Sementara para penari yang wajahnya cantik, sudah berubah menjadi penuh borok dan kulitnya melepuh. Ada pula yang matanya menjuntai begitu saja. Mulut mereka terus menerus mengeluarkan darah yang menghitam. Tubuh mereka pun penuh luka dan sayatan. Kebaya yang tadinya berwarna biru muda telah berlumuran darah yang telah mengering. Seorang penari lehernya hampir putus.
Seorang dari mereka mengalungkan selendang ke tamu dan mencekiknya dengan itu kemudian menyeret mayatnya berkeliling panggung sembari terus tertawa melengking membuat siapapun yang mendengar pasti bergidik ketakutan. Berkali-kali mataku mengerjab agar semuanya kembali seperti semula, normal seperti seharusnya. Tidak, semuanya masih begitu mengerikan.
Seorang penari menatapku sembari menyeringai. Jika tadi aku melihat langkahnya sangat gemulai tapi tidak kali ini. Dia berjalan terpincang sembari sedikit mengangkat jariknya sebatas lutut. Kaki kirinya terkulai lemas. Perlahan dia mendekat sembari menguatkan bau busuk bercampur bunga melati yang mengaduk perut. Aku takut dan ingin lari tapi badan rasanya lemas. Lambat laun pandanganku mulai mengabur hingga semuanya gelap.
Suara gamelan yang bertalu perlahan terdengar semakin jauh dan jauh. Hanya kudengar suara tangisan. Tangisan yang suaranya seperti tidak asing di telinga. Rasanya aku pernah mendengarnya tapi entah di mana.
Perlahan mataku terbuka tapi tetap saja tidak bisa kulihat dengan jelas, seperti melihat bayangan di air yang tidak jernih. Aku hanya bisa melihat seseorang itu tengah memunggungiku serta terduduk di tanah. Tangannya tak henti memukuli tanah yang sedikit becek itu. Satu lagi yang bisa kupastikan dia adalah seorang pria.
"Mas, aku gagal menjaga anakmu. Maafkan aku," ujarnya di sela isakan tangis.
Seorang pria lain datang mendekat sembari mengusap bahunya. "Pak, kita lanjutkan pencarian ponakan Anda di sana."
Kedua pria itu melangkah pergi tanpa menoleh ke arahku. Seiring kepergian mereka suara gamelan kembali mendekat.
Saat semua kejadian ini bisa kucerna dalam pemikiran dan logika, bau mint dan rempah-rempah yang sangat kuat menguar, menusuk hidungku. Perlahan mataku kembali terbuka kali ini lebih jelas dari sebelumnya.
Aku sudah tidak di luar bersama tamu-tamu yang mengerikan itu tapi aku sudah berada di kamar. Dia wanita yang begitu kukenal mengitariku dengan mimik wajah yang penuh kekuatiran.
"Nduk, ini kamu minum dulu,”
Budhe Lasmi membantuku bangun dari tidur untuk meminum air. Biasanya disajikan dengan kondisi dingin kali ini hangat, rasa asamnya tidak terlalu kentara tapi aromanya lebih kuat sampai-sampai aku harus menahan napas.
"Mana yang sakit, Ri?" tanya Sekar sembari terus menggenggam tanganku erat. Sorot matanya lembut, tidak seperti saat terakhir kali kami bertemu, matanya merah padam saat itu.
"Hanya sedikit pusing. Kamu tidak usah kuatir toh aku hanya pingsan sebentar saja," ujarku sembari memijat pelipisnya dengan lembut.
"Sebentar kamu bilang?”
Aku mengangguk, ya memang aku hanya pingsan sebentar saja. Sekar bangkit berdiri sembari berkacak pinggang.
"Kamu pingsan berhari-hari, Gantari. Lihat pernikahanku sudah lama berlalu sementara su-suamiku sudah kembali ke kota untuk bekerja."
Dahiku mengernyit memikirkan ucapan Sekar. Rasanya baru saja mataku menggelap tapi kenapa bisa berhari-hari dikatakan dalam keadaan tidak sadar.
"Memangnya kamu kenapa, Nduk? Kenapa bisa pingsan saat acara bahkan belum dimulai?”
Bayangan rentetan kejadian itu menari di angan, perlahan dan dengan suara parau kuceritakan semuanya pada dua wanita yang duduk di tepian ranjang itu.
"Setelah itu, Gantari tidak lihat apa-apa, kecuali ...."
Aku berusaha mengingat bagaimana ciri-ciri pria yang tampak menangis dalam penglihatanku. Sosok dan suaranya seperti tak asing tapi entah siapa.
"Seseorang menangis dan terus meminta maaf karena tidak bisa menjaga ponakannya."
"Mungkin itu hanya mimpimu, Nduk. Sudah berhari-hari kamu terbaring di kamar ini."
Ya, mungkin ini semua hanya mimpi tapi bagaimana dengan seringnya aku mengalami kejadian-kejadian yang janggal semenjak tinggal di sini. Apa mungkin benar itu hanya halusinasiku semata.
Suasana mulai membaik, Sekar menceritakan apa saja yang terjadi selama beberapa hari ini. Bahkan kehebohan para tamu saat aku tiba-tiba pingsan.
"Lalu bagaimana pernikahanmu tetap berjalan dengan lancar?”
Gadis, ah tidak, akan lebih pas aku menyebut Sekar sebagai wanita. Dia bukan seorang gadis lagi tapi sudah menjadi istri orang. Dalam bahasa Jawa istri itu disebut garwo atau sigaraning nyowo. Wanita itu telah menjadi belahan jiwa seorang pria.
Sekar tampak mengulum senyum malu. Niatku menggodanya semakin tertantang. Apalagi Budhe Lasmi sudah meninggalkan kamarku, aku lebih bebas menginterogasi sahabat masa kecilku itu.
"Bagaimana malam pertamanya, lancar bukan? Aman terkendali kan? Cobalah kau cerita dengan aku yang belum nikah ni. Biar aku termotivasi gitu.""Apa sih?" ujarnya sembari memukul lenganku pelan.
"Dih, tinggal jawab saja susah amat si."
Sekar tidak menjawab tapi rona merah yang terbias di pipinya sudah menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Aku tahu dia pasti sangat bahagia dengan pernikahannya.
”Sekar, tadinya itu aku mau nyuri bunga yang ada di rambutmu, tapi tidak jadi. Padahal sudah jauh hari aku merancangnya."
Sekar terkekeh mendengar ocehanku. Ya, memang sebagian orang percaya jika seorang gadis berhasil mencuri salah satu bunga yang menghiasi kepala pengantin maka akan bertemu dengan jodohnya. Dari rumah aku sudah berangan untuk melakukan misiku tapi harus menelan kegagalan karena ulah hantu-hantu itu.
Saat kami berbincang tiba-tiba saja Sekar menutup mulutnya kemudian berlari ke kamar mandi. Aku mengikuti langkahnya karena kuatir. Di dalam sana bisa kudengar dia tengah mengeluarkan isi dalam perutnya.
"Sekar! Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku sembari mengetuk pintu kamar mandi. Aku takut terjadi sesuatu padanya.
”I-iya, aku baik-ba ...."
Lagi-lagi sebelum ucapannya selesai aku mendengar dia kembali mengeluarkan isi dalam perutnya. Cukup lama dia ada di sana sementara aku bingung harus berbuat apa.
"Kamu sakit atau masuk angin? Aku kerikin ya. Wajahmu juga terlihat sangat pucat. Apa kita perlu ke puskesmas?"
Sekar bukannya menjawab, dia berlalu meninggalkanku setelah tersenyum simpul. Gegas kukejar langkahnya, aku ingin mendapat penjelasannya.
"Kita periksa ya," bujukku saat berhasil menyamai langkahnya. Namun, Sekar bersikukuh tidak mau.
”Tidak perlu. Ini bukan sakit tapi memang bawaan orang hamil."
"Ha-hamil?"
Entah apa yang kurasakan sekarang antara senang dan bingung. Aku senang karena sahabatku akan menjadi seorang ibu, itu artinya akan kumiliki seorang keponakan.
Namun, di saat yang bersamaan ada ribuan pertanyaan. Rasanya pernikahan baru saja terjadi tapi dia telah hamil. Jangan-jangan ....b.
