Selamat siang... Sudah makan belum nih??? atau nungguin Pak Reval???
Langkah Naura terasa berat ketika memasuki kamar Reval. Hatinya masih bimbang, tetapi perintah lelaki itu membuatnya tak punya pilihan. Sesampainya di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sosok Reval yang terbaring di sofa. Napasnya tertahan sejenak. Reval tertidur dengan posisi yang tampak tidak nyaman. Tubuhnya setengah terkulai, dengan kepala bersandar pada sisi sofa dan satu tangan menjuntai ke lantai. Dada pria itu naik turun perlahan, menunjukkan kedamaian yang jarang Naura lihat darinya. Wajah Reval, yang biasanya penuh intensitas dan otoritas, tampak begitu tenang dan lelah. Sepertinya dugaan Naura benar. Reval pasti kecapekan. Naura ingat betapa sibuknya pria itu tadi malam, terutama ketika dirinya yang merasa tidak enak badan. “Apa mungkin dia menjagaku?” pikirnya tiba-tiba. Namun, Naura segera menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. Tidak mungkin. Reval peduli sampai sejauh itu. Memangnya dia siapa? Naura mengamati sekeliling kamar, mencoba mengalihkan pik
Ketika bibir mereka bersentuhan untuk kedua kalinya, itu tidak terasa tergesa-gesa. Kali ini, Reval memimpin dengan kehangatan yang membuat dunia di sekitar Naura seperti lenyap. Naura terperangah, tetapi tidak melawan. Bibir Reval bergerak lembut, seolah memberi kesempatan pada Naura untuk memilih, namun setiap gerakan kecil darinya seolah meruntuhkan pertahanan yang coba Naura bangun. Jantungnya berdetak begitu keras, membuat pikirannya kacau. Ia tidak tahu apa yang lebih menyesakkan. Sensasi dari ciuman itu atau konflik dalam dirinya yang enggan mengakuinya. Tangan Reval bergerak perlahan, menyentuh sisi wajah Naura dengan ujung jarinya, seperti memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana. Sentuhan itu membuat Naura meremang, lututnya lemas hingga ia harus menggenggam sprei untuk mencari keseimbangan. Reval menekan sedikit lebih dalam, menciptakan irama yang membuat napas Naura tersengal. Tangannya yang lain kini menyentuh pinggang Naura, menahannya agar tetap di tempat. T
Naura menggeliat pelan, matanya perlahan terbuka. Langit-langit kamar yang asing segera mengingatkannya pada tempat di mana ia berada. Akan tetapi, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang berat menekan pinggangnya. Ia menoleh perlahan dan melihat wajah Reval yang tertidur lelap, begitu dekat hingga ia bisa merasakan helaan napas pria itu di kulitnya. Naura terpaku sejenak, mengamati wajah Reval yang damai dalam tidurnya. Tidak ada tanda-tanda kekakuan atau dinginnya sikap yang biasa ia tunjukkan. Kini, ia hanya seorang pria yang kelelahan, dengan tangan kokohnya yang memeluk Naura erat, seakan enggan melepaskannya bahkan dalam tidur. Perlahan, Naura mencoba memindahkan tangan itu. Gerakannya sangat hati-hati, nyaris tanpa suara. Tapi begitu ia berhasil membebaskan diri, perutnya berbunyi keras, memecah keheningan kamar. Ia memegang perutnya dengan ekspresi malu, meskipun tidak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri. “Lapar sekali…,” gumamnya pelan. Pandangannya melirik pintu k
“Iya, Bu. Maaf baru bisa pulang sekarang,” jawab Naura, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ibu Lastri hanya mengangguk kecil, tetapi tatapan matanya tak lepas dari Naura, seperti tengah menilai sesuatu. Suasana kamar yang hening hanya diisi oleh detak jarum jam di dinding dan suara napas mereka berdua. “Duduklah, Naura,” ujar Ibu Lastri sambil menunjuk kursi di dekat ranjang. Naura mengikuti perintah itu, menarik kursi perlahan sebelum duduk di atasnya. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran bercampur gugup terus menghantuinya. “Kata Bibi, Ibu mau bicara penting, ya? Ada apa, Bu? Apakah ada masalah?” tanya Naura penuh antusias. “Naura,” suara Ibu Lastri memecah keheningan. Tatapannya tajam seperti sedang mencurigai menantunya. “Apa kamu sangat dekat dengan bos kamu?” Deg! Naura membeku. Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan. Bagaimana mungkin Ibu Lastri menanyakan hal itu? Bukanka
Naura mencoba tersenyum kecil, meskipun dalam hati ia merasa panik. Ia mengusap lehernya dengan canggung sambil mencari alasan yang masuk akal. “Em, ini mungkin kena gigit serangga, Bi. Soalnya rumah ayah Naura melewati ladang pertanian juga.” Bi Mirna masih menatapnya dengan dahi yang sedikit berkerut, tetapi akhirnya mengangguk. “Oh, begitu ya, Nyonya? Kalau begitu nanti bibi siapkan salep, siapa tahu bisa membantu.” “Tidak perlu, Bi. Terima kasih ya? Sekarang Naura mau ke kamar dulu.” Naura langsung bergegas meninggalkan dapur sebelum Bi Mirna bisa bertanya lebih lanjut. Ia merasakan tatapan wanita paruh baya itu masih mengikuti punggungnya hingga ia masuk ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Naura menyandarkan tubuhnya pada daun pintu dan menghembuskan napas panjang. Ia berusaha menenangkan detak jantung yang masih tidak beraturan. Rasa panas di wajahnya belum sepenuhnya hilang. “Apa yang kupikirkan tadi?” gumamnya pada diri sendiri. Ia menggeleng-gelengkan
Gesekan koin yang kasar melawan kulitnya meninggalkan bekas kemerahan baru, namun Naura tidak peduli. Ia terus melanjutkan, berpikir bahwa tanda itu akan tampak seperti bekas kerokan biasa. Setelah beberapa saat, ia berhenti. Napasnya sedikit terengah, sementara kulit lehernya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya. Namun, tanda asli itu sudah tidak begitu mencolok, atau setidaknya ia berharap demikian. Naura menatap hasil usahanya dengan cemas, mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan semuanya. “Semoga ini cukup,” kata Naura pelan, seperti doa. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekas itu bukan satu-satunya jejak yang ditinggalkan Reval. Beberapa waktu telah berlalu, Naura membuka pintu kamarnya perlahan. Ia tahu bahwa Bi Mirna mungkin masih ada di sekitar. Wanita itu sangat perhatian, tetapi terkadang perhatian yang diberikan justru membuat Naura merasa tidak nyaman, terutama dalam situasi seperti ini. Suara dering telepon di ruang tamu membuat Naura sedik
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. “Nggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,” jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan. Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Aku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?” Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. “Mas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,” desaknya. Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. “Aku kalah lagi.” Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian
Tatapan Naura tajam namun penuh kebingungan, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ibu Lastri menghela napas panjang. Matanya, yang biasanya tegas, kini terlihat sendu. Ia menatap menantunya dengan rasa bersalah yang begitu nyata, meski tidak diucapkannya secara langsung. “Ibu yang terlalu memanjakan Dion, membuat dia berubah seperti itu. Ibu salah karena menjadi beban untuk kamu.” “Ibu, jangan berkata seperti itu. Semua ini bukan salah ibu.” Suara Naura terdengar putus asa, seperti mencoba meyakinkan bukan hanya Ibu Lastri, tetapi juga dirinya sendiri. Namun, wanita paruh baya itu menggeleng lemah. Ia duduk di samping Naura, tangannya yang sedikit gemetar menggenggam tangan menantunya. “Dari awal kamu menikah dengan Dion, ibu tahu kamu bukan orang yang Dion pilih. Tapi ibu tetap memaksa. Ibu hanya berpikir ... kamu akan membawa kebaikan untuk keluarga ini. Dan sekarang, lihat apa yang terjadi.” Kata-kata itu menggelayut di udara, berat, penuh penyesalan. Naura menunduk, mena
Naura segera menutup telepon dengan terburu-buru. “Aku tutup dulu, ya, Mas. Nanti lanjut lagi.”“Kenapa lama sekali?” tanya Reval datar setelah Naura meletakkan ponselnya.Naura mengerutkan kening, bingung dengan nada dingin Reval. “Kenapa, Pak? Itu tadi telepon dari suami saya.”“Saya tahu itu suamimu. Tapi kita sedang di sini untuk pekerjaan, Naura. Apalagi ini waktu makan malam yang seharusnya digunakan untuk berdiskusi tentang proyek, bukan obrolan personal,” jawab Reval, suaranya terdengar menekan.Naura menatapnya dengan tidak percaya. “Saya pikir makan malam ini adalah waktu untuk santai. Lagipula, saya hanya berbicara beberapa menit. Apa itu salah? Bukankah tadi Pak Reval—”“Bukan salah, tapi tidak profesional. Terutama ketika kamu terlalu lama berbicara dan membiarkan saya menunggu seperti orang bodoh.”Reval berbicara sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Naura dengan tatapan tajam.Pernyataan itu membuat darah Naura mendidih. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja,
