Hanna tidak pernah menyangka kedatangannya ke sini akan membuat Louis marah besar, padahal ia hanya menjalankan perintah bosnya. Hanna pun begitu tegang saat Louis dan Samuel saling bertatapan di hadapannya sampai Hanna jadi sungkan sendiri. "Ah, maaf, Pak. Permisi! Tidak apa ... maksudku ... aku memang harus pulang sekarang, aku hanya datang mengantar hadiah dan aku harus kembali ke kantor," seru Hanna akhirnya. Namun, Louis sudah terlanjur marah sampai ia mengembuskan napas kesalnya. "Kalian dengar kan? Dia harus pergi, jadi pergilah, Hanna! Cepat!" Hanna mengerjapkan matanya dan dengan cepat ia mengangguk. "Baiklah! Permisi semua, maaf aku menganggu acaranya!" "Ya ampun, tidak ada yang terganggu, Hanna. Kau benar-benar tidak mau makan sedikit?" Sena mencoba menahan Hanna. Namun, Hanna tetap tersenyum dengan sopan. "Maaf, Bu, lain kali kalau ada waktu lebih, aku akan mampir. Terima kasih. Permisi!" Buru-buru Hanna pergi dari sana sampai Sena begitu kecewa dan langsung melot
"Samuel?" Suara Louis terdengar saat Hanna dan Samuel masih saling bertatapan sambil melempar senyum. Sontak keduanya kaget dan menoleh ke arah Louis. "Kak Louis!" sapa Samuel yang langsung meninggalkan Hanna dan menghampiri kakaknya itu. "Mengapa kau kemari?" tanya Louis tiba-tiba dengan begitu tajam sampai Samuel mengernyit mendengarnya. "Hei, mengapa kau bertanya begitu? Apa sekarang aku tidak boleh ke sini, hah?" Louis menatap Samuel sejenak sambil mengembuskan napas panjangnya. Emosinya pada Hanna membuat sikapnya menjadi menyebalkan pada adiknya itu. "Ah, bukan begitu. Aku hanya terkejut. Maafkan aku, tapi tunggulah di dalam dulu, kita mengobrol sebentar lagi, setelah aku menyelesaikan urusanku sebentar! Refi, temani Samuel!" "Ah, baik, Bos!" Refi segera menemani Samuel masuk ke dalam ruang kerja Louis, sedangkan Louis langsung meraih lengan Hanna dan menyeretnya kasar. "Pak, apa-apaan?" pekik Hanna sambil mengikuti langkah cepat Louis agar tidak ada karyawan lain yang
"Eh, mana Hanna?" Samuel dan Louis akhirnya keluar dari ruang kerja menjelang siang itu dan Samuel pun langsung mencari Hanna di meja Refi. Baru saja Refi akan menjawabnya, tapi Louis sudah menyelanya duluan. "Untuk apa kau mencarinya, Samuel? Itu tidak penting!" geram Louis. "Tidak ada, hanya ingin menyapanya saja. Tapi apa kau sadar kalau kau sangat aneh, Kak? Sejak kemarin kau aneh, sekarang pun kau aneh. Memangnya ada apa dengan Hanna sampai kau terlihat sangat membencinya?" Louis mengembuskan napas panjangnya. "Siapa yang membencinya? Jangan berpikir yang tidak-tidak!" "Haha, benarkah? Mama sangat menyukainya, Kak." "Ck, Mama baru bertemu dengannya satu kali, Mama belum mengenalnya. Kita tidak boleh melihat orang dari penampilannya saja!" "Apa maksudnya?" "Tidak ada! Tapi ayolah, kita makan siang bersama!" ajak Louis yang langsung membawa Samuel bersamanya. Refi yang mendengarnya sampai merasa tidak enak hati."Apa Hanna pernah memberitahu Bos alasannya menerima tawara
Hanna menggenggam tangan Gio erat saat para perawat mendorong ranjang rumah sakit ke arah ruang operasi pagi itu. Hanna melangkah di sampingnya. Tubuh kecil itu terbaring dengan wajah tegang. Hanna sendiri juga tegang, tapi sebisa mungkin, Hanna menenangkan adiknya itu. "Kak Hanna ...." Suara Gio lirih dan bergetar. "Jangan takut ya, Sayang. Ada Uncle Dokter yang akan menjaga Gio di dalam." "Kak Hanna boleh ikut masuk saja? Temani Gio ...." "Tidak bisa, Sayang." Mata Hanna memanas. "Kakak tidak boleh masuk ke ruang operasi, tapi semuanya akan baik-baik saja ya." Air mata Hanna sudah mau jatuh, tapi Hanna menahannya. Mengantar adiknya yang masih kecil ke ruang operasi sangat mematahkan hatinya. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di dalam ruang operasi nanti, apalagi yang dioperasi adalah jantung Gio. Tapi hanya ini satu-satunya jalan untuk Gio bisa bertahan. Selama di rumah sakit sendiri, kondisi Gio naik turun, dan Hanna percaya ini yang terbaik.Hanna pun sud
"Hanna, bagaimana?" Suara Susan yang berlari di koridor membuat Hanna menoleh. Hanna langsung tersenyum melihat sahabatnya di sana. "Susan!" Susan buru-buru ke rumah sakit begitu jam istirahat tiba agar ia bisa menjenguk Gio yang dioperasi, tapi ternyata operasinya belum selesai. "Bagaimana di dalam?" tanya Susan yang sudah duduk di samping Hanna. "Aku belum tahu, operasinya belum selesai padahal ini sudah tiga jam berlalu. Aku sampai tidak bisa bernapas lega." "Oh, sabar, Hanna! Semuanya akan baik-baik saja, aku yakin itu." "Terima kasih, Susan." "Tapi apa kau sudah makan? Ayo kita makan bersama!" Hanna menggeleng. "Aku tidak bisa makan. Perutku mual dan aku sama sekali tidak lapar. Aku terlalu tegang, Susan." Susan mendesah. "Ya ampun, aku paham, Hanna. Tapi kau harus makan sedikit, kau bisa lemas kalau seperti ini!" "Nanti saja! Aku mau menunggu dokter keluar." Susan terdiam sejenak sebelum bertanya, "Berapa lama seharusnya operasinya berlangsung?" "Empat sampai enam j
Louis masih terdiam menatap Hanna. Sekalipun ia kesal pada penolakan Hanna, nyatanya kemarahan wanita itu tidak membuatnya mundur."Kau benar-benar keras kepala, Hanna! Dengar ya! Aku di sini bukan untuk bertengkar denganmu, aku membawakanmu makanan, jadi lebih baik kau makan dengan patuh saja!" "Ini bukan di kantor, mengapa aku harus menuruti Anda? Aku tidak mau makan!" "Sial, Hanna! Bisakah kau tidak membantahku? Kau belum makan sejak tadi, kau mau adikmu sembuh tapi kau yang sakit, hah? Apa susahnya menerima makanan dariku?" Tatapan Hanna goyah menatap Louis, ia tidak mengerti apa yang sedang Louis lakukan sekarang, marah tapi juga seolah peduli padanya. "Bisakah Anda tidak usah berpura-pura peduli padaku, Pak? Aku ini hanya pembohong dan wanita murahan, aku makan atau tidak, itu tidak ada hubungannya dengan Anda!" Louis kehabisan kata-kata. Ada apa dengan wanita itu yang mendadak mengaum seperti singa dan terus mengungkit kesalahan Louis? Namun, Louis juga tidak akan merenda
"Ke mana kita ini? Sepertinya salah jalan!" "Haha, ini menuju ruang operasi!" "Ya ampun, benar-benar salah jalan." Linda dan temannya baru saja akan menjenguk orang di rumah sakit saat mereka salah jalan dan malah melangkah ke arah ruang operasi. Mereka pun berniat berbalik arah saat Linda melihat seseorang yang familiar di depan ruang tunggu operasi. "Eh, itu seperti menantuku, siapa yang bersamanya itu?" seru Linda yang posisinya tidak terlalu jauh dari Louis. Linda bisa melihat Louis yang sedang menghampiri seorang wanita dan memberikan sesuatu untuk wanita itu. "Siapa? Louis Sagala suami Indira itu?" tanya temannya. Linda berdecak. "Ck, anakku hanya satu, menantuku ya jelas hanya satu juga!" "Ah, kau tidak menghitung istri Joseph ya." "Cih, dia bukan anakku! Tapi ayo kita sapa dia dulu!" Baru saja Linda melangkah mendekati Louis dan berniat menyapanya, tapi sedetik kemudian, ia menghentikan langkahnya saat ia mengenali wanita yang bersama Louis. "Ya Tuhan, itu kan Hanna
"Kau yakin tidak apa meninggalkan bosmu seperti itu, Hanna?" Martin dan Hanna sudah duduk berdua di kantin rumah sakit. Awalnya Martin sungkan mengajak Hanna makan hanya di "kantin," tapi ia masih punya tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan lama-lama. Hanna, yang sejak awal tidak ingin meninggalkan rumah sakit, merasa cukup lega bisa makan dengan tenang di kantin rumah sakit yang sederhana ini. Setidaknya, ia tidak merasa terlalu terikat dengan suasana formal."Ah, tidak apa, Dokter," jawab Hanna, mencoba terdengar santai. "Seperti yang kubilang tadi, dia ... hanya mampir. Dia juga buru-buru.""Begitu ya?" Martin menyimpulkan sambil mengunyah. "Tapi dia bos yang sangat baik, Hanna. Masih sempat mampir di tengah kesibukannya. Kau beruntung punya bos seperti itu."Hanna memaksakan senyuman, tapi hatinya terasa berat. Martin terus saja memberikan pujian, yang sepertinya tak ada habisnya."Dia peduli pada karyawannya," lanjut Martin tanpa menyadari ketegangan yang mulai dirasakan
Louis tidur di rumah Hanna malam itu. Louis sempat menumpang mandi dan memakai baju Tama, sebelum ia berbaring di sofa dan terlelap di sana. Kaki panjang Louis pun keluar dari sofa karena sofa di rumah Hanna bukan sofa yang terlalu panjang, tapi saking lelahnya, pria itu tetap tidak peduli. Hanna pun mengembuskan napas panjangnya dan perlahan mendekati Louis, menatapnya lekat, dan membelai sayang kepala pria itu. "Bagaimana semuanya bisa jadi seperti ini? Aku merasa seperti menjadi seorang pelakor saat ini," ucap Hanna sambil terus menatap Louis. Saat perasaannya makin dalam, begitu sulit bagi Hanna untuk menolak Louis, walaupun ia sering mengingatkan dirinya kalau semua ini salah. "Aku menyukaimu, Louis Sagala. Tapi kalau bisa mengulang waktu, lebih baik kita tidak pernah memulai ini. Akan lebih baik kalau aku tetap menjadi asisten Bu Indira dan tetap menjadi asistennya selamanya. Hidupku juga tidak akan serumit ini." "Tapi waktu tidak bisa diulang kan? Kita hanya bisa bergerak
"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Tolong selamatkan istriku, Dokter! Dia terjatuh dari tangga dan mendadak tidak sadar! Tolong, Dokter! Tolong!" Louis begitu panik setelah akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Louis terus menyisir rambutnya frustasi dan berjalan mondar-mandir di depan ruang tindakan. Linda sendiri juga sama paniknya, tapi ia begitu tidak terima sampai ia terus menyalahkan semua orang. "Ini semua karena kau, Louis! Kalau saja kau tidak membawa wanita sialan itu tinggal di sana, semua ini tidak akan terjadi!" "Hanna sudah begitu melunjak karena kau terus membelanya! Kau tahu kalau Indira sering tidak pulang ke rumah karena dia tidak nyaman di rumahnya sendiri! Suaminya bukan miliknya lagi! Hanna sudah merasa menjadi nyonya rumah!" Linda berteriak penuh amarah sampai otak Louis makin penuh. Louis tidak bisa berpikir sama sekali sekarang."Kau akan menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada Indira, Louis! Ibu akan sangat membencimu kalau ada apa-apa pada Indira! Oh, Indira yang malang!" "Hanna mendo
Louis pulang lebih cepat siang itu. Ia sengaja tidak pergi lama agar bisa segera pulang sebelum Indira pulang duluan dan membuat keributan dengan Hanna. Louis pun membawa berita baik karena ia punya hadiah untuk Hanna, yaitu sertifikat rumah wanita itu.Ya, dengan uang, semuanya pasti beres. Louis memberikan uang yang cukup banyak untuk para rentenir itu. Louis membeli kembali rumah Hanna agar Hanna tidak kehilangan satu-satunya hartanya. Ia sudah membayangkan ekspresi bahagia Hanna. Mungkin wanita itu akan memeluknya, menciumnya, dan Louis mendadak antusias. Louis pun masih menyimpan sertifikatnya di mobil dan ingin melihat kondisi rumah dulu. Namun, begitu masuk ke rumah, ia langsung disambut insiden yang membuat jantungnya memacu begitu kencang. Louis melihat istrinya jatuh terguling melewati satu persatu anak tangga hingga tergolek tidak sadarkan diri. "Indiraa!" teriak Louis begitu panik. Debar jantung Louis memacu tidak karuan dan ia langsung menghampiri Indira untuk melih
Indira melangkah naik ke tangga dengan cepat, sedangkan Hanna langsung menoleh menatap bosnya itu sampai akhirnya Indira tiba dan mereka saling berhadapan. "Apa?" "Aku terkejut sekali menemukan kau mengobrol dengan mertuaku, apa yang kalian bicarakan?" ulang Indira. Namun, Indira tidak memberikan kesempatan pada Hanna untuk menjawab karena mendadak Indira sudah melayangkan tuduhannya pada Hanna. "Kau membocorkan perjanjian itu? Bahwa kau adalah istri kedua Louis? Bahwa aku membayarmu untuk menjadi ibu pengganti? Kau membocorkan kalau aku mandul?" bentak Indira penuh amarah. Hanna menggeleng. "Aku tidak melakukannya sama sekali, Bu." "Lalu mengapa kau tersenyum begitu busuk di depan mertuaku? Kau mau sok baik? Kau mau mengambil hatinya agar dia menyukaimu?" "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Anda katakan, Bu. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil hati siapa pun!" "Buktinya kau mencoba mengambil hati Louis! Kau membuat suamiku sendiri membuangku dan memilihmu! Kau membu
Seketika suasana hening setelah Gio membocorkan rahasia Hanna. Hanna panik dan buru-buru menghampiri Gio lalu menutup mulut anak itu. "Ya ampun, Bu Sena, Samuel. Maafkan adikku, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia ... Gio belum mengerti tentang suami istri, dia hanya baru saja menonton video entah apa itu dan mengikutinya," seru Hanna panik. "Tapi Gio sudah ngerti nikah, Kak!" Gio membela diri. Hanna tetap membungkamnya. "Sstt, diam dulu, Sayang. Tapi maaf, Bu, dia hanya ngawur. Tidak seperti itu!" seru Hanna lagi. Untuk sesaat, Sena dan Samuel masih tetap terdiam, sebelum lagi-lagi Sena yang tertawa duluan. "Ah, haha, baiklah, tidak masalah. Anak kecil memang suka meniru apa yang dilihatnya di video. Tapi baiklah, sebenarnya kami juga tahu Louis dan Indira tidak mungkin ada di rumah di jam segini. Kami hanya baru membeli buah dan sekalian memberikan buahnya. Samuel, berikan pada Bik Yus!" "Iya, Ma."Samuel memberikan buah pada Bik Yus dan mau tidak mau, Hanna terpaksa
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek
"Apa masih sakit?" Hanna sudah duduk bersandar di ranjangnya malam itu dengan baju dan tubuh yang bersih. Setelah melayani suaminya, Hanna mandi dibantu oleh suaminya yang mendadak lembut. Mereka mandi bersama, lalu Louis mengoleskan salep di kaki Hanna sampai Hanna begitu tersentuh pada kelembutan suaminya itu. "Tidak terlalu sakit, tapi bengkaknya tidak mau kempis," sahut Hanna sambil menatap bengkak di kakinya. "Pelan-pelan! Kalau kau terus bergerak, bengkaknya tidak bisa kempis," seru Louis lembut sambil terus membelai kaki Hanna. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar diketuk dan suara-suara berisik dari luar kamar. "Jangan dulu, Gio! Kakak takut Kak Louis marah," seru Refi takut. Namun, Gio tetap membuka pintu kamar yang sudah tidak terkunci itu. Setelah mandi, Louis sempat keluar kamar dan mengambil bajunya, lalu masuk lagi. Louis juga sempat melihat pesan dari Indira yang mengatakan bahwa istrinya itu menginap bersama Linda. Entah mengapa, pesan itu malah memb
Semua orang masih terdiam mendengar ucapan Louis yang memang mengejutkan. Hanna dan Refi sudah menahan napasnya sejenak, tidak percaya Louis akhirnya membocorkan hal yang sangat rahasia itu di depan umum, apalagi ada Susan, salah satu karyawan kantor juga. Susan sendiri hanya menganga tidak percaya pada pendengarannya. Sedangkan Martin sama bingungnya, tapi ia yang paling bereaksi keras. Martin pun tertawa kesal menatap Louis yang makin tidak rasional. "Istri? Apa maksudmu? Kau sadar apa yang kau katakan, Pak Louis? Istrimu adalah Bu Indira! Bagaimana caranya Hanna bisa menjadi istrimu juga?" "Kau pikir aku sudah gila mengakui orang lain sebagai istri kalau itu bukan kenyataannya? Indira memang istriku, tapi Hanna juga istriku! Aku punya dua istri, lalu apa itu masalah untukmu?" Sial!Louis pasti sudah gila karena mengakui ini. Sejak awal, mereka sudah sepakat bahwa ini akan menjadi rahasia di antara mereka. Louis tidak sudi menikahi wanita lain selain istrinya dan ia tidak akan