Louis bangun dengan tubuh yang terasa pegal pagi itu. Setelah mandi begitu lama tadi malam, ia pikir tubuhnya akan lebih rileks dan tidurnya akan nyenyak. Nyatanya, tidak. Malam itu penuh kegelisahan. Setiap kali ia mencoba tidur, bayangan Hanna terus muncul di kepalanya, seolah wanita itu sengaja menghantui pikirannya. Louis pun mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu segera beranjak ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Setelah mengenakan pakaian kerja, ia turun ke ruang makan. Namun, ia tidak menyangka akan menemukan ibu mertuanya duduk di sana bersama Indira. "Ah, selamat pagi, Ibu. Aku tidak tahu Ibu datang." Louis menyapa sopan. "Kebetulan sekali Ibu lewat setelah berolahraga. Tapi kau sudah mau pergi, Louis? Kau tidak sarapan dulu?" Wanita paruh baya itu tersenyum menatap menantunya. "Aku ada rapat penting pagi ini, Ibu. Aku akan sarapan setelah rapat nanti." Louis segera berpamitan, meninggalkan meja makan dengan langkah panjang dan tegas. Linda memperhatikannya hin
"Kau terlambat cukup lama, Hanna! Bu Indira sudah menunggumu sejak tadi," seru Susan begitu Hanna tiba di mejanya. Hanna menahan napas, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu Indira pasti marah besar. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Butuh waktu untuk bernapas tanpa tekanan. "Aku sudah memberitahunya kalau aku akan datang terlambat, Susan." Susan menggeleng. "Tapi sejak dia datang pagi tadi, dia sudah menanyakanmu dua kali. Jangan sampai ada yang ketiga, Hanna!" Hanna mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya berjalan masuk ke ruang kerja Indira. Suasana pun seketika tegang saat Hanna menatap wajah Indira yang sama sekali sedang tidak ramah itu. Indira duduk di balik meja kerja, tatapan dinginnya langsung menusuk Hanna. "Selamat pagi, Bu Indira." Suara Hanna terdengar lemah, tetapi tetap berusaha sopan. "Aku masuk terlambat karena harus bicara dengan dokter adikku tadi." Indira tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Hanna dengan t
Louis membeku. Matanya melebar, menatap Hanna dengan keterkejutan yang sulit ia sembunyikan. Tetapi hanya sesaat. Sedetik kemudian, ia tertawa sinis. "Kau memintaku menidurimu?" Suaranya penuh cemooh, matanya menyipit tajam. "Kau benar-benar tidak tahu diri, Hanna!" Hanna menelan salivanya, tapi ia tetap tidak mundur. "Apa yang salah, Pak?" suaranya bergetar. "Aku istri Anda juga, kan? Aku ... aku juga butuh nafkah batin. Aku mau ... hamil anak Anda." Tangannya mengepal, dadanya bergemuruh oleh emosi yang bercampur aduk, takut, malu, tapi juga penuh tekad. Louis menatap Hanna lebih lama kali ini, sebelum ia kembali tertawa, lebih keras dari sebelumnya. "Istri? Nafkah batin?" Louis mendekat, matanya berkilat tajam. "Minta sana pada pria lain!" Hanna tersentak. "Aku tidak bisa melakukannya! Suamiku adalah Anda, bukan pria lain!" Louis makin frustasi. "Bisakah kau keluar sekarang dan tidak mengatakan omong kosong, hah? Aku sedang lelah dan aku tidak mau diganggu, jadi keluar
"Akhh! Hentikan, Pak!" Hanna menggigil di dalam bathtub. Guyuran shower yang deras dengan air dingin benar-benar menyerang wajah dan tubuhnya tanpa henti. Rasanya cukup menyakitkan dan Hanna tidak bisa membuka matanya. Rambut Hanna basah dan menempel ke wajahnya. Sungguh, Hanna merasa seperti tikus got saat ini. Namun, Louis tidak menghentikan sama sekali serangannya, seolah menyiksa Hanna begitu menyenangkan untuknya."Pak Louis … tolong … cukup!" Suara Hanna meninggi, tapi tetap teredam oleh suara air yang menghantam body bathtub. Louis berdiri di sampingnya, menatap tanpa ekspresi. Ia membiarkan keheningan menggantung, sebelum akhirnya menutup shower dengan satu gerakan cepat.Hanna menghela napas lega, tapi tubuhnya masih bergetar. "Bagaimana? Jadi otakmu sudah waras sekarang, hmm?" seru Louis tetap dengan sinis. Hanna menenangkan napasnya yang tidak beraturan, sebelum ia menatap Louis dengan berani. "Meminta nafkah batin bukan suatu ketidakwarasan, Pak! Bagaimanapun aku ju
