Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna.
"Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?" "Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu." "Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!" Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk. "Aku ... mengerti, Bu." "Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini." Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget. "Bu Indira ... lampunya ...." "Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat. Hanna sampai tertegun mendengar ucapan Indira yang tidak berperasaan, tapi ya, Hanna sadar akan tugas dan posisinya saat ini. Karena itu, ucapan Indira tidak salah, walaupun hati Hanna terus teriris membayangkan pekerjaan yang ia lakukan saat ini. "Ayah, Ibu ... aku yakin kalian akan memaafkan aku kan? Aku melakukannya demi Gio," ulang Hanna berkali-kali untuk meyakinkan dirinya. Tidak lama setelah Indira pergi, Louis tiba di kamar dan Louis pun langsung disambut kegelapan di kamar itu. "Indira, kau tidak apa, Sayang? Katanya kau tidak enak badan. Tapi mengapa kamarnya gelap sekali? Sayang, entah apa asistenmu yang bodoh itu yang mencampurkan obat ke dalam minumanku, tapi aku tidak bisa menahan diriku kali ini. Tolong aku, Sayang!" seru Louis yang langsung membuka kemejanya dengan kasar dan membuangnya asal. Louis yang sudah tiba di samping ranjang pun langsung merengkuh istrinya ke dalam pelukannya, namun dengan cepat Louis menyadari bahwa wanita di pelukannya sama sekali bukan istrinya. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini, Hanna?" pekik Louis yang sontak melepaskan pelukannya sampai Hanna terjengkal ke ranjang. "Akhh!" pekik Hanna. Namun, Hanna kembali berdiri dan mendekati Louis. "Maaf, Pak. Anda tidak enak badan, itu ... berbaring saja ...." "Menjauh dariku, Hanna! Mana istriku? Ah, sial, mengapa rasanya seperti ini?" desis Louis dengan suara yang bergetar menahan hasratnya. Louis terus mengumpat sambil mendesis karena rasa tidak nyaman yang ingin segera dilampiaskan ini, tapi tidak dengan Hanna. "Pergi dari kamar ini, Hanna! Pergi!" bentak Louis dengan sisa kewarasannya. Louis pun melangkah ke arah kamar mandi, mengguyur dirinya dengan air dingin bisa meredakan gejolaknya. Namun, Hanna panik sendiri melihatnya. "Apa yang mau Anda lakukan, Pak?" "Bukan urusanmu! Keluar sekarang juga, Hanna!" Louis melangkah makin cepat, tapi Hanna tidak boleh melewatkan kesempatan ini. Hanna berlari ke depan Louis dan langsung menghadangnya. "Maafkan aku, Pak. Aku tahu apa yang Anda butuhkan." Belum sempat Louis mengatakan apa pun, Hanna langsung menangkup wajah pria itu dan menyatukan bibir mereka sampai Louis tersentak kaget. "Apa yang kau lakukan, Wanita Murahan?" bentak Louis mendorong Hanna. Namun, Hanna begitu kukuh kembali maju dan menempelkan bibirnya sambil memejamkan matanya. Louis terus mendorong, tapi Hanna tidak membiarkan bibirnya terlepas sama sekali dari bibir Louis. Gesekan tubuh Hanna pada tubuh Louis yang sudah bertelanjang dada pun membuat hasrat Louis makin menghentak. Louis sudah menahan dirinya sekeras mungkin, tapi Louis sudah berada di batas kesabarannya. Bibir lembut Hanna dan hembusan napas kasarnya, ditambah aroma manis yang memabukkan yang menguar dari tubuh wanita itu membuat Louis akhirnya menyerah dan kembali merengkuh tubuh Hanna. Bukan hanya merengkuhnya, tapi Louis pun melumat bibir ranum Hanna yang rasanya benar-benar tidak terduga, manis, dan memabukkan. Louis pun makin terdesak untuk melampiaskan semua hasrat yang membuat kepalanya terasa mau pecah itu. "Sial, Hanna! Sial!" Louis mulai kehilangan kendali dirinya. Sambil tetap melahap bibir Hanna, Louis menggendong Hanna layaknya bayi besarnya sampai Hanna refleks memeluk leher Louis dan melingkarkan kakinya ke pinggang Louis. Louis membawa Hanna ke ranjang dan membaringkannya, sebelum Louis melucuti baju Hanna dan langsung melahap tubuh itu dengan lapar. "Mmpphh ...." Hanna sendiri tidak dapat menahan desahannya saat Louis mulai meninggalkan jejak di setiap inchi tubuhnya. Ini pertama kalinya tubuhnya disentuh seperti ini, membuat Hanna begitu malu sekaligus mendamba. Dengan tidak sabar, Louis segera mencari sumber kenikmatannya dan dengan sekali hentak, Louis pun menembus pertahanan yang sudah dijaga Hanna selama dua puluh lima tahun hidupnya. "Oh, sial! Kau masih perawan?" **Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
