Aku terkejut saat mendengar ucapan dari wanita yang berdiri tepat di sampingku. Tangan ini gemetar hingga tidak menyadari kayu pengaduk itu sudah terlepas dari genggaman. Jatuh ke wajan hingga menimbulkan bunyi berdentam.
Mataku terbeliak saat menatap letupan-letupan darah yang mulai mendidih. Bau anyir dan busuk menyatu, menguar, serta membumbung tinggi hingga menyentuh langit-langit dapur.
Darah yang tadinya cair kini sebagian tampak menggumpal.
"Da-darah?"
”I-iya, ini darah yang masih sangat segar dan harum. Rasanya juga sangat manis sekali karena ini darah mereka yang tidak ditakdirkan untuk berdosa."
Aku tercengang dengan ucapannya, mereka yang tidak berdosa? Apakah itu darah para anak-anak yang belum berdosa atau mungkin bayi yang baru terlahir. Perutku mual dan kepala sangat pening hanya dengan membayangkan darimana darah ini berasal .
Kututupi mulut dan hidungku agar tidak mencium bau busuk seperti ribuan bangkai tikus.
Mataku terbelalak saat wanita yang wajahnya tertutup oleh rambut penuh uban karena dibiarkan tergerai itu menunduk. Tangannya meraup isi dalam wajan. Seolah ia tidak merasakan panasnya didihan darah itu.
"Cicipilah ini rasanya sangat manis.” Dia berujar sembari menyodorkan tangannya yang penuh dengan darah yang menetes di sela-sela jarinya.
"Ti-tidak. Itu mengerikan!"
Tanganku menangkisnya dengan kasar. Hanya satu dalam pikiranku bahwa harus segera pergi dari tempat mengerikan ini. Tempat yang aku sendiri tidak tahu ini nyata atau hanya sekadar ilusi semata.
Namun, langkah kaki ini seperti tertahan oleh sesuatu yang tidak terlihat ketika hendak melangkah. Aku seperti terkurung di penjara tak kasat mata.
Perlahan wanita itu menyibak rambut panjangnya dengan kedua lengannya.
Duh, Gusti. Sebenarnya wanita itu manusia atau bukan? Mengapa wajahnya penuh dengan borok dan mengeluarkan darah juga nanah yang meleleh. Kulitnya bergelambir dan juga sebagian terkelupas, beberapa belatung tampak melata keluar dari ujung matanya yang merah.
Senyumnya, bukan, lebih tepatnya dia menyeringai begitu mengerikan, memamerkan giginya yang hitam dan sangat runcing. Dari dalam mulutnya terus mengeluarkan liur yang hitam dan berbau sangat busuk.
Wanita itu terus menghidu anyirnya darah yang ada di tangannya kemudian menyesap dan menjilati jemarinya yang berkuku hitam dan panjang, seolah tengah menikmati makanan yang begitu lezat, hingga mulutnya belepotan darah.
”Rasakan ini, Cah ayu, nanti kamu pasti ketagihan.”
Dia terus menyodorkan darah yang berwarna kehitaman itu ke mulutku, hampir menjejalkan ke mulut. Untunglah meski kaki tidak bisa bergerak, mulutku terkatup dengan rapat serta aku bisa menggelengkan kepala sekuat tenaga.
Tanganku yang awalnya kugunakan untuk menghalau wanita itu, kini terulur ke arahnya. Kudorong tubuh wanita yang berjalan terbungkuk.
Namun, lagi aku dibuat heran karena kaki yang terlihat renta itu nyatanya berdiri kokoh tanpa bergeser sedikitpun. Padahal aku mendorongnya dengan sekuat tenaga.
”Oh, kamu ingin disuapi ya. Sini, buka mulutmu, Cah ayu," ujarnya dengan suara parau, tangan kanannya mencengkeram pipiku, hingga membuat mulutku otomatis terbuka. Saat tangannya yang lain hendak menjejalkan bongkahan darah itu, kakiku mulai bisa digerakkan. Dengan sekali tendang dan dorongan, tubuhnya berhasil kupukul mundur beberapa langkah.
