Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna.
"Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?"
"Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu."
"Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!"
Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk.
"Aku ... mengerti, Bu."
"Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini."
Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget.
"Bu Indira ... lampunya ...."
"Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat.
Hanna sampai tertegun mendengar ucapan Indira yang tidak berperasaan, tapi ya, Hanna sadar akan tugas dan posisinya saat ini. Karena itu, ucapan Indira tidak salah, walaupun hati Hanna terus teriris membayangkan pekerjaan yang ia lakukan saat ini.
"Ayah, Ibu ... aku yakin kalian akan memaafkan aku kan? Aku melakukannya demi Gio," ulang Hanna berkali-kali untuk meyakinkan dirinya.
Tidak lama setelah Indira pergi, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka dan aroma khas Louis yang maskulin memenuhi kamar itu.
"Indira?" Suara pria itu terdengar serak, penuh gairah yang tertahan. "Kau di sini? Katanya kau tidak enak badan."
Tidak ada jawaban dari Hanna. Hanya bunyi napasnya yang nyaris tidak terdengar.
"Mengapa kamarnya gelap sekali?" Louis menggeram pelan. "Tapi sial! Sepertinya asistenmu yang murahan itu memasukkan obat ke dalam minumanku. Aku butuh kau, Sayang!" seru Louis sambil membuka kemejanya dan membuangnya asal.
Louis yang sudah tiba di samping ranjang pun langsung merengkuh istrinya ke dalam pelukannya, namun dengan cepat Louis menyadari bahwa wanita di pelukannya sama sekali bukan istrinya.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini, Hanna?" pekik Louis yang sontak melepaskan pelukannya sampai Hanna terjengkal ke ranjang.
"Akhh!" pekik Hanna.
Namun, Hanna kembali berdiri. Hanna harus berhasil tidur dengan Louis malam ini.
"Aku ... aku di sini untuk membantu Anda, Pak," bisik Hanna, suaranya bergetar halus.
Louis mundur selangkah, mencoba mengatur napasnya yang sudah memburu. "Jangan main-main denganku, Hanna! Mana Indira?"
"Bu Indira tidak bisa menemani Anda malam ini." Hanna memberanikan dirinya menyentuh dada Louis. "Tapi aku bisa ...."
Louis mengumpat pelan, suaranya sudah ikut bergetar menahan hasratnya. "Kau gila."
Dengan kasar, Louis mengempaskan tangan Hanna dari dadanya.
"Pergi dari kamar ini, Hanna! Pergi!" bentak Louis dengan sisa kewarasannya.
Louis pun melangkah ke arah kamar mandi, berniat untuk mengguyur dirinya dengan air dingin yang pasti bisa meredakan gejolaknya. Namun, Hanna panik sendiri dan tidak mengijinkan Louis pergi.
Hanna sudah bertekad harus lebih agresif untuk bisa tidur dengan Louis, walaupun ia merasa seperti jalang saat ini.
"Apa yang mau Anda lakukan, Pak?" Hanna menyusul Louis.
"Bukan urusanmu! Keluar sekarang juga, Hanna!"
Louis melangkah makin cepat, tapi Hanna tidak boleh melewatkan kesempatan ini. Hanna berlari ke depan Louis dan langsung menghadangnya.
"Aku tahu apa yang Anda butuhkan, Pak!"
Belum sempat Louis mengatakan apa pun, Hanna langsung menangkup wajah pria itu dan menyatukan bibir mereka sampai Louis tersentak kaget.
"Apa yang kau lakukan, Wanita Murahan?" bentak Louis mendorong Hanna.
Namun, Hanna begitu kukuh kembali maju dan menempelkan bibirnya. Hanna tidak membiarkan bibirnya terlepas sama sekali dari bibir Louis. Hanna memagut bibir Louis dengan belepotan.
Tubuh Louis meremang. Bibir lembut Hanna dan hembusan napas kasarnya, ditambah aroma manis yang memabukkan yang menguar dari tubuh wanita itu membuat Louis tidak tahan lagi.
