"Kau yakin tidak apa meninggalkan bosmu seperti itu, Hanna?" Martin dan Hanna sudah duduk berdua di kantin rumah sakit. Awalnya Martin sungkan mengajak Hanna makan hanya di "kantin," tapi ia masih punya tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan lama-lama. Hanna, yang sejak awal tidak ingin meninggalkan rumah sakit, merasa cukup lega bisa makan dengan tenang di kantin rumah sakit yang sederhana ini. Setidaknya, ia tidak merasa terlalu terikat dengan suasana formal."Ah, tidak apa, Dokter," jawab Hanna, mencoba terdengar santai. "Seperti yang kubilang tadi, dia ... hanya mampir. Dia juga buru-buru.""Begitu ya?" Martin menyimpulkan sambil mengunyah. "Tapi dia bos yang sangat baik, Hanna. Masih sempat mampir di tengah kesibukannya. Kau beruntung punya bos seperti itu."Hanna memaksakan senyuman, tapi hatinya terasa berat. Martin terus saja memberikan pujian, yang sepertinya tak ada habisnya."Dia peduli pada karyawannya," lanjut Martin tanpa menyadari ketegangan yang mulai dirasakan
Setelah berjam-jam menunggu dengan perasaan cemas, akhirnya Hanna diijinkan menemui Gio yang sudah mulai sadar di ruang ICU menjelang malam itu. "Ayo, Hanna. Kita ke sana," ajak Martin yang juga setia di rumah sakit sampai malam.Martin punya kesibukan lain dan jam praktik, tapi ia tetap menemani saat Gio sadar. Hanna pun langsung masuk ke ruangan Gio dan ia melihat tubuh kecil Gio yang terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Selang oksigen masih menutupi wajah mungilnya, tapi yang paling penting adalah Gio hidup. Gio selamat."Gio ...." Suara Hanna bergetar saat ia mendekat dan menggenggam tangan adiknya dengan hati-hati. "Kakak menunggu sejak tadi, Sayang." Martin berdiri di sampingnya dan menepuk bahu Hanna pelan. "Gio dalam keadaan stabil sekarang. Semuanya baik, walaupun ini masih dalam proses pemantauan ketat."Hanna mengangguk cepat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Terima kasih, Dokter! Terima kasih!" Martin ikut mengangguk d
"S-selamat malam, Pak, Bu!" Hanna menyapa dengan begitu canggung dan suasana pun hening sejenak. Jantung Hanna memacu begitu kencang karena ia tidak menyangka akan bertemu dengan bosnya itu. Begitu juga dengan Louis dan Indira yang masih membelalak begitu lebar. Namun, sebelum ada yang menyahut lagi, Martin sudah berbicara duluan. "Jadi kalian juga sudah saling mengenal ya, aku tidak tahu kalau bosmu ini adalah suaminya Bu Indira, Hanna." "Sebenarnya itu ...." "Aku yang bosnya. Hanna ini adalah asistenku," sela Indira. Martin terdiam sejenak melirik Louis. "Ah, maafkan aku. Kupikir suamimu adalah bosnya Hanna karena aku beberapa kali bertemu dengannya bersama Hanna." Indira mengernyit mendengar kata beberapa kali bertemu, tapi Louis tidak membiarkan istrinya itu berpikiran macam-macam dan ia langsung menyahut duluan. "Kami suami istri dan Hanna bekerja bersama kami, jadi kami adalah bosnya Hanna, apa bedanya? Tapi aku terkejut sekali melihatmu bersama Hanna, apa kalian ... be
Hanna masih begitu tegang dengan scene ini, tapi ia tahu apa yang harus ia lakukan. Buru-buru Hanna menarik tangannya dari Louis duluan. "Ah, maaf, Pak!" seru Hanna. "Jalan saja tidak benar, Hanna! Atau kau sengaja tersandung, hmm?" desis Louis yang akhirnya melepas tangan Hanna dengan kasar. Hanna kembali menahan napasnya singkat sambil menatap Louis dengan tajam, sementara Martin malah begitu lembut bicara dengan Hanna. "Kau tidak apa, Hanna?" "Ah, iya, aku tidak apa, Dokter. Terima kasih!" Hanna tersenyum singkat.Louis yang melihatnya kembali kesal. Bisa-bisanya Hanna tersenyum pada Martin, tapi tidak padanya. Hanna mengucapkan terima kasih pada Martin, tapi tidak padanya. Louis mengembuskan napas kesalnya dan memalingkan wajahnya. Sambil memasukkan satu tangan di kantong celananya, Louis melangkah ke arah Indira dan langsung memeluk pinggang istrinya itu dengan mesra. "Ayo kita masuk dulu saja!" ajak Louis. Tanpa menoleh ke arah Hanna lagi, Louis dan Indira pun masuk ke r
"Kita sudah tiba, Hanna!" Martin menghentikan mobilnya parkiran rumah sakit dan ia pun ikut mengembuskan napas leganya. "Kau tidak apa kan? Kau membawa baju ganti di rumah sakit?" tanya Martin dengan cemas. "Aku membawanya, Dokter. Jangan khawatir!" Martin kembali mengembuskan napas panjangnya. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu dan Bu Indira, tapi suasananya jadi sangat canggung tadi. Aku jadi merasa bersalah padamu, Hanna. Seharusnya aku kukuh pindah restoran saja." Hanna sampai sungkan sendiri mendengarnya. "Jangan bicara begitu, Dokter. Aku benar-benar tidak apa. Aku sudah terbiasa dengan Bu Indira, dan bagian jus itu juga hanya kecelakaan. Jadi tidak ada yang perlu dipikirkan!" Lagi-lagi Martin mengembuskan napasnya dan mengangguk, sebelum ia menemani Hanna kembali ke ruang tunggu ICU. Hanna mengganti bajunya dan ia kembali bersih, walaupun hatinya masih belum bisa baik-baik saja karena kejadian yang rrass seperti disengaja tadi. Sementara itu, mood indira
Louis dan Indira tidak bicara lagi sejak malam itu. Louis pulang ke rumah dan mendapati istrinya tidak ada, tapi ia juga tidak mencarinya. Bahkan, sampai keesokan harinya, Indira tetap tidak pulang dan tidak menghubunginya. Sebagian hatinya teringat ucapan Ruben bahwa pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal yang biasa. Ya, Louis selalu berpegang teguh pada kalimat itu sampai selama ini ia selalu mengalah. Tapi waktu itu, Indira tidak meminta maaf dan kali ini juga tidak. "Biarkan saja! Biar dia tahu kalau aku juga bisa marah!" geram Louis. Perasaan Louis kembali tidak baik, tapi ia bertahan tidak menelepon istrinya. Ini bukan pertama kalinya mereka perang dingin.Louis pun pergi ke kantornya pagi itu dan saat sedang memarkir mobilnya, ia melihat Hanna yang baru saja turun dari ojeknya yang berhenti tepat di depan pintu gedung. "Terima kasih, Pak. Nanti akan kutelepon saat aku pulang," pesan Hanna. Akhirnya Hanna mendapat ojek langganan, jauh lebih praktis dibanding harus men
"Eh, kau yang mau mengantar Hanna, Kak?" Samuel masih terkejut mendengar ucapan Louis yang tidak biasa. Padahal sejak menikah, Louis sangat anti berdekatan dengan wanita mana pun saking setianya ia pada Indira. "Ya, aku juga akan ke arah sana. Ayo, pintu liftnya sudah terbuka!" Tanpa banyak bicara lagi, Louis langsung melangkah keluar duluan. Samuel hanya tersenyum santai dan mengikuti Louis, sedangkan Hanna masih berdiri dengan canggung, tidak menyangka Louis mau mengantarnya."Apa yang kau lakukan, Hanna? Ayo cepat! Bosku tidak suka menunggu!" seru Refi. "Tapi aku tidak mau diantar, Refi. Lebih baik aku pulang sendiri saja dengan ojek." "Sudah, tidak apa! Ayo!" Hanna terus mengembuskan napas panjangnya dan dengan langkah enggan, ia pun ikut ke parkiran mobil. Dengan cepat, Samuel pulang duluan dengan mobilnya setelah berpamitan pada Hanna dan Louis. Setelah Samuel menghilang, Hanna pun akhirnya punya keberanian bicara pada Louis."Pak Samuel sudah pergi, Pak. Anda tidak perlu
