"Tuh, udah berhasil." Aku menunjukkan tatapan kami ke layar datar lebih dari 7 inchi ini."Oke, makasih anak Ibu yang terbaik."Aku mengerutkan kening. "Memang anak Ibu siapa lagi yang baik? Aku doang 'kan?""Iya, kamu doang. Anak Ibu 'kan cuma satu, kamu," ucap Ibu manja, "ya sudah, sekarang Ibu mau berangkat. Ibu mau telepon Jeng Nur biar jemput Ibu." Aku pun mengiyakan. Kami di rumah punya dua mobil yang harganya tiga ratus jutaan. Yang satu milikku, yang satu inventaris dari perusahaan.Ibu tak bisa mengendarai mobil, sehingga kemana-mana dia selalu bersama rekannya."Eh, Jeng Nur sudah jemput. Ibu berangkat dulu ya, Nak. Kamu memang cerdas dan pintar. Bye." Ibu pergi dengan sumringah. Berpakaian keren dengan tampilan masa kini. Ibu sudah menduga kecerdasan anaknya. Aku lagi-lagi berterima kasih karena Ibu selalu mendukung. Ingin rasanya aku bertemu lagi dengan Maya, biar aku ejek dia sampai mati kutu karena masih miskin saja.Oh ya, sebenarnya aku belum ada waktu untuk cari tah
"Mama sering kok, Pah beliin Arya mainan bagus. Mainan ini juga Arya udah punya. Mama sama Om Yoga yang belikan."Degh!Kenapa Arya bicara begitu? Aku sengaja belikan dia mainan yang harganya sampai satu juta lebih hanya untuknya. Tapi, dia bilang Om Yoga? Wah, kampret si Yoga."Masak sih? Arya pasti dibeliin yang KW. Itu asli loh. Harganya jutaan." Aku memastikan kalau Arya salah memuji. Bagaimanapun juga si Yoga tak boleh mengalahkan diri ini di mata buah hatiku."Iya, Pah. Malah aku punya mainan keren loh, Pah. Aku punya pesawat yang terbang kayak pesawat betulan, Pah. Ada kameranya lagi. Tapi bukan drone."Aku kembali kaget dengan ucapan Arya. Kenapa dia bicara begitu? Memang si Yoga mampu beli?"Ah, masak sih? Emang Mama kamu mampu beli?" ucapku mengejek."Bukan aku yang belikan, Mas, tapi calon suamiku." Kini Maya yang sinis menjawab pertanyaanku."Halah, pasti hasil curian. Gaji berapa sih dia?" ledekku. Ngomong-ngomong, kenapa Maya tak mempersilahkan aku masuk? Dasar tak sopa
PoV Maya***Sungguh keterlaluan sekali Mas Anang. Dia pikir aku wanita macam apa? Tak sedikit mereka yang telah bercerai namun bisa menjaga adab dan tata krama. Tapi dia? Sungguh membuatku muak. Kalau saja bukan ayahnya Arya, mungkin aku sudah mengusir dirinya sejak datang. Tapi, kami punya buah hati, tak baik kalau aku menjauhkan dia dengan ayahnya. Pasti dia tak menyangka kalau barusan aku akan menyiram wajahnya yang lecek dengan rayuan itu sampai basah kuyup. Nanti-nanti, kalau terjadi lagi mungkin aku harus mengguyurnya dengan air comberan atau dengan oli mesin. Kedengarannya kendaraan yang ia bawa telah meninggalkan halaman rumah. Saat ini dadaku masih naik turun karena emosi sambil bersandar ke pintu. Dia melecehkan sekali? Punya daya tarik apa sehingga perusahaan bisa menerimanya bekerja, bahkan pada jabatan itu.Oh ya, dia pasti tidak tahu kalau aku juga punya inventaris mobil, namun di simpan di garasi kakak Ibuku, karena kalau di sini kurang aman. Takutnya dicuri orang k
Kata Ibu, rumahnya sudah dijual pada orang lain mungkin, karena sekarang memang nampak lampunya terang benderang. Kalau biasanya hanya di luar saja satu gantungan lampu, sekarang dalamnya pun ada cahaya.Deg!Baru saja tatapan mata ini ingin berpaling dari rumah yang aku maksud, karena hendak menatapi keindahan bunga mawar, seorang wanita yang aku kenali keluar dari rumah itu. Dia Risma, istri Mas Diwan mantan pacarku dulu sejak masa kelas satu SMA yang barusaja terlintas di pikiran.Aku benar-benar kaget, jadi mereka kembali? Bukankah Risma tak mau tinggal di rumah itu?"Risma?" Aku menegurnya Setelah sejenak menyimpan penyiram bunga. Ia pun menoleh kaget dan sepertinya baru saja bangun tidur. Wajahnya masih kusut dengan rambut yang lumayan belum rapi. Aku melihatnya sedang menggeliat sembari menguap."Hah? Maya?"Dia menoleh dan seu mendekat menyelidik ke arahku, hingga kami pun kini sebentar lagi saling berhadapan. Dia yang beranjak seperti penasaran."Kamu di sini? Bukannya kamu
PoV Maya***"Bu, ternyata Mas Diwan dan Risma itu yang pindah. Mereka huni lagi rumah almarhum orang tua Mas Diwan."Setelah masuk aku bicara pada Ibu. Sepertinya ada rasa heran juga tersirat di wajahnya. "Hah? Jadi Diwan kembali lagi? Kamu sudah ketemu?" "Sama Mas Diwan sih enggak ketemu, tapi sama Risma. Dia barusan sudah pancing emosi Maya, Bu. Maya 'kan sapa dia, ya memang kita baru ketemu lagi sekian tahun 'kan, Bu? Tapi, dia malah suudzon, bawa-bawa ke arah kalau aku pernah dekat sama Mas Diwan dulu." Sebenarnya kalau tak curhat, serasa hati ini gendok sekali. Mungkin aku harus belajar lagu bagaimana cara menyikapi hati menghadapi orang-orang semacam Risma."Ya ampun, masih sama Risma kayak dulu? Lagian, apa yang harus dikhawatirkan?" ucap Ibu sembari bolak-balik bawa gelas kosong."Enggak tahu, Bu. Mungkin karena statusku ini." Ibu kini sudah selesai tuangkan air putih ke gelas, kami akan segera sarapan pagi. Tadi aku dan Ibu yang masak, setelah masak gegas menyiram tanaman
"Heh? Gaya sok kantoran, jalan kaki aja? Gak pesan ojol!" ledeknya. Aku jadi tahu, kalau dia ternyata hanya ingin memancing emosiku saja. Dia sepertinya haus berdebat."Risma!" Mas Diwan menegur istrinya, namun aku tak tergoyahkan oleh perkataan Risma. Kaki terus melangkah tanpa menghiraukan Risma si tukang ngoceh. Hampir saja mood ini terjun bebas ke dasar jurang.Dia suudzon kalau aku ingin cari perhatian pada Mas Diwan. Aduh, mana mungkin, ada feeling lagi pada suaminya juga tidak. Aku hanya menganggapnya tetangga saja, tak lebih. Lagipula, ada Mas Yoga yang lebih dari segalanya***Aku sudah sampai di kantor. Pagi hari Mas Yoga sudah ada saja di ruanganku. Seketika raut malu pun muncul sembari menoleh arloji. Dipikir terlambat datang, namun waktu masih pukul tujuh lewat tiga puluh. "Assalamualaikum, Mas? Kok udah di sini aja?" ucapku sembari melangkah masuk, karena pintu ruangan tak dibuka."Waalaikum salam. Selamat pagi?" sapanya balik."Pagi, Mas." Dengan santai aku jalan ke a
Mas Yoga ada di ruang lain, dia juga sedang coba baju untuk akad nikah kami nanti.Setelah kupakai, ternyata benar-benar pas. Tapi ada ruang sedikit sehingga tak pengap saat memakainya.Aku harus menjaga asupan makanan. Jangan sampai badanku melar dan baju ini malah kekecilan. Hihi."Wah, Mbak cantik sekali. Silahkan Mbak, kita perlihatkan ini sama calon suami Mbak. Yuk!"Degh!Bagaimana nanti? Sekarang saja aku sudah begitu deg-degan. Padahal ini baru fitting baju.Aku tak bisa menolak, karena bagaimanapun juga aku harus tampil cantik di hadapan calon suami. Barangkali Mas Yoga mencela baju ini tak pas saat kupakai. Itu kenapa tidak mungkin?Sembari mempersiapkan kemungkinan yang terjadi atas penglihatan Mas Yoga nanti, aku pun coba atur napas. Semoga Mas Yoga tak memandang aku jelek pakai baju akad."Mas Yoga?"Fashion designer menyapa Mas Yoga yang sedang membenarkan kerah baju membelakangi kami.Entah mengapa, keringatku malah mengucur lumayan deras. Ini tak baik, jangan sampai baj
"Mas? Kamu kok bawa aku ke sini? Ngapain? Ini udah waktunya masuk kerja loh, Mas."Aku menyanggah niat Mas Yoga yang malah mengajakku singgah sebentar di pinggir danau."Bentar aja, aku udah ijinin aku sama kamu kok sama staf kantor."Dia menjawab sembari jalan ke arah tempat duduk. Sedangkan aku masih berdiri di samping mobil menenteng tas."Ayok, sini! Duduk dulu." Dia meminta. Aku pun memutuskan untuk mendekat. Mau bagaimana lagi, kami sudah sampai.Aku duduk di sampingnya. "Sebenarnya, ada hal yang ingin aku katakan."Tegh!Wajah Mas Yoga kini serius sekali. Apa yang ingin dia katakan? Apa terkait pernikahan?Perasaanku sudah tak enak saja. "Apa, Mas? Soal apa?" tanyaku ragu."Ini … ini soal pernikahan kita. Ada hal yang ingin aku katakan sama kamu. Ini … ini mumpung cetakan undangan belum keluar karena aku yang menahannya dulu."Jleb!Apa maksudnya? Apa sebenarnya yang jadi masalah? Tiba-tiba ..."Ey, ey, ey. Dua sejoli ada di sini."Ada suara tepuk tangan juga.Fokus kami malah