Naura menelan ludah. Ia kemudian menyesap teh perlahan, membiarkan rasa hangat mengalir di tenggorokannya, menenangkan seluruh syaraf yang tegang. Dalam diam, ia berusaha menyembunyikan hatinya yang begitu terpengaruh oleh kehadiran Reval juga oleh cara lelaki itu merawatnya dengan perhatian yang tak pernah ia duga.“Apa kamu merasa lebih baik?” suara Reval memecah keheningan.Naura mengangguk pelan, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa rasa nyaman ini berbahaya. “Terima kasih,” bisiknya. “Untuk tehnya ... dan untuk semuanya.”Reval hanya tersenyum samar. “Apakah kamu merasa lapar?” tanya Reval sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Naura yang masih memegang cangkir teh hangat di tangannya.Naura terdiam sejenak, mengalihkan pandangan ke jendela hotel yang mulai basah oleh hujan di luar. Suara derasnya menambah kesan sunyi di dalam ruangan. Perutnya sebenarnya sudah lama meronta, tetapi ia terlalu terbiasa mengabaikan kebutuhannya sendiri. “Sedikit,” jawab Nau
Hatinya melompat mendengar kata-kata itu, tetapi ia segera menutupinya dengan senyum tipis yang sinis. “Penting? Untuk apa? Agar Bapak bisa bermain dengan emosi saya setiap kali Anda bosan?” “Tidak.” Reval menggeleng pelan, seolah jawaban itu sudah lama ia pikirkan. “Aku tidak bermain-main. Aku tidak pernah menganggap kamu sebagai mainan, Naura.” “Lalu kenapa? Kenapa Pak Reval terus membuat saya bingung seperti ini?” Naura mendesak, matanya mulai terasa panas. Ia benci kelemahannya sendiri, benci betapa mudahnya lelaki ini memengaruhinya. Reval terdiam sejenak, mengamati wajah Naura seakan mencari sesuatu yang tak terucapkan. “Karena aku tidak bisa berhenti.” Naura mengerutkan kening, hatinya semakin kacau. “Berhenti apa?” “Berhenti peduli.” Reval menghela napas, seolah ucapan itu membawa beban yang lama ia pendam. “Berhenti memikirkan kamu setiap saat. Berhenti ingin selalu berada di dekatmu.” Sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Kata-kata
Naura terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebagian dari dirinya merasa bahwa Reval benar, ia terlalu sensitif. Tapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa Reval sering kali bersikap terlalu dingin dan mendominasi. “Saya tidak berniat mencari masalah,” gumam Naura akhirnya. “Saya hanya ingin diperlakukan dengan sedikit lebih baik.” Reval menatapnya selama beberapa detik, lalu menghela napas lagi. Ia memutar kemudi dan melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa-apa lagi. Setibanya di hotel, Naura langsung membuka pintu mobil dan keluar tanpa menunggu Reval. Ia berjalan cepat menuju lobi, berusaha mengabaikan tatapan beberapa tamu yang kebetulan lewat. “Naura,” panggil Reval dari belakang. Ia berhenti, tetapi tidak menoleh. “Apa lagi, Pak?” Reval berjalan mendekat, hingga berdiri di sampingnya. “Kita belum selesai membicarakan ini.” Naura menatapnya dengan tajam. “Kita bisa membahasnya besok. Lagipula tadi Bapak juga bilang jika Bapak lelah.” “Tidak, sekarang
Tubuh Naura membeku sesaat, matanya menatap muatan besar yang bergerak semakin cepat ke bawah. Sebelum ia sempat berpikir untuk melarikan diri, seseorang menarik tangannya dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang dan jatuh di atas tanah berdebu. Debum keras terdengar, membuat tanah bergetar. Naura terengah-engah, menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya tadi. Ia mendongak dan mendapati Reval berlutut di sampingnya, napasnya terdengar berat. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. Naura hanya mengangguk, masih belum bisa berkata-kata. Reval segera berdiri dan mengulurkan tangannya pada Naura. “Kamu harus lebih berhati-hati. Proyek ini bukan tempat untuk melamun.” Naura menerima uluran tangan itu, merasa pipinya memanas karena merasa bodoh. “Maaf, Pak. Saya tidak menyadari—” “Simpan penjelasanmu,” potong Reval. “Yang penting kamu selamat.” Nada suaranya terdengar dingin, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lain