Hanna pun berusaha menggoda Louis lebih, perlahan jemari Hanna turun ke perut kencang pria itu, menelusuri otot-otot Louis sampai hasrat Louis makin menghentak.
Kesabaran Louis runtuh. Dengan gerakan cepat, ia menarik Hanna ke dalam pelukannya, bibirnya menghantam bibir Hanna dengan rakus. Hanna terkesiap, tubuhnya menegang sesaat, tapi akhirnya ia membalas ciuman itu dengan penuh kepasrahan.
Dengan tidak sabar, Louis mendorong Hanna ke ranjang, menindihnya dengan tubuhnya yang panas. Tangan besarnya menelusuri setiap inci tubuh Hanna, membuat wanita itu menggigil hebat.
"Sial, Hanna!" Louis mencengkram pinggang Hanna, menekan tubuhnya lebih dalam ke kasur. "Kau yang memintanya, Sialan!"
Hanna memejamkan matanya, menggigit bibirnya sendiri saat Louis membenamkan wajah ke lehernya dan meninggalkan jejak panas di sana.
"Pak Louis ...," bisik Hanna lirih, tanpa sadar mencengkeram punggung pria itu saat tubuh mereka bersentuhan semakin erat.
Louis menggeram pelan, tangan besarnya mengelus sisi tubuh Hanna, sebelum jemarinya mulai melucuti kain apa pun yang membalut tubuh Hanna saat ini.
Bibir Louis menyapa setiap bagiannya dengan intens sampai Hanna melengkungkan punggungnya. Ini pertama kalinya Hanna disentuh begitu intens, begitu dalam, sampai Hanna tidak bisa menahan desahannya.
"Mmpphh ...."
Louis tidak berhenti.
Pria itu malah bergerak makin liar sampai Hanna menahan napasnya sejenak saat satu kakinya diangkat dalam posisi tertekuk. Pria itu menghujani kaki jenjang Hanna dengan ciuman panasnya, membuat kaki Hanna lemas seketika. Ciuman itu terus naik sampai ke bagian sensitif milik Hanna yang saat ini terbuka merekah di depan wajah pria itu.
Hanna tidak bisa menjelaskan rasanya. Malu sekaligus mendamba. Tubuh Hanna bergetar, seolah sesuatu di dalam dirinya akan meledak juga sampai tangan Hanna mencengkeram sprei begitu erat.
Debar jantung Louis menderu. Dengan tidak sabar, Louis segera mencari sumber kenikmatannya, menghentaknya kencang, sampai Hanna tidak bisa menahan erangan kecil saat rasa sakit mendadak menyengat tubuhnya.
Louis membeku saat ia mendadak menyadari sesuatu.
"Oh, sial! Kau masih perawan?"
**Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
Indira masih duduk sendirian di ruang tamu rumahnya pagi itu. Rumahnya begitu sepi karena Louis belum pulang. Tentu saja Indira tahu di mana suaminya berada. Ya, Louis menghabiskan malam bersama Hanna. Bukan hal yang menyenangkan bagi Indira, tapi ini adalah rencananya sendiri. Jika ingin mendapatkan keturunan, Indira harus menyingkirkan egonya dan menerima kenyataan bahwa suaminya akan berbagi ranjang dengan wanita lain.Indira pun masih hanyut dalam lamunannya sendiri saat ponselnya berbunyi dan Indira langsung mengangkat telepon dari Hanna itu. "Bu Indira, aku sudah berhasil tidur dengan Pak Louis. Karena itu, bolehkah aku mendapatkan uang yang Anda janjikan?" Suara Hanna sedikit bergetar, tapi Indira tersenyum puas mendengarnya. "Bagus, Hanna! Aku juga sudah tahu kalau kau berhasil melakukannya semalam. Dan tentu saja aku bukan orang yang ingkar janji. Aku akan memberikan uangnya." Mendengar suara tegas Indira, Hanna pun bernapas lega. Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama
"Aku tidak bisa, Bu," tolak Hanna tanpa berpikir panjang. "Aku punya rumah dan adik yang tinggal bersamaku, aku tidak bisa meninggalkannya." "Adikmu masih di rumah sakit, sudah banyak yang menjaganya. Lagipula ini juga perintah, Hanna! Aku tidak sedang bertanya kau mau atau tidak!" tegas Indira. Dan sialnya, Hanna tidak pernah bisa menolak perintah Indira karena Indira selalu memaksa. Hanna pun berakhir dengan berbaring di tempat tidur yang asing malam itu, menatap langit-langit kamar tamu yang terasa begitu dingin dan sunyi.Hanna tidak ingin ada di sini. Ia tidak ingin tinggal serumah dengan Louis dan Indira.Hanna menghela napas panjang, menekan rasa frustrasinya.Bagaimana bisa ia tinggal di rumah pria yang begitu membencinya?Bagaimana bisa ia tidur nyenyak di tempat ini sementara setiap tatapan Louis padanya penuh dengan kemarahan dan penghinaan?Sementara itu, Louis akhirnya pulang ke rumah begitu larut dengan perasaan yang sangat buruk. Louis sengaja pergi karena Indira mema
Louis dan Hanna masih sama-sama mematung dengan debar jantung yang berkejaran. Keduanya sama-sama terpengaruh dengan kedekatan mereka. Namun, Hanna tersadar duluan dan langsung memalingkan wajahnya. "M-maafkan aku, Pak," ucap Hanna yang langsung bergerak menegakkan dirinya. Louis sendiri tersentak. Untuk sekian detik, sungguh Louis sempat berpikir untuk mencium Hanna lagi, tapi untung saja suara Hanna menyadarkannya dari kekhilafannya. Tanpa aba-aba, Louis pun melepaskan pelukannya dari Hanna dengan kasar sampai Hanna kembali terhuyung. Untungnya, Hanna langsung berpegangan pada meja di sampingnya. "Jadi ini modusmu lagi, hmm? Menyodorkan dirimu agar aku memelukmu? Aku tidak habis pikir dengan semua cara murahanmu ini, Hanna! Kau benar-benar tidak tahu malu!" Hanna menahan napasnya sejenak. Hanna bukan wanita lemah yang hanya bisa pasrah saat dihina dan direndahkan. Hanna pun sudah terus menahan dirinya menghadapi semua hinaan Louis padanya. "Apa hanya ada hal buruk tentang aku