"Maafkan aku, Pak!"Bagaikan tersengat listrik, Hanna langsung menarik tangannya dengan salah tingkah.Louis sendiri juga menarik tangannya dan untuk sesaat, ia hanya diam sampai Hanna kembali berbicara. "Itu ... biarkan aku saja yang mencobanya lagi, Pak," seru Hanna yang langsung duluan memegang sabuk pengamannya. Dan kali ini dalam satu percobaan, Hanna berhasil membukanya sampai Hanna pun begitu syok. Klik. "Eh, mengapa langsung terbuka?" Sungguh, sabuk pengaman itu lamgsung terbuka seolah tidak pernah rewel sejak tadi. "Hmm, sepertinya ini sudah benar, Pak. Sekali lagi maafkan aku! Aku ... aku permisi dulu, Pak!" seru Hanna yang buru-buru membuka pintu untuk keluar dari mobil. Hanna berlari masuk ke rumah sakit sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang. Dan saat ia sudah menghilang jauh dari Louis, Hanna pun bersandar di dinding. "Jangan terpengaruh, Hanna! Jangan terbawa perasaan! Dia
Louis tidur di rumah Hanna malam itu. Louis sempat menumpang mandi dan memakai baju Tama, sebelum ia berbaring di sofa dan terlelap di sana. Kaki panjang Louis pun keluar dari sofa karena sofa di rumah Hanna bukan sofa yang terlalu panjang, tapi saking lelahnya, pria itu tetap tidak peduli. Hanna pun mengembuskan napas panjangnya dan perlahan mendekati Louis, menatapnya lekat, dan membelai sayang kepala pria itu. "Bagaimana semuanya bisa jadi seperti ini? Aku merasa seperti menjadi seorang pelakor saat ini," ucap Hanna sambil terus menatap Louis. Saat perasaannya makin dalam, begitu sulit bagi Hanna untuk menolak Louis, walaupun ia sering mengingatkan dirinya kalau semua ini salah. "Aku menyukaimu, Louis Sagala. Tapi kalau bisa mengulang waktu, lebih baik kita tidak pernah memulai ini. Akan lebih baik kalau aku tetap menjadi asisten Bu Indira dan tetap menjadi asistennya selamanya. Hidupku juga tidak akan serumit ini." "Tapi waktu tidak bisa diulang kan? Kita hanya bisa bergerak
"Selamat pagi, Hanna. Aku ke sini untuk menjemputmu." Refi datang ke rumah Indira pagi itu untuk menjemput Hanna. Hanna tidak bisa tidur semalaman karena menunggu berita tentang Indira. Louis sama sekali tidak membalas telepon maupun pesannya sampai Hanna tidak berani meneleponnya lagi. Louis juga tidak memberi kabar pada Bik Yus atau siapa pun sampai Hanna sangat tidak tenang. Dan pagi ini, mendadak Refi datang menjemputnya. "Menjemput ... ke mana? Kau mau membawaku ke mana, Refi? Lalu bagaimana kondisi Bu Indira? Dia baik-baik saja kan?" Refi menghela napas panjangnya. "Bu Indira ... tidak baik." Jantung Hanna makin berdebar kencang mendengarnya. "Apa maksudmu Bu Indira tidak baik, Refi? Apa maksudmu?" Lagi-lagi Refi menghela napas panjangnya, sebelum ia menyahut lagi. "Bu Indira lumpuh," jawab Refi yang seketika membuat Hanna menahan napasnya sejenak. Tubuh Hanna mendadak gemetar dan merinding mendengar Indira lumpuh, tapi Hanna menggeleng dan ia tidak bisa menerimanya.
"Tolong selamatkan istriku, Dokter! Dia terjatuh dari tangga dan mendadak tidak sadar! Tolong, Dokter! Tolong!" Louis begitu panik setelah akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Louis terus menyisir rambutnya frustasi dan berjalan mondar-mandir di depan ruang tindakan. Linda sendiri juga sama paniknya, tapi ia begitu tidak terima sampai ia terus menyalahkan semua orang. "Ini semua karena kau, Louis! Kalau saja kau tidak membawa wanita sialan itu tinggal di sana, semua ini tidak akan terjadi!" "Hanna sudah begitu melunjak karena kau terus membelanya! Kau tahu kalau Indira sering tidak pulang ke rumah karena dia tidak nyaman di rumahnya sendiri! Suaminya bukan miliknya lagi! Hanna sudah merasa menjadi nyonya rumah!" Linda berteriak penuh amarah sampai otak Louis makin penuh. Louis tidak bisa berpikir sama sekali sekarang."Kau akan menyesal kalau sampai terjadi sesuatu pada Indira, Louis! Ibu akan sangat membencimu kalau ada apa-apa pada Indira! Oh, Indira yang malang!" "Hanna mendo
Louis pulang lebih cepat siang itu. Ia sengaja tidak pergi lama agar bisa segera pulang sebelum Indira pulang duluan dan membuat keributan dengan Hanna. Louis pun membawa berita baik karena ia punya hadiah untuk Hanna, yaitu sertifikat rumah wanita itu.Ya, dengan uang, semuanya pasti beres. Louis memberikan uang yang cukup banyak untuk para rentenir itu. Louis membeli kembali rumah Hanna agar Hanna tidak kehilangan satu-satunya hartanya. Ia sudah membayangkan ekspresi bahagia Hanna. Mungkin wanita itu akan memeluknya, menciumnya, dan Louis mendadak antusias. Louis pun masih menyimpan sertifikatnya di mobil dan ingin melihat kondisi rumah dulu. Namun, begitu masuk ke rumah, ia langsung disambut insiden yang membuat jantungnya memacu begitu kencang. Louis melihat istrinya jatuh terguling melewati satu persatu anak tangga hingga tergolek tidak sadarkan diri. "Indiraa!" teriak Louis begitu panik. Debar jantung Louis memacu tidak karuan dan ia langsung menghampiri Indira untuk melih
Indira melangkah naik ke tangga dengan cepat, sedangkan Hanna langsung menoleh menatap bosnya itu sampai akhirnya Indira tiba dan mereka saling berhadapan. "Apa?" "Aku terkejut sekali menemukan kau mengobrol dengan mertuaku, apa yang kalian bicarakan?" ulang Indira. Namun, Indira tidak memberikan kesempatan pada Hanna untuk menjawab karena mendadak Indira sudah melayangkan tuduhannya pada Hanna. "Kau membocorkan perjanjian itu? Bahwa kau adalah istri kedua Louis? Bahwa aku membayarmu untuk menjadi ibu pengganti? Kau membocorkan kalau aku mandul?" bentak Indira penuh amarah. Hanna menggeleng. "Aku tidak melakukannya sama sekali, Bu." "Lalu mengapa kau tersenyum begitu busuk di depan mertuaku? Kau mau sok baik? Kau mau mengambil hatinya agar dia menyukaimu?" "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Anda katakan, Bu. Tapi aku tidak pernah berniat mengambil hati siapa pun!" "Buktinya kau mencoba mengambil hati Louis! Kau membuat suamiku sendiri membuangku dan memilihmu! Kau membu