Setelah makan siang yang penuh ketegangan terselubung, Reval memutar kunci mobilnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memegang ponsel. Ia tampak serius, berbicara dengan seseorang di ujung sana dengan nada tegas. Naura duduk diam di kursi penumpang, mencoba mengalihkan perhatian dari suara Reval dengan menatap jalanan yang mulai dipadati kendaraan. Perutnya masih terasa kenyang, tetapi pikirannya tidak tenang. Sikap Reval yang samar atau tidak jelas, membuatnya kesulitan menebak apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan darinya. “Baik, aku akan sampai dalam lima belas menit,” ujar Reval sebelum menutup panggilannya. Ia melirik Naura sekilas, lalu mengarahkan mobil kembali ke arah proyek. “Pak, apakah kita kembali ke lokasi proyek?” tanya Naura, mencoba memecah keheningan. Reval mengangguk. “Ada yang perlu aku cek lagi. Kamu ikut.” Naura mendesah pelan, merasa tidak memiliki pilihan. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya p
Reval mendekat, menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan. “Naura, dengarkan aku baik-baik. Apa yang terjadi di luar sana, apa yang orang lain lakukan, tidak pernah memengaruhi bagaimana aku bekerja atau bagaimana aku melihat situasi ini. Clara tidak berarti apa-apa.” Naura merasa wajahnya memanas mendengar penegasan itu. Tetapi sebelum ia bisa merespons, Reval melanjutkan. “Dan satu hal lagi,” kata Reval, suaranya menjadi lebih lembut. “Kamu tidak perlu merasa terganggu oleh hal-hal seperti itu. Fokuslah pada pekerjaan kita. Itu yang penting.” Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi rasa tidak nyaman. Wanita itu menggenggam tangan, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin, ia hanya terlalu sensitif. “Naura.” Wanita itu menoleh, melihat wajah Reval yang begitu dekat dengannya. “Jangan lupa, besok pagi kita masih banyak kegiatan. Jangan tidur terlalu larut.” Reval mengecup singkat kening Naura. Membuat wanita itu terdiam kaku di tempatnya. Kecupan singka
Naura merasa wajahnya memanas. Ia hanya mengangguk singkat dan melangkah keluar. Di dalam lift, mereka berdiri berdampingan, tetapi tidak ada yang berbicara. Naura mencuri pandang ke arah Reval, mencoba membaca ekspresinya, tetapi seperti biasa, ia tidak menunjukkan apa-apa. Ketika mereka hendak turun dari mobil, Reval membukakan pintu untuknya. “Kamu sudah melakukannya dengan baik hari ini,” ucap Reval singkat, tetapi ada nada tulus dalam suaranya. Naura terkejut mendengar pujian itu. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi.” Reval mengangguk, lalu berjalan pergi. Naura berdiri di sana sejenak, merenungkan kata-kata pria itu. Meski hanya sederhana, pujian itu memberinya semangat baru untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Namun, ketika ia melangkah masuk ruangan, di sana sudah ada dua orang yang menunggu. Mereka akhirnya duduk bersama dua klien di meja bundar yang dikelilingi kursi empuk. Percakapan mengalir dengan santai, sesekali dipenuhi suara gelas yang berad
Suasana mendadak begitu sunyi. Kehangatan yang ditinggalkan lelaki itu seolah terserap oleh dinding-dinding kamar yang kini terasa dingin dan luas. Naura menghela napas panjang, kemudian berbalik menatap kamarnya yang luas dan elegan. Kamar hotel itu begitu mewah dengan perabotan kayu berkilap, seprai putih bersih yang tertata rapi, dan balkon besar yang menghadap ke taman di luar. Namun, bukannya merasa nyaman, Naura justru merasa asing. Ia berjalan pelan ke jendela besar yang menampilkan pemandangan senja. Langit oranye membentang di atas pohon-pohon kelapa yang melambai tertiup angin. Di kejauhan, burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Betapa damainya dunia di luar sana. Berbeda jauh dengan badai kecil yang mengisi hatinya saat ini. Naura menyandarkan dahinya ke kaca yang dingin. Ingatan tentang kejadian tadi kembali terlintas di benaknya. Sentuhan Reval di tangannya, ciuman yang terasa terlalu hangat, terlalu nyata. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis