"Hanna, bagaimana?" Suara Susan yang berlari di koridor membuat Hanna menoleh. Hanna langsung tersenyum melihat sahabatnya di sana. "Susan!" Susan buru-buru ke rumah sakit begitu jam istirahat tiba agar ia bisa menjenguk Gio yang dioperasi, tapi ternyata operasinya belum selesai. "Bagaimana di dalam?" tanya Susan yang sudah duduk di samping Hanna. "Aku belum tahu, operasinya belum selesai padahal ini sudah tiga jam berlalu. Aku sampai tidak bisa bernapas lega." "Oh, sabar, Hanna! Semuanya akan baik-baik saja, aku yakin itu." "Terima kasih, Susan." "Tapi apa kau sudah makan? Ayo kita makan bersama!" Hanna menggeleng. "Aku tidak bisa makan. Perutku mual dan aku sama sekali tidak lapar. Aku terlalu tegang, Susan." Susan mendesah. "Ya ampun, aku paham, Hanna. Tapi kau harus makan sedikit, kau bisa lemas kalau seperti ini!" "Nanti saja! Aku mau menunggu dokter keluar." Susan terdiam sejenak sebelum bertanya, "Berapa lama seharusnya operasinya berlangsung?" "Empat sampai enam j
Louis masih terdiam menatap Hanna. Sekalipun ia kesal pada penolakan Hanna, nyatanya kemarahan wanita itu tidak membuatnya mundur."Kau benar-benar keras kepala, Hanna! Dengar ya! Aku di sini bukan untuk bertengkar denganmu, aku membawakanmu makanan, jadi lebih baik kau makan dengan patuh saja!" "Ini bukan di kantor, mengapa aku harus menuruti Anda? Aku tidak mau makan!" "Sial, Hanna! Bisakah kau tidak membantahku? Kau belum makan sejak tadi, kau mau adikmu sembuh tapi kau yang sakit, hah? Apa susahnya menerima makanan dariku?" Tatapan Hanna goyah menatap Louis, ia tidak mengerti apa yang sedang Louis lakukan sekarang, marah tapi juga seolah peduli padanya. "Bisakah Anda tidak usah berpura-pura peduli padaku, Pak? Aku ini hanya pembohong dan wanita murahan, aku makan atau tidak, itu tidak ada hubungannya dengan Anda!" Louis kehabisan kata-kata. Ada apa dengan wanita itu yang mendadak mengaum seperti singa dan terus mengungkit kesalahan Louis? Namun, Louis juga tidak akan merenda
"Ke mana kita ini? Sepertinya salah jalan!" "Haha, ini menuju ruang operasi!" "Ya ampun, benar-benar salah jalan." Linda dan temannya baru saja akan menjenguk orang di rumah sakit saat mereka salah jalan dan malah melangkah ke arah ruang operasi. Mereka pun berniat berbalik arah saat Linda melihat seseorang yang familiar di depan ruang tunggu operasi. "Eh, itu seperti menantuku, siapa yang bersamanya itu?" seru Linda yang posisinya tidak terlalu jauh dari Louis. Linda bisa melihat Louis yang sedang menghampiri seorang wanita dan memberikan sesuatu untuk wanita itu. "Siapa? Louis Sagala suami Indira itu?" tanya temannya. Linda berdecak. "Ck, anakku hanya satu, menantuku ya jelas hanya satu juga!" "Ah, kau tidak menghitung istri Joseph ya." "Cih, dia bukan anakku! Tapi ayo kita sapa dia dulu!" Baru saja Linda melangkah mendekati Louis dan berniat menyapanya, tapi sedetik kemudian, ia menghentikan langkahnya saat ia mengenali wanita yang bersama Louis. "Ya Tuhan, itu kan Han
"Kau yakin tidak apa meninggalkan bosmu seperti itu, Hanna?" Martin dan Hanna sudah duduk berdua di kantin rumah sakit. Awalnya Martin sungkan mengajak Hanna makan hanya di "kantin," tapi ia masih punya tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan lama-lama. Hanna, yang sejak awal tidak ingin meninggalkan rumah sakit, merasa cukup lega bisa makan dengan tenang di kantin rumah sakit yang sederhana ini. Setidaknya, ia tidak merasa terlalu terikat dengan suasana formal."Ah, tidak apa, Dokter," jawab Hanna, mencoba terdengar santai. "Seperti yang kubilang tadi, dia ... hanya mampir. Dia juga buru-buru.""Begitu ya?" Martin menyimpulkan sambil mengunyah. "Tapi dia bos yang sangat baik, Hanna. Masih sempat mampir di tengah kesibukannya. Kau beruntung punya bos seperti itu."Hanna memaksakan senyuman, tapi hatinya terasa berat. Martin terus saja memberikan pujian, yang sepertinya tak ada habisnya."Dia peduli pada karyawannya," lanjut Martin tanpa menyadari ketegangan yang mulai dirasakan
