"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?"
Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk.
"Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio.
"Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit."
Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu.
"Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan."
"Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!"
Hanna terdiam sejenak. Hanna benar-benar harus mencari Tama, tapi Hanna juga tidak tega meninggalkan Gio. Hanna pun akhirnya tersenyum singkat dan mengangguk.
"Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya."
Gio mengangguk patuh dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan.
Gio dirawat di kamar yang berisi beberapa pasien dalam satu kamar. Kebetulan hari itu, yang terisi hanya dua ranjang.
Sambil menatap langit-langit kamar, Gio terus mengerjapkan matanya, tapi bukannya tidur, Gio malah bercerita.
"Kakak tahu, kemarin teman Gio bisa lari lima putaran lapangan sekolah. Cepat sekali seperti flash. Gio lari satu putaran sudah mau pingsan," seru Gio dengan polosnya.
"Kalau Gio rajin minum obat, Gio juga bisa lari seperti flash ya? Biar nanti Gio bisa kejar Kak Tama kalau Kak Tama lari-lari ...."
Hati Hanna miris mendengarnya. Di umurnya yang sudah sembilan tahun, Gio sudah mengerti banyak hal. Gio juga sudah mengerti bahwa ia punya sakit jantung yang membuatnya mudah lelah.
Namun, Gio tidak benar-benar paham betapa bahaya penyakitnya dan Gio juga masih ada di umur yang sangat antusias untuk terus bergerak aktif serta mencoba banyak hal.
Itulah yang membuat Hanna berusaha keras, sangat keras untuk membuat Gio bisa merasakan masa kecil yang normal dan bahagia seperti anak lainnya.
Hanna pun membelai sayang kepala adiknya itu dan mendaratkan kecupan sayang di dahinya.
"Bisa, Sayang. Bisa. Gio pasti bisa lari kencang seperti flash. Bahkan, besok besar, Gio bisa menjadi atlet lari."
Tatapan Gio berbinar-binar. "Lari putar lapangan sepak bola seperti di YouTube!"
Hanna mengangguk. "Tentu, Sayang! Tentu! Tapi sekarang Gio tidur dulu ya agar tenaga Gio cepat pulih dan Gio cepat sembuh."
"Okee, Kak!" sahut Gio yang langsung memejamkan matanya dan begitu cepat terlelap.
Hanna menghapus air matanya, tidak ada waktu untuk menangis lagi dan Hanna pun segera pergi dari rumah sakit menuju ke sebuah klub malam di sudut kota, klub malam elit tempat Tama biasa menghabiskan uangnya.
Hanna masuk ke klub itu dan ia pun langsung disambut oleh suara musik yang sangat keras, pencahayaan yang remang-remang, dan suasana yang sama sekali tidak Hanna sukai.
Bahkan jeduk jeduk musik di sana membuat jantung Hanna makin menghentak tidak karuan, tapi ia tetap harus mencari Tama karena Tama membawa semua uang yang ia punya.
"Gelap sekali! Bagaimana aku bisa menemukan Tama di sini?"
"Semoga aku menemukannya, ya Tuhan! Aku benar-benar tidak tahu harus mencari di mana kalau dia tidak di sini!"
Hanna melangkah sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Maaf, permisi!" ucap Hanna tanpa henti setiap kali ia menabrak seseorang.
Hanna pun terus melangkah sampai akhirnya ia melihat sosok pria yang ia cari. Pria tinggi dengan pakaian kasualnya yang acak-acakan. Tama terlihat sedang minum sambil tertawa bersama beberapa pria lainnya dan kemarahan Hanna pun membuncah melihatnya.
Tanpa mempedulikan apa pun, Hanna menghampiri Tama dan menarik tubuh Tama menghadap ke arahnya.
"Kembalikan uangku, Sialan!" geram Hanna cukup keras sampai beberapa orang langsung menoleh menatapnya.
Beberapa teman Tama pun kaget, tapi mereka langsung saling melirik melihat wanita cantik di samping Tama.
"Wow, apa kau tidak mau mengenalkan wanita cantik ini pada kami, Tama?"
Tama sendiri kaget melihat Hanna, tapi ia langsung mengibaskan tangannya.
"Jangan yang ini! Yang ini macan galak! Minggir dulu! Biar aku yang mengatasinya!"
Teman Tama hanya tertawa, sebelum mereka pergi meninggalkan Tama, sedangkan Tama langsung menatap adiknya itu.
