Hari-hari berlalu, dan Alena mulai merasakan bahwa ada perubahan halus dalam hubungannya dengan Adrian. Meskipun mereka berdua masih menjaga profesionalisme di kantor, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan mulai terjalin di antara mereka. Momen-momen kecil—yang awalnya ia anggap biasa—sekarang terasa berbeda.Suatu pagi, saat Alena sedang bekerja di meja kantornya, Adrian datang dengan secangkir kopi untuknya. Itu bukan hal yang sering dilakukan oleh atasan. Biasanya, Adrian lebih memilih untuk mengatur segala sesuatu dengan sangat terstruktur dan tepat waktu, tetapi kali ini, ada sesuatu yang tampak lebih pribadi."Saya pikir kamu butuh ini," kata Adrian sambil meletakkan kopi di meja Alena dengan senyum singkat.Alena terkejut, meskipun ia berusaha menyembunyikan ekspresi itu. "Terima kasih, Pak. Tapi Anda tidak perlu repot-repot," jawabnya, mencoba menjaga jarak profesional seperti biasa.Namun, Adrian tidak menjawab, hanya duduk di kursinya sejenak, mengamati
Hari-hari berlalu, dan meskipun Alena berusaha untuk tetap seimbang antara pekerjaan dan rumah tangga, sesuatu mulai terasa berubah. Reno, yang sebelumnya sangat mendukung karier Alena, mulai menunjukkan ketegangan yang semakin jelas. Kecemburuan, yang semula tersembunyi, kini muncul ke permukaan, terutama setiap kali Alena pulang terlambat dari lembur di kantor.Suatu malam, saat Alena baru saja pulang setelah lembur, ia merasa sangat lelah. Seperti biasa, ia masuk ke rumah dengan tas laptop yang berat dan sepatu hak tinggi yang sudah mulai terasa tidak nyaman. Reno sedang duduk di ruang tamu, menonton televisi dengan tampak tidak terlalu antusias. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya.Alena meletakkan tasnya di meja, berusaha tersenyum lelah. "Maaf, Ren. Lembur lagi. Ada banyak hal yang harus diselesaikan di kantor," ujarnya, sambil melepaskan sepatunya.Reno hanya mengangguk pelan, tidak mengatakan apapun. Namun, Alena bisa merasakan ketegangan di udara. Ada sesuatu yang be
Hari-hari berlalu, dan Alena mulai merasa bahwa hubungan profesionalnya dengan Adrian semakin bergeser. Meskipun mereka masih berada di dalam batasan yang jelas, ada momen-momen kecil yang menunjukkan perhatian pribadi dari Adrian yang semakin sulit untuk diabaikan.Suatu pagi, saat Alena sedang menatap layar komputer di ruang kantornya, Adrian datang ke mejanya. Ia membawa secangkir kopi seperti biasa, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia mendekatinya. Alih-alih langsung memberikan kopi itu dan meninggalkan ruangannya, Adrian berdiri di depan meja Alena, memperhatikannya sejenak sebelum berbicara."Alena, aku baru saja ingat, kamu bilang suka berjalan di taman saat akhir pekan. Masih sering melakukannya?" tanyanya dengan nada yang terkesan lebih personal, meskipun matanya tetap tampak serius.Alena terkejut, karena selama ini percakapan mereka selalu berfokus pada pekerjaan. Meskipun Adrian pernah berbicara tentang kehidupan pribadi sesekali, itu tidak pernah sebes
Hari-hari di kantor semakin berat bagi Alena. Semakin lama, perhatian Adrian terhadapnya semakin sulit untuk disembunyikan. Meskipun mereka berdua berusaha menjaga batas profesionalisme, ada momen-momen kecil yang tidak dapat dihindari—momen yang terlalu jelas bagi rekan-rekan kerja mereka.Di sebuah rapat penting yang dihadiri oleh hampir seluruh tim, Alena merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Adrian meminta Alena untuk menjelaskan salah satu proyek yang sedang mereka kerjakan, dan meskipun Alena berbicara dengan lancar, ada perasaan canggung yang terus membebani bahunya. Setiap kali Adrian menatapnya, dia merasa seperti ada lebih dari sekadar profesionalisme yang tersirat dalam pandangan itu.Setelah rapat selesai, beberapa rekan kerja mendekati Alena, memberikan senyum-senyum yang tidak bisa ia artikan dengan mudah. Vanessa, yang selalu memandang Alena dengan rasa iri, tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar."Sepertinya Adrian sangat memperhatikanmu akhir-akhir ini