"Buka bajumu dan tunjukkan bagaimana murahannya dirimu yang rela menjual diri demi uang, Hanna!" Suara tegas seorang pria membuat tubuh Hanna bergidik malam itu. Mereka sudah berada di kamar pengantin mereka dan Hanna pun meremas ujung piyama satin yang ia pakai. Namun, alih-alih patuh, Hanna malah mematung menatap pria dengan aura yang begitu dingin itu.Louis Sagala.Pria tampan di hadapan Hanna adalah suaminya yang sah. Mereka baru saja menikah dengan sangat sederhana tadi dan Hanna pun akhirnya resmi menjadi istri kedua dari suami Indira, wanita yang sudah menjadi bosnya satu tahun terakhir ini.Sungguh, Hanna sempat menyesali keputusannya. Kalau saja ia tidak meminjam uang pada Indira untuk biaya operasi jantung adiknya, mungkin Indira tidak akan pernah mengajukan syarat gila di mana Hanna harus menjadi istri kedua Louis dan menjadi ibu pengganti untuk melahirkan anak mereka.Namun, Hanna tidak punya pilihan lain. Adiknya baru berumur sembilan tahun dan Hanna akan menyesal seumur
Hanna melangkahkan kakinya dengan begitu berat keluar dari rumah Louis karena pria itu mengusirnya. Dengan mempertahankan harga dirinya yang tersisa, Hanna pun langsung pergi dari sana dan menuju ke rumah sakit, tempat surga dunianya dirawat di sana. Hanna menghapus air matanya dan langsung menunjukkan topeng tawanya, sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Tok tok, permisi! Apa ada orang?" Hanna melebarkan tawanya seolah tidak terjadi apa-apa. Anak laki-laki bernama Gio yang sedang duduk di ranjangnya pun langsung tertawa sumringah melihat kakaknya itu. "Kak Hanna!" pekik Gio senang. Wajah pucatnya berseri-seri melihat Hanna dan Gio langsung menunjukkan mainan barunya, sebuah pesawat terbang mini. "Suster kasi Gio ini! Pesawatnya bisa terbang lho!" seru Gio sambil menggerakkan pesawat itu berputar-putar dengan tangannya. "Itu mainan pasien yang tertinggal kemarin, tapi pasiennya sudah sembuh dan pulang," sahut sang suster yang menemani Gio di sana. "Ah, iya, terima kasih
"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?" Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk. "Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio. "Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit." Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu. "Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan." "Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!" Hanna terdiam sejenak. Hanna benar-benar harus mencari Tama, tapi Hanna juga tidak tega meninggalkan Gio. Hanna pun akhirnya tersenyum singkat dan mengangguk. "Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya." Gio mengangguk patuh dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan. Gio dirawat di kam
Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini!" geram Louis sambil kembali meneguk minumannya sampai tandas. Baru saja Louis akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira b
"Kau yakin tidak apa meninggalkan bosmu seperti itu, Hanna?" Martin dan Hanna sudah duduk berdua di kantin rumah sakit. Awalnya Martin sungkan mengajak Hanna makan hanya di "kantin," tapi ia masih punya tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan lama-lama. Hanna, yang sejak awal tidak ingin meninggalkan rumah sakit, merasa cukup lega bisa makan dengan tenang di kantin rumah sakit yang sederhana ini. Setidaknya, ia tidak merasa terlalu terikat dengan suasana formal."Ah, tidak apa, Dokter," jawab Hanna, mencoba terdengar santai. "Seperti yang kubilang tadi, dia ... hanya mampir. Dia juga buru-buru.""Begitu ya?" Martin menyimpulkan sambil mengunyah. "Tapi dia bos yang sangat baik, Hanna. Masih sempat mampir di tengah kesibukannya. Kau beruntung punya bos seperti itu."Hanna memaksakan senyuman, tapi hatinya terasa berat. Martin terus saja memberikan pujian, yang sepertinya tak ada habisnya."Dia peduli pada karyawannya," lanjut Martin tanpa menyadari ketegangan yang mulai dirasakan
"Ke mana kita ini? Sepertinya salah jalan!" "Haha, ini menuju ruang operasi!" "Ya ampun, benar-benar salah jalan." Linda dan temannya baru saja akan menjenguk orang di rumah sakit saat mereka salah jalan dan malah melangkah ke arah ruang operasi. Mereka pun berniat berbalik arah saat Linda melihat seseorang yang familiar di depan ruang tunggu operasi. "Eh, itu seperti menantuku, siapa yang bersamanya itu?" seru Linda yang posisinya tidak terlalu jauh dari Louis. Linda bisa melihat Louis yang sedang menghampiri seorang wanita dan memberikan sesuatu untuk wanita itu. "Siapa? Louis Sagala suami Indira itu?" tanya temannya. Linda berdecak. "Ck, anakku hanya satu, menantuku ya jelas hanya satu juga!" "Ah, kau tidak menghitung istri Joseph ya." "Cih, dia bukan anakku! Tapi ayo kita sapa dia dulu!" Baru saja Linda melangkah mendekati Louis dan berniat menyapanya, tapi sedetik kemudian, ia menghentikan langkahnya saat ia mengenali wanita yang bersama Louis. "Ya Tuhan, itu kan Han
Louis masih terdiam menatap Hanna. Sekalipun ia kesal pada penolakan Hanna, nyatanya kemarahan wanita itu tidak membuatnya mundur."Kau benar-benar keras kepala, Hanna! Dengar ya! Aku di sini bukan untuk bertengkar denganmu, aku membawakanmu makanan, jadi lebih baik kau makan dengan patuh saja!" "Ini bukan di kantor, mengapa aku harus menuruti Anda? Aku tidak mau makan!" "Sial, Hanna! Bisakah kau tidak membantahku? Kau belum makan sejak tadi, kau mau adikmu sembuh tapi kau yang sakit, hah? Apa susahnya menerima makanan dariku?" Tatapan Hanna goyah menatap Louis, ia tidak mengerti apa yang sedang Louis lakukan sekarang, marah tapi juga seolah peduli padanya. "Bisakah Anda tidak usah berpura-pura peduli padaku, Pak? Aku ini hanya pembohong dan wanita murahan, aku makan atau tidak, itu tidak ada hubungannya dengan Anda!" Louis kehabisan kata-kata. Ada apa dengan wanita itu yang mendadak mengaum seperti singa dan terus mengungkit kesalahan Louis? Namun, Louis juga tidak akan merenda
"Hanna, bagaimana?" Suara Susan yang berlari di koridor membuat Hanna menoleh. Hanna langsung tersenyum melihat sahabatnya di sana. "Susan!" Susan buru-buru ke rumah sakit begitu jam istirahat tiba agar ia bisa menjenguk Gio yang dioperasi, tapi ternyata operasinya belum selesai. "Bagaimana di dalam?" tanya Susan yang sudah duduk di samping Hanna. "Aku belum tahu, operasinya belum selesai padahal ini sudah tiga jam berlalu. Aku sampai tidak bisa bernapas lega." "Oh, sabar, Hanna! Semuanya akan baik-baik saja, aku yakin itu." "Terima kasih, Susan." "Tapi apa kau sudah makan? Ayo kita makan bersama!" Hanna menggeleng. "Aku tidak bisa makan. Perutku mual dan aku sama sekali tidak lapar. Aku terlalu tegang, Susan." Susan mendesah. "Ya ampun, aku paham, Hanna. Tapi kau harus makan sedikit, kau bisa lemas kalau seperti ini!" "Nanti saja! Aku mau menunggu dokter keluar." Susan terdiam sejenak sebelum bertanya, "Berapa lama seharusnya operasinya berlangsung?" "Empat sampai enam j
Hanna menggenggam tangan Gio erat saat para perawat mendorong ranjang rumah sakit ke arah ruang operasi pagi itu. Hanna melangkah di sampingnya. Tubuh kecil itu terbaring dengan wajah tegang. Hanna sendiri juga tegang, tapi sebisa mungkin, Hanna menenangkan adiknya itu. "Kak Hanna ...." Suara Gio lirih dan bergetar. "Jangan takut ya, Sayang. Ada Uncle Dokter yang akan menjaga Gio di dalam." "Kak Hanna boleh ikut masuk saja? Temani Gio ...." "Tidak bisa, Sayang." Mata Hanna memanas. "Kakak tidak boleh masuk ke ruang operasi, tapi semuanya akan baik-baik saja ya." Air mata Hanna sudah mau jatuh, tapi Hanna menahannya. Mengantar adiknya yang masih kecil ke ruang operasi sangat mematahkan hatinya. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di dalam ruang operasi nanti, apalagi yang dioperasi adalah jantung Gio. Tapi hanya ini satu-satunya jalan untuk Gio bisa bertahan. Selama di rumah sakit sendiri, kondisi Gio naik turun, dan Hanna percaya ini yang terbaik.Hanna pun sud
