Share

Gantari
Gantari
Author: Ve Ailsa

Bab. 1

Angin berembus cukup kencang tepat saat kaki ini menyentuh tanah yang masih becek, sepertinya desa tempatku menghabiskan masa kecil ini baru saja diguyur hujan. Jalanannya yang berlubang banyak terdapat genangan air. 

Mata ini memindai sekitar, tempat yang telah lebih dari sepuluh tahun kutinggalkan, tidak banyak mengalami perubahan dari dulu. 

Saat masuk gapura desa, mata akan disuguhi dengan hamparan sawah yang menguning dan juga kebun jagung setelah itu baru terlihat rumah-rumah warga desa. 

Bangunan di sini pun masih terbilang tradisional, yakni rumah joglo khas pedesaan. Tidak ada rumah bertingkat seperti yang biasa kulihat di kota.

Apalagi desa ini cukup terasing dari desa yang lain karena berbatasan dengan hutan, memang tidak terlalu luas.

Di gapura berwarna biru yang catnya mulai mengelupas, sudah terbelit janur kuning sebagai pertanda akan ada hajatan besar di desa ini.

Senyumku mengembang, ya, aku kembali ke sini dengan tujuan untuk menghadiri pernikahan sahabat masa kecilku, Sekar namanya.

Masih kuingat satu bulan yang lalu dia menghubungiku melalui sambungan telepon. Suara gadis itu terdengar begitu riang dan bersemangat ketika memberiku kabar bahagia itu.

"Gantari, bulan depan aku akan menikah. Kamu harus datang ya."

”Selamat ya. Siapa calon ... tunggu, biar aku tebak. Calon suamimu Aji?"

"I-iya," jawabnya dengan lirih. Aku tersenyum kecil karena dari nada suaranya pasti dia tengah tersipu.

"Akhirnya kamu jadi juga dengan anak Pak Lurah itu. Selamat ya karena perjuangan cinta selama belasan tahun akan terlaksana. Tapi soal bisa datang atau tidak, aku masih belum berani memastikan."

"Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus datang. Aku juga sudah bilang sama ibuku, nanti selama kamu di sini kamu akan tinggal di rumahku."

Ya, desa ini memang tanah kelahiranku. Namun, semenjak kematian nenek, aku diboyong oleh paman ke kota sementara tanah warisan sudah dijual.  Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mengunjungi desa ini. Sementara orang tuaku, ah tidak banyak yang kutahu tentang mereka. Seingatku nenek selalu menekankan bahwa keduanya telah tiada, hanya itu. Tanpa memberitahu di mana makamnya.

Aku memiliki nomor ponsel Sekar karena saat itu paman sempat mengunjungi desa ini kemudian gadis itu menitipkan sebuah surat untukku.

Langit yang mulai gelap membuatku harus berhenti hanya memandang saja indahnya hamparan sawah. Baru saja langkah ini terayun masuk ke jalan utama desa. Aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Gantari!"

Mataku menelisik dan mencari siapa gerangan yang memanggilku. Tepat di depan ladang jagung yang hanya berjarak dua puluh meter dari gapura, seseorang tengah melambai ke arahku.

"Gantari!"

Gadis yang mengenakan daster warna hijau itu sepertinya tidak asing. Aku berusaha mengingatnya. 

Astaga! Kutepuk dahiku saat akhirnya mengenali gadis itu. Aku segera berlari ke arahnya.

"Sekar!"

Tangannya merentang menyongsongku. Aku dan Sekar saling berpeluk, melepas rindu. 

"Apa kabarmu, Calon pengantin?" tanyaku saat tautan kami mulai mengendur.

"Aku baik. Ayo, kita pulang!"

Tangannya mengamit lenganku dan segera menuntunku. Tunggu, kenapa tidak lewat jalan desa, dia malah mengajakku masuk ladang jagung.

"Sekar, kenapa kita lewat sini?"

"Ini jalan pintas. Sudah nanti kita bicara di rumah."

Aku heran gadis itu tiba-tiba suaranya parau dan tangannya kenapa begitu dingin. Oh, mungkin karena angin malam yang terus berhembus dengan kuat membuat tenggorokan bermasalah. 

Rasanya langkah kaki ini semakin jauh ke dalam ladang jagung tapi tidak juga tiba di tujuan.  Tiba-tiba di depanku melintas sebuah tikus sawah yang sangat besar. Spontan aku berteriak ketakutan.

”Ada apa?"

"Sekar, i-itu ...." Ucapanku tersendat saat tanpa takut dan merasa jijik Sekar menarik ekor tikus itu kemudian mengangkatnya. Tepat saat tikus itu mencicit di depan wajah, gadis itu tersenyum. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Dia tetap tenang sementara aku terus berteriak ketakutan.

"Sekar, lepaskan saja itu. Ayo, kita pulang."

Perlahan gadis itu meletakan kembali ke tanah kemudian mengajakku kembali menembus kebun jagung itu. 

Kebun jagung ini begitu sunyi, bahkan sama sekali terdengar hewan-hewan kecil yang biasa di kebun.  Aku juga heran, kenapa Sekar saat mengangkat tubuh tikus itu sepertinya sama sekali tidak takut padahal setahuku saat kecil dia sangat takut dengan hewan itu. Namun, tadi aku bahkan bisa melihatnya menyeringai.

"Sekar, kenapa kamu keluar dari rumah? Bukankah sampai akad digelar kamu harus dipingit di dalam kamar dan tidak boleh keluar?" 

Kuajukan pertanyaan untuk memecah kesunyian malam ini. Gadis itu diam saja sembari terus berjalan menerobos pohon jagung yang sudah meninggi.

"Sekar! Kenapa kamu diam saja dari tadi?"

Gadis itu terus saja melangkah dan tidak mengacuhkan ucapanku.

Untung saja tepat saat aku ingin merajuk, aku dan Sekar sudah tiba di depan rumahnya.

Angin dingin menusuk kulitku, saat pintu dibuka. Ada rasa yang aneh, bukankah di setiap rumah yang mengadakan hajatan akan ramai orang rewang. Apalagi ini malam Midodareni, malam sebelum hari sakral itu tiba. Namun, di rumah Sekar begitu lengang seolah tidak ada kehidupan.

"Sekar, kenapa rumah ini sangat sepi? Di mana orang tuamu?"

Gadis itu duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu. Bahkan kursi ini mungkin usianya lebih tua dari kami berdua.

"Orang tuaku sedang pergi ada urusan di rumah calon mertuaku."

"Ke rumah calon suamimu? Bukankah harusnya mereka yang kemari? Lagipula besok pernikahanmu, bukan, kenapa tidak ada tenda atau dekorasi di rumah? Sepi sekali seperti tidak ada hajatan."

Gadis itu hanya mengangkat bahunya perlahan. Dia hanya memintaku untuk duduk dan menyodorkan padaku gelas dari gerabah  yang sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya.

"Ini air, minumlah untuk menghilangkan dahaga dan juga rasa lelah."

Karena kupikir ini hanyalah air putih, buru-buru kutenggak. Namun, saat air itu menyentuh lidahku, kurasa ini bukan air putih karena ada rasa asam dan sedikit pahit, ada sedikit rasa kapur juga.

"Sekar, ini air apa?"

"Itu ramuan untuk menghilangkan rasa capek. Sekarang istirahatlah di kamar. Besok aku akan menikah, kita harus menjaga kebugaran."

Gadis itu mendahului berjalan menuju lorong rumah ini. Di kanan kirinya terdapat banyak kamar.  Kamar Sekar ada di paling ujung belakang, berhadapan dengan kamar tamu yang akan kutempati.

"Tidurlah," ucapnya sembari menutup pintu kamarnya. 

Mataku menatap langit-langit kamar sementara tubuhku sudah di atas ranjang besi dan diberi kasur kapas yang dibentangi kain jarik sebagai pengganti spreinya. 

Kurebahkan tubuh di sana, benar kata Sekar, rasa capek akibat perjalanan selama setengah hari hilang berganti rasa kantuk yang teramat sangat. 

Rasanya baru saja kupejamkan mata, tiba-tiba saja telingaku mendengar suara berisik sekali, seperti sedang ada banyak orang tengah berbincang.

Aku terbangun untuk melihat suasana di luar. Di lorong ini begitu sepi, bahkan kamar Sekar pun masih tertutup. Aku mencoba berjalan ke dapur yang ada di ujung belakang rumah ini.

Benar saja, di dapur sudah banyak orang. Rupanya orang-orang sudah datang untuk rewang, yakni gotong royong untuk mempersiapkan makanan di hajatan.

Ibu-ibu saling melempar gurauan tapi tangan mereka tetap sibuk dengan pekerjaan. Ada yang tengah memarut kelapa, ada yang terlihat menanak nasi di depan tungku kayu. 

Hidungku mencium wangi gula merah yang menyatu dengan daun pandan. Ah, ini pasti ada yang memasak jenang dodol.

Aku menghampiri seorang wanita yang tampak tengah sibuk mengaduk wajan besar. 

"Bu, bolehkah saya membantu mengaduknya?" 

Ya, memang saat membuat jenang dodol harus terus diaduk agar tidak gosong.

Tanpa menoleh ke arahku dia memberiku kayu yang cukup panjang.

Semua berubah ketika aku menyentuh kayu itu, adonan jenang yang tadinya berwarna coklat berubah menjadi merah pekat dan baunya sangat anyir.

"Bu, ini jenang dodolnya kenapa seperti darah?" 

"Itu memang darah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status