"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Buka bajumu dan tunjukkan bagaimana murahannya dirimu yang rela menjual diri demi uang, Hanna!" Suara tegas seorang pria membuat tubuh Hanna bergidik malam itu. Mereka sudah berada di kamar pengantin mereka dan Hanna pun meremas ujung piyama satin yang ia pakai. Namun, alih-alih patuh, Hanna malah mematung menatap pria dengan aura yang begitu dingin itu.Louis Sagala.Pria tampan di hadapan Hanna adalah suaminya yang sah. Mereka baru saja menikah dengan sangat sederhana tadi dan Hanna pun akhirnya resmi menjadi istri kedua dari suami Indira, wanita yang sudah menjadi bosnya satu tahun terakhir ini.Sungguh, Hanna sempat menyesali keputusannya. Kalau saja ia tidak meminjam uang pada Indira untuk biaya operasi jantung adiknya, mungkin Indira tidak akan pernah mengajukan syarat gila di mana Hanna harus menjadi istri kedua Louis dan menjadi ibu pengganti untuk melahirkan anak mereka.Namun, Hanna tidak punya pilihan lain. Adiknya baru berumur sembilan tahun dan Hanna akan menyesal seumur
Hanna melangkahkan kakinya dengan begitu berat keluar dari rumah Louis karena pria itu mengusirnya. Dengan mempertahankan harga dirinya yang tersisa, Hanna pun langsung pergi dari sana dan menuju ke rumah sakit, tempat surga dunianya dirawat di sana. Hanna menghapus air matanya dan langsung menunjukkan topeng tawanya, sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Tok tok, permisi! Apa ada orang?" Hanna melebarkan tawanya seolah tidak terjadi apa-apa. Anak laki-laki bernama Gio yang sedang duduk di ranjangnya pun langsung tertawa sumringah melihat kakaknya itu. "Kak Hanna!" pekik Gio senang. Wajah pucatnya berseri-seri melihat Hanna dan Gio langsung menunjukkan mainan barunya, sebuah pesawat terbang mini. "Suster kasi Gio ini! Pesawatnya bisa terbang lho!" seru Gio sambil menggerakkan pesawat itu berputar-putar dengan tangannya. "Itu mainan pasien yang tertinggal kemarin, tapi pasiennya sudah sembuh dan pulang," sahut sang suster yang menemani Gio di sana. "Ah, iya, terima kasih
"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?" Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk. "Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio. "Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit." Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu. "Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan." "Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!" Hanna terdiam sejenak. Hanna benar-benar harus mencari Tama, tapi Hanna juga tidak tega meninggalkan Gio. Hanna pun akhirnya tersenyum singkat dan mengangguk. "Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya." Gio mengangguk patuh dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan. Gio dirawat di kam
Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini!" geram Louis sambil kembali meneguk minumannya sampai tandas. Baru saja Louis akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira b
"Ingat, malam ini kau harus berhasil, Hanna!" Pesan Indira terus menggema di benak Hanna saat ia sudah berdiri di sudut ballroom hotel mewah milik Mahardhika Group, perusahaan Indira. Malam itu ada acara tahunan yang dihadiri oleh para karyawan dan klien perusahaan.Para tamu pun mulai berdatangan, termasuk seorang pria gagah yang melangkah masuk dengan jas hitam sempurna yang membalut tubuhnya.Aura dingin dan berwibawa yang pria itu pancarkan langsung menyedot perhatian banyak orang dan membuat debar jantung Hanna memacu tidak karuan, apalagi saat tangannya tanpa sengaja menyentuh botol obat di kantongnya. "Maafkan aku, aku juga terpaksa melakukannya," bisik Hanna bergetar. Di sisi lain, Louis sudah disambut banyak kenalannya di sana. Louis mempunyai perusahaan yang berbeda dengan Indira, namun Louis selalu mendukung pekerjaan istri tercintanya."Selamat malam, Pak Louis!" "Selamat malam!" "Senang sekali bertemu Anda di sini." Louis dan beberapa orang terlibat pembicaraan seri
Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna. "Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?" "Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu." "Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!" Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk. "Aku ... mengerti, Bu." "Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini." Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget. "Bu Indira ... lampunya ...." "Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat. Hanna sam
Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Tolong selamatkan istriku, Dokter! Dia terjatuh dari tangga dan mendadak tidak sadar! Tolong, Dokter! Tolong!" Louis begitu panik setelah akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Louis terus menyisir rambutnya frustasi dan berjalan mondar-mandir di depan ruang tindakan. Linda sendiri juga sama paniknya, tapi ia begitu tidak terima sampai ia terus menyalahkan semua orang. "Ini semua karena kau, Louis! Kalau saja kau tidak membawa wanita sialan itu tinggal di sana, semua ini tidak akan terjadi!" "Hanna sudah begitu melunjak karena kau terus membelanya! Kau tahu kalau Indira sering tidak pulang ke rumah karena dia tidak nyaman di rumahnya sendiri! Suaminya bukan miliknya lagi! Hanna sudah merasa menjadi nyonya rumah!" Linda berteriak penuh amarah sampai otak Louis makin penuh. Louis tidak bisa berpikir sama sekali sekarang."Kau akan menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada Indira, Louis! Ibu akan sangat membencimu kalau ada apa-apa pada Indira! Oh, Indira yang malang!" "Hanna mendo
Louis pulang lebih cepat siang itu. Ia sengaja tidak pergi lama agar bisa segera pulang sebelum Indira pulang duluan dan membuat keributan dengan Hanna. Louis pun membawa berita baik karena ia punya hadiah untuk Hanna, yaitu sertifikat rumah wanita itu.Ya, dengan uang, semuanya pasti beres. Louis memberikan uang yang cukup banyak untuk para rentenir itu. Louis membeli kembali rumah Hanna agar Hanna tidak kehilangan satu-satunya hartanya. Ia sudah membayangkan ekspresi bahagia Hanna. Mungkin wanita itu akan memeluknya, menciumnya, dan Louis mendadak antusias. Louis pun masih menyimpan sertifikatnya di mobil dan ingin melihat kondisi rumah dulu. Namun, begitu masuk ke rumah, ia langsung disambut insiden yang membuat jantungnya memacu begitu kencang. Louis melihat istrinya jatuh terguling melewati satu persatu anak tangga hingga tergolek tidak sadarkan diri. "Indiraa!" teriak Louis begitu panik. Debar jantung Louis memacu tidak karuan dan ia langsung menghampiri Indira untuk melih
Indira melangkah naik ke tangga dengan cepat, sedangkan Hanna langsung menoleh menatap bosnya itu sampai akhirnya Indira tiba dan mereka saling berhadapan. "Apa?" "Aku terkejut sekali menemukan kau mengobrol dengan mertuaku, apa yang kalian bicarakan?" ulang Indira. Namun, Indira tidak memberikan kesempatan pada Hanna untuk menjawab karena mendadak Indira sudah melayangkan tuduhannya pada Hanna. "Kau membocorkan perjanjian itu? Bahwa kau adalah istri kedua Louis? Bahwa aku membayarmu untuk menjadi ibu pengganti? Kau membocorkan kalau aku mandul?" bentak Indira penuh amarah. Hanna menggeleng. "Aku tidak melakukannya sama sekali, Bu." "Lalu mengapa kau tersenyum begitu busuk di depan mertuaku? Kau mau sok baik? Kau mau mengambil hatinya agar dia menyukaimu?" "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Anda katakan, Bu. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil hati siapa pun!" "Buktinya kau mencoba mengambil hati Louis! Kau membuat suamiku sendiri membuangku dan memilihmu! Kau membu
Seketika suasana hening setelah Gio membocorkan rahasia Hanna. Hanna panik dan buru-buru menghampiri Gio lalu menutup mulut anak itu. "Ya ampun, Bu Sena, Samuel. Maafkan adikku, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia ... Gio belum mengerti tentang suami istri, dia hanya baru saja menonton video entah apa itu dan mengikutinya," seru Hanna panik. "Tapi Gio sudah ngerti nikah, Kak!" Gio membela diri. Hanna tetap membungkamnya. "Sstt, diam dulu, Sayang. Tapi maaf, Bu, dia hanya ngawur. Tidak seperti itu!" seru Hanna lagi. Untuk sesaat, Sena dan Samuel masih tetap terdiam, sebelum lagi-lagi Sena yang tertawa duluan. "Ah, haha, baiklah, tidak masalah. Anak kecil memang suka meniru apa yang dilihatnya di video. Tapi baiklah, sebenarnya kami juga tahu Louis dan Indira tidak mungkin ada di rumah di jam segini. Kami hanya baru membeli buah dan sekalian memberikan buahnya. Samuel, berikan pada Bik Yus!" "Iya, Ma."Samuel memberikan buah pada Bik Yus dan mau tidak mau, Hanna terpaksa
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek
"Apa masih sakit?" Hanna sudah duduk bersandar di ranjangnya malam itu dengan baju dan tubuh yang bersih. Setelah melayani suaminya, Hanna mandi dibantu oleh suaminya yang mendadak lembut. Mereka mandi bersama, lalu Louis mengoleskan salep di kaki Hanna sampai Hanna begitu tersentuh pada kelembutan suaminya itu. "Tidak terlalu sakit, tapi bengkaknya tidak mau kempis," sahut Hanna sambil menatap bengkak di kakinya. "Pelan-pelan! Kalau kau terus bergerak, bengkaknya tidak bisa kempis," seru Louis lembut sambil terus membelai kaki Hanna. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar diketuk dan suara-suara berisik dari luar kamar. "Jangan dulu, Gio! Kakak takut Kak Louis marah," seru Refi takut. Namun, Gio tetap membuka pintu kamar yang sudah tidak terkunci itu. Setelah mandi, Louis sempat keluar kamar dan mengambil bajunya, lalu masuk lagi. Louis juga sempat melihat pesan dari Indira yang mengatakan bahwa istrinya itu menginap bersama Linda. Entah mengapa, pesan itu malah memb
Semua orang masih terdiam mendengar ucapan Louis yang memang mengejutkan. Hanna dan Refi sudah menahan napasnya sejenak, tidak percaya Louis akhirnya membocorkan hal yang sangat rahasia itu di depan umum, apalagi ada Susan, salah satu karyawan kantor juga. Susan sendiri hanya menganga tidak percaya pada pendengarannya. Sedangkan Martin sama bingungnya, tapi ia yang paling bereaksi keras. Martin pun tertawa kesal menatap Louis yang makin tidak rasional. "Istri? Apa maksudmu? Kau sadar apa yang kau katakan, Pak Louis? Istrimu adalah Bu Indira! Bagaimana caranya Hanna bisa menjadi istrimu juga?" "Kau pikir aku sudah gila mengakui orang lain sebagai istri kalau itu bukan kenyataannya? Indira memang istriku, tapi Hanna juga istriku! Aku punya dua istri, lalu apa itu masalah untukmu?" Sial!Louis pasti sudah gila karena mengakui ini. Sejak awal, mereka sudah sepakat bahwa ini akan menjadi rahasia di antara mereka. Louis tidak sudi menikahi wanita lain selain istrinya dan ia tidak akan
"Aku pulang! Hanna! Gio!" Louis tiba di rumah malam itu. Alih-alih Indira, ia malah langsung mencari Hanna serta Gio. Namun, anehnya, rumahnya terlihat begitu sepi. Jam segini biasanya Indira memang belum pulang karena Indira sangat sibuk, tapi Hanna yang tidak bekerja, seharusnya di rumah. Begitu juga dengan Gio yang pastinya tidak betah berdiam di kamar. Bahkan, Louis sudah meminta Bik Yus menemani Gio bermain kalau anak itu ingin bermain di kolam renang. Bayangan berkumpul bersama Hanna dan Gio pun membuat Louis antusias pulang lebih cepat. Namun, Louis malah tidak menemukan siapa pun di kamar, tas Hanna pun tidak ada sampai membuat Louis panik sendiri. "Bik Yus! Bik Yus!" panggil Louis. Bik Yus yang mendengar suara Louis buru-buru naik menghampiri Louis. "S-selamat malam, Pak Louis." "Mana Hanna dan Gio?" "Itu ... itu ...." Louis langsung mengernyit melihatnya. Ia masih menenteng mainan yang baru ia beli untuk Gio. "Ada apa? Ke mana mereka?" "Mereka ... Hanna sudah perg