Siapa saja yang ada di posisiku pasti terkejut mendengar berita kehamilan yang dirasa terlalu cepat ini. Bukankah baru beberapa hari lalu pernikahan dilaksanakan tapi sekarang perut Sekar sudah menyembul meski tidak terlalu besar tapi tetap saja mencuri perhatian. Mataku menatap setiap inci tubuh Sekar yang berdiri di depanku. Bisa kulihat senyum semringah yang menghiasi wajah nan ayu dan bersahaja itu. Tangannya terus mengelus perutnya sembari bersenandung riang. Buah hati memang menjadi pengikat dalam sebuah rumah tangga juga membawa kebahagiaan. Pertanyaan-pertanyaan terus menari di benak. Saat bibir hendak bertanya tapi hatiku melarang. Rasanya tidak tega merusak kebahagiaan sahabatku ini hanya demi keingin tahuan tentang batas norma yang bisa saja telah dilanggar kedua insan yang dimabuk asmara."Gantari!" Sebuah tepukan di bahu membuatku terkesiap, tersadar dari lamunan yang terus meliar hampir saja tidak terkendali. Lambaian tangan lentik itu berada di depan mataku."A-apa?
Pertengkaran keduanya samar terdengar di telinga meski tidak terlalu jelas. Namun, satu hal yang pasti bahwa keduanya berdebat tentang keberadaanku. Sepertinya memang benar aku lebih baik pergi dan menjauh dari rumah ini.Langkahku kini menuju tempat lain, berjalan-jalan di sekitar desa. Siapa tahu aku mengenal salah satu dari penduduk desa. Namun, jauh kakiku melangkah aku tidak menemukan satu orang pun yang melintas. Pintu-pintu rumah semuanya tertutup rapat bahkan tidak ada lampu yang menyala. Rasanya aku berada di desa yang tidak berpenghuni.Dulu saat kecil seingatku memang jika malam menjelang para orang tua meminta anak-anak untuk masuk ke rumah. Namun, tidak pernah sesunyi ini.Langkahku terhenti saat mendengar suara anak-anak yang tertawa riang dan berteriak-teriak meski ucapannya tak jelas. Ini pasti mereka tengah bermain di lapangan sama seperti yang biasa kulakukan saat dulu. Bermain petak umpet dan juga banyak permainan tradisional lainnya. Benar saja anak-anak tengah be
Darah mengalir di kedua belah bagian tubuh tikus werog itu. Tentu saja aku menjerit antara takut dan jijik serta terkejut karena Sekar membunuh dan mencabiknya dengan tangan kosong."Apa yang kamu lakukan? I-itu kenapa ada tikus mati di tanganmu?"Wanita itu menyeringai. Matanya yang sendu telah berubah merah persis yang kulihat saat dipenuhi amarah."Aku lapar makanya aku ke sini untuk makan," jawabnya dengan suara parau dan mimik wajah yang begitu datar. Matanya tak lepas dari tikus yang digenggamnya dan dari lehernya kulihat berkali-kali dia menelan ludah, seperti tidak sabar untuk menyantap."La-lapar? Kan di rumah ibumu sudah masak. Ayo, kita pulang saja." Sekar bukannya mengikutiku tapi wanita itu tetap terdiam di sana. Dengan tanpa rasa jijik, dihirupnya darah yang mengalir di tikus itu dan dijilatnya moncongnya yang terbuka lebar hingga di mata tikus yang melotot dan nyaris keluar itu."Sekar! Buang itu!” teriakku saat wanita yang tengah hamil itu membuka mulut dan bersiap me
Suara rintihan kesakitan dan teriakan minta tolong semakin keras terdengar, membahana di seluruh penjuru rumah. Pertanyaan tentang kehamilan yang begitu cepat yang terus terlintas kukesampingkan. Yang terpenting sekarang adalah melihat keadaan Sekar. Jika memang sudah saatnya dia bersalin akan lebih baik aku fokus untuk membantu proses kelahiran Sekar. Aku harus gegas membawanya ke klinik agar Sekar segera ditangani oleh ahli medis. Semoga saja nanti saat bersalin ibu dan bayinya dalam keadaan sehat.Gegas aku masuk ke kamar Sekar. Di sana rupanya sudah ada Budhe Lasmi yang tengah mengganti jarik yang digunakan alas tidur Sekar. Sementara Sekar terus meraung kesakitan. Keringat di tubuhnya terlihat membanjir, belum lagi darah yang tak henti mengalir dari jalan lahir sebagai pertanda sudah waktunya seorang bayi terlahir ke dunia."Bu, perut Sekar sakit. Rasanya tidak tahan, Bu," rintihnya sembari meremas kain atau apapun yang ada di dekatnya."Sabar dulu, Nduk. Ini belum waktunya. Mas