Dengan cepat kuambil langkah seribu sembari menjerit-jerit meminta tolong pada siapa saja, sesekali aku menoleh ke belakang.
Aku bergidik saat mendengar wanita itu tertawa sembari menyesapi darah yang menempel di tangannya. Sampai aku tidak menyadari ada orang lain yang tengah berjalan ke arahku juga.
Tabrakan tidak dapat dihindari, aku terjatuh ke lantai.
”Aduh," rintihku sembari mengusap pelipis yang terantuk dinding.
”Gantari, apa yang kamu lakukan di sini?”
Suara itu, sepertinya aku mengenalnya. Rupanya dia adalah Budhe Lasmi, ibunya Sekar. Kupindai wanita yang menggunakan kain jarik serta kebaya berwarna hijau itu lekat, dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Kaki yang menapak di tanah membuatku sadar, dia manusia sepertiku.
"Ada apa? Kenapa kamu lari-lari seperti orang yang ketakutan? Lihat, badanmu keringatan seperti orang mandi saja," tanyanya sembari mengusap dahiku.
Saat meyakini dia adalah sosok yang kukenal, tak sungkan kuhamburkan diri ke pelukan wanita yang konon kabarnya pernah digandrungi oleh pamanku.
Air mataku luruh di sana, kutumpahkan semua rasa takutku. Dia terus mengusap lembut rambutku.
"Ada apa, Nduk?” tanyanya setelah tangisku mereda.
"Ta-tadi di dapur, ada hantu yang sedang memasak jenang dodol terbuat dari darah, Budhe. Gantari dipaksa untuk memakannya."
Bukannya menenangkanku, wanita itu tertawa lirih. "Oalah, Nduk. Tidak ada hantu di rumah ini. Sepertinya kamu memang kelelahan."
Wanita itu membantuku berdiri kemudian mengajak ke ruang tamu. Aku duduk di kursi rotan sembari menyenderkan kepala. Sementara wanita yang sudah disanggul dan telah dirias begitu cantik itu menuangkan air dalam kendi.
"Diminum dulu ini. Biar kamu tenang."
Kuraih gelas dari gerabah yang disodorkannya padaku. Tidak seperti kemarin aku langsung minumair itu. Kali ini kuperhatikan baik-baik, airnya memang sedikit keruh dan baunya lebih asam.
”Ini air apa,Budhe?"
"Hanya air biasa yang diberi beberapa bahan herbal untuk menjaga kesehatan, terutama anak gadis sepertimu. Sudah, diminum dulu.”
Dengan sedikit menahan napas, kuminum dengan sekali tenggak. Baunya memang tajam menusuk hidung.
”Bagaimana, sudah enakan belum?” Aku mengangguk perlahan sembari mengatur napas yang tersengal.
"Ya sudah, kalau kamu enakan, Budhe tinggal sebentar ya. Mau ke dapur buat memastikan apa hidangan buat para tamu nanti sudah siap atau belum,” ujarnya sembari berlalu menuju belakang rumah.
Dapur? Tidak, Bagaimana kalau hantu-hantu itu menakuti dia sepertiku tadi. Lebih baik aku segera mencegahnya.
Gegas aku bangkit dan menyusul wanita yang masih tampak begitu anggun, meski usianya tidak lagi muda.
”Budhe, jangan ke dapur. Di sana ada hantunya,” ujarku setelah berhasil menyejajarkan langkahnya. Kuamit tangannya untuk mencegah wanita itu melanjutkan langkah ke dapur.
”Hantu? hantu apa tidak ada hantu di sini."
Aku tetap bersikukuh dengan ucapanku karena nyatanya memang begitu. Hantu dan jenang dodol yang terbuat dari darah ada di sana.
”Begini saja, Nduk. Agar kamu percaya bahwa di rumah ini tidak ada hantunya. Kamu ikut menemani Budhe ke dapur. Jadi kalau misal ada hantunya kita bisa kabur saka-sama.”