Pagi itu, suasana di kantor terasa sedikit berbeda. Alena baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar yang menjadi ujian nyata bagi kemampuannya. Selama berhari-hari ia bekerja tanpa henti, berusaha memenuhi ekspektasi Adrian yang semakin tinggi. Terkadang ia merasa tercekik oleh beban yang ada, tetapi ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah untuk masa depannya—baik di perusahaan maupun dalam hidup pribadi.Saat Alena tengah duduk di meja kerjanya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan sekilas bayangan Adrian muncul di ambang pintu. Dengan langkah mantap, pria itu mendekatinya sambil memegang sebuah kotak kecil berwarna hitam. Alena menatapnya dengan penasaran, mencoba menyembunyikan kegugupannya."Alena," suara Adrian terdengar serius namun lembut, "Aku ingin memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih atas kerja kerasmu belakangan ini. Proyek ini berhasil berkat usaha yang tak kenal lelah darimu."Dengan perlahan, Adrian meletakkan kotak kecil itu di meja Alena. Alena mer
Hari itu, Alena pulang lebih awal dari biasanya. Setelah seharian bekerja keras di kantor dan menerima hadiah dari Adrian, ia merasa sedikit tertekan. Hadiah itu—sebuah jam tangan elegan—terus berputar dalam pikirannya. Meskipun ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam, ada perasaan yang semakin mengganggu hati dan pikirannya.Sesampainya di rumah, ia merasa agak canggung. Reno sedang di ruang tamu, sibuk menonton televisi. Alena meletakkan tasnya di meja dan menuju ke kamar untuk melepaskan kelelahan sejenak. Ketika membuka lemari untuk mengganti pakaian, matanya tertumbuk pada jam tangan yang tadi ia letakkan begitu saja di atas meja.Namun, sebelum ia sempat mengalihkan pandangannya, Reno muncul di pintu kamar. Alena bisa melihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah saat matanya tertuju pada jam tangan yang tergeletak di meja itu."Apa itu?" tanya Reno, nada suaranya terdengar datar, namun ada ketegangan yang mulai terasa di udara.Alena merasa terperangah. Ia ta
Alena merasa sedikit cemas ketika ia menerima undangan makan malam dari Adrian. Dalam email yang dikirimnya, Adrian menjelaskan bahwa mereka perlu membahas sebuah proyek penting yang membutuhkan perhatian lebih dari keduanya. Awalnya, Alena tidak berpikir banyak—itu adalah pertemuan bisnis, seperti biasa, untuk membahas detail dan strategi lebih lanjut. Ia bahkan sedikit lega, karena bisa mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang semakin memuncak di rumah dengan Reno.Namun, saat Alena tiba di restoran yang disebutkan dalam undangan, sebuah perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya. Restoran ini jauh lebih mewah daripada yang biasa ia kunjungi, dengan suasana yang sangat tenang dan elegan. Lantai marmer yang mengkilap, pencahayaan lembut, dan dekorasi yang penuh dengan kemewahan terasa sangat berbeda dari lingkungan kerjanya yang biasanya. Seakan-akan, semua ini bukan hanya tentang bisnis.Ketika ia memasuki ruang makan, Adrian sudah menunggunya di sebuah meja yang terletak di sudut r
Makan malam itu berlangsung dengan suasana yang jauh berbeda dari pertemuan-pertemuan bisnis sebelumnya. Adrian, yang biasanya begitu serius dan terfokus pada pekerjaan, tampak lebih santai. Ia bahkan lebih sering tersenyum, dan alih-alih berbicara tentang proyek atau laporan, percakapan mereka meluas ke topik-topik yang lebih personal—sesuatu yang jarang terjadi di antara mereka.Saat pelayan membawa hidangan utama, Adrian mulai menceritakan tentang makanan favoritnya, sesuatu yang tampaknya tidak pernah ia bicarakan sebelumnya. "Aku suka pasta," katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi, matanya tampak lebih hidup dari biasanya. "Tapi bukan pasta yang terlalu rumit, hanya yang sederhana—spaghetti dengan saus tomat dan keju parmesan. Itu selalu membuatku merasa seperti di rumah."Alena tersenyum mendengarnya. Ia tak pernah membayangkan Adrian, yang selalu tampil begitu terorganisir dan penuh perhitungan, bisa menikmati sesuatu yang sederhana seperti itu. "Itu terdengar enak," jaw
Cahaya senja menerobos masuk melalui jendela apartemen Reno, menciptakan bayangan panjang yang seolah menegaskan keheningan mencekam antara dua orang yang kini duduk berhadapan. Reno dengan tatapan tajamnya, dan Alena dengan wajah yang diliputi kecemasan."Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Adrian?" tanya Reno akhirnya, nada suaranya tajam memecah keheningan.Alena tersentak, meskipun ia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan ini. Di sudut hatinya, ia tahu cepat atau lambat Reno akan mengonfrontasinya secara langsung. Namun, kenyataannya tetap terasa berat."Reno, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," jawabnya dengan suara bergetar, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.Reno mendengus, tergelak pahit. "Kamu selalu menghindar, Alena! Selalu ada saja alasan, selalu ada saja penjelasan yang kabur." Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan dengan frustrasi yang tak bisa disembunyikan. "Aku mulai merasa bahwa kamu lebih memilih dia daripad
Sophia merapikan blazernya dengan gerakan anggun sembari melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Dari balik jendela kantornya di lantai 35, Jakarta terlihat seperti miniatur kota yang dihiasi lampu-lampu gemerlap. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ponselnya bergetar—pesan dari Reno yang mengkonfirmasi pertemuan mereka sore ini.Sempurna, pikirnya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Masalah antara Reno dan Alena adalah peluang emas yang tak boleh ia sia-siakan.Sophia telah mengincar posisi direktur pemasaran yang kini dipegang Alena selama bertahun-tahun. Persaingan ketat di antara mereka bukanlah rahasia bagi siapapun di kantor. Namun, bagi Sophia, ini lebih dari sekadar ambisi profesional—ini tentang pembuktian diri. Selalu berada di bayang-bayang kesuksesan Alena telah menjadi duri yang menggores hatinya setiap hari."Kau terlalu terobsesi," begitu Adrian pernah memperingatkannya. "Fokus saja pada pekerjaanmu sendiri."Ironisnya, justru Adrian yan
Reno menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di depan matanya, sebuah email yang tak seharusnya ia baca terpampang jelas—sebuah pertukaran pesan antara Alena dan Adrian. Jemarinya bergetar saat ia mengusap wajahnya yang lelah. Sudah berminggu-minggu ia merasakan ada yang tidak beres, dan kini bukti itu terpampang di hadapannya."Aku rindu padamu. Kapan kita bisa bertemu lagi tanpa harus khawatir?" tulis Adrian dalam email tersebut.Balasan Alena tak kalah menyakitkan: "Aku juga. Ini sulit, tapi aku harus berhati-hati. Reno mulai mencurigai sesuatu."Reno menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini—mengakses email kekasihnya secara diam-diam. Tetapi keputusasaan telah mendorongnya ke titik ini.Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan kini berubah menjadi lautan ketegangan yang tidak terucapkan. Setiap pesan yang tidak dibalas, setiap panggilan yang tidak dijawab, semuanya ha
Sementara itu, Sophia—wanita ambisius yang bekerja di perusahaan Adrian—mulai melihat adanya celah untuk memanfaatkan situasi. Ia sudah lama merasa bahwa Adrian memiliki perhatian lebih kepada Alena, dan kini ia melihat peluang untuk menyingkirkan Alena dari persaingan. Sophia mulai mendekati Reno, berpura-pura menjadi teman yang peduli dan menawarkan informasi yang bisa memicu keraguan lebih lanjut. Sophia tahu bahwa jika ia bisa memecah hubungan antara Alena dan Adrian, ia bisa mengambil alih posisi Alena di perusahaan dan mendapatkan perhatian Adrian.Sophia Greene mematut dirinya di cermin toilet kantor, memastikan tidak ada sedikit pun lipstik merah marunnya yang luntur. Sempurna, seperti biasa. Ia merapikan blazer hitamnya yang sudah disetrika rapi dan menarik napas dalam-dalam."Hari ini harus berhasil," bisiknya pada bayangan di cermin.Sudah tiga tahun Sophia bekerja di divisi pemasaran perusahaan Adrian. Tiga tahun pula ia berusaha mendapatkan perhatian lebih dari Adrian McK
Reno mulai merasa ada yang tidak beres. Alena, yang dulu sangat terbuka, kini tampak lebih tertutup dan sering kali menghindar darinya. Perubahan sikap ini memunculkan kecurigaan yang semakin besar. Satu malam, Reno memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam, mencari tahu apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Alena. Dengan hati-hati, ia mulai mengumpulkan informasi dari rekan-rekan kerja Alena dan juga menyelidiki riwayat pekerjaan Alena di perusahaan Adrian. Meskipun ia belum menemukan bukti yang jelas, perasaan curiganya semakin berkembang.Hujan pertama di bulan Oktober mengguyur Jakarta malam itu. Reno duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Segelas kopi yang mulai mendingin tergeletak di meja, tepat di samping ponselnya yang berulang kali ia periksa, berharap ada pesan dari Alena.Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka berbicara dengan benar-benar terbuka. Alena selalu memiliki alasan—terlalu sibuk, terlalu lelah,