"Buka bajumu dan tunjukkan bagaimana murahannya dirimu yang rela menjual diri demi uang, Hanna!" Suara tegas seorang pria membuat tubuh Hanna bergidik malam itu. Mereka sudah berada di kamar pengantin mereka dan Hanna pun meremas ujung piyama satin yang ia pakai. Namun, alih-alih patuh, Hanna malah mematung menatap pria dengan aura yang begitu dingin itu.Louis Sagala.Pria tampan di hadapan Hanna adalah suaminya yang sah. Mereka baru saja menikah dengan sangat sederhana tadi dan Hanna pun akhirnya resmi menjadi istri kedua dari suami Indira, wanita yang sudah menjadi bosnya satu tahun terakhir ini.Sungguh, Hanna sempat menyesali keputusannya. Kalau saja ia tidak meminjam uang pada Indira untuk biaya operasi jantung adiknya, mungkin Indira tidak akan pernah mengajukan syarat gila di mana Hanna harus menjadi istri kedua Louis dan menjadi ibu pengganti untuk melahirkan anak mereka.Namun, Hanna tidak punya pilihan lain. Adiknya baru berumur sembilan tahun dan Hanna akan menyesal seumu
Hanna melangkahkan kakinya dengan begitu berat keluar dari rumah Louis karena pria itu mengusirnya. Dengan mempertahankan harga dirinya yang tersisa, Hanna pun langsung pergi dari sana dan menuju ke rumah sakit, tempat surga dunianya dirawat di sana. Hanna menghapus air matanya dan langsung menunjukkan topeng tawanya, sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Tok tok, permisi! Apa ada orang?" Hanna melebarkan tawanya seolah tidak terjadi apa-apa. Anak laki-laki bernama Gio yang sedang duduk di ranjangnya pun langsung tertawa sumringah melihat kakaknya itu. "Kak Hanna!" pekik Gio senang. Wajah pucatnya berseri-seri melihat Hanna dan Gio langsung menunjukkan mainan barunya, sebuah pesawat terbang mini. "Suster kasi Gio ini! Pesawatnya bisa terbang lho!" seru Gio sambil menggerakkan pesawat itu berputar-putar dengan tangannya. "Itu mainan pasien yang tertinggal kemarin, tapi pasiennya sudah sembuh dan pulang," sahut sang suster yang menemani Gio di sana. "Ah, iya, terima kasih
"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?" Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk. "Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio. "Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit." Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu. "Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan." "Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!" Hanna mengangguk. "Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya." Gio mengangguk dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan. Gio dirawat di kamar yang berisi beberapa pasien dalam satu kamar. Kebetulan hari itu, yang terisi hanya dua ranjang. Hanna pun terus menatap sayang pada
Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini! Sial!" Louis kembali meneguk minumannya sampai tandas dan baru akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu dengan jelas. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira benar-be
"Ingat, malam ini kau harus berhasil, Hanna!" Pesan Indira terus menggema di benak Hanna saat ia sudah berdiri di sudut ballroom hotel mewah milik Mahardhika Group, perusahaan Indira. Malam itu ada acara tahunan yang dihadiri oleh para karyawan dan klien perusahaan.Para tamu pun mulai berdatangan, termasuk seorang pria gagah yang melangkah masuk dengan jas hitam sempurna yang membalut tubuhnya.Aura dingin dan berwibawa yang pria itu pancarkan langsung menyedot perhatian banyak orang dan membuat debar jantung Hanna memacu tidak karuan, apalagi saat tangannya tanpa sengaja menyentuh botol obat di kantongnya. "Maafkan aku, aku juga terpaksa melakukannya," bisik Hanna bergetar. Di sisi lain, Louis sudah disambut banyak kenalannya di sana. Louis mempunyai perusahaan yang berbeda dengan Indira, namun Louis selalu mendukung pekerjaan istri tercintanya."Selamat malam, Pak Louis!" "Selamat malam!" "Senang sekali bertemu Anda di sini." Louis dan beberapa orang terlibat pembicaraan seri
Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna. "Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?" "Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu." "Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!" Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk. "Aku ... mengerti, Bu." "Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini." Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget. "Bu Indira ... lampunya ...." "Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat. Hanna sa
"Ingat, malam ini kau harus berhasil, Hanna!" Pesan Indira terus menggema di benak Hanna saat ia sudah berdiri di sudut ballroom hotel mewah milik Mahardhika Group, perusahaan Indira. Malam itu ada acara tahunan yang dihadiri oleh para karyawan dan klien perusahaan.Para tamu pun mulai berdatangan, termasuk seorang pria gagah yang melangkah masuk dengan jas hitam sempurna yang membalut tubuhnya.Aura dingin dan berwibawa yang pria itu pancarkan langsung menyedot perhatian banyak orang dan membuat debar jantung Hanna memacu tidak karuan, apalagi saat tangannya tanpa sengaja menyentuh botol obat di kantongnya. "Maafkan aku, aku juga terpaksa melakukannya," bisik Hanna bergetar. Di sisi lain, Louis sudah disambut banyak kenalannya di sana. Louis mempunyai perusahaan yang berbeda dengan Indira, namun Louis selalu mendukung pekerjaan istri tercintanya."Selamat malam, Pak Louis!" "Selamat malam!" "Senang sekali bertemu Anda di sini." Louis dan beberapa orang terlibat pembicaraan seri
Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini! Sial!" Louis kembali meneguk minumannya sampai tandas dan baru akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu dengan jelas. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira benar-be
"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?" Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk. "Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio. "Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit." Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu. "Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan." "Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!" Hanna mengangguk. "Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya." Gio mengangguk dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan. Gio dirawat di kamar yang berisi beberapa pasien dalam satu kamar. Kebetulan hari itu, yang terisi hanya dua ranjang. Hanna pun terus menatap sayang pada
Hanna melangkahkan kakinya dengan begitu berat keluar dari rumah Louis karena pria itu mengusirnya. Dengan mempertahankan harga dirinya yang tersisa, Hanna pun langsung pergi dari sana dan menuju ke rumah sakit, tempat surga dunianya dirawat di sana. Hanna menghapus air matanya dan langsung menunjukkan topeng tawanya, sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Tok tok, permisi! Apa ada orang?" Hanna melebarkan tawanya seolah tidak terjadi apa-apa. Anak laki-laki bernama Gio yang sedang duduk di ranjangnya pun langsung tertawa sumringah melihat kakaknya itu. "Kak Hanna!" pekik Gio senang. Wajah pucatnya berseri-seri melihat Hanna dan Gio langsung menunjukkan mainan barunya, sebuah pesawat terbang mini. "Suster kasi Gio ini! Pesawatnya bisa terbang lho!" seru Gio sambil menggerakkan pesawat itu berputar-putar dengan tangannya. "Itu mainan pasien yang tertinggal kemarin, tapi pasiennya sudah sembuh dan pulang," sahut sang suster yang menemani Gio di sana. "Ah, iya, terima kasih
"Buka bajumu dan tunjukkan bagaimana murahannya dirimu yang rela menjual diri demi uang, Hanna!" Suara tegas seorang pria membuat tubuh Hanna bergidik malam itu. Mereka sudah berada di kamar pengantin mereka dan Hanna pun meremas ujung piyama satin yang ia pakai. Namun, alih-alih patuh, Hanna malah mematung menatap pria dengan aura yang begitu dingin itu.Louis Sagala.Pria tampan di hadapan Hanna adalah suaminya yang sah. Mereka baru saja menikah dengan sangat sederhana tadi dan Hanna pun akhirnya resmi menjadi istri kedua dari suami Indira, wanita yang sudah menjadi bosnya satu tahun terakhir ini.Sungguh, Hanna sempat menyesali keputusannya. Kalau saja ia tidak meminjam uang pada Indira untuk biaya operasi jantung adiknya, mungkin Indira tidak akan pernah mengajukan syarat gila di mana Hanna harus menjadi istri kedua Louis dan menjadi ibu pengganti untuk melahirkan anak mereka.Namun, Hanna tidak punya pilihan lain. Adiknya baru berumur sembilan tahun dan Hanna akan menyesal seumu