Angin berembus cukup kencang tepat saat kaki ini menyentuh tanah yang masih becek, sepertinya desa tempatku menghabiskan masa kecil ini baru saja diguyur hujan. Jalanannya yang berlubang banyak terdapat genangan air.
Mata ini memindai sekitar, tempat yang telah lebih dari sepuluh tahun kutinggalkan, tidak banyak mengalami perubahan dari dulu.
Saat masuk gapura desa, mata akan disuguhi dengan hamparan sawah yang menguning dan juga kebun jagung setelah itu baru terlihat rumah-rumah warga desa.
Bangunan di sini pun masih terbilang tradisional, yakni rumah joglo khas pedesaan. Tidak ada rumah bertingkat seperti yang biasa kulihat di kota.
Apalagi desa ini cukup terasing dari desa yang lain karena berbatasan dengan hutan, memang tidak terlalu luas.
Di gapura berwarna biru yang catnya mulai mengelupas, sudah terbelit janur kuning sebagai pertanda akan ada hajatan besar di desa ini.
Senyumku mengembang, ya, aku kembali ke sini dengan tujuan untuk menghadiri pernikahan sahabat masa kecilku, Sekar namanya.
Masih kuingat satu bulan yang lalu dia menghubungiku melalui sambungan telepon. Suara gadis itu terdengar begitu riang dan bersemangat ketika memberiku kabar bahagia itu.
"Gantari, bulan depan aku akan menikah. Kamu harus datang ya."
”Selamat ya. Siapa calon ... tunggu, biar aku tebak. Calon suamimu Aji?"
"I-iya," jawabnya dengan lirih. Aku tersenyum kecil karena dari nada suaranya pasti dia tengah tersipu.
"Akhirnya kamu jadi juga dengan anak Pak Lurah itu. Selamat ya karena perjuangan cinta selama belasan tahun akan terlaksana. Tapi soal bisa datang atau tidak, aku masih belum berani memastikan."
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus datang. Aku juga sudah bilang sama ibuku, nanti selama kamu di sini kamu akan tinggal di rumahku."
Ya, desa ini memang tanah kelahiranku. Namun, semenjak kematian nenek, aku diboyong oleh paman ke kota sementara tanah warisan sudah dijual. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mengunjungi desa ini. Sementara orang tuaku, ah tidak banyak yang kutahu tentang mereka. Seingatku nenek selalu menekankan bahwa keduanya telah tiada, hanya itu. Tanpa memberitahu di mana makamnya.
Aku memiliki nomor ponsel Sekar karena saat itu paman sempat mengunjungi desa ini kemudian gadis itu menitipkan sebuah surat untukku.
Langit yang mulai gelap membuatku harus berhenti hanya memandang saja indahnya hamparan sawah. Baru saja langkah ini terayun masuk ke jalan utama desa. Aku mendengar seseorang memanggil namaku.
"Gantari!"
Mataku menelisik dan mencari siapa gerangan yang memanggilku. Tepat di depan ladang jagung yang hanya berjarak dua puluh meter dari gapura, seseorang tengah melambai ke arahku.
"Gantari!"
Gadis yang mengenakan daster warna hijau itu sepertinya tidak asing. Aku berusaha mengingatnya.
Astaga! Kutepuk dahiku saat akhirnya mengenali gadis itu. Aku segera berlari ke arahnya.
"Sekar!"
Tangannya merentang menyongsongku. Aku dan Sekar saling berpeluk, melepas rindu.
"Apa kabarmu, Calon pengantin?" tanyaku saat tautan kami mulai mengendur.
"Aku baik. Ayo, kita pulang!"
Tangannya mengamit lenganku dan segera menuntunku. Tunggu, kenapa tidak lewat jalan desa, dia malah mengajakku masuk ladang jagung.
"Sekar, kenapa kita lewat sini?"
"Ini jalan pintas. Sudah nanti kita bicara di rumah."
Aku heran gadis itu tiba-tiba suaranya parau dan tangannya kenapa begitu dingin. Oh, mungkin karena angin malam yang terus berhembus dengan kuat membuat tenggorokan bermasalah.
Rasanya langkah kaki ini semakin jauh ke dalam ladang jagung tapi tidak juga tiba di tujuan. Tiba-tiba di depanku melintas sebuah tikus sawah yang sangat besar. Spontan aku berteriak ketakutan.
”Ada apa?"
"Sekar, i-itu ...." Ucapanku tersendat saat tanpa takut dan merasa jijik Sekar menarik ekor tikus itu kemudian mengangkatnya. Tepat saat tikus itu mencicit di depan wajah, gadis itu tersenyum. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Dia tetap tenang sementara aku terus berteriak ketakutan.
"Sekar, lepaskan saja itu. Ayo, kita pulang."