"Kau menghilang di pesta kemarin dan aku tidak bisa meneleponmu, Hanna! Terpaksa aku yang melayani Bu Indira di sana." Susan, teman sekantor Hanna langsung menyambut Hanna begitu ia tiba di kantor pagi itu. Hanna berangkat terlalu siang sampai ia tidak sempat mampir ke rumah sakit lagi. "Maafkan aku, aku ada urusan mendadak waktu itu," sahut Hanna beralasan karena Susan juga tidak tahu tentang pernikahannya. "Setidaknya kau harus memberitahuku agar aku tahu harus melakukan apa, Hanna.""Baiklah, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya." "Hmm, ya sudah. Eh, tapi kau tahu kalau malam itu Pak Louis juga menghilang? Banyak sekali yang menanyakan Pak Louis karena Bu Indira menyambut tamunya sendiri." Hanna memaksakan senyum dan tidak menjawabnya. Susan pun terus mengoceh sendiri dan Hanna hanya mendengarkan omelan temannya itu, sebelum mereka melanjutkan pekerjaan mereka hari itu. Hanna pun bisa bernapas lega karena Indira tidak ke kantor hari itu. Saat jam makan siang, Hanna juga b
"Berani sekali kau mengatai kakakmu! Dasar sialan!" Hanna sudah berpikir ia akan merasakan tamparan menyakitkan dari Tama. Namun, anehnya, tamparan itu tidak kunjung ia rasakan. Perlahan, Hanna membuka matanya dan Hanna langsung membelalak lebar melihat Louis sudah berdiri di sampingnya sambil mencekal tangan Tama. Entah bagaimana pria itu bisa mendadak muncul. "Pria macam apa yang memukul wanita, hah?" geram Louis yang langsung mengempaskan tangan Tama dengan kasar. Louis sendiri sudah berniat pulang setelah Refi melapor bahwa Hanna sudah pulang. Louis pun masih menunggu Refi mengambil mobil saat tatapannya menangkap pria dan wanita di parkiran motor. Dari kejauhan, Louis bisa mengenali Hanna, walaupun Louis masih belum bisa mengenali siapa pria yang memeluk Hanna. Awalnya Louis berdecak kesal melihat kegenitan Hanna. Namun, makin lama menatap, Louis mulai merasa ada yang tidak beres hingga tanpa bisa dicegah, Louis pun mendekat dan menjadi penyelamat Hanna. Tama sendiri langsu
"Anda yakin tidak apa, Bos? Kita perlu ke dokter atau ke rumah sakit?" tanya Refi yang menyetir mobilnya untuk Louis malam itu. Louis mendengus. "Ini hanya luka kecil, Refi. Jangan berlebihan!" "Ah, maafkan aku, Bos! Tapi aku tidak menyangka pria tadi benar-benar kakak kandungnya Hanna. Bagaimana bisa wanita baik-baik seperti Hanna mempunyai kakak seperti preman." Louis tertawa kesal. "Wanita baik-baik apa? Tidak ada wanita baik-baik yang menjual diri demi uang, Refi! Dia pasti sudah ...." Mendadak ucapan Louis terhenti. Ingatan-ingatan itu tumpang tindih di otaknya. Semua pikiran buruknya tentang Hanna mendadak terbantahkan. Mulai dari Hanna yang ternyata masih perawan padahal Louis pikir Hanna sudah tidur dengan banyak pria. Lalu pria yang Louis pikir kekasih Hanna malah ternyata adalah kakak kandungnya. Untuk pertama kalinya, Louis merasa tidak yakin dengan pikirannya sendiri.Benarkah Hanna seburuk yang ia pikirkan? Atau selama ini, hanya dirinya yang terlampau ingin membe
Louis bangun dengan tubuh yang terasa pegal pagi itu. Setelah mandi begitu lama tadi malam, ia pikir tubuhnya akan lebih rileks dan tidurnya akan nyenyak. Nyatanya, tidak. Malam itu penuh kegelisahan. Setiap kali ia mencoba tidur, bayangan Hanna terus muncul di kepalanya, seolah wanita itu sengaja menghantui pikirannya. Louis pun mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu segera beranjak ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Setelah mengenakan pakaian kerja, ia turun ke ruang makan. Namun, ia tidak menyangka akan menemukan ibu mertuanya duduk di sana bersama Indira. "Ah, selamat pagi, Ibu. Aku tidak tahu Ibu datang." Louis menyapa sopan. "Kebetulan sekali Ibu lewat setelah berolahraga. Tapi kau sudah mau pergi, Louis? Kau tidak sarapan dulu?" Wanita paruh baya itu tersenyum menatap menantunya. "Aku ada rapat penting pagi ini, Ibu. Aku akan sarapan setelah rapat nanti." Louis segera berpamitan, meninggalkan meja makan dengan langkah panjang dan tegas. Linda memperhatikannya hin
"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Tolong selamatkan istriku, Dokter! Dia terjatuh dari tangga dan mendadak tidak sadar! Tolong, Dokter! Tolong!" Louis begitu panik setelah akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Louis terus menyisir rambutnya frustasi dan berjalan mondar-mandir di depan ruang tindakan. Linda sendiri juga sama paniknya, tapi ia begitu tidak terima sampai ia terus menyalahkan semua orang. "Ini semua karena kau, Louis! Kalau saja kau tidak membawa wanita sialan itu tinggal di sana, semua ini tidak akan terjadi!" "Hanna sudah begitu melunjak karena kau terus membelanya! Kau tahu kalau Indira sering tidak pulang ke rumah karena dia tidak nyaman di rumahnya sendiri! Suaminya bukan miliknya lagi! Hanna sudah merasa menjadi nyonya rumah!" Linda berteriak penuh amarah sampai otak Louis makin penuh. Louis tidak bisa berpikir sama sekali sekarang."Kau akan menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada Indira, Louis! Ibu akan sangat membencimu kalau ada apa-apa pada Indira! Oh, Indira yang malang!" "Hanna mendo
Louis pulang lebih cepat siang itu. Ia sengaja tidak pergi lama agar bisa segera pulang sebelum Indira pulang duluan dan membuat keributan dengan Hanna. Louis pun membawa berita baik karena ia punya hadiah untuk Hanna, yaitu sertifikat rumah wanita itu.Ya, dengan uang, semuanya pasti beres. Louis memberikan uang yang cukup banyak untuk para rentenir itu. Louis membeli kembali rumah Hanna agar Hanna tidak kehilangan satu-satunya hartanya. Ia sudah membayangkan ekspresi bahagia Hanna. Mungkin wanita itu akan memeluknya, menciumnya, dan Louis mendadak antusias. Louis pun masih menyimpan sertifikatnya di mobil dan ingin melihat kondisi rumah dulu. Namun, begitu masuk ke rumah, ia langsung disambut insiden yang membuat jantungnya memacu begitu kencang. Louis melihat istrinya jatuh terguling melewati satu persatu anak tangga hingga tergolek tidak sadarkan diri. "Indiraa!" teriak Louis begitu panik. Debar jantung Louis memacu tidak karuan dan ia langsung menghampiri Indira untuk melih
Indira melangkah naik ke tangga dengan cepat, sedangkan Hanna langsung menoleh menatap bosnya itu sampai akhirnya Indira tiba dan mereka saling berhadapan. "Apa?" "Aku terkejut sekali menemukan kau mengobrol dengan mertuaku, apa yang kalian bicarakan?" ulang Indira. Namun, Indira tidak memberikan kesempatan pada Hanna untuk menjawab karena mendadak Indira sudah melayangkan tuduhannya pada Hanna. "Kau membocorkan perjanjian itu? Bahwa kau adalah istri kedua Louis? Bahwa aku membayarmu untuk menjadi ibu pengganti? Kau membocorkan kalau aku mandul?" bentak Indira penuh amarah. Hanna menggeleng. "Aku tidak melakukannya sama sekali, Bu." "Lalu mengapa kau tersenyum begitu busuk di depan mertuaku? Kau mau sok baik? Kau mau mengambil hatinya agar dia menyukaimu?" "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Anda katakan, Bu. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil hati siapa pun!" "Buktinya kau mencoba mengambil hati Louis! Kau membuat suamiku sendiri membuangku dan memilihmu! Kau membu
Seketika suasana hening setelah Gio membocorkan rahasia Hanna. Hanna panik dan buru-buru menghampiri Gio lalu menutup mulut anak itu. "Ya ampun, Bu Sena, Samuel. Maafkan adikku, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia ... Gio belum mengerti tentang suami istri, dia hanya baru saja menonton video entah apa itu dan mengikutinya," seru Hanna panik. "Tapi Gio sudah ngerti nikah, Kak!" Gio membela diri. Hanna tetap membungkamnya. "Sstt, diam dulu, Sayang. Tapi maaf, Bu, dia hanya ngawur. Tidak seperti itu!" seru Hanna lagi. Untuk sesaat, Sena dan Samuel masih tetap terdiam, sebelum lagi-lagi Sena yang tertawa duluan. "Ah, haha, baiklah, tidak masalah. Anak kecil memang suka meniru apa yang dilihatnya di video. Tapi baiklah, sebenarnya kami juga tahu Louis dan Indira tidak mungkin ada di rumah di jam segini. Kami hanya baru membeli buah dan sekalian memberikan buahnya. Samuel, berikan pada Bik Yus!" "Iya, Ma."Samuel memberikan buah pada Bik Yus dan mau tidak mau, Hanna terpaksa
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek
"Apa masih sakit?" Hanna sudah duduk bersandar di ranjangnya malam itu dengan baju dan tubuh yang bersih. Setelah melayani suaminya, Hanna mandi dibantu oleh suaminya yang mendadak lembut. Mereka mandi bersama, lalu Louis mengoleskan salep di kaki Hanna sampai Hanna begitu tersentuh pada kelembutan suaminya itu. "Tidak terlalu sakit, tapi bengkaknya tidak mau kempis," sahut Hanna sambil menatap bengkak di kakinya. "Pelan-pelan! Kalau kau terus bergerak, bengkaknya tidak bisa kempis," seru Louis lembut sambil terus membelai kaki Hanna. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar diketuk dan suara-suara berisik dari luar kamar. "Jangan dulu, Gio! Kakak takut Kak Louis marah," seru Refi takut. Namun, Gio tetap membuka pintu kamar yang sudah tidak terkunci itu. Setelah mandi, Louis sempat keluar kamar dan mengambil bajunya, lalu masuk lagi. Louis juga sempat melihat pesan dari Indira yang mengatakan bahwa istrinya itu menginap bersama Linda. Entah mengapa, pesan itu malah memb
Semua orang masih terdiam mendengar ucapan Louis yang memang mengejutkan. Hanna dan Refi sudah menahan napasnya sejenak, tidak percaya Louis akhirnya membocorkan hal yang sangat rahasia itu di depan umum, apalagi ada Susan, salah satu karyawan kantor juga. Susan sendiri hanya menganga tidak percaya pada pendengarannya. Sedangkan Martin sama bingungnya, tapi ia yang paling bereaksi keras. Martin pun tertawa kesal menatap Louis yang makin tidak rasional. "Istri? Apa maksudmu? Kau sadar apa yang kau katakan, Pak Louis? Istrimu adalah Bu Indira! Bagaimana caranya Hanna bisa menjadi istrimu juga?" "Kau pikir aku sudah gila mengakui orang lain sebagai istri kalau itu bukan kenyataannya? Indira memang istriku, tapi Hanna juga istriku! Aku punya dua istri, lalu apa itu masalah untukmu?" Sial!Louis pasti sudah gila karena mengakui ini. Sejak awal, mereka sudah sepakat bahwa ini akan menjadi rahasia di antara mereka. Louis tidak sudi menikahi wanita lain selain istrinya dan ia tidak akan
"Aku pulang! Hanna! Gio!" Louis tiba di rumah malam itu. Alih-alih Indira, ia malah langsung mencari Hanna serta Gio. Namun, anehnya, rumahnya terlihat begitu sepi. Jam segini biasanya Indira memang belum pulang karena Indira sangat sibuk, tapi Hanna yang tidak bekerja, seharusnya di rumah. Begitu juga dengan Gio yang pastinya tidak betah berdiam di kamar. Bahkan, Louis sudah meminta Bik Yus menemani Gio bermain kalau anak itu ingin bermain di kolam renang. Bayangan berkumpul bersama Hanna dan Gio pun membuat Louis antusias pulang lebih cepat. Namun, Louis malah tidak menemukan siapa pun di kamar, tas Hanna pun tidak ada sampai membuat Louis panik sendiri. "Bik Yus! Bik Yus!" panggil Louis. Bik Yus yang mendengar suara Louis buru-buru naik menghampiri Louis. "S-selamat malam, Pak Louis." "Mana Hanna dan Gio?" "Itu ... itu ...." Louis langsung mengernyit melihatnya. Ia masih menenteng mainan yang baru ia beli untuk Gio. "Ada apa? Ke mana mereka?" "Mereka ... Hanna sudah perg