Meski dengan hati yang dipenuhi ketakutan dan keraguan, tetap kuikuti langkah sang empunya rumah ini sementara tanganku terus mencekal lengan Budhe Lasmi dengan erat.
Dapur yang tadinya dipenuhi aroma anyir dan busuk telah berganti dengan aroma berbagai masakan yang harum dan menggugah selera makan siapa saja.
Semua kegiatan yang ada di dapur tampak biasa saja, seperti orang akan mengadakan hajatan pada umumnya.
Kuedarkan pandangan untuk mencari hantu tadi. Ah, ketemu. Wanita yang sedikit bungkuk itu ada di salah satu sudut dapur. Dia tengah mengaduk wajan besar.
”Budhe, itu hantunya,” bisikku perlahan,
”Ngawur kamu, Nduk. Dia itu Mbah Sumarti, orang yang sering dipanggil ke acara hajatan khusus untuk memasak jenang dodol.”
Aku mencoba membantah dengan menceritakan apa yang ku alami tadi. Budhe Lasmi bukannya percaya, dia malah mengajakku untuk menemui wanita tua yang wajahnya sangat mengerikan itu.
”Mbah, jenangnya sudah jadi?”
Hatiku tidak karuan saat wanita itu akan berbalik arah, akankan dia wanita yang sama dengan yang kulihat tadi.
Mataku terbelalak saat wajah kami bertemu. Dia adalah wanita yang paras ayunya masih tersisa diantara kerutan di wajahnya. Senyumnya begitu cantik meski bibirnya tengah mengunyah tembakau.
Tidak, kenapa dalam sekejap mata semuanya berubah. Padahal jelas-jelas tadi aku melihatnya dalam sosok hantu yang menyeramkan. Apa mungkin benar kata Budhe Lasmi aku terlalu lelah jadi sedikit mengalami halusinasi.
"Tuh, kamu lihat sendiri kan kalau tidak ada hantu di sini."
Aku hanya bisa mengangguk. Budhe Lasmi dan wanita itu tampak berbincang, entah apa yang mereka bincangkan.
Pandangan mataku lebih tertarik untuk melihat wanita-wanita lain yang tengah bercengkrama sembari terus bekerja.
Tunggu, kenapa di tampah yang berisi parutan kelapa itu seperti ada yang tengah bergerak. Untuk memastikannya aku berjalan mendekatinya. Saat sudah sangat dekat, aku bisa melihat jelas bahwa yang ada di tampah, bukanlah parutan kelapa, melainkan belatung yang seolah dikumpulkan dalam satu wadah yang besar. Bertumpuk dan menggunung.
Belatung-belatung dalam tampah itu terus bergerak liar, seolah tengah menari. Ada belatung yang tampak memakan temannya yang terlihat lemas. Mereka bagai monster kecil yang menjijikkan. Sebagian dari mereka merambat keluar dari tempatnya. Kini mulai memenuhi meja bahkan sudah ada yang merambat ke lantai. Dari hanya satu, kini sekitar puluhan belatung berjalan ke arahku. Ya, tujuan mereka memang mendekatiku karena semakin aku mundur, gerakan mereka pun semakin cepat.Saat salah satunya berhasil menyentuh ujung ibu jari kakiku, aku sontak berteriak sekuatnya sembari mengentak-entakkan kaki agar belatung itu melepaskan cengkeramannya."Budhe, tolong!”Aku bisa melihat wanita itu berlarian sembari mengangkat sedikit kain jariknya agar langkahnya lebih leluasa. Beberapa orang juga tampak meninggalkan pekerjaan dan tergopoh mendekatiku yang masih berteriak ketakutan.”Ada apa, Nduk? Kenapa kamu teriak-teriak seperti ini?” Aku bersembunyi di balik punggungnya sembari menunjuk ke lantai deng