Perlahan gadis itu meletakan kembali ke tanah kemudian mengajakku kembali menembus kebun jagung itu.
Kebun jagung ini begitu sunyi, bahkan sama sekali terdengar hewan-hewan kecil yang biasa di kebun. Aku juga heran, kenapa Sekar saat mengangkat tubuh tikus itu sepertinya sama sekali tidak takut padahal setahuku saat kecil dia sangat takut dengan hewan itu. Namun, tadi aku bahkan bisa melihatnya menyeringai.
"Sekar, kenapa kamu keluar dari rumah? Bukankah sampai akad digelar kamu harus dipingit di dalam kamar dan tidak boleh keluar?"
Kuajukan pertanyaan untuk memecah kesunyian malam ini. Gadis itu diam saja sembari terus berjalan menerobos pohon jagung yang sudah meninggi.
"Sekar! Kenapa kamu diam saja dari tadi?"
Gadis itu terus saja melangkah dan tidak mengacuhkan ucapanku.
Untung saja tepat saat aku ingin merajuk, aku dan Sekar sudah tiba di depan rumahnya.
Angin dingin menusuk kulitku, saat pintu dibuka. Ada rasa yang aneh, bukankah di setiap rumah yang mengadakan hajatan akan ramai orang rewang. Apalagi ini malam Midodareni, malam sebelum hari sakral itu tiba. Namun, di rumah Sekar begitu lengang seolah tidak ada kehidupan.
"Sekar, kenapa rumah ini sangat sepi? Di mana orang tuamu?"
Gadis itu duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu. Bahkan kursi ini mungkin usianya lebih tua dari kami berdua.
"Orang tuaku sedang pergi ada urusan di rumah calon mertuaku."
"Ke rumah calon suamimu? Bukankah harusnya mereka yang kemari? Lagipula besok pernikahanmu, bukan, kenapa tidak ada tenda atau dekorasi di rumah? Sepi sekali seperti tidak ada hajatan."
Gadis itu hanya mengangkat bahunya perlahan. Dia hanya memintaku untuk duduk dan menyodorkan padaku gelas dari gerabah yang sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Ini air, minumlah untuk menghilangkan dahaga dan juga rasa lelah."
Karena kupikir ini hanyalah air putih, buru-buru kutenggak. Namun, saat air itu menyentuh lidahku, kurasa ini bukan air putih karena ada rasa asam dan sedikit pahit, ada sedikit rasa kapur juga.
"Sekar, ini air apa?"
"Itu ramuan untuk menghilangkan rasa capek. Sekarang istirahatlah di kamar. Besok aku akan menikah, kita harus menjaga kebugaran."
Gadis itu mendahului berjalan menuju lorong rumah ini. Di kanan kirinya terdapat banyak kamar. Kamar Sekar ada di paling ujung belakang, berhadapan dengan kamar tamu yang akan kutempati.
"Tidurlah," ucapnya sembari menutup pintu kamarnya.
Mataku menatap langit-langit kamar sementara tubuhku sudah di atas ranjang besi dan diberi kasur kapas yang dibentangi kain jarik sebagai pengganti spreinya.
Kurebahkan tubuh di sana, benar kata Sekar, rasa capek akibat perjalanan selama setengah hari hilang berganti rasa kantuk yang teramat sangat.
Rasanya baru saja kupejamkan mata, tiba-tiba saja telingaku mendengar suara berisik sekali, seperti sedang ada banyak orang tengah berbincang.
Aku terbangun untuk melihat suasana di luar. Di lorong ini begitu sepi, bahkan kamar Sekar pun masih tertutup. Aku mencoba berjalan ke dapur yang ada di ujung belakang rumah ini.
Benar saja, di dapur sudah banyak orang. Rupanya orang-orang sudah datang untuk rewang, yakni gotong royong untuk mempersiapkan makanan di hajatan.
Ibu-ibu saling melempar gurauan tapi tangan mereka tetap sibuk dengan pekerjaan. Ada yang tengah memarut kelapa, ada yang terlihat menanak nasi di depan tungku kayu.
Hidungku mencium wangi gula merah yang menyatu dengan daun pandan. Ah, ini pasti ada yang memasak jenang dodol.
Aku menghampiri seorang wanita yang tampak tengah sibuk mengaduk wajan besar.
"Bu, bolehkah saya membantu mengaduknya?"
Ya, memang saat membuat jenang dodol harus terus diaduk agar tidak gosong.
Tanpa menoleh ke arahku dia memberiku kayu yang cukup panjang.
Semua berubah ketika aku menyentuh kayu itu, adonan jenang yang tadinya berwarna coklat berubah menjadi merah pekat dan baunya sangat anyir.
"Bu, ini jenang dodolnya kenapa seperti darah?"
"Itu memang darah."
Aku terkejut saat mendengar ucapan dari wanita yang berdiri tepat di sampingku. Tangan ini gemetar hingga tidak menyadari kayu pengaduk itu sudah terlepas dari genggaman. Jatuh ke wajan hingga menimbulkan bunyi berdentam.Mataku terbeliak saat menatap letupan-letupan darah yang mulai mendidih. Bau anyir dan busuk menyatu, menguar, serta membumbung tinggi hingga menyentuh langit-langit dapur.Darah yang tadinya cair kini sebagian tampak menggumpal. "Da-darah?"”I-iya, ini darah yang masih sangat segar dan harum. Rasanya juga sangat manis sekali karena ini darah mereka yang tidak ditakdirkan untuk berdosa."Aku tercengang dengan ucapannya, mereka yang tidak berdosa? Apakah itu darah para anak-anak yang belum berdosa atau mungkin bayi yang baru terlahir. Perutku mual dan kepala sangat pening hanya dengan membayangkan darimana darah ini berasal .Kututupi mulut dan hidungku agar tidak mencium bau busuk seperti ribuan bangkai tikus.Mataku terbelalak saat wanita yang wajahnya tertutup ol
Belatung-belatung dalam tampah itu terus bergerak liar, seolah tengah menari. Ada belatung yang tampak memakan temannya yang terlihat lemas. Mereka bagai monster kecil yang menjijikkan. Sebagian dari mereka merambat keluar dari tempatnya. Kini mulai memenuhi meja bahkan sudah ada yang merambat ke lantai. Dari hanya satu, kini sekitar puluhan belatung berjalan ke arahku. Ya, tujuan mereka memang mendekatiku karena semakin aku mundur, gerakan mereka pun semakin cepat.Saat salah satunya berhasil menyentuh ujung ibu jari kakiku, aku sontak berteriak sekuatnya sembari mengentak-entakkan kaki agar belatung itu melepaskan cengkeramannya."Budhe, tolong!”Aku bisa melihat wanita itu berlarian sembari mengangkat sedikit kain jariknya agar langkahnya lebih leluasa. Beberapa orang juga tampak meninggalkan pekerjaan dan tergopoh mendekatiku yang masih berteriak ketakutan.”Ada apa, Nduk? Kenapa kamu teriak-teriak seperti ini?” Aku bersembunyi di balik punggungnya sembari menunjuk ke lantai deng
Gantari 4Gorden jendela yang tadi sempat tersibak, kembali tertutup dengan cepat saat aku bersitatap dengan wajah mengerikan itu. Meski takut aku berusaha menguatkan hati. Ah, ini pasti aku hanya berhalusinasi seperti sebelumnya.Aku menatap rumah bercat hijau dan tanpa pagar itu dengan lekat. Masih kuingat jelas setiap sudut rumah itu, apakah sekarang masih sama ataukah sudah berubah karena jika dilihat dari bangunannya masih sama seperti dulu saat aku masih kecil, bahkan warna gordennya pun masih sama, berwarna cokelat berhiaskan bunga mawar merah.Mataku kini tertuju pada halaman samping rumah. Di sana terdapat ayunan dari papan kayu yang menggantung di dahan pohon mangga. Masih kuingat jelas setiap kali bermain ayunan hingga petang menjelang maka nenek akan datang sembari menenteng sapu untuk menyuruhku masuk rumah."Ri, cepat masuk rumah! Mataharinya sudah mau tenggelam. Kalau kamu tidak masuk, dibawa wewe gombel lho.”Aku kecil bukannya menurut saat mendengar perintah wanita
Mataku beralih ke arah para penabuh gamelan. Lagi dan lagi aku terkejut melihat betapa mengerikannya wujud mereka sekarang. Ada yang perutnya tertancap belati, ada yang dahinya tampak berlubang dan dari lubang itu terus mengalirkan darah. Semua penabuh gamelan bak mayat hidup, tangan mereka bergerak tapi mereka mati.Sementara para penari yang wajahnya cantik, sudah berubah menjadi penuh borok dan kulitnya melepuh. Ada pula yang matanya menjuntai begitu saja. Mulut mereka terus menerus mengeluarkan darah yang menghitam. Tubuh mereka pun penuh luka dan sayatan. Kebaya yang tadinya berwarna biru muda telah berlumuran darah yang telah mengering. Seorang penari lehernya hampir putus.Seorang dari mereka mengalungkan selendang ke tamu dan mencekiknya dengan itu kemudian menyeret mayatnya berkeliling panggung sembari terus tertawa melengking membuat siapapun yang mendengar pasti bergidik ketakutan. Berkali-kali mataku mengerjab agar semuanya kembali seperti semula, normal seperti seharus
Siapa saja yang ada di posisiku pasti terkejut mendengar berita kehamilan yang dirasa terlalu cepat ini. Bukankah baru beberapa hari lalu pernikahan dilaksanakan tapi sekarang perut Sekar sudah menyembul meski tidak terlalu besar tapi tetap saja mencuri perhatian. Mataku menatap setiap inci tubuh Sekar yang berdiri di depanku. Bisa kulihat senyum semringah yang menghiasi wajah nan ayu dan bersahaja itu. Tangannya terus mengelus perutnya sembari bersenandung riang. Buah hati memang menjadi pengikat dalam sebuah rumah tangga juga membawa kebahagiaan. Pertanyaan-pertanyaan terus menari di benak. Saat bibir hendak bertanya tapi hatiku melarang. Rasanya tidak tega merusak kebahagiaan sahabatku ini hanya demi keingin tahuan tentang batas norma yang bisa saja telah dilanggar kedua insan yang dimabuk asmara."Gantari!" Sebuah tepukan di bahu membuatku terkesiap, tersadar dari lamunan yang terus meliar hampir saja tidak terkendali. Lambaian tangan lentik itu berada di depan mataku."A-apa?