Seketika suasana hening setelah Gio membocorkan rahasia Hanna. Hanna panik dan buru-buru menghampiri Gio lalu menutup mulut anak itu. "Ya ampun, Bu Sena, Samuel. Maafkan adikku, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia ... Gio belum mengerti tentang suami istri, dia hanya baru saja menonton video entah apa itu dan mengikutinya," seru Hanna panik. "Tapi Gio sudah ngerti nikah, Kak!" Gio membela diri. Hanna tetap membungkamnya. "Sstt, diam dulu, Sayang. Tapi maaf, Bu, dia hanya ngawur. Tidak seperti itu!" seru Hanna lagi. Untuk sesaat, Sena dan Samuel masih tetap terdiam, sebelum lagi-lagi Sena yang tertawa duluan. "Ah, haha, baiklah, tidak masalah. Anak kecil memang suka meniru apa yang dilihatnya di video. Tapi baiklah, sebenarnya kami juga tahu Louis dan Indira tidak mungkin ada di rumah di jam segini. Kami hanya baru membeli buah dan sekalian memberikan buahnya. Samuel, berikan pada Bik Yus!" "Iya, Ma."Samuel memberikan buah pada Bik Yus dan mau tidak mau, Hanna terpaksa
Hanna bangun begitu pagi hari itu dan pemandangan yang ia lihat saat ia membuka matanya adalah Gio dan Louis yang masih tertidur begitu lelap di ranjangnya. Postur tubuh Gio yang sudah cukup besar membuat Louis harus tidur di sudut ranjang, tapi sepertinya itu tidak masalah untuk Louis. Perlahan senyuman pun terbit di wajah Hanna. Rasanya masih seperti mimpi bisa mendapatkan suami bosnya tidur di ranjang Hanna sekarang. Rasanya hangat sekali, walaupun tetap salah. Hanna mengembuskan napas panjangnya dan berniat beranjak dari ranjang untuk ke kamar mandi, tapi gerakan Hanna mendadak membuat Louis terbangun dan langsung siaga. "Kau mau ke mana, Hanna?" Hanna sontak menoleh kaget. "Ah, aku mau ... ke kamar mandi, Pak." "Pak lagi! Sudah kubilang panggil namaku saja, tapi aku akan membantumu. Kakimu tidak boleh banyak digerakkan." Louis langsung beranjak dari ranjangnya dan menghampiri Hanna. Dengan cepat mengendong istrinya itu dan Hanna langsung memeluk leher Louis. Sejenak merek
"Apa masih sakit?" Hanna sudah duduk bersandar di ranjangnya malam itu dengan baju dan tubuh yang bersih. Setelah melayani suaminya, Hanna mandi dibantu oleh suaminya yang mendadak lembut. Mereka mandi bersama, lalu Louis mengoleskan salep di kaki Hanna sampai Hanna begitu tersentuh pada kelembutan suaminya itu. "Tidak terlalu sakit, tapi bengkaknya tidak mau kempis," sahut Hanna sambil menatap bengkak di kakinya. "Pelan-pelan! Kalau kau terus bergerak, bengkaknya tidak bisa kempis," seru Louis lembut sambil terus membelai kaki Hanna. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar diketuk dan suara-suara berisik dari luar kamar. "Jangan dulu, Gio! Kakak takut Kak Louis marah," seru Refi takut. Namun, Gio tetap membuka pintu kamar yang sudah tidak terkunci itu. Setelah mandi, Louis sempat keluar kamar dan mengambil bajunya, lalu masuk lagi. Louis juga sempat melihat pesan dari Indira yang mengatakan bahwa istrinya itu menginap bersama Linda. Entah mengapa, pesan itu malah memb
Semua orang masih terdiam mendengar ucapan Louis yang memang mengejutkan. Hanna dan Refi sudah menahan napasnya sejenak, tidak percaya Louis akhirnya membocorkan hal yang sangat rahasia itu di depan umum, apalagi ada Susan, salah satu karyawan kantor juga. Susan sendiri hanya menganga tidak percaya pada pendengarannya. Sedangkan Martin sama bingungnya, tapi ia yang paling bereaksi keras. Martin pun tertawa kesal menatap Louis yang makin tidak rasional. "Istri? Apa maksudmu? Kau sadar apa yang kau katakan, Pak Louis? Istrimu adalah Bu Indira! Bagaimana caranya Hanna bisa menjadi istrimu juga?" "Kau pikir aku sudah gila mengakui orang lain sebagai istri kalau itu bukan kenyataannya? Indira memang istriku, tapi Hanna juga istriku! Aku punya dua istri, lalu apa itu masalah untukmu?" Sial!Louis pasti sudah gila karena mengakui ini. Sejak awal, mereka sudah sepakat bahwa ini akan menjadi rahasia di antara mereka. Louis tidak sudi menikahi wanita lain selain istrinya dan ia tidak akan