"Eh, mana Hanna?" Samuel dan Louis akhirnya keluar dari ruang kerja menjelang siang itu dan Samuel pun langsung mencari Hanna di meja Refi. Baru saja Refi akan menjawabnya, tapi Louis sudah menyelanya duluan. "Untuk apa kau mencarinya, Samuel? Itu tidak penting!" geram Louis. "Tidak ada, hanya ingin menyapanya saja. Tapi apa kau sadar kalau kau sangat aneh, Kak? Sejak kemarin kau aneh, sekarang pun kau aneh. Memangnya ada apa dengan Hanna sampai kau terlihat sangat membencinya?" Louis mengembuskan napas panjangnya. "Siapa yang membencinya? Jangan berpikir yang tidak-tidak!" "Haha, benarkah? Mama sangat menyukainya, Kak." "Ck, Mama baru bertemu dengannya satu kali, Mama belum mengenalnya. Kita tidak boleh melihat orang dari penampilannya saja!" "Apa maksudnya?" "Tidak ada! Tapi ayolah, kita makan siang bersama!" ajak Louis yang langsung membawa Samuel bersamanya. Refi yang mendengarnya sampai merasa tidak enak hati."Apa Hanna pernah memberitahu Bos alasannya menerima tawara
"Samuel?" Suara Louis terdengar saat Hanna dan Samuel masih saling bertatapan sambil melempar senyum. Sontak keduanya kaget dan menoleh ke arah Louis. "Kak Louis!" sapa Samuel yang langsung meninggalkan Hanna dan menghampiri kakaknya itu. "Mengapa kau kemari?" tanya Louis tiba-tiba dengan begitu tajam sampai Samuel mengernyit mendengarnya. "Hei, mengapa kau bertanya begitu? Apa sekarang aku tidak boleh ke sini, hah?" Louis menatap Samuel sejenak sambil mengembuskan napas panjangnya. Emosinya pada Hanna membuat sikapnya menjadi menyebalkan pada adiknya itu. "Ah, bukan begitu. Aku hanya terkejut. Maafkan aku, tapi tunggulah di dalam dulu, kita mengobrol sebentar lagi, setelah aku menyelesaikan urusanku sebentar! Refi, temani Samuel!" "Ah, baik, Bos!" Refi segera menemani Samuel masuk ke dalam ruang kerja Louis, sedangkan Louis langsung meraih lengan Hanna dan menyeretnya kasar. "Pak, apa-apaan?" pekik Hanna sambil mengikuti langkah cepat Louis agar tidak ada karyawan lain yang
Hanna tidak pernah menyangka kedatangannya ke sini akan membuat Louis marah besar, padahal ia hanya menjalankan perintah bosnya. Hanna pun begitu tegang saat Louis dan Samuel saling bertatapan di hadapannya sampai Hanna jadi sungkan sendiri. "Ah, maaf, Pak. Permisi! Tidak apa ... maksudku ... aku memang harus pulang sekarang, aku hanya datang mengantar hadiah dan aku harus kembali ke kantor," seru Hanna akhirnya. Namun, Louis sudah terlanjur marah sampai ia mengembuskan napas kesalnya. "Kalian dengar kan? Dia harus pergi, jadi pergilah, Hanna! Cepat!" Hanna mengerjapkan matanya dan dengan cepat ia mengangguk. "Baiklah! Permisi semua, maaf aku menganggu acaranya!" "Ya ampun, tidak ada yang terganggu, Hanna. Kau benar-benar tidak mau makan sedikit?" Sena mencoba menahan Hanna. Namun, Hanna tetap tersenyum dengan sopan. "Maaf, Bu, lain kali kalau ada waktu lebih, aku akan mampir. Terima kasih. Permisi!" Buru-buru Hanna pergi dari sana sampai Sena begitu kecewa dan langsung melot
Hanna menyetir mobil kantor menuju ke sebuah rumah mewah seperti alamat yang diberikan oleh Indira. Untuk sesaat, Hanna menatap rumah besar di depannya, sama mewahnya dengan rumah Indira. "Orang kaya memang beda. Hanya dengan melihat rumahnya saja sudah membuatku merasa kecil." Seorang security langsung menyapa Hanna dan mempersilakan Hanna masuk karena memang sedang ada acara di rumah itu. Terlihat mobil-mobil mewah berjejer di depan rumah sampai membuat Hanna makin menciut. Walaupun sebagai asisten Indira, Hanna sudah terbiasa berinteraksi dengan orang kaya, tapi entah mengapa, jantungnya berdebar kencang saat ini. Sampai akhirnya seorang pelayan mengantarnya ke ruang keluarga, tempat semua orang sedang berkumpul di sana. "Selamat malam semua! Maaf aku menganggu waktunya!" sapa Hanna sopan. Jantungnya masih berdebar kencang menatap begitu banyak orang di sana yang semuanya rupawan, sama seperti Louis. Tatapan Hanna pun dengan cepat bertemu dengan tatapan Louis dan Hanna bisa