Pertengkaran keduanya samar terdengar di telinga meski tidak terlalu jelas. Namun, satu hal yang pasti bahwa keduanya berdebat tentang keberadaanku. Sepertinya memang benar aku lebih baik pergi dan menjauh dari rumah ini.Langkahku kini menuju tempat lain, berjalan-jalan di sekitar desa. Siapa tahu aku mengenal salah satu dari penduduk desa. Namun, jauh kakiku melangkah aku tidak menemukan satu orang pun yang melintas. Pintu-pintu rumah semuanya tertutup rapat bahkan tidak ada lampu yang menyala. Rasanya aku berada di desa yang tidak berpenghuni.Dulu saat kecil seingatku memang jika malam menjelang para orang tua meminta anak-anak untuk masuk ke rumah. Namun, tidak pernah sesunyi ini.Langkahku terhenti saat mendengar suara anak-anak yang tertawa riang dan berteriak-teriak meski ucapannya tak jelas. Ini pasti mereka tengah bermain di lapangan sama seperti yang biasa kulakukan saat dulu. Bermain petak umpet dan juga banyak permainan tradisional lainnya. Benar saja anak-anak tengah be
Darah mengalir di kedua belah bagian tubuh tikus werog itu. Tentu saja aku menjerit antara takut dan jijik serta terkejut karena Sekar membunuh dan mencabiknya dengan tangan kosong."Apa yang kamu lakukan? I-itu kenapa ada tikus mati di tanganmu?"Wanita itu menyeringai. Matanya yang sendu telah berubah merah persis yang kulihat saat dipenuhi amarah."Aku lapar makanya aku ke sini untuk makan," jawabnya dengan suara parau dan mimik wajah yang begitu datar. Matanya tak lepas dari tikus yang digenggamnya dan dari lehernya kulihat berkali-kali dia menelan ludah, seperti tidak sabar untuk menyantap."La-lapar? Kan di rumah ibumu sudah masak. Ayo, kita pulang saja." Sekar bukannya mengikutiku tapi wanita itu tetap terdiam di sana. Dengan tanpa rasa jijik, dihirupnya darah yang mengalir di tikus itu dan dijilatnya moncongnya yang terbuka lebar hingga di mata tikus yang melotot dan nyaris keluar itu."Sekar! Buang itu!” teriakku saat wanita yang tengah hamil itu membuka mulut dan bersiap me
Suara rintihan kesakitan dan teriakan minta tolong semakin keras terdengar, membahana di seluruh penjuru rumah. Pertanyaan tentang kehamilan yang begitu cepat yang terus terlintas kukesampingkan. Yang terpenting sekarang adalah melihat keadaan Sekar. Jika memang sudah saatnya dia bersalin akan lebih baik aku fokus untuk membantu proses kelahiran Sekar. Aku harus gegas membawanya ke klinik agar Sekar segera ditangani oleh ahli medis. Semoga saja nanti saat bersalin ibu dan bayinya dalam keadaan sehat.Gegas aku masuk ke kamar Sekar. Di sana rupanya sudah ada Budhe Lasmi yang tengah mengganti jarik yang digunakan alas tidur Sekar. Sementara Sekar terus meraung kesakitan. Keringat di tubuhnya terlihat membanjir, belum lagi darah yang tak henti mengalir dari jalan lahir sebagai pertanda sudah waktunya seorang bayi terlahir ke dunia."Bu, perut Sekar sakit. Rasanya tidak tahan, Bu," rintihnya sembari meremas kain atau apapun yang ada di dekatnya."Sabar dulu, Nduk. Ini belum waktunya. Mas