"Aku tidak percaya kau menyusulku sampai ke sini, Hanna! Bukankah kau adalah wanita yang paling suci yang tidak mau masuk ke tempat seperti ini, hah?"
"Jangan banyak bicara! Kembalikan uangku dan kartu ATM-ku! Di mana hatimu, hah? Gio sedang ada di persimpangan hidup dan mati setiap kali penyakitnya kambuh, tapi kau malah membawa pergi semua uang yang sudah kutabung untuknya!" bentak Hanna yang suaranya tertelan oleh kerasnya musik di sana.
"Hei! Hei! Bukan hanya Gio yang butuh uang, aku juga kakakmu! Mengapa kau hanya peduli pada Gio?"
"Kakak? Kau ingat kalau kau kakakku? Seharusnya kau yang berjuang untukku, bukan hanya bisa menyusahkan aku! Dan apa? Kau butuh uang? Cari saja sendiri! Bekerja sana! Jangan hanya tahu menghabiskan uang dengan cara seperti ini! Kau hanya beban keluarga!"
"Jaga mulutmu, Hanna! Kau mau kutampar, hah? Tapi sial! Baiklah, uangnya sudah habis jadi aku hanya akan mengembalikan kartumu! Aku masih pengertian dengan tidak mengambil semuanya, tapi aku mau berpesan padamu, jangan bodoh, Hanna! Mana ada orang jaman sekarang yang masih memakai tanggal lahir sebagai pin ATM? Itu terlalu mudah."
Tatapan Hanna goyah mendengarnya. Ya, memang Hanna adalah wanita bodoh yang masih sangat jadul. Namun, ia menolak dihina oleh kakaknya itu.
"Itu bukan urusanmu, Dasar Pria Brengsek!"
"Ck, kau benar-benar macan menyebalkan! Tapi baiklah, ambil kembali kartumu, Adikku Sayang!"
Tama memberikan kartu Hanna dan Hanna langsung meraihnya kasar. Tama pun tersenyum miring sambil menarik tengkuk Hanna lalu mendaratkan bibirnya ke pelipis Hanna sampai Hanna menarik mundur kepalanya dengan jijik.
"Dasar menjijikkan! Jangan menyentuhku!"
"Itu tandanya aku menyayangi adikku kan? Terus hasilkan banyak uang untukku juga ya! Sampai jumpa!"
Tama melambaikan tangannya dan langsung melangkah santai pergi dari sana bersama teman-temannya sampai Hanna hanya bisa menatap punggung itu dengan begitu lelah.
"Sial! Pergi saja dari hidupku kalau kau hanya bisa menyusahkan aku, Tama! Brengsek!" geram Hanna tertahan.
Hanna pun langsung menyimpan kartunya dan berniat pergi dari sana saat mendadak suara seorang pria terdengar. Suara berat yang membuat debar jantung Hanna memacu makin tidak karuan.
"Baru saja menikah tapi kau sudah selingkuh dariku, Hanna?"
**Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini!" geram Louis sambil kembali meneguk minumannya sampai tandas. Baru saja Louis akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira b
"Ingat, malam ini kau harus berhasil, Hanna!" Pesan Indira terus menggema di benak Hanna saat ia sudah berdiri di sudut ballroom hotel mewah milik Mahardhika Group, perusahaan Indira. Malam itu ada acara tahunan yang dihadiri oleh para karyawan dan klien perusahaan.Para tamu pun mulai berdatangan, termasuk seorang pria gagah yang melangkah masuk dengan jas hitam sempurna yang membalut tubuhnya.Aura dingin dan berwibawa yang pria itu pancarkan langsung menyedot perhatian banyak orang dan membuat debar jantung Hanna memacu tidak karuan, apalagi saat tangannya tanpa sengaja menyentuh botol obat di kantongnya. "Maafkan aku, aku juga terpaksa melakukannya," bisik Hanna bergetar. Di sisi lain, Louis sudah disambut banyak kenalannya di sana. Louis mempunyai perusahaan yang berbeda dengan Indira, namun Louis selalu mendukung pekerjaan istri tercintanya."Selamat malam, Pak Louis!" "Selamat malam!" "Senang sekali bertemu Anda di sini." Louis dan beberapa orang terlibat pembicaraan seri
Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna. "Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?" "Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu." "Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!" Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk. "Aku ... mengerti, Bu." "Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini." Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget. "Bu Indira ... lampunya ...." "Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat. Hanna sam
Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
Indira masih duduk sendirian di ruang tamu rumahnya pagi itu. Rumahnya begitu sepi karena Louis belum pulang. Tentu saja Indira tahu di mana suaminya berada. Ya, Louis menghabiskan malam bersama Hanna. Bukan hal yang menyenangkan bagi Indira, tapi ini adalah rencananya sendiri. Jika ingin mendapatkan keturunan, Indira harus menyingkirkan egonya dan menerima kenyataan bahwa suaminya akan berbagi ranjang dengan wanita lain.Indira pun masih hanyut dalam lamunannya sendiri saat ponselnya berbunyi dan Indira langsung mengangkat telepon dari Hanna itu. "Bu Indira, aku sudah berhasil tidur dengan Pak Louis. Karena itu, bolehkah aku mendapatkan uang yang Anda janjikan?" Suara Hanna sedikit bergetar, tapi Indira tersenyum puas mendengarnya. "Bagus, Hanna! Aku juga sudah tahu kalau kau berhasil melakukannya semalam. Dan tentu saja aku bukan orang yang ingkar janji. Aku akan memberikan uangnya." Mendengar suara tegas Indira, Hanna pun bernapas lega. Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama
"Aku tidak bisa, Bu," tolak Hanna tanpa berpikir panjang. "Aku punya rumah dan adik yang tinggal bersamaku, aku tidak bisa meninggalkannya." "Adikmu masih di rumah sakit, sudah banyak yang menjaganya. Lagipula ini juga perintah, Hanna! Aku tidak sedang bertanya kau mau atau tidak!" tegas Indira. Dan sialnya, Hanna tidak pernah bisa menolak perintah Indira karena Indira selalu memaksa. Hanna pun berakhir dengan berbaring di tempat tidur yang asing malam itu, menatap langit-langit kamar tamu yang terasa begitu dingin dan sunyi.Hanna tidak ingin ada di sini. Ia tidak ingin tinggal serumah dengan Louis dan Indira.Hanna menghela napas panjang, menekan rasa frustrasinya.Bagaimana bisa ia tinggal di rumah pria yang begitu membencinya?Bagaimana bisa ia tidur nyenyak di tempat ini sementara setiap tatapan Louis padanya penuh dengan kemarahan dan penghinaan?Sementara itu, Louis akhirnya pulang ke rumah begitu larut dengan perasaan yang sangat buruk. Louis sengaja pergi karena Indira mema
Louis dan Hanna masih sama-sama mematung dengan debar jantung yang berkejaran. Keduanya sama-sama terpengaruh dengan kedekatan mereka. Namun, Hanna tersadar duluan dan langsung memalingkan wajahnya. "M-maafkan aku, Pak," ucap Hanna yang langsung bergerak menegakkan dirinya. Louis sendiri tersentak. Untuk sekian detik, sungguh Louis sempat berpikir untuk mencium Hanna lagi, tapi untung saja suara Hanna menyadarkannya dari kekhilafannya. Tanpa aba-aba, Louis pun melepaskan pelukannya dari Hanna dengan kasar sampai Hanna kembali terhuyung. Untungnya, Hanna langsung berpegangan pada meja di sampingnya. "Jadi ini modusmu lagi, hmm? Menyodorkan dirimu agar aku memelukmu? Aku tidak habis pikir dengan semua cara murahanmu ini, Hanna! Kau benar-benar tidak tahu malu!" Hanna menahan napasnya sejenak. Hanna bukan wanita lemah yang hanya bisa pasrah saat dihina dan direndahkan. Hanna pun sudah terus menahan dirinya menghadapi semua hinaan Louis padanya. "Apa hanya ada hal buruk tentang aku
"Kau menghilang di pesta kemarin dan aku tidak bisa meneleponmu, Hanna! Terpaksa aku yang melayani Bu Indira di sana." Susan, teman sekantor Hanna langsung menyambut Hanna begitu ia tiba di kantor pagi itu. Hanna berangkat terlalu siang sampai ia tidak sempat mampir ke rumah sakit lagi. "Maafkan aku, aku ada urusan mendadak waktu itu," sahut Hanna beralasan karena Susan juga tidak tahu tentang pernikahannya. "Setidaknya kau harus memberitahuku agar aku tahu harus melakukan apa, Hanna.""Baiklah, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya." "Hmm, ya sudah. Eh, tapi kau tahu kalau malam itu Pak Louis juga menghilang? Banyak sekali yang menanyakan Pak Louis karena Bu Indira menyambut tamunya sendiri." Hanna memaksakan senyum dan tidak menjawabnya. Susan pun terus mengoceh sendiri dan Hanna hanya mendengarkan omelan temannya itu, sebelum mereka melanjutkan pekerjaan mereka hari itu. Hanna pun bisa bernapas lega karena Indira tidak ke kantor hari itu. Saat jam makan siang, Hanna juga b
