan, rasanya agak canggung makan lagi setelah seharian ia makan banyak.Namun berlalunya detik semakin rasa laparnya menjadi, Tini pun menoleh ke arah bayi yang tertidur lelap. Lalu dengan sangat hati-hati menuruni tempat tidur dan melangkah ke meja, duduk di kursi yang sandaran dan duduka
“Eng-enggak apa-apa, Mbok De …! Ini loh … saya kaget kok bayinya kayak udah bisa ngelihat ya? Padahal kata orang-orang tua, biasanya bayi kalau baru lahir kan matanya belum jelas.” “Ya itu karena dia pas melek ke arah atas aja, jadi kayak ngeliatin kamu,” balas Tumini dengan memperhatikan bayi yang sedang memandangi wajah Tini dengan sorot aneh. “Tapi setiap bayi ya beda-beda Tin … jangan kamu samain anaknya Nyonya Arini sama bayi-bayi lain di kampung. Anak-anaknya nyonya Arini udah mateng di perut, mungkin karena ibunya makannya cukup. Nggak kayak orang kampung yang cuma makan singkong.” “Ohhh … gitu ya, Mbok De. Ini badannya juga udah mantep, ya? Udah kayak bayi sebulan. Kalau si Genduk dulu waktu lahir kecil. Kurus, kayak anak kucing. Omong-omong, ibu susu yang lain kok tadi seharian nggak pernah kelihatan ya, Mbok De?” “Ya ada lah … di kamarnya. Anaknya Nyonya Arini yang pertama itu kan udah disapih, udah dua tahunan umurnya, jadi udah nggak punya ibu susu. Yang masih nyusu it