"Aduh," pekikku. Dengan sedikit berlari aku menuju tempat mencuci piring kemudian mengguyur jariku dengan air.
"Ada apa, Nduk?" Kulirik wajah ayu yang tampak kuatir itu.
"Mboten nopo-nopo, Budhe. Ini hanya sedikit tergores pisau tadi."
Wanita itu segera memanggil salah satu wanita yang tengah memasak untuk mengambil obat merah dan juga plester. Dengan lembut dia mengobati lukaku, sesekali meniupinya.
"Kamu istirahat saja, Nduk. Ibu tidak mau kamu sakit."
Melihatku yang berkeras untuk melanjutkan pekerjaan, wanita itu menyuruhku jalan-jalan di sekeliling desa saja.
"Biar Aji yang mengantarmu."
"Tapi ...."
"Tidak boleh ada penolakan. Pilihannya hanya kamu masuk ke kamar atau jalan-jalan. Lagipula di dapur sudah banyak orang, Nduk."
Wanita itu meminta salah seorang perempuan memanggil Aji yang masih di kamarnya.
"Nduk, kamu siap-siap saja sana."
Ah, sepertinya aku punya alasan untuk teta
Angin berembus cukup kencang tepat saat kaki ini menyentuh tanah yang masih becek, sepertinya desa tempatku menghabiskan masa kecil ini baru saja diguyur hujan. Jalanannya yang berlubang banyak terdapat genangan air. Mata ini memindai sekitar, tempat yang telah lebih dari sepuluh tahun kutinggalkan, tidak banyak mengalami perubahan dari dulu. Saat masuk gapura desa, mata akan disuguhi dengan hamparan sawah yang menguning dan juga kebun jagung setelah itu baru terlihat rumah-rumah warga desa. Bangunan di sini pun masih terbilang tradisional, yakni rumah joglo khas pedesaan. Tidak ada rumah bertingkat seperti yang biasa kulihat di kota.Apalagi desa ini cukup terasing dari desa yang lain karena berbatasan dengan hutan, memang tidak terlalu luas.Di gapura berwarna biru yang catnya mulai mengelupas, sudah terbelit janur kuning sebagai pertanda akan ada hajatan besar di desa ini.Senyumku mengembang, ya, aku kembali ke sini dengan tujuan untuk menghadiri pernikahan sahabat masa kecilku
Aku terkejut saat mendengar ucapan dari wanita yang berdiri tepat di sampingku. Tangan ini gemetar hingga tidak menyadari kayu pengaduk itu sudah terlepas dari genggaman. Jatuh ke wajan hingga menimbulkan bunyi berdentam.Mataku terbeliak saat menatap letupan-letupan darah yang mulai mendidih. Bau anyir dan busuk menyatu, menguar, serta membumbung tinggi hingga menyentuh langit-langit dapur.Darah yang tadinya cair kini sebagian tampak menggumpal. "Da-darah?"”I-iya, ini darah yang masih sangat segar dan harum. Rasanya juga sangat manis sekali karena ini darah mereka yang tidak ditakdirkan untuk berdosa."Aku tercengang dengan ucapannya, mereka yang tidak berdosa? Apakah itu darah para anak-anak yang belum berdosa atau mungkin bayi yang baru terlahir. Perutku mual dan kepala sangat pening hanya dengan membayangkan darimana darah ini berasal .Kututupi mulut dan hidungku agar tidak mencium bau busuk seperti ribuan bangkai tikus.Mataku terbelalak saat wanita yang wajahnya tertutup ol
Belatung-belatung dalam tampah itu terus bergerak liar, seolah tengah menari. Ada belatung yang tampak memakan temannya yang terlihat lemas. Mereka bagai monster kecil yang menjijikkan. Sebagian dari mereka merambat keluar dari tempatnya. Kini mulai memenuhi meja bahkan sudah ada yang merambat ke lantai. Dari hanya satu, kini sekitar puluhan belatung berjalan ke arahku. Ya, tujuan mereka memang mendekatiku karena semakin aku mundur, gerakan mereka pun semakin cepat.Saat salah satunya berhasil menyentuh ujung ibu jari kakiku, aku sontak berteriak sekuatnya sembari mengentak-entakkan kaki agar belatung itu melepaskan cengkeramannya."Budhe, tolong!”Aku bisa melihat wanita itu berlarian sembari mengangkat sedikit kain jariknya agar langkahnya lebih leluasa. Beberapa orang juga tampak meninggalkan pekerjaan dan tergopoh mendekatiku yang masih berteriak ketakutan.”Ada apa, Nduk? Kenapa kamu teriak-teriak seperti ini?” Aku bersembunyi di balik punggungnya sembari menunjuk ke lantai deng
Gantari 4Gorden jendela yang tadi sempat tersibak, kembali tertutup dengan cepat saat aku bersitatap dengan wajah mengerikan itu. Meski takut aku berusaha menguatkan hati. Ah, ini pasti aku hanya berhalusinasi seperti sebelumnya.Aku menatap rumah bercat hijau dan tanpa pagar itu dengan lekat. Masih kuingat jelas setiap sudut rumah itu, apakah sekarang masih sama ataukah sudah berubah karena jika dilihat dari bangunannya masih sama seperti dulu saat aku masih kecil, bahkan warna gordennya pun masih sama, berwarna cokelat berhiaskan bunga mawar merah.Mataku kini tertuju pada halaman samping rumah. Di sana terdapat ayunan dari papan kayu yang menggantung di dahan pohon mangga. Masih kuingat jelas setiap kali bermain ayunan hingga petang menjelang maka nenek akan datang sembari menenteng sapu untuk menyuruhku masuk rumah."Ri, cepat masuk rumah! Mataharinya sudah mau tenggelam. Kalau kamu tidak masuk, dibawa wewe gombel lho.”Aku kecil bukannya menurut saat mendengar perintah wanita
Mataku beralih ke arah para penabuh gamelan. Lagi dan lagi aku terkejut melihat betapa mengerikannya wujud mereka sekarang. Ada yang perutnya tertancap belati, ada yang dahinya tampak berlubang dan dari lubang itu terus mengalirkan darah. Semua penabuh gamelan bak mayat hidup, tangan mereka bergerak tapi mereka mati.Sementara para penari yang wajahnya cantik, sudah berubah menjadi penuh borok dan kulitnya melepuh. Ada pula yang matanya menjuntai begitu saja. Mulut mereka terus menerus mengeluarkan darah yang menghitam. Tubuh mereka pun penuh luka dan sayatan. Kebaya yang tadinya berwarna biru muda telah berlumuran darah yang telah mengering. Seorang penari lehernya hampir putus.Seorang dari mereka mengalungkan selendang ke tamu dan mencekiknya dengan itu kemudian menyeret mayatnya berkeliling panggung sembari terus tertawa melengking membuat siapapun yang mendengar pasti bergidik ketakutan. Berkali-kali mataku mengerjab agar semuanya kembali seperti semula, normal seperti seharus
Siapa saja yang ada di posisiku pasti terkejut mendengar berita kehamilan yang dirasa terlalu cepat ini. Bukankah baru beberapa hari lalu pernikahan dilaksanakan tapi sekarang perut Sekar sudah menyembul meski tidak terlalu besar tapi tetap saja mencuri perhatian. Mataku menatap setiap inci tubuh Sekar yang berdiri di depanku. Bisa kulihat senyum semringah yang menghiasi wajah nan ayu dan bersahaja itu. Tangannya terus mengelus perutnya sembari bersenandung riang. Buah hati memang menjadi pengikat dalam sebuah rumah tangga juga membawa kebahagiaan. Pertanyaan-pertanyaan terus menari di benak. Saat bibir hendak bertanya tapi hatiku melarang. Rasanya tidak tega merusak kebahagiaan sahabatku ini hanya demi keingin tahuan tentang batas norma yang bisa saja telah dilanggar kedua insan yang dimabuk asmara."Gantari!" Sebuah tepukan di bahu membuatku terkesiap, tersadar dari lamunan yang terus meliar hampir saja tidak terkendali. Lambaian tangan lentik itu berada di depan mataku."A-apa?
Pertengkaran keduanya samar terdengar di telinga meski tidak terlalu jelas. Namun, satu hal yang pasti bahwa keduanya berdebat tentang keberadaanku. Sepertinya memang benar aku lebih baik pergi dan menjauh dari rumah ini.Langkahku kini menuju tempat lain, berjalan-jalan di sekitar desa. Siapa tahu aku mengenal salah satu dari penduduk desa. Namun, jauh kakiku melangkah aku tidak menemukan satu orang pun yang melintas. Pintu-pintu rumah semuanya tertutup rapat bahkan tidak ada lampu yang menyala. Rasanya aku berada di desa yang tidak berpenghuni.Dulu saat kecil seingatku memang jika malam menjelang para orang tua meminta anak-anak untuk masuk ke rumah. Namun, tidak pernah sesunyi ini.Langkahku terhenti saat mendengar suara anak-anak yang tertawa riang dan berteriak-teriak meski ucapannya tak jelas. Ini pasti mereka tengah bermain di lapangan sama seperti yang biasa kulakukan saat dulu. Bermain petak umpet dan juga banyak permainan tradisional lainnya. Benar saja anak-anak tengah be
Darah mengalir di kedua belah bagian tubuh tikus werog itu. Tentu saja aku menjerit antara takut dan jijik serta terkejut karena Sekar membunuh dan mencabiknya dengan tangan kosong."Apa yang kamu lakukan? I-itu kenapa ada tikus mati di tanganmu?"Wanita itu menyeringai. Matanya yang sendu telah berubah merah persis yang kulihat saat dipenuhi amarah."Aku lapar makanya aku ke sini untuk makan," jawabnya dengan suara parau dan mimik wajah yang begitu datar. Matanya tak lepas dari tikus yang digenggamnya dan dari lehernya kulihat berkali-kali dia menelan ludah, seperti tidak sabar untuk menyantap."La-lapar? Kan di rumah ibumu sudah masak. Ayo, kita pulang saja." Sekar bukannya mengikutiku tapi wanita itu tetap terdiam di sana. Dengan tanpa rasa jijik, dihirupnya darah yang mengalir di tikus itu dan dijilatnya moncongnya yang terbuka lebar hingga di mata tikus yang melotot dan nyaris keluar itu."Sekar! Buang itu!” teriakku saat wanita yang tengah hamil itu membuka mulut dan bersiap me