Martin melajukan mobilnya ke dekat rumah Hanna. Ia belum pernah ke rumah itu sebelumnya karena saat mengantar Hanna waktu itu, wanita itu minta diantar ke rumah Louis. Tapi Martin tahu alamat Hanna dari data pasien di rumah sakit. Selain itu, dengan cepat, tatapan Martin bisa menangkap Hanna yang sedang ditampar oleh seorang wanita yang Martin kenali sebagai Linda. "Sial! Apa yang Bu Linda lakukan?" Buru-buru Martin memarkir mobilnya asal dan langsung berlari ke arah Hanna. Martin pun bisa mendengar sedikit tuduhan Linda, tapi Martin tidak bisa membiarkan Hanna terus ditampar. "Kakakmu pantas mendapatkannya!" geram Linda sambil melayangkan tamparannya lagi. Namun, sebelum tangan itu mendarat di pipi Hanna, Martin sudah menahan tangan Linda sampai Linda membelalak kaget. "D-Dokter Martin?" "Apa yang Anda lakukan, Bu?" geram Martin sambil melepaskan tangan Linda. "Dokter Martin?" Hanna juga sama kagetnya melihat Martin di sana dan air matanya malah makin bercucuran. "Bagaimana
"Dokter Martin!" Martin masih melangkah di koridor rumah sakit saat ia melihat Hendra, ayah Indira di sana. "Pak Hendra?" "Ah, apa kabar? Senang sekali bisa bertemu denganmu pagi-pagi begini. Apa jam praktikmu sepagi ini?""Ah, tidak, Pak. Lebih tepatnya aku baru saja mau pulang. Ada kondisi darurat semalam sampai aku harus berada di rumah sakit semalaman," jawab Martin dengan wajah lelahnya. "Oh, semoga semuanya baik-baik saja." "Terima kasih, Pak. Tapi apa yang Anda lakukan di sini?" Wajah Hendra sedikit lemas dan pria tua itu mengembuskan napasnya beberapa kali, sebelum menjawabnya. "Ada kejadian tidak baik pada Indira." Martin menegang. "Kejadian apa, Pak?" "Dia mengalami kecelakaan, dia jatuh dari tangga dan dokter bilang dia akan lumpuh sementara." "Apa?" Martin terkejut dan langsung menemui Indira yang sedang duduk di ranjang pasien. Wajah Indira nampak lelah dan pucat, tapi ia terlihat tegar dan ekspresinya masih sedingin biasanya. "Bu Indira?" "Dokter Martin? Aku
Louis tidur di rumah Hanna malam itu. Louis sempat menumpang mandi dan memakai baju Tama, sebelum ia berbaring di sofa dan terlelap di sana. Kaki panjang Louis pun keluar dari sofa karena sofa di rumah Hanna bukan sofa yang terlalu panjang, tapi saking lelahnya, pria itu tetap tidak peduli. Hanna pun mengembuskan napas panjangnya dan perlahan mendekati Louis, menatapnya lekat, dan membelai sayang kepala pria itu. "Bagaimana semuanya bisa jadi seperti ini? Aku merasa seperti menjadi seorang pelakor saat ini," ucap Hanna sambil terus menatap Louis. Saat perasaannya makin dalam, begitu sulit bagi Hanna untuk menolak Louis, walaupun ia sering mengingatkan dirinya kalau semua ini salah. "Aku menyukaimu, Louis Sagala. Tapi kalau bisa mengulang waktu, lebih baik kita tidak pernah memulai ini. Akan lebih baik kalau aku tetap menjadi asisten Bu Indira dan tetap menjadi asistennya selamanya. Hidupku juga tidak akan serumit ini." "Tapi waktu tidak bisa diulang kan? Kita hanya bisa bergerak
"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Tolong selamatkan istriku, Dokter! Dia terjatuh dari tangga dan mendadak tidak sadar! Tolong, Dokter! Tolong!" Louis begitu panik setelah akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Louis terus menyisir rambutnya frustasi dan berjalan mondar-mandir di depan ruang tindakan. Linda sendiri juga sama paniknya, tapi ia begitu tidak terima sampai ia terus menyalahkan semua orang. "Ini semua karena kau, Louis! Kalau saja kau tidak membawa wanita sialan itu tinggal di sana, semua ini tidak akan terjadi!" "Hanna sudah begitu melunjak karena kau terus membelanya! Kau tahu kalau Indira sering tidak pulang ke rumah karena dia tidak nyaman di rumahnya sendiri! Suaminya bukan miliknya lagi! Hanna sudah merasa menjadi nyonya rumah!" Linda berteriak penuh amarah sampai otak Louis makin penuh. Louis tidak bisa berpikir sama sekali sekarang."Kau akan menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada Indira, Louis! Ibu akan sangat membencimu kalau ada apa-apa pada Indira! Oh, Indira yang malang!" "Hanna mendo
Louis pulang lebih cepat siang itu. Ia sengaja tidak pergi lama agar bisa segera pulang sebelum Indira pulang duluan dan membuat keributan dengan Hanna. Louis pun membawa berita baik karena ia punya hadiah untuk Hanna, yaitu sertifikat rumah wanita itu.Ya, dengan uang, semuanya pasti beres. Louis memberikan uang yang cukup banyak untuk para rentenir itu. Louis membeli kembali rumah Hanna agar Hanna tidak kehilangan satu-satunya hartanya. Ia sudah membayangkan ekspresi bahagia Hanna. Mungkin wanita itu akan memeluknya, menciumnya, dan Louis mendadak antusias. Louis pun masih menyimpan sertifikatnya di mobil dan ingin melihat kondisi rumah dulu. Namun, begitu masuk ke rumah, ia langsung disambut insiden yang membuat jantungnya memacu begitu kencang. Louis melihat istrinya jatuh terguling melewati satu persatu anak tangga hingga tergolek tidak sadarkan diri. "Indiraa!" teriak Louis begitu panik. Debar jantung Louis memacu tidak karuan dan ia langsung menghampiri Indira untuk melih
Indira melangkah naik ke tangga dengan cepat, sedangkan Hanna langsung menoleh menatap bosnya itu sampai akhirnya Indira tiba dan mereka saling berhadapan. "Apa?" "Aku terkejut sekali menemukan kau mengobrol dengan mertuaku, apa yang kalian bicarakan?" ulang Indira. Namun, Indira tidak memberikan kesempatan pada Hanna untuk menjawab karena mendadak Indira sudah melayangkan tuduhannya pada Hanna. "Kau membocorkan perjanjian itu? Bahwa kau adalah istri kedua Louis? Bahwa aku membayarmu untuk menjadi ibu pengganti? Kau membocorkan kalau aku mandul?" bentak Indira penuh amarah. Hanna menggeleng. "Aku tidak melakukannya sama sekali, Bu." "Lalu mengapa kau tersenyum begitu busuk di depan mertuaku? Kau mau sok baik? Kau mau mengambil hatinya agar dia menyukaimu?" "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Anda katakan, Bu. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil hati siapa pun!" "Buktinya kau mencoba mengambil hati Louis! Kau membuat suamiku sendiri membuangku dan memilihmu! Kau membu
Seketika suasana hening setelah Gio membocorkan rahasia Hanna. Hanna panik dan buru-buru menghampiri Gio lalu menutup mulut anak itu. "Ya ampun, Bu Sena, Samuel. Maafkan adikku, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia ... Gio belum mengerti tentang suami istri, dia hanya baru saja menonton video entah apa itu dan mengikutinya," seru Hanna panik. "Tapi Gio sudah ngerti nikah, Kak!" Gio membela diri. Hanna tetap membungkamnya. "Sstt, diam dulu, Sayang. Tapi maaf, Bu, dia hanya ngawur. Tidak seperti itu!" seru Hanna lagi. Untuk sesaat, Sena dan Samuel masih tetap terdiam, sebelum lagi-lagi Sena yang tertawa duluan. "Ah, haha, baiklah, tidak masalah. Anak kecil memang suka meniru apa yang dilihatnya di video. Tapi baiklah, sebenarnya kami juga tahu Louis dan Indira tidak mungkin ada di rumah di jam segini. Kami hanya baru membeli buah dan sekalian memberikan buahnya. Samuel, berikan pada Bik Yus!" "Iya, Ma."Samuel memberikan buah pada Bik Yus dan mau tidak mau, Hanna terpaksa
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek