PoV Maya***"Bu, ternyata Mas Diwan dan Risma itu yang pindah. Mereka huni lagi rumah almarhum orang tua Mas Diwan."Setelah masuk aku bicara pada Ibu. Sepertinya ada rasa heran juga tersirat di wajahnya. "Hah? Jadi Diwan kembali lagi? Kamu sudah ketemu?" "Sama Mas Diwan sih enggak ketemu, tapi sama Risma. Dia barusan sudah pancing emosi Maya, Bu. Maya 'kan sapa dia, ya memang kita baru ketemu lagi sekian tahun 'kan, Bu? Tapi, dia malah suudzon, bawa-bawa ke arah kalau aku pernah dekat sama Mas Diwan dulu." Sebenarnya kalau tak curhat, serasa hati ini gendok sekali. Mungkin aku harus belajar lagu bagaimana cara menyikapi hati menghadapi orang-orang semacam Risma."Ya ampun, masih sama Risma kayak dulu? Lagian, apa yang harus dikhawatirkan?" ucap Ibu sembari bolak-balik bawa gelas kosong."Enggak tahu, Bu. Mungkin karena statusku ini." Ibu kini sudah selesai tuangkan air putih ke gelas, kami akan segera sarapan pagi. Tadi aku dan Ibu yang masak, setelah masak gegas menyiram tanaman
"Heh? Gaya sok kantoran, jalan kaki aja? Gak pesan ojol!" ledeknya. Aku jadi tahu, kalau dia ternyata hanya ingin memancing emosiku saja. Dia sepertinya haus berdebat."Risma!" Mas Diwan menegur istrinya, namun aku tak tergoyahkan oleh perkataan Risma. Kaki terus melangkah tanpa menghiraukan Risma si tukang ngoceh. Hampir saja mood ini terjun bebas ke dasar jurang.Dia suudzon kalau aku ingin cari perhatian pada Mas Diwan. Aduh, mana mungkin, ada feeling lagi pada suaminya juga tidak. Aku hanya menganggapnya tetangga saja, tak lebih. Lagipula, ada Mas Yoga yang lebih dari segalanya***Aku sudah sampai di kantor. Pagi hari Mas Yoga sudah ada saja di ruanganku. Seketika raut malu pun muncul sembari menoleh arloji. Dipikir terlambat datang, namun waktu masih pukul tujuh lewat tiga puluh. "Assalamualaikum, Mas? Kok udah di sini aja?" ucapku sembari melangkah masuk, karena pintu ruangan tak dibuka."Waalaikum salam. Selamat pagi?" sapanya balik."Pagi, Mas." Dengan santai aku jalan ke a
Mas Yoga ada di ruang lain, dia juga sedang coba baju untuk akad nikah kami nanti.Setelah kupakai, ternyata benar-benar pas. Tapi ada ruang sedikit sehingga tak pengap saat memakainya.Aku harus menjaga asupan makanan. Jangan sampai badanku melar dan baju ini malah kekecilan. Hihi."Wah, Mbak cantik sekali. Silahkan Mbak, kita perlihatkan ini sama calon suami Mbak. Yuk!"Degh!Bagaimana nanti? Sekarang saja aku sudah begitu deg-degan. Padahal ini baru fitting baju.Aku tak bisa menolak, karena bagaimanapun juga aku harus tampil cantik di hadapan calon suami. Barangkali Mas Yoga mencela baju ini tak pas saat kupakai. Itu kenapa tidak mungkin?Sembari mempersiapkan kemungkinan yang terjadi atas penglihatan Mas Yoga nanti, aku pun coba atur napas. Semoga Mas Yoga tak memandang aku jelek pakai baju akad."Mas Yoga?"Fashion designer menyapa Mas Yoga yang sedang membenarkan kerah baju membelakangi kami.Entah mengapa, keringatku malah mengucur lumayan deras. Ini tak baik, jangan sampai baj
"Mas? Kamu kok bawa aku ke sini? Ngapain? Ini udah waktunya masuk kerja loh, Mas."Aku menyanggah niat Mas Yoga yang malah mengajakku singgah sebentar di pinggir danau."Bentar aja, aku udah ijinin aku sama kamu kok sama staf kantor."Dia menjawab sembari jalan ke arah tempat duduk. Sedangkan aku masih berdiri di samping mobil menenteng tas."Ayok, sini! Duduk dulu." Dia meminta. Aku pun memutuskan untuk mendekat. Mau bagaimana lagi, kami sudah sampai.Aku duduk di sampingnya. "Sebenarnya, ada hal yang ingin aku katakan."Tegh!Wajah Mas Yoga kini serius sekali. Apa yang ingin dia katakan? Apa terkait pernikahan?Perasaanku sudah tak enak saja. "Apa, Mas? Soal apa?" tanyaku ragu."Ini … ini soal pernikahan kita. Ada hal yang ingin aku katakan sama kamu. Ini … ini mumpung cetakan undangan belum keluar karena aku yang menahannya dulu."Jleb!Apa maksudnya? Apa sebenarnya yang jadi masalah? Tiba-tiba ..."Ey, ey, ey. Dua sejoli ada di sini."Ada suara tepuk tangan juga.Fokus kami malah
PoV Maya***"Mas, maaf ya. Maafin atas apa yang dikatakan oleh Mas Anang dan pacarnya."Setelah mereka berdua berlalu, aku segera meminta maaf pada Mas Yoga.Nampaknya Mas Anang ke sini hanya ingin mengejek kami saja. Buktinya, sekarang dia kembali pergi. Kendaraan yang mereka tumpangi sudah berlalu."Tak apa-apa. Santai aja. Yuk duduk lagi."Mas Yoga dengan tenang memintaku duduk kembali. Sepertinya sekarang aku sudah bisa bertanya, apa yang ingin ia katakan tadi? Gara-gara si bibir emak-emak jadi terjeda."Em, Mas? Sebenarnya apa yang kamu mau bahas soal pernikahan kita?" tanyaku penasaran."Sebenarnya ini. Em, kamu tapi tak marah 'kan? Oh ya, ini juga akan aku bicarakan pada Ibu kamu. Begini …."Aduh, membuat hatiku berdebar saja. Apa ada yang tak setuju dengan pernikahan kami apalagi karena statusku."Kamu santai aja, Mas. Kamu jelasin aja semuanya. Aku akan dengar dengan baik kok. Mending dibicarakan sekarang, jangan dinanti-nanti. Apapun yang kamu ucapkan, aku akan siap dan ber
Kami sudah jalan ke arah kantor lagi. Tentunya naik kendaraan calon suami yang berwarna silver ini. "Em, Sayang? Aku mau tanya, apa kamu mau undang mantan kamu ke nikahan kita?"Mas Yoga tiba-tiba bertanya soal undangan ke mantan suami. Katanya, undangan pernikahan kami siap besok sore.Sebenarnya aku ingin membuktikan hinaan Mas Anang itu di pesta pernikahan kami. Tapi, aku takut Mas Yoga tak memperbolehkan Mas Anang datang. Secara, dia itu orangnya memalukan."Em, terserah kamu saja, Mas." Aku menjawab dengan sedikit senyuman. Pria di hadapanku ini masih fokus menatap jalan raya, namun sesekali menatapku."Loh, kok terserah?" ujarnya."Kalau kamu? Apa kamu akan undang mantan kamu ke pernikahan kamu?" ucapku balik."Ya, aku juga terserah kamu sih. Kalau kamu bolehin, ya mending diundang saja. Apalagi aku juga tak ada hubungan buruk dengan mereka. Kita santai aja. Tapi, kalau kata kamu tak usah ya tak apa-apa." Itu tanggapan Mas Yoga.Sebenarnya aku ingin sekali mengundang Mas Anang
PoV Maya***"Jadi bagaimana, Mas? Kamu jadi beli saham perusahaan itu?" tanyaku pada Mas Yoga yang kini telah kembali. Kami saat ini sedang makan siang bersama di kafe kantor. Setelah setengah hari bekerja, rasanya perut ini sudah keroncongan ingin diisi."Iya, Sayang. Sekarang saham perusahaan itu 85% milik perusahaan ini. Sepertinya lambat laun juga perusahaan itu akan beralih tangan."Mendengar apa yang dijelaskan Mas Yoga aku benar-benar takjub. Ternyata perusahaan Mas Anang memang sahamnya sudah beralih tangan sebagian besar.Sepertinya akan ada keseruan baru. Awas saja kamu, Mas, pasti suatu saat kamu akan merasa malu sendiri."Em, jadi, kamu punya kuasa besar di sana ya, Mas?" ucapku ikut bersimpati."Ya, dan sekarang, aku ini juga bos mantan suami kamu loh!" jelas Mas Yoga sembari menyuap kentang goreng.Benar dugaanku, Mas Anang menyangka calon suamiku orang miskin, namun sekarang adalah petinggi di perusahaan itu. Skenario ini aku suka sekali."Oh ya betul ya, Mas. Apa dia
Tok tok tok!Sore hari aku gegas melangkah ke rumah Risma. Niatku adalah untuk memberi mereka undangan pernikahan. Aku mengharapkan mereka hadir, dan yang lebih penting supaya Risma tak menduga kalau aku kecentilan pada Mas Diwan.Selama dia datang menjadi tetangga baru, mulutnya terus saja ngoceh, dan Mas Diwan malah selalu membelaku. Jelas saja, Risma semakin menganggapku wanita kurang perhatian. Jadi, sepertinya Mas Diwan memang orang baik, namun istrinya saja yang sakit."Ya? Sebentar!"Ada jawaban dari dalam, namun orangnya belum menampakkan diri. Sepertinya hanya ada Risma saja, karena tak kulihat sepeda motor terparkir. Tapi aku sengaja, datang di saat Mas Diwan tak ada, supaya tak difitnah olehnya."Eh, Maya? Ada apa?" Setelah pintu dibukanya, Risma langsung bertanya dengan delikan mata menahan kekesalan. Sepertinya dia itu memang sudah suudzon saja padaku."Kamu orang kantoran ya? Jangan sampai pinjam uang!"Belum apa-apa dia sudah menduga hal buruk. Sebenarnya Indra keenam