Suatu malam, ketika Alena sedang bekerja lembur, Adrian datang ke kantornya untuk mengecek beberapa laporan. Tanpa disangka, Adrian duduk di meja Alena dan mulai berbicara dengan cara yang sangat pribadi, jauh dari kesan dingin yang biasanya ia tunjukkan."Kamu tidak harus melakukan semua ini sendiri, Alena," kata Adrian dengan lembut. "Aku tahu, kadang-kadang pekerjaan ini bisa sangat membebani. Tapi kamu tidak sendirian."Kata-kata Adrian membuat Alena merasa begitu dihargai. Namun, dalam hatinya, ia merasa semakin terikat padanya. "Mungkin aku hanya ingin dia merasa diterima," pikir Alena, namun ia tahu bahwa perasaan ini telah melampaui sekadar simpati.Saat Alena melangkah pulang malam itu, perasaan yang ada dalam dirinya semakin sulit dipahami. Ia terjebak antara simpati, rasa ingin melindungi, dan keterikatan yang semakin mendalam. Ia menyadari bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semakin sulit bagi dirinya untuk menjaga jarak. Perasaan itu mulai berkemban
Dalam sebuah pertemuan bisnis, Adrian memberikan perhatian yang lebih pribadi pada Alena. Ia memastikan untuk memberi pengakuan atas kerja kerasnya, dan meskipun tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, Alena merasa ada kehangatan dalam sikap Adrian. Ia sering kali merasakan perhatian yang lebih dari sekadar profesionalisme, dan itu membuatnya semakin terikat. "Apakah ini hanya perasaan simpati?" Alena bertanya pada dirinya sendiri. "Atau ada sesuatu yang lebih dalam?" Ia mulai merasa bingung tentang perasaannya yang berkembang lebih jauh dari sekadar rasa kasihan atau simpati.Ruang rapat di lantai 15 gedung Elysium Corp itu dipenuhi dengan eksekutif dari berbagai divisi. Suasana formal terasa kental dengan presentasi dan laporan yang silih berganti dipaparkan. Di tengah atmosfer profesional ini, Alena duduk di samping Adrian, sadar akan kehadirannya yang terasa begitu dekat."Selanjutnya, Ibu Alena akan mempresentasikan laporan keuangan kuartal ini," kata Direktur Utama, member
Alena merasa bahwa simpati yang tumbuh dalam dirinya mulai membuatnya semakin terikat pada Adrian. Setiap kali ia melihatnya, hatinya berdebar. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap menjaga batas-batas profesional, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kedekatan mereka semakin kuat. Adrian, meskipun masih menjaga jarak emosionalnya, mulai lebih sering mendekati Alena, baik di kantor maupun dalam pertemuan pribadi. Setiap kali mereka berinteraksi, Alena merasakan semacam koneksi yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.Minggu-minggu berlalu sejak pembicaraan mereka di taman belakang kantor. Musim semi mulai berganti dengan kehangatan musim panas yang menyenangkan. Dedaunan hijau menaungi jalanan kota, menciptakan bayangan yang menyejukkan di tengah teriknya matahari. Alena mengamati perubahan ini dari balik jendela ruang kerjanya, seraya merenungkan perubahan dalam hidupnya sendiri."Sedang melamun?" Suara Adrian membuyarkan lamunannya.Alena berbalik, mendapati Adrian
Beberapa hari setelah percakapan mereka, Alena merasa gelisah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terus memikirkan Adrian. Tentu saja, dia merasa kasihan pada Adrian, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang membuatnya merasa ingin melindungi pria itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu bisa membawanya ke dalam hubungan yang rumit. Ia bahkan merasa cemas setiap kali Adrian datang untuk bekerja, khawatir akan perasaan yang semakin mendalam ini. "Apa aku bisa terus bekerja dengannya seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.Pagi itu, Alena sengaja datang lebih awal ke kantor. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum bertemu Adrian. Kantor yang sunyi memberikannya kesempatan untuk berpikir jernih. Alena duduk di kursinya, menatap tumpukan dokumen yang belum selesai, tapi pikirannya melayang jauh.Sejak Adrian menceritakan tentang masa lalunya, ada sesuatu yang berubah dalam diri Alena. Bukan hanya rasa simpati, tapi juga kekaguman atas ketangguhan pria itu. Adrian te