"A … apa maksud, Pak Bos?" tanyanya seakan ingin berdalih. Kata 'bos' yang aku tanggapi itu berarti hanya untuk pencitraan setelah merasa dirinya mungkin salah."Konsumen mengeluhkan. Kondisi bangunan barangnya tidak seperti yang diinginkan. Apakah yang salah ini perusahaan atau supplier barang?" Mas Yoga mencecar Pak Andi."Bukankah supplier juga sudah tahu apa yang kita inginkan? Kenapa jadi berubah? Pak Andi yang tak teliti atau mereka yang berhasil memasukkan barang jelek dengan harga yang sama dengan kualitas yang diinginkan?" Saat ini wajah Pak Andi mulai memucat. Dia yang baru bekerja beberapa bulan itu sepertinya harus bersiap-siap menerima surat peringatan dari perusahaan."Ma … maaf, Pak. Saya betul-betul tak tahu. Sepertinya saya juga baru tahu masalah ini." Pak Andi menjawab dengan ragu. Dia ini sedang berakting atau takut?"Tolong ambil semua laporan mengenai proyek itu," titah Mas Yoga."Baik, Pak."Sepertinya Pak Andi kaget betul dengan pertanyaan Mas Yoga saat ini. Di
"Lalu, mana uangnya? Kalau barang dengan kualitas begitu yang kita beli? Kenapa laporan uang yang keluar masih tetap sama? Ini artinya, Pak Andi yang raup keuntungan bersama orang yang diajak kerjasama dengan Pak Andi. Karena tak mungkin orang kerja sendiri tanpa bantuan orang lain. Ini jelas, Pak Andi memang mengambil keuntungan dari proyek ini. Jadi, silahkan beresi barang-barang Pak Andi dan tinggalkan kantor ini sekarang juga."Hah?Aku benar-benar kaget dengan keputusan Mas Yoga. Kupikir manajer Andi hanya akan diberikan SP saja, belum sampai dipecat."Pak Yoga? Kenapa Bapak memutuskan hal yang belum tentu benar? Bapak kenapa pecat saya?" Kedua bola mata Pak Andi terbelalak lebar. Ia kaget dengan keputusan Mas Yoga saat ini."Belum tentu benar? Jelas Anda yang jelaskan pada saya kalau semuanya itu ada keuntungannya. Tapi, keuntungan bagi siapa? Dana yang dihabiskan untuk proyek ini begitu besar dengan barang yang tak sesuai. Jadi, dari jawaban Pak Andi tadi, itu membuktikan kala
PoV Anang***"Bagian Mas telah aku transfer. Aku bangga bisa kerjasama dengan Mas dalam hal ini. Lain kali, saat ada proyek seperti ini lagi, Mas jangan lupa bimbing aku. Aku ini orangnya panikan, Mas. Untung ada Mas yang atur semuanya." Dia bicara padaku.Saat ini aku dan sohib hitamku sedang duduk manis di sebuah tempat asing. Menikmati anggur untuk menemani keberhasilan kami. Tak lupa juga pesta pizza hanya berdua saja. Yang lainnya nanti belakangan, ini hanya pesta si dalang saja."Tentu, ini sebenarnya hal kecil namun kita bisa untung besar. Halilintar corps itu sekarang lebih sering menang proyek, imbasanya, bos marah-marah gak karuan. Halah, aku bodo amat, dia gak kasih komisi, tapi kita punya komisi sampingan. Tinggal tek, tek, tek, selesai. Lagipula, barang yang kamu kirim itu gak ada bedanya. Sekilas mereka tak akan teliti soal itu," jelasku penuh wibawa.Siasatku sejak awal memang berbuah manis. Sejak bertemu dengan Sindy dan juga omnya ini, peluang bisnis terbuka lebar. K
"B … bos," jawabnya seperti tak bernyawa."Apa mungkin bosmu tahu?" selidikku, karena kalau secepat ini tidak mungkin. Apa Halilintar Corps menghubungi perusahaan supplier?"Coba diangkat?" saranku.Gelas berisi anggur kusimpan sejenak. Penasaran dengan apa yang bosnya katakan, aku pun menyuruh Lukman untuk loud speaker.Wajah Lukman memucat, padahal belum tentu apa yang kita lakukan diketahui oleh bos."Pak Lukman, Anda di mana?" tanya bos Lukman.Aku berharap Lukman bisa menjawab dengan santai. "Saya sedang di luar, Bos. Sebentar lagi saya kembali." Bagus, sekarang sepertinya dia sudah bisa berakting. Walaupun tak bertatap muka, tapi mimik wajah menjadi bumbu keluarnya nada dari pita suara."Sebentar lagi kita ada proyek besar. Sore ini kita meeting dadakan. Saya masih di batas kota, satu jam lagi saya sampai."Aku sudah kaget dengan apa yang ingin dikatakan oleh bos Lukman. Namun, sepertinya tak ada sangkut paut dengan kegiatan kami. Aku harus cepat-cepat memastikan si manajer ya
"Tuh, udah berhasil." Aku menunjukkan tatapan kami ke layar datar lebih dari 7 inchi ini."Oke, makasih anak Ibu yang terbaik."Aku mengerutkan kening. "Memang anak Ibu siapa lagi yang baik? Aku doang 'kan?""Iya, kamu doang. Anak Ibu 'kan cuma satu, kamu," ucap Ibu manja, "ya sudah, sekarang Ibu mau berangkat. Ibu mau telepon Jeng Nur biar jemput Ibu." Aku pun mengiyakan. Kami di rumah punya dua mobil yang harganya tiga ratus jutaan. Yang satu milikku, yang satu inventaris dari perusahaan.Ibu tak bisa mengendarai mobil, sehingga kemana-mana dia selalu bersama rekannya."Eh, Jeng Nur sudah jemput. Ibu berangkat dulu ya, Nak. Kamu memang cerdas dan pintar. Bye." Ibu pergi dengan sumringah. Berpakaian keren dengan tampilan masa kini. Ibu sudah menduga kecerdasan anaknya. Aku lagi-lagi berterima kasih karena Ibu selalu mendukung. Ingin rasanya aku bertemu lagi dengan Maya, biar aku ejek dia sampai mati kutu karena masih miskin saja.Oh ya, sebenarnya aku belum ada waktu untuk cari tah
"Mama sering kok, Pah beliin Arya mainan bagus. Mainan ini juga Arya udah punya. Mama sama Om Yoga yang belikan."Degh!Kenapa Arya bicara begitu? Aku sengaja belikan dia mainan yang harganya sampai satu juta lebih hanya untuknya. Tapi, dia bilang Om Yoga? Wah, kampret si Yoga."Masak sih? Arya pasti dibeliin yang KW. Itu asli loh. Harganya jutaan." Aku memastikan kalau Arya salah memuji. Bagaimanapun juga si Yoga tak boleh mengalahkan diri ini di mata buah hatiku."Iya, Pah. Malah aku punya mainan keren loh, Pah. Aku punya pesawat yang terbang kayak pesawat betulan, Pah. Ada kameranya lagi. Tapi bukan drone."Aku kembali kaget dengan ucapan Arya. Kenapa dia bicara begitu? Memang si Yoga mampu beli?"Ah, masak sih? Emang Mama kamu mampu beli?" ucapku mengejek."Bukan aku yang belikan, Mas, tapi calon suamiku." Kini Maya yang sinis menjawab pertanyaanku."Halah, pasti hasil curian. Gaji berapa sih dia?" ledekku. Ngomong-ngomong, kenapa Maya tak mempersilahkan aku masuk? Dasar tak sopa
PoV Maya***Sungguh keterlaluan sekali Mas Anang. Dia pikir aku wanita macam apa? Tak sedikit mereka yang telah bercerai namun bisa menjaga adab dan tata krama. Tapi dia? Sungguh membuatku muak. Kalau saja bukan ayahnya Arya, mungkin aku sudah mengusir dirinya sejak datang. Tapi, kami punya buah hati, tak baik kalau aku menjauhkan dia dengan ayahnya. Pasti dia tak menyangka kalau barusan aku akan menyiram wajahnya yang lecek dengan rayuan itu sampai basah kuyup. Nanti-nanti, kalau terjadi lagi mungkin aku harus mengguyurnya dengan air comberan atau dengan oli mesin. Kedengarannya kendaraan yang ia bawa telah meninggalkan halaman rumah. Saat ini dadaku masih naik turun karena emosi sambil bersandar ke pintu. Dia melecehkan sekali? Punya daya tarik apa sehingga perusahaan bisa menerimanya bekerja, bahkan pada jabatan itu.Oh ya, dia pasti tidak tahu kalau aku juga punya inventaris mobil, namun di simpan di garasi kakak Ibuku, karena kalau di sini kurang aman. Takutnya dicuri orang k
Kata Ibu, rumahnya sudah dijual pada orang lain mungkin, karena sekarang memang nampak lampunya terang benderang. Kalau biasanya hanya di luar saja satu gantungan lampu, sekarang dalamnya pun ada cahaya.Deg!Baru saja tatapan mata ini ingin berpaling dari rumah yang aku maksud, karena hendak menatapi keindahan bunga mawar, seorang wanita yang aku kenali keluar dari rumah itu. Dia Risma, istri Mas Diwan mantan pacarku dulu sejak masa kelas satu SMA yang barusaja terlintas di pikiran.Aku benar-benar kaget, jadi mereka kembali? Bukankah Risma tak mau tinggal di rumah itu?"Risma?" Aku menegurnya Setelah sejenak menyimpan penyiram bunga. Ia pun menoleh kaget dan sepertinya baru saja bangun tidur. Wajahnya masih kusut dengan rambut yang lumayan belum rapi. Aku melihatnya sedang menggeliat sembari menguap."Hah? Maya?"Dia menoleh dan seu mendekat menyelidik ke arahku, hingga kami pun kini sebentar lagi saling berhadapan. Dia yang beranjak seperti penasaran."Kamu di sini? Bukannya kamu