Aku berteriak ketakutan melihat wujud Sekar yang begitu mengerikan itu. Wajahnya bisa dikatakan hancur, dari sudut matanya terus mengalir darah bercampur nanah. Bibirnya robek hampir sampai ke telinga. Rambut panjangnya gimbal dan basah, bukan karena keringat seperti yang kuduga tadi tapi karena darah. Lehernya seperti bekas gorokan."Se-Sekar?”Dia tersenyum begitu mengerikan, mata merah itu terus menatapku tanpa satu kali pun berkedip. Perlahan aku mundur karena dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku."Lihatlah betapa cantiknya anakku," ujarnya dengan suara parau. Bayi yang tadi kulihat begitu menggemaskan terlihat menyeramkan. Wajahnya penuh luka dan tubuhnya gosong, kukunya pun sangat panjang. Dia menangis menampilkan gusi yang penuh darah. Bola matanya hanya putih dan juga terus menangis. Dari mulutnya terus menerus keluar darah yang menyembur."Ke marilah, gendong keponakanmu!""Ti-tidak," tolakku. Siapa yang mau menggendong bayi yang mengerikan itu. Sekar berjalan
Langkahku gontai menjauh dari rumah ini, entah ke mana aku harus melangkah. Ingin pulang ke kota tapi semua barang dan juga ponselku, semuanya tertinggal. Langkahku terhenti di depan bekas rumah nenek. Dua orang penghuni rumah itu seperti yang pernah kulihat sebelumnya hanya duduk di teras. Ingin rasanya meminta tolong pada mereka tapi mengingat ketidaksukaan pria itu padaku timbul keraguan untuk masuk ke rumah yang sempat kutinggali itu.Kubalikkan badan untuk melanjutkan perjalananku, menembus kegelapan malam. Baru saja kaki ini hendak melangkah, kudengar wanita sang empunya rumah itu memanggilku."Gantari, ke mari masuklah,Nak!” Wanita itu tersenyum ramah sembari melambaikan tangannya. Memang benar pepatah mengatakan jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Wanita itu sebagian wajahnya memang rusak tapi dari matanya terlihat ada ketulusan yang jelas tertangkap."Tidak usah, Bu. Saya mau pulang saja,” tolakku karena pria itu menatapku dengan sangat tajam."Duduk di sini barang
Pria dengan wajah penuh bekas luka bakar itu menatap dalam wajahku. Di binar matanya tidak lagi terlihat kilatan amarah yang sempat kulihat tadi. Namun, berganti mata yang berkaca-kaca tapi entah apa penyebabnya. Melihat mata elang itu ada rasa teduh yang menyusup di relung jiwa tapi terselip pula rasa sedih melihatnya."Pergilah dari desa ini, Nduk, sebelum terlambat. Pulanglah melalui jalanmu masuk ke desa ini.""Ta-tapi jalanan begitu gelap, bagaimana aku menemukan jalan keluarnya?”"Kamu akan menemukan jalanmu pulang nanti. Ingat, siapapun yang menghadangmu nanti jangan terbujuk dan jangan masuk ke rumah siapa-siapa. Temukan cahaya yang akan membawamu kembali ke duniamu. Hati-hati."Pak Seno menundukkan kepala, meninggalkan sebuah usapan di rambutku kemudian masuk ke rumahnya. Masih bisa kudengar suaranya saat membujuk Bu Hapsari melepaskanku. "Jika kamu mencintainya maka biarkan dia hidup semestinya.""Tapi ....""Tidak ada kata tapi, kita yang harus melepasnya. Kasihan jika tet
Pandanganku perlahan mulai jelas, aku berada di sebuah entah ini taman atau ladang. Satu hal yang pasti aku ada di antara rumput-rumput liar yang tinggi. Dengan sedikit kesusahan karena kepala ini tanya begitu sakit dan pusing, aku bangkit berdiri untuk memastikan sebenarnya tempat apa aku berada sekarang. Apakah di alam manusia atau alam lain seperti sebelumnya.Tingginya rumput yang melebihi tinggi badanku membuatku harus berjinjit agar bisa melihat keluar. Untung saja tidak jauh dari tempatku berdiri ada dua gundukan tanah yang rumputnya lebih pendek, aku menaikinya untuk melihat sekitar.Aku seperti berada di hutan yang begitu luas tapi tidak terlalu lebat karena cahaya mentari bisa masuk tanpa terhalang pepohonan. Jarak pohon satu dengan yang lain cukup lebar. Sejauh mata memandang hanya ada rumput,semak belukar, dan beberapa pohon yang tumbuh besar. Tidak ada siapapun di tempat ini. Aku memilih kembali duduk dan berpikir setelah ini akan ke mana kakiku melangkah untuk mencari o