"Mas? Kamu kok bawa aku ke sini? Ngapain? Ini udah waktunya masuk kerja loh, Mas."Aku menyanggah niat Mas Yoga yang malah mengajakku singgah sebentar di pinggir danau."Bentar aja, aku udah ijinin aku sama kamu kok sama staf kantor."Dia menjawab sembari jalan ke arah tempat duduk. Sedangkan aku masih berdiri di samping mobil menenteng tas."Ayok, sini! Duduk dulu." Dia meminta. Aku pun memutuskan untuk mendekat. Mau bagaimana lagi, kami sudah sampai.Aku duduk di sampingnya. "Sebenarnya, ada hal yang ingin aku katakan."Tegh!Wajah Mas Yoga kini serius sekali. Apa yang ingin dia katakan? Apa terkait pernikahan?Perasaanku sudah tak enak saja. "Apa, Mas? Soal apa?" tanyaku ragu."Ini … ini soal pernikahan kita. Ada hal yang ingin aku katakan sama kamu. Ini … ini mumpung cetakan undangan belum keluar karena aku yang menahannya dulu."Jleb!Apa maksudnya? Apa sebenarnya yang jadi masalah? Tiba-tiba ..."Ey, ey, ey. Dua sejoli ada di sini."Ada suara tepuk tangan juga.Fokus kami malah
PoV Maya***"Mas, maaf ya. Maafin atas apa yang dikatakan oleh Mas Anang dan pacarnya."Setelah mereka berdua berlalu, aku segera meminta maaf pada Mas Yoga.Nampaknya Mas Anang ke sini hanya ingin mengejek kami saja. Buktinya, sekarang dia kembali pergi. Kendaraan yang mereka tumpangi sudah berlalu."Tak apa-apa. Santai aja. Yuk duduk lagi."Mas Yoga dengan tenang memintaku duduk kembali. Sepertinya sekarang aku sudah bisa bertanya, apa yang ingin ia katakan tadi? Gara-gara si bibir emak-emak jadi terjeda."Em, Mas? Sebenarnya apa yang kamu mau bahas soal pernikahan kita?" tanyaku penasaran."Sebenarnya ini. Em, kamu tapi tak marah 'kan? Oh ya, ini juga akan aku bicarakan pada Ibu kamu. Begini …."Aduh, membuat hatiku berdebar saja. Apa ada yang tak setuju dengan pernikahan kami apalagi karena statusku."Kamu santai aja, Mas. Kamu jelasin aja semuanya. Aku akan dengar dengan baik kok. Mending dibicarakan sekarang, jangan dinanti-nanti. Apapun yang kamu ucapkan, aku akan siap dan ber
Kami sudah jalan ke arah kantor lagi. Tentunya naik kendaraan calon suami yang berwarna silver ini. "Em, Sayang? Aku mau tanya, apa kamu mau undang mantan kamu ke nikahan kita?"Mas Yoga tiba-tiba bertanya soal undangan ke mantan suami. Katanya, undangan pernikahan kami siap besok sore.Sebenarnya aku ingin membuktikan hinaan Mas Anang itu di pesta pernikahan kami. Tapi, aku takut Mas Yoga tak memperbolehkan Mas Anang datang. Secara, dia itu orangnya memalukan."Em, terserah kamu saja, Mas." Aku menjawab dengan sedikit senyuman. Pria di hadapanku ini masih fokus menatap jalan raya, namun sesekali menatapku."Loh, kok terserah?" ujarnya."Kalau kamu? Apa kamu akan undang mantan kamu ke pernikahan kamu?" ucapku balik."Ya, aku juga terserah kamu sih. Kalau kamu bolehin, ya mending diundang saja. Apalagi aku juga tak ada hubungan buruk dengan mereka. Kita santai aja. Tapi, kalau kata kamu tak usah ya tak apa-apa." Itu tanggapan Mas Yoga.Sebenarnya aku ingin sekali mengundang Mas Anang
PoV Maya***"Jadi bagaimana, Mas? Kamu jadi beli saham perusahaan itu?" tanyaku pada Mas Yoga yang kini telah kembali. Kami saat ini sedang makan siang bersama di kafe kantor. Setelah setengah hari bekerja, rasanya perut ini sudah keroncongan ingin diisi."Iya, Sayang. Sekarang saham perusahaan itu 85% milik perusahaan ini. Sepertinya lambat laun juga perusahaan itu akan beralih tangan."Mendengar apa yang dijelaskan Mas Yoga aku benar-benar takjub. Ternyata perusahaan Mas Anang memang sahamnya sudah beralih tangan sebagian besar.Sepertinya akan ada keseruan baru. Awas saja kamu, Mas, pasti suatu saat kamu akan merasa malu sendiri."Em, jadi, kamu punya kuasa besar di sana ya, Mas?" ucapku ikut bersimpati."Ya, dan sekarang, aku ini juga bos mantan suami kamu loh!" jelas Mas Yoga sembari menyuap kentang goreng.Benar dugaanku, Mas Anang menyangka calon suamiku orang miskin, namun sekarang adalah petinggi di perusahaan itu. Skenario ini aku suka sekali."Oh ya betul ya, Mas. Apa dia
Tok tok tok!Sore hari aku gegas melangkah ke rumah Risma. Niatku adalah untuk memberi mereka undangan pernikahan. Aku mengharapkan mereka hadir, dan yang lebih penting supaya Risma tak menduga kalau aku kecentilan pada Mas Diwan.Selama dia datang menjadi tetangga baru, mulutnya terus saja ngoceh, dan Mas Diwan malah selalu membelaku. Jelas saja, Risma semakin menganggapku wanita kurang perhatian. Jadi, sepertinya Mas Diwan memang orang baik, namun istrinya saja yang sakit."Ya? Sebentar!"Ada jawaban dari dalam, namun orangnya belum menampakkan diri. Sepertinya hanya ada Risma saja, karena tak kulihat sepeda motor terparkir. Tapi aku sengaja, datang di saat Mas Diwan tak ada, supaya tak difitnah olehnya."Eh, Maya? Ada apa?" Setelah pintu dibukanya, Risma langsung bertanya dengan delikan mata menahan kekesalan. Sepertinya dia itu memang sudah suudzon saja padaku."Kamu orang kantoran ya? Jangan sampai pinjam uang!"Belum apa-apa dia sudah menduga hal buruk. Sebenarnya Indra keenam
PoV Anang***"Halo, Mas Anang?"Tiba-tiba Sindy datang menghampiri ke rumah di siang hari. Ini hari Minggu, jadi aku ada di rumah. "Sindy?" Aku menyapanya balik. Sekarang wanita yang selama ini dekat denganku itu mendekat. Karena pintu terbuka, jadi Sindy bisa langsung nyelonong.Aku tadi ditelepon seseorang dengan cemas. Karena Lukman telah dilaporkan atas korupsi barang yang disuplai ke Halilintar Corps itu. Lukman juga malah menghubungiku setelah dia dinyatakan bersalah oleh bosnya. Tapi aku sudah bicara padanya, dia tinggal ikut saja. Aku akan bantu dia nanti.Katanya dia sedang dalam pemeriksaan. Ibu masih di kamar, dia sepertinya sedang merias diri dengan perhiasan barunya. Kalau tahu ada Sindy, dia pasti terburu-buru."Mas, katanya Om Lukman kena seret kasus korupsi itu ya? Bagaimana ini, Mas? Kamu bisa bantu? Dia itu punya anak dan istri loh. Kamu juga yang ikut dapat uangnya 'kan?" Sindy ternyata telah tahu kalau omnya ditangkap. Aku sudah wanti-wanti pada Lukman supaya t
Kuraih buku undangan yang entah siapa yang akan menikah. Dilihat dari kemasan buku undangan sepertinya orang yang lumayan berada. Tapi, orang sederhana pun di jaman sekarang malah lebih sok kaya."Anang? Ada apa?" Ibu bertanya perihal maksud kedatangan tamu. Namun, tiba-tiba ponsel milikku berdenting. Dengan begitu, pertanyaan Ibu pun hanya kujawab, "undangan, Bu. Eh, sebentar, ada panggilan.""Kalau begitu saya permisi, Pak." Si kurir pamitan."Oh iya, iya."Kurir telah pergi. Aku gegas menerima panggilan tapi sepertinya harus bicara di belakang. Sepertinya orang yang akan bicara serius telah menghubungi. Jangan sampai Sindy tahu.Buku undangan kuletakkan saja di meja. Ibu dan Sindy masih asyik ngobrol. Wanita kalau sudah bicara pasti lupa waktu dan lupa lingkungan."Kamu mau ke mana, Mas?" Sindy heran karena aku mengangkat panggilan menjauh dari mereka."Ah sudahlah, biarin. Sindy, kita belanja yuk! Tante mau, kamu temani Tante belanja."Kedengarannya Ibu dan Sindy akan pergi belanj
PoV Risma***Namaku Risma Antini. Gadis yang dulu sering direbutkan pria semasa SMA dan sekarang telah menikah dengan Mas Diwan, senior dulu.Sebenarnya Mas Diwan dulu pernah berpacaran dengan tetanggaku sekarang yaitu Maya. Tapi, karena entah bagaimana hubungan mereka kandas kudengar. Setelah itu, kudekatilah Mas Diwan yang memiliki paras yang lumayan tampan. Sayang, dia bukan orang konglomerat. Tapi, setidaknya dia juga tak begitu miskin.Setelah aku mendengar Maya menikah dengan manajer dulu itu, lumayan dadaku memanas. Mas Diwan hanya kerja serabutan, dan setelah beberapa bulan, bersyukur dia dapat kerjaan di luar kota. Maka dari itu, kami pindah saja ke sana. Apalah pendidikan Mas Diwan yang hanya diterima sebagai staf super biasa. Itu pun gara-gara orang dalam. Orang yang kenal denganku sejak lama. Kebetulan yang ajak juga dia. Tapi, gara-gara keteledoran petinggi perusahaan, jadinya perlahan perusahaaan i