Gantari 4Gorden jendela yang tadi sempat tersibak, kembali tertutup dengan cepat saat aku bersitatap dengan wajah mengerikan itu. Meski takut aku berusaha menguatkan hati. Ah, ini pasti aku hanya berhalusinasi seperti sebelumnya.Aku menatap rumah bercat hijau dan tanpa pagar itu dengan lekat. Masih kuingat jelas setiap sudut rumah itu, apakah sekarang masih sama ataukah sudah berubah karena jika dilihat dari bangunannya masih sama seperti dulu saat aku masih kecil, bahkan warna gordennya pun masih sama, berwarna cokelat berhiaskan bunga mawar merah.Mataku kini tertuju pada halaman samping rumah. Di sana terdapat ayunan dari papan kayu yang menggantung di dahan pohon mangga. Masih kuingat jelas setiap kali bermain ayunan hingga petang menjelang maka nenek akan datang sembari menenteng sapu untuk menyuruhku masuk rumah."Ri, cepat masuk rumah! Mataharinya sudah mau tenggelam. Kalau kamu tidak masuk, dibawa wewe gombel lho.”Aku kecil bukannya menurut saat mendengar perintah wanita
Mataku beralih ke arah para penabuh gamelan. Lagi dan lagi aku terkejut melihat betapa mengerikannya wujud mereka sekarang. Ada yang perutnya tertancap belati, ada yang dahinya tampak berlubang dan dari lubang itu terus mengalirkan darah. Semua penabuh gamelan bak mayat hidup, tangan mereka bergerak tapi mereka mati.Sementara para penari yang wajahnya cantik, sudah berubah menjadi penuh borok dan kulitnya melepuh. Ada pula yang matanya menjuntai begitu saja. Mulut mereka terus menerus mengeluarkan darah yang menghitam. Tubuh mereka pun penuh luka dan sayatan. Kebaya yang tadinya berwarna biru muda telah berlumuran darah yang telah mengering. Seorang penari lehernya hampir putus.Seorang dari mereka mengalungkan selendang ke tamu dan mencekiknya dengan itu kemudian menyeret mayatnya berkeliling panggung sembari terus tertawa melengking membuat siapapun yang mendengar pasti bergidik ketakutan. Berkali-kali mataku mengerjab agar semuanya kembali seperti semula, normal seperti seharus
Siapa saja yang ada di posisiku pasti terkejut mendengar berita kehamilan yang dirasa terlalu cepat ini. Bukankah baru beberapa hari lalu pernikahan dilaksanakan tapi sekarang perut Sekar sudah menyembul meski tidak terlalu besar tapi tetap saja mencuri perhatian. Mataku menatap setiap inci tubuh Sekar yang berdiri di depanku. Bisa kulihat senyum semringah yang menghiasi wajah nan ayu dan bersahaja itu. Tangannya terus mengelus perutnya sembari bersenandung riang. Buah hati memang menjadi pengikat dalam sebuah rumah tangga juga membawa kebahagiaan. Pertanyaan-pertanyaan terus menari di benak. Saat bibir hendak bertanya tapi hatiku melarang. Rasanya tidak tega merusak kebahagiaan sahabatku ini hanya demi keingin tahuan tentang batas norma yang bisa saja telah dilanggar kedua insan yang dimabuk asmara."Gantari!" Sebuah tepukan di bahu membuatku terkesiap, tersadar dari lamunan yang terus meliar hampir saja tidak terkendali. Lambaian tangan lentik itu berada di depan mataku."A-apa?