Louis menghela napas lega begitu memasuki ruangan Indira. Sejak tadi, ia mati-matian menahan diri untuk tidak melirik Hanna di luar, walaupun ia sendiri tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Louis hanya kesal luar biasa karena Hanna telah merusak tidurnya semalam. Setelah melihat tubuh polos Hanna, Louis pun mendadak on terus sepanjang malam. Hasrat yang tidak tersalurkan membuat kepalanya berdenyut sampai Louis mencoba menyalurkannya dengan membayangkan istrinya yang seksi, tapi gagal total.Dan saat pikirannya tanpa sadar kembali ke Hanna, tubuhnya langsung bereaksi.Namun, harga dirinya tidak mengijinkan ia melampiaskan hasratnya sambil memikirkan wanita itu. Louis lebih rela tersiksa daripada harus mengakui dampak Hanna terhadap dirinya."Louis? Sayang?" Suara Indira terdengar saat Louis masih berkutat dengan lamunannya. "Ah, iya, Sayang?" "Duduklah! Mengapa kau berdiri terus?" Indira dan kedua temannya sudah duduk di ruang kerja Indira, hanya Louis yang masih berdiri. "H
"Ma? Halo, Ma?" Louis sudah menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit saat Sena meneleponnya. Ia pun mengangkatnya dan mereka baru saja berbicara sebentar saat tiba-tiba Sena memekik tertahan lalu Sena tidak bicara lagi. Louis mendadak panik. Jantungnya memacu kencang memikirkan apa yang terjadi pada ibunya itu. "Sial! Ada apa di lobby?" geram Louis yang langsung keluar dari mobilnya dan berlari ke lobby rumah sakit. Dengan cepat, Louis pun bisa melihat Sena sedang berdiri memunggunginya tidak jauh dari lift. "Ma!" panggil Louis yang membuat Sena sontak menoleh. Namun, langkah Louis seketika melambat saat ia melihat Sena tidak sendiri, melainkan bersama seorang wanita yang saat ini sangat ia benci. Hanna sendiri juga sudah membelalak tidak percaya menatap Louis di sana. Bagaimana bisa ada kebetulan yang seperti ini? Dan apa? Ma? Apa mungkin wanita yang Hanna tolong adalah ibunya Louis? Hanna sendiri sudah sering melihat orang tua Indira selama satu tahun bekerja bersama b
"Ini fried chickennya!" Hanna masuk ke kamar Gio dengan tawa sumringahnya dan Gio pun langsung menyambut Hanna dengan antusias. "Akhirnya Kak Hanna datang, Gio sudah lapar." "Haha, maaf ya, Kakak lama. Tapi ayo sapa Uncle Dokter dulu!" sahut Hanna yang masuk bersama Martin. "Eh, ada Uncle Dokter. Sstt!" Gio meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Hanna menaikkan alisnya. "Ada apa?" "Kata Suster, jangan sampai Uncle Dokter tahu kalau Gio makan fried chicken. Tidak boleh katanya," bisik Gio dengan suara yang cukup keras sampai Martin tergelak mendengarnya. "Kalau sedikit dan jarang-jarang tidak apa, Gio." "Gio sudah lama tidak makan fried chicken karena tidak boleh sama Kak Hanna," lapor Gio. "Fried chicken tidak terlalu baik untuk kesehatanmu, jadi turuti apa kata kakakmu ya!" Martin melirik Hanna singkat. Hanna pun tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu dia tidak boleh makan banyak-banyak, Dokter. Tenang saja!" "Ya, lemak jenuh dan tinggi kolesterol tidak baik untuk jantungnya.
