Langkahku gontai menjauh dari rumah ini, entah ke mana aku harus melangkah. Ingin pulang ke kota tapi semua barang dan juga ponselku, semuanya tertinggal. Langkahku terhenti di depan bekas rumah nenek. Dua orang penghuni rumah itu seperti yang pernah kulihat sebelumnya hanya duduk di teras. Ingin rasanya meminta tolong pada mereka tapi mengingat ketidaksukaan pria itu padaku timbul keraguan untuk masuk ke rumah yang sempat kutinggali itu.Kubalikkan badan untuk melanjutkan perjalananku, menembus kegelapan malam. Baru saja kaki ini hendak melangkah, kudengar wanita sang empunya rumah itu memanggilku."Gantari, ke mari masuklah,Nak!” Wanita itu tersenyum ramah sembari melambaikan tangannya. Memang benar pepatah mengatakan jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Wanita itu sebagian wajahnya memang rusak tapi dari matanya terlihat ada ketulusan yang jelas tertangkap."Tidak usah, Bu. Saya mau pulang saja,” tolakku karena pria itu menatapku dengan sangat tajam."Duduk di sini barang
Pria dengan wajah penuh bekas luka bakar itu menatap dalam wajahku. Di binar matanya tidak lagi terlihat kilatan amarah yang sempat kulihat tadi. Namun, berganti mata yang berkaca-kaca tapi entah apa penyebabnya. Melihat mata elang itu ada rasa teduh yang menyusup di relung jiwa tapi terselip pula rasa sedih melihatnya."Pergilah dari desa ini, Nduk, sebelum terlambat. Pulanglah melalui jalanmu masuk ke desa ini.""Ta-tapi jalanan begitu gelap, bagaimana aku menemukan jalan keluarnya?”"Kamu akan menemukan jalanmu pulang nanti. Ingat, siapapun yang menghadangmu nanti jangan terbujuk dan jangan masuk ke rumah siapa-siapa. Temukan cahaya yang akan membawamu kembali ke duniamu. Hati-hati."Pak Seno menundukkan kepala, meninggalkan sebuah usapan di rambutku kemudian masuk ke rumahnya. Masih bisa kudengar suaranya saat membujuk Bu Hapsari melepaskanku. "Jika kamu mencintainya maka biarkan dia hidup semestinya.""Tapi ....""Tidak ada kata tapi, kita yang harus melepasnya. Kasihan jika tet
Pandanganku perlahan mulai jelas, aku berada di sebuah entah ini taman atau ladang. Satu hal yang pasti aku ada di antara rumput-rumput liar yang tinggi. Dengan sedikit kesusahan karena kepala ini tanya begitu sakit dan pusing, aku bangkit berdiri untuk memastikan sebenarnya tempat apa aku berada sekarang. Apakah di alam manusia atau alam lain seperti sebelumnya.Tingginya rumput yang melebihi tinggi badanku membuatku harus berjinjit agar bisa melihat keluar. Untung saja tidak jauh dari tempatku berdiri ada dua gundukan tanah yang rumputnya lebih pendek, aku menaikinya untuk melihat sekitar.Aku seperti berada di hutan yang begitu luas tapi tidak terlalu lebat karena cahaya mentari bisa masuk tanpa terhalang pepohonan. Jarak pohon satu dengan yang lain cukup lebar. Sejauh mata memandang hanya ada rumput,semak belukar, dan beberapa pohon yang tumbuh besar. Tidak ada siapapun di tempat ini. Aku memilih kembali duduk dan berpikir setelah ini akan ke mana kakiku melangkah untuk mencari o