Pertengkaran keduanya samar terdengar di telinga meski tidak terlalu jelas. Namun, satu hal yang pasti bahwa keduanya berdebat tentang keberadaanku. Sepertinya memang benar aku lebih baik pergi dan menjauh dari rumah ini.Langkahku kini menuju tempat lain, berjalan-jalan di sekitar desa. Siapa tahu aku mengenal salah satu dari penduduk desa. Namun, jauh kakiku melangkah aku tidak menemukan satu orang pun yang melintas. Pintu-pintu rumah semuanya tertutup rapat bahkan tidak ada lampu yang menyala. Rasanya aku berada di desa yang tidak berpenghuni.Dulu saat kecil seingatku memang jika malam menjelang para orang tua meminta anak-anak untuk masuk ke rumah. Namun, tidak pernah sesunyi ini.Langkahku terhenti saat mendengar suara anak-anak yang tertawa riang dan berteriak-teriak meski ucapannya tak jelas. Ini pasti mereka tengah bermain di lapangan sama seperti yang biasa kulakukan saat dulu. Bermain petak umpet dan juga banyak permainan tradisional lainnya. Benar saja anak-anak tengah be
Darah mengalir di kedua belah bagian tubuh tikus werog itu. Tentu saja aku menjerit antara takut dan jijik serta terkejut karena Sekar membunuh dan mencabiknya dengan tangan kosong."Apa yang kamu lakukan? I-itu kenapa ada tikus mati di tanganmu?"Wanita itu menyeringai. Matanya yang sendu telah berubah merah persis yang kulihat saat dipenuhi amarah."Aku lapar makanya aku ke sini untuk makan," jawabnya dengan suara parau dan mimik wajah yang begitu datar. Matanya tak lepas dari tikus yang digenggamnya dan dari lehernya kulihat berkali-kali dia menelan ludah, seperti tidak sabar untuk menyantap."La-lapar? Kan di rumah ibumu sudah masak. Ayo, kita pulang saja." Sekar bukannya mengikutiku tapi wanita itu tetap terdiam di sana. Dengan tanpa rasa jijik, dihirupnya darah yang mengalir di tikus itu dan dijilatnya moncongnya yang terbuka lebar hingga di mata tikus yang melotot dan nyaris keluar itu."Sekar! Buang itu!” teriakku saat wanita yang tengah hamil itu membuka mulut dan bersiap me
Suara rintihan kesakitan dan teriakan minta tolong semakin keras terdengar, membahana di seluruh penjuru rumah. Pertanyaan tentang kehamilan yang begitu cepat yang terus terlintas kukesampingkan. Yang terpenting sekarang adalah melihat keadaan Sekar. Jika memang sudah saatnya dia bersalin akan lebih baik aku fokus untuk membantu proses kelahiran Sekar. Aku harus gegas membawanya ke klinik agar Sekar segera ditangani oleh ahli medis. Semoga saja nanti saat bersalin ibu dan bayinya dalam keadaan sehat.Gegas aku masuk ke kamar Sekar. Di sana rupanya sudah ada Budhe Lasmi yang tengah mengganti jarik yang digunakan alas tidur Sekar. Sementara Sekar terus meraung kesakitan. Keringat di tubuhnya terlihat membanjir, belum lagi darah yang tak henti mengalir dari jalan lahir sebagai pertanda sudah waktunya seorang bayi terlahir ke dunia."Bu, perut Sekar sakit. Rasanya tidak tahan, Bu," rintihnya sembari meremas kain atau apapun yang ada di dekatnya."Sabar dulu, Nduk. Ini belum waktunya. Mas
Aku berteriak ketakutan melihat wujud Sekar yang begitu mengerikan itu. Wajahnya bisa dikatakan hancur, dari sudut matanya terus mengalir darah bercampur nanah. Bibirnya robek hampir sampai ke telinga. Rambut panjangnya gimbal dan basah, bukan karena keringat seperti yang kuduga tadi tapi karena darah. Lehernya seperti bekas gorokan."Se-Sekar?”Dia tersenyum begitu mengerikan, mata merah itu terus menatapku tanpa satu kali pun berkedip. Perlahan aku mundur karena dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku."Lihatlah betapa cantiknya anakku," ujarnya dengan suara parau. Bayi yang tadi kulihat begitu menggemaskan terlihat menyeramkan. Wajahnya penuh luka dan tubuhnya gosong, kukunya pun sangat panjang. Dia menangis menampilkan gusi yang penuh darah. Bola matanya hanya putih dan juga terus menangis. Dari mulutnya terus menerus keluar darah yang menyembur."Ke marilah, gendong keponakanmu!""Ti-tidak," tolakku. Siapa yang mau menggendong bayi yang mengerikan itu. Sekar berjalan