"Astaga, Louis! Kau baik-baik saja?" Sena tersentak kaget saat ia terkena sedikit semburan air dari mulut Louis. "Uhuk ... uhuk ... ya ampun, maafkan aku, Ma. Aku tersedak!" "Hati-hati minumnya!" Sena menepuk ringan punggung anaknya itu. Louis mengembuskan napas, berusaha menenangkan dirinya, sebelum detik berikutnya, ia langsung mengomel dengan ekspresi kesal."Mama bercanda kan? Yang benar saja! Jangan gila menjodohkan Samuel dengan Hanna! Mereka sama sekali tidak cocok!" seru Louis menggebu. Sena mengerjapkan matanya kaget melihat anaknya begitu sewot. "Ada apa denganmu, Louis? Mendadak kau begitu menggebu!" "Bukan menggebu, tapi Hanna itu bukan wanita baik, Ma. Aku peduli pada Samuel dan aku tidak akan mengijinkan dia menjalin hubungan dengan wanita mura ...." Louis terdiam sejenak, sebelum ia meralat ucapannya. "Maksudku wanita seperti Hanna!" "Wanita seperti apa maksudmu, Louis?" "Itu ... pokoknya bukan wanita baik, Ma! Jangan membahasnya lagi!" Untuk sejenak, Sena kem
"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Tolong selamatkan istriku, Dokter! Dia terjatuh dari tangga dan mendadak tidak sadar! Tolong, Dokter! Tolong!" Louis begitu panik setelah akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Louis terus menyisir rambutnya frustasi dan berjalan mondar-mandir di depan ruang tindakan. Linda sendiri juga sama paniknya, tapi ia begitu tidak terima sampai ia terus menyalahkan semua orang. "Ini semua karena kau, Louis! Kalau saja kau tidak membawa wanita sialan itu tinggal di sana, semua ini tidak akan terjadi!" "Hanna sudah begitu melunjak karena kau terus membelanya! Kau tahu kalau Indira sering tidak pulang ke rumah karena dia tidak nyaman di rumahnya sendiri! Suaminya bukan miliknya lagi! Hanna sudah merasa menjadi nyonya rumah!" Linda berteriak penuh amarah sampai otak Louis makin penuh. Louis tidak bisa berpikir sama sekali sekarang."Kau akan menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada Indira, Louis! Ibu akan sangat membencimu kalau ada apa-apa pada Indira! Oh, Indira yang malang!" "Hanna mendo
Louis pulang lebih cepat siang itu. Ia sengaja tidak pergi lama agar bisa segera pulang sebelum Indira pulang duluan dan membuat keributan dengan Hanna. Louis pun membawa berita baik karena ia punya hadiah untuk Hanna, yaitu sertifikat rumah wanita itu.Ya, dengan uang, semuanya pasti beres. Louis memberikan uang yang cukup banyak untuk para rentenir itu. Louis membeli kembali rumah Hanna agar Hanna tidak kehilangan satu-satunya hartanya. Ia sudah membayangkan ekspresi bahagia Hanna. Mungkin wanita itu akan memeluknya, menciumnya, dan Louis mendadak antusias. Louis pun masih menyimpan sertifikatnya di mobil dan ingin melihat kondisi rumah dulu. Namun, begitu masuk ke rumah, ia langsung disambut insiden yang membuat jantungnya memacu begitu kencang. Louis melihat istrinya jatuh terguling melewati satu persatu anak tangga hingga tergolek tidak sadarkan diri. "Indiraa!" teriak Louis begitu panik. Debar jantung Louis memacu tidak karuan dan ia langsung menghampiri Indira untuk melih
Indira melangkah naik ke tangga dengan cepat, sedangkan Hanna langsung menoleh menatap bosnya itu sampai akhirnya Indira tiba dan mereka saling berhadapan. "Apa?" "Aku terkejut sekali menemukan kau mengobrol dengan mertuaku, apa yang kalian bicarakan?" ulang Indira. Namun, Indira tidak memberikan kesempatan pada Hanna untuk menjawab karena mendadak Indira sudah melayangkan tuduhannya pada Hanna. "Kau membocorkan perjanjian itu? Bahwa kau adalah istri kedua Louis? Bahwa aku membayarmu untuk menjadi ibu pengganti? Kau membocorkan kalau aku mandul?" bentak Indira penuh amarah. Hanna menggeleng. "Aku tidak melakukannya sama sekali, Bu." "Lalu mengapa kau tersenyum begitu busuk di depan mertuaku? Kau mau sok baik? Kau mau mengambil hatinya agar dia menyukaimu?" "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Anda katakan, Bu. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil hati siapa pun!" "Buktinya kau mencoba mengambil hati Louis! Kau membuat suamiku sendiri membuangku dan memilihmu! Kau membu