Aku tidak menyangka akan mendapat kabar tidak sedap seperti ini. Aku adalah orang yang tahu pasti kalau Sekar adalah seorang wanita yang sedari kecil sangat menyukai calon suaminya, bisa dikatakan Ajilah cinta pertamanya. Rasanya janggal jika tiba-tiba saja kabur saat hari pernikahan yang lama diidamkannya sudah ada di depan mata."Gantari, coba lihat ini!” ucapnya sembari mendekatkan kamera ke jemarinya. Aku mengamati jemarinya hingga tatapanku berhenti di jari manisnya."Bagus tidak?”Gadis itu menunjukkan padaku cincin emas bertahtakan permata yang tersemat di jari manisnya saat kami melakukan panggilan video. Aku tentu saja berdecak kagum saat itu."Cantik sekali, dari siapa sih? Pangeran negeri seberang atau pangeran berkuda putih?" godaku.Aku bisa melihat semburat merah jambu di pipinya yang ranum. Ada rona kebahagiaan terpancar di wajahnya saat dia menyebut nama pria yang melamarnya untuk menjadi ratu di istananya be
Mata ini membulat saat mendengar ucapan Pak Burhan. "Ri-ritual? Ritual apa, Pakdhe?""Bukan ritual yang rumit, tenang saja. " Pria itu sepertinya tahu tentang ketakutanku. "Nanti malam kamu akan beri tahu apa saja."Pikiranku terus bergerak liar tentang ritual seperti apa nanti yang harus kulalui. "Paman, memangnya harus ya, Tari melakukan ritual," ujarku sembari meremas baju sementara pandanganku lurus menatap pria yang ada di depanku. "Nanti coba paman bicara pada Pak Burhan. Harusnya yang jika ada ritual yang harus melakukannya adalah paman. Karena paman memaksa masuk ke sana sementara kamu tidak."Paman mengusap lenganku dengan lembut. Dari dulu itulah caranya menenangkanku. Dia memintaku untuk masuk ke kamar jika masih lelah."Gantari kalau hanya di kamar, pikirannya pasti nggrambyang ke mana-mana. Takut nanti malah teringat dengan kejadian aneh itu.""Ya, &n
"Aduh," pekikku. Dengan sedikit berlari aku menuju tempat mencuci piring kemudian mengguyur jariku dengan air. "Ada apa, Nduk?" Kulirik wajah ayu yang tampak kuatir itu. "Mboten nopo-nopo, Budhe. Ini hanya sedikit tergores pisau tadi." Wanita itu segera memanggil salah satu wanita yang tengah memasak untuk mengambil obat merah dan juga plester. Dengan lembut dia mengobati lukaku, sesekali meniupinya. "Kamu istirahat saja, Nduk. Ibu tidak mau kamu sakit." Melihatku yang berkeras untuk melanjutkan pekerjaan, wanita itu menyuruhku jalan-jalan di sekeliling desa saja. "Biar Aji yang mengantarmu." "Tapi ...." "Tidak boleh ada penolakan. Pilihannya hanya kamu masuk ke kamar atau jalan-jalan. Lagipula di dapur sudah banyak orang, Nduk." Wanita itu meminta salah seorang perempuan memanggil Aji yang masih di kamarnya. "Nduk, kamu siap-siap saja sana." Ah, sepertinya aku punya alasan untuk teta
Angin berembus cukup kencang tepat saat kaki ini menyentuh tanah yang masih becek, sepertinya desa tempatku menghabiskan masa kecil ini baru saja diguyur hujan. Jalanannya yang berlubang banyak terdapat genangan air. Mata ini memindai sekitar, tempat yang telah lebih dari sepuluh tahun kutinggalkan, tidak banyak mengalami perubahan dari dulu. Saat masuk gapura desa, mata akan disuguhi dengan hamparan sawah yang menguning dan juga kebun jagung setelah itu baru terlihat rumah-rumah warga desa. Bangunan di sini pun masih terbilang tradisional, yakni rumah joglo khas pedesaan. Tidak ada rumah bertingkat seperti yang biasa kulihat di kota.Apalagi desa ini cukup terasing dari desa yang lain karena berbatasan dengan hutan, memang tidak terlalu luas.Di gapura berwarna biru yang catnya mulai mengelupas, sudah terbelit janur kuning sebagai pertanda akan ada hajatan besar di desa ini.Senyumku mengembang, ya, aku kembali ke sini dengan tujuan untuk menghadiri pernikahan sahabat masa kecilku