Seketika suasana hening setelah Gio membocorkan rahasia Hanna. Hanna panik dan buru-buru menghampiri Gio lalu menutup mulut anak itu. "Ya ampun, Bu Sena, Samuel. Maafkan adikku, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia ... Gio belum mengerti tentang suami istri, dia hanya baru saja menonton video entah apa itu dan mengikutinya," seru Hanna panik. "Tapi Gio sudah ngerti nikah, Kak!" Gio membela diri. Hanna tetap membungkamnya. "Sstt, diam dulu, Sayang. Tapi maaf, Bu, dia hanya ngawur. Tidak seperti itu!" seru Hanna lagi. Untuk sesaat, Sena dan Samuel masih tetap terdiam, sebelum lagi-lagi Sena yang tertawa duluan. "Ah, haha, baiklah, tidak masalah. Anak kecil memang suka meniru apa yang dilihatnya di video. Tapi baiklah, sebenarnya kami juga tahu Louis dan Indira tidak mungkin ada di rumah di jam segini. Kami hanya baru membeli buah dan sekalian memberikan buahnya. Samuel, berikan pada Bik Yus!" "Iya, Ma."Samuel memberikan buah pada Bik Yus dan mau tidak mau, Hanna terpaksa
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek
"Apa masih sakit?" Hanna sudah duduk bersandar di ranjangnya malam itu dengan baju dan tubuh yang bersih. Setelah melayani suaminya, Hanna mandi dibantu oleh suaminya yang mendadak lembut. Mereka mandi bersama, lalu Louis mengoleskan salep di kaki Hanna sampai Hanna begitu tersentuh pada kelembutan suaminya itu. "Tidak terlalu sakit, tapi bengkaknya tidak mau kempis," sahut Hanna sambil menatap bengkak di kakinya. "Pelan-pelan! Kalau kau terus bergerak, bengkaknya tidak bisa kempis," seru Louis lembut sambil terus membelai kaki Hanna. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar diketuk dan suara-suara berisik dari luar kamar. "Jangan dulu, Gio! Kakak takut Kak Louis marah," seru Refi takut. Namun, Gio tetap membuka pintu kamar yang sudah tidak terkunci itu. Setelah mandi, Louis sempat keluar kamar dan mengambil bajunya, lalu masuk lagi. Louis juga sempat melihat pesan dari Indira yang mengatakan bahwa istrinya itu menginap bersama Linda. Entah mengapa, pesan itu malah memb
Semua orang masih terdiam mendengar ucapan Louis yang memang mengejutkan. Hanna dan Refi sudah menahan napasnya sejenak, tidak percaya Louis akhirnya membocorkan hal yang sangat rahasia itu di depan umum, apalagi ada Susan, salah satu karyawan kantor juga. Susan sendiri hanya menganga tidak percaya pada pendengarannya. Sedangkan Martin sama bingungnya, tapi ia yang paling bereaksi keras. Martin pun tertawa kesal menatap Louis yang makin tidak rasional. "Istri? Apa maksudmu? Kau sadar apa yang kau katakan, Pak Louis? Istrimu adalah Bu Indira! Bagaimana caranya Hanna bisa menjadi istrimu juga?" "Kau pikir aku sudah gila mengakui orang lain sebagai istri kalau itu bukan kenyataannya? Indira memang istriku, tapi Hanna juga istriku! Aku punya dua istri, lalu apa itu masalah untukmu?" Sial!Louis pasti sudah gila karena mengakui ini. Sejak awal, mereka sudah sepakat bahwa ini akan menjadi rahasia di antara mereka. Louis tidak sudi menikahi wanita lain selain istrinya dan ia tidak akan
"Aku pulang! Hanna! Gio!" Louis tiba di rumah malam itu. Alih-alih Indira, ia malah langsung mencari Hanna serta Gio. Namun, anehnya, rumahnya terlihat begitu sepi. Jam segini biasanya Indira memang belum pulang karena Indira sangat sibuk, tapi Hanna yang tidak bekerja, seharusnya di rumah. Begitu juga dengan Gio yang pastinya tidak betah berdiam di kamar. Bahkan, Louis sudah meminta Bik Yus menemani Gio bermain kalau anak itu ingin bermain di kolam renang. Bayangan berkumpul bersama Hanna dan Gio pun membuat Louis antusias pulang lebih cepat. Namun, Louis malah tidak menemukan siapa pun di kamar, tas Hanna pun tidak ada sampai membuat Louis panik sendiri. "Bik Yus! Bik Yus!" panggil Louis. Bik Yus yang mendengar suara Louis buru-buru naik menghampiri Louis. "S-selamat malam, Pak Louis." "Mana Hanna dan Gio?" "Itu ... itu ...." Louis langsung mengernyit melihatnya. Ia masih menenteng mainan yang baru ia beli untuk Gio. "Ada apa? Ke mana mereka?" "Mereka ... Hanna sudah perg