Aku terkejut saat mendengar ucapan dari wanita yang berdiri tepat di sampingku. Tangan ini gemetar hingga tidak menyadari kayu pengaduk itu sudah terlepas dari genggaman. Jatuh ke wajan hingga menimbulkan bunyi berdentam.Mataku terbeliak saat menatap letupan-letupan darah yang mulai mendidih. Bau anyir dan busuk menyatu, menguar, serta membumbung tinggi hingga menyentuh langit-langit dapur.Darah yang tadinya cair kini sebagian tampak menggumpal. "Da-darah?"”I-iya, ini darah yang masih sangat segar dan harum. Rasanya juga sangat manis sekali karena ini darah mereka yang tidak ditakdirkan untuk berdosa."Aku tercengang dengan ucapannya, mereka yang tidak berdosa? Apakah itu darah para anak-anak yang belum berdosa atau mungkin bayi yang baru terlahir. Perutku mual dan kepala sangat pening hanya dengan membayangkan darimana darah ini berasal .Kututupi mulut dan hidungku agar tidak mencium bau busuk seperti ribuan bangkai tikus.Mataku terbelalak saat wanita yang wajahnya tertutup ol
"Aduh," pekikku. Dengan sedikit berlari aku menuju tempat mencuci piring kemudian mengguyur jariku dengan air. "Ada apa, Nduk?" Kulirik wajah ayu yang tampak kuatir itu. "Mboten nopo-nopo, Budhe. Ini hanya sedikit tergores pisau tadi." Wanita itu segera memanggil salah satu wanita yang tengah memasak untuk mengambil obat merah dan juga plester. Dengan lembut dia mengobati lukaku, sesekali meniupinya. "Kamu istirahat saja, Nduk. Ibu tidak mau kamu sakit." Melihatku yang berkeras untuk melanjutkan pekerjaan, wanita itu menyuruhku jalan-jalan di sekeliling desa saja. "Biar Aji yang mengantarmu." "Tapi ...." "Tidak boleh ada penolakan. Pilihannya hanya kamu masuk ke kamar atau jalan-jalan. Lagipula di dapur sudah banyak orang, Nduk." Wanita itu meminta salah seorang perempuan memanggil Aji yang masih di kamarnya. "Nduk, kamu siap-siap saja sana." Ah, sepertinya aku punya alasan untuk teta
Mata ini membulat saat mendengar ucapan Pak Burhan. "Ri-ritual? Ritual apa, Pakdhe?""Bukan ritual yang rumit, tenang saja. " Pria itu sepertinya tahu tentang ketakutanku. "Nanti malam kamu akan beri tahu apa saja."Pikiranku terus bergerak liar tentang ritual seperti apa nanti yang harus kulalui. "Paman, memangnya harus ya, Tari melakukan ritual," ujarku sembari meremas baju sementara pandanganku lurus menatap pria yang ada di depanku. "Nanti coba paman bicara pada Pak Burhan. Harusnya yang jika ada ritual yang harus melakukannya adalah paman. Karena paman memaksa masuk ke sana sementara kamu tidak."Paman mengusap lenganku dengan lembut. Dari dulu itulah caranya menenangkanku. Dia memintaku untuk masuk ke kamar jika masih lelah."Gantari kalau hanya di kamar, pikirannya pasti nggrambyang ke mana-mana. Takut nanti malah teringat dengan kejadian aneh itu.""Ya, &n
Aku tidak menyangka akan mendapat kabar tidak sedap seperti ini. Aku adalah orang yang tahu pasti kalau Sekar adalah seorang wanita yang sedari kecil sangat menyukai calon suaminya, bisa dikatakan Ajilah cinta pertamanya. Rasanya janggal jika tiba-tiba saja kabur saat hari pernikahan yang lama diidamkannya sudah ada di depan mata."Gantari, coba lihat ini!” ucapnya sembari mendekatkan kamera ke jemarinya. Aku mengamati jemarinya hingga tatapanku berhenti di jari manisnya."Bagus tidak?”Gadis itu menunjukkan padaku cincin emas bertahtakan permata yang tersemat di jari manisnya saat kami melakukan panggilan video. Aku tentu saja berdecak kagum saat itu."Cantik sekali, dari siapa sih? Pangeran negeri seberang atau pangeran berkuda putih?" godaku.Aku bisa melihat semburat merah jambu di pipinya yang ranum. Ada rona kebahagiaan terpancar di wajahnya saat dia menyebut nama pria yang melamarnya untuk menjadi ratu di istananya be
Pandanganku perlahan mulai jelas, aku berada di sebuah entah ini taman atau ladang. Satu hal yang pasti aku ada di antara rumput-rumput liar yang tinggi. Dengan sedikit kesusahan karena kepala ini tanya begitu sakit dan pusing, aku bangkit berdiri untuk memastikan sebenarnya tempat apa aku berada sekarang. Apakah di alam manusia atau alam lain seperti sebelumnya.Tingginya rumput yang melebihi tinggi badanku membuatku harus berjinjit agar bisa melihat keluar. Untung saja tidak jauh dari tempatku berdiri ada dua gundukan tanah yang rumputnya lebih pendek, aku menaikinya untuk melihat sekitar.Aku seperti berada di hutan yang begitu luas tapi tidak terlalu lebat karena cahaya mentari bisa masuk tanpa terhalang pepohonan. Jarak pohon satu dengan yang lain cukup lebar. Sejauh mata memandang hanya ada rumput,semak belukar, dan beberapa pohon yang tumbuh besar. Tidak ada siapapun di tempat ini. Aku memilih kembali duduk dan berpikir setelah ini akan ke mana kakiku melangkah untuk mencari o
Pria dengan wajah penuh bekas luka bakar itu menatap dalam wajahku. Di binar matanya tidak lagi terlihat kilatan amarah yang sempat kulihat tadi. Namun, berganti mata yang berkaca-kaca tapi entah apa penyebabnya. Melihat mata elang itu ada rasa teduh yang menyusup di relung jiwa tapi terselip pula rasa sedih melihatnya."Pergilah dari desa ini, Nduk, sebelum terlambat. Pulanglah melalui jalanmu masuk ke desa ini.""Ta-tapi jalanan begitu gelap, bagaimana aku menemukan jalan keluarnya?”"Kamu akan menemukan jalanmu pulang nanti. Ingat, siapapun yang menghadangmu nanti jangan terbujuk dan jangan masuk ke rumah siapa-siapa. Temukan cahaya yang akan membawamu kembali ke duniamu. Hati-hati."Pak Seno menundukkan kepala, meninggalkan sebuah usapan di rambutku kemudian masuk ke rumahnya. Masih bisa kudengar suaranya saat membujuk Bu Hapsari melepaskanku. "Jika kamu mencintainya maka biarkan dia hidup semestinya.""Tapi ....""Tidak ada kata tapi, kita yang harus melepasnya. Kasihan jika tet
Langkahku gontai menjauh dari rumah ini, entah ke mana aku harus melangkah. Ingin pulang ke kota tapi semua barang dan juga ponselku, semuanya tertinggal. Langkahku terhenti di depan bekas rumah nenek. Dua orang penghuni rumah itu seperti yang pernah kulihat sebelumnya hanya duduk di teras. Ingin rasanya meminta tolong pada mereka tapi mengingat ketidaksukaan pria itu padaku timbul keraguan untuk masuk ke rumah yang sempat kutinggali itu.Kubalikkan badan untuk melanjutkan perjalananku, menembus kegelapan malam. Baru saja kaki ini hendak melangkah, kudengar wanita sang empunya rumah itu memanggilku."Gantari, ke mari masuklah,Nak!” Wanita itu tersenyum ramah sembari melambaikan tangannya. Memang benar pepatah mengatakan jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Wanita itu sebagian wajahnya memang rusak tapi dari matanya terlihat ada ketulusan yang jelas tertangkap."Tidak usah, Bu. Saya mau pulang saja,” tolakku karena pria itu menatapku dengan sangat tajam."Duduk di sini barang
Aku berteriak ketakutan melihat wujud Sekar yang begitu mengerikan itu. Wajahnya bisa dikatakan hancur, dari sudut matanya terus mengalir darah bercampur nanah. Bibirnya robek hampir sampai ke telinga. Rambut panjangnya gimbal dan basah, bukan karena keringat seperti yang kuduga tadi tapi karena darah. Lehernya seperti bekas gorokan."Se-Sekar?”Dia tersenyum begitu mengerikan, mata merah itu terus menatapku tanpa satu kali pun berkedip. Perlahan aku mundur karena dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku."Lihatlah betapa cantiknya anakku," ujarnya dengan suara parau. Bayi yang tadi kulihat begitu menggemaskan terlihat menyeramkan. Wajahnya penuh luka dan tubuhnya gosong, kukunya pun sangat panjang. Dia menangis menampilkan gusi yang penuh darah. Bola matanya hanya putih dan juga terus menangis. Dari mulutnya terus menerus keluar darah yang menyembur."Ke marilah, gendong keponakanmu!""Ti-tidak," tolakku. Siapa yang mau menggendong bayi yang mengerikan itu. Sekar berjalan
Suara rintihan kesakitan dan teriakan minta tolong semakin keras terdengar, membahana di seluruh penjuru rumah. Pertanyaan tentang kehamilan yang begitu cepat yang terus terlintas kukesampingkan. Yang terpenting sekarang adalah melihat keadaan Sekar. Jika memang sudah saatnya dia bersalin akan lebih baik aku fokus untuk membantu proses kelahiran Sekar. Aku harus gegas membawanya ke klinik agar Sekar segera ditangani oleh ahli medis. Semoga saja nanti saat bersalin ibu dan bayinya dalam keadaan sehat.Gegas aku masuk ke kamar Sekar. Di sana rupanya sudah ada Budhe Lasmi yang tengah mengganti jarik yang digunakan alas tidur Sekar. Sementara Sekar terus meraung kesakitan. Keringat di tubuhnya terlihat membanjir, belum lagi darah yang tak henti mengalir dari jalan lahir sebagai pertanda sudah waktunya seorang bayi terlahir ke dunia."Bu, perut Sekar sakit. Rasanya tidak tahan, Bu," rintihnya sembari meremas kain atau apapun yang ada di dekatnya."Sabar dulu, Nduk. Ini belum waktunya. Mas
Darah mengalir di kedua belah bagian tubuh tikus werog itu. Tentu saja aku menjerit antara takut dan jijik serta terkejut karena Sekar membunuh dan mencabiknya dengan tangan kosong."Apa yang kamu lakukan? I-itu kenapa ada tikus mati di tanganmu?"Wanita itu menyeringai. Matanya yang sendu telah berubah merah persis yang kulihat saat dipenuhi amarah."Aku lapar makanya aku ke sini untuk makan," jawabnya dengan suara parau dan mimik wajah yang begitu datar. Matanya tak lepas dari tikus yang digenggamnya dan dari lehernya kulihat berkali-kali dia menelan ludah, seperti tidak sabar untuk menyantap."La-lapar? Kan di rumah ibumu sudah masak. Ayo, kita pulang saja." Sekar bukannya mengikutiku tapi wanita itu tetap terdiam di sana. Dengan tanpa rasa jijik, dihirupnya darah yang mengalir di tikus itu dan dijilatnya moncongnya yang terbuka lebar hingga di mata tikus yang melotot dan nyaris keluar itu."Sekar! Buang itu!” teriakku saat wanita yang tengah hamil itu membuka mulut dan bersiap me