Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat.
Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang.
“Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun.
Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kali dua belas bulan dan kembali dikalikan lagi dengan angka sepuluh? Oh Tuhan! Untuk membayangkan totalnya saja sudah membuat Sandra keliyengan.
“Apa kamu masih ingin mengundurkan diri?” tanya Aga memastikan. Menyipitkan pandangannya, kembali beradu pandangan dengan Sandra yang telah menegakkan kepala.
“Bagaimana jika aku ngga mampu membayar dendanya?” lemahnya bertanya.
“Bos Sean akan memasukkanmu ke dalam penjara.”
Mencelos sudah hatinya Sandra. “Pe-penjara?” sahut Sandra terbata.
Kerja jantungnya semakin keras saja didalam bekerja, membuatnya kesusahan hanya untuk sekedar menelan salaivanya pelan. Bersitatap dengan dinginnya kedua sorot mata Aga yang mengangguk pelan.
"Penjara," kata Aga seolah menekankan, melambungkan ketakutan yang sedari tadi sudah mendera hati wanita cantik di depannya.
"Penjara," lirih Sandra kembali. Sungguh ingin sekali ia menangis saat ini, lebih memilih untuk segera membuang pandangannya ke arah bawah. "Penjara," batinnya mengulangi, mengulaskan senyuman getirnya, mengusap bibir ranumnya pelan.
“Aga!” suara bariton tiba tiba saja terdengar. Sungguh berhasil menjingkatkan tubuh Sandra yang segera menolehkan kepalanya ke arah suara, seiring dengan berdirinya Aga cepat menghadap Tuannya.
“Saya Bos.”
Mempercepat degupan di jantung Sandra. Susah sekali untuk ia bisa mengendalikan kondisi tubuhnya yang gemetar. Memperhaikan langkah tegap sang bos besar, tampak melenggangkan kaki mendekati.
“Sudah kamu jelaskan semuanya?” datar Sean.
“Belum, Bos.”
Menyipitkan pandangan Sean, menolehkan kepalanya ke arah Sandra yang telah menundukkan kepala, ikut berdiri perlahan.
“Saya harus menunjukkan kembali mengenai klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan.” Aga menginformasikan.
“Kenapa kamu harus menunjukkanya lagi?” Kini Sean mengerutkan keningnya, mengarahkan pandangannya segera ke Asisten pribadi barunya. “Apa dia berencana untuk mengundurkan diri?” Menghujam ke arah Sandra. Semakin dibuatnya ketakutan, menganggukkan pelan kepala Aga membenarkan.
“Benar Bos,”
Dan disambut oleh senyuman kecut di bibir Sean. “Belum ada satu jam kamu bekerja disini tapi sekarang sudah ingin mengundurkan diri?”
Mengelukan lidah Sandra. Untuk sekedar mengangkat wajahnya saja ia tak kuasa apalagi harus mejawab pertanyaan dari Sean.
"Angkat kepalamu Nona Sandra!" titah Sean. Sungguh hatinya kesal sekali jika tak saling bersitatap disaat berbicara.
Seiring dengan menengaknya kepala Sandra cepat, manatapnya nanar.
“Kenapa kamu ingin mengundurkan diri?” tanya Sean.
“Karena,” dag dig dug kerja jantung Sandra semakin keras, bertalu tak karuan sebagai tanda dari rasa takutnya yang tak kunjung mereda, melainkan kian melambung tinggi, mengusai diri. “Karena saya,-“ susah sekali untuknya bisa melanjutkan kalimat, tak berani menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan buliran bening di balik kelopak mata basahnya.
"Karena saya," lanjut Sandra. Sesaat sebelum dibuat berjingkat oleh sentakan dari Sean yang tak sabar.
“JAWAB!” bagaikan petir yang menggelegar menerpa terlinga Sandra.
“Karena saya takut dengan Anda dan saya nggak nyaman bekerja dengan Anda,” jawab cepat Sandra. Dalam satu tarikan napas, menundukkan kepalanya.
"Tegakkan kepalamu! harus berapa kali aku harus bilang agar kamu menegakkan kepala disaat berbicara denganku?"
"Ma-maaf Bos." Gemetar sudah tubuh Sandra. Ingin meluruhkan sejenak saja badannya ini di atas sofa ataupun lantai, namun mana berani ia melakukannya.
“Salah satu tugas kamu adalah selalu menjawab pertanyaanku dengan cepat, lugas dan tak bertele tele.” Tegas Sean, tak memperdulikan ketakutan asisten pribadi barunya.
“I-iya Bos.” Mengusap cepat jatuhnya air mata, lebih memilih untuk segera menolehkan kepalanya ke arah Aga.
"Apa yang harus aku pelajari sekarang?" tanya Sandra, harus bisa menguatkan hatinya sendiri demi untuk cerahnya masa depan ia, anak anak panti dan juga kesehatan Ibu angkatnya. "Hal apa yang disukai dan nggak disukai Bos Sean? tolong informasikan semua ke aku sekarang," Menahan kuat agar bibirnya tak sampai bergetar, meskipun susah.
Tak ada lagi pilihan lain untuk ia bisa mundur bukan? harus tetap maju dan bertahan di dalam pekerjaan yang menakutkan, dari pada harus mati sengsara di penjara, hingga menelantarkan anak anak panti yang kini telah menjadi tanggung jawabnya.
Seiring dengan bergeraknya kedua tangan Aga, akan mengambil ponsel miliknya yang tersimpan di dalam saku jas kerja.
"Pelajari warna warna ini," ucap Aga. Meletakkan ponsel di atas meja, mengalihkan pandangan Sandra. "Silangkan duduk kembali,"
Menganggukkan pelan kepala Sandra, segera mengayunkan langkahnya ragu untuk duduk di atas sofa, selepas melirik ke arah Sean yang masih berdiri tegap sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada. Memperhatikannya di dalam kebisuan.
"Jenis jenis warna hitam. Ebony, midnigh, ingk, crow, onys, grease, sable, jet black, spider." Lanjut Aga menerangkan, mengedikkan kepalanya ke arah contoh jenis jenis warna hitam dengan keterangan di bawahnya di dalam ponsel. "Hapalkan itu semua. Karena Bos Sean nggak akan pernah memakai baju, celana ataupun sprei diluar warna itu semua."
Menganggukkan kembali kepala Sandra. Diantara rasa bingungnya melihat semua warna yang hampir sama.
"Gold, hitam dan putih. Tiga warna yang diperbolehkan masuk ke dalam rumah ini, di dekat Bos Sean dan di Abelard Group."
"Kenapa?" Masih menyimpan buliran bening di balik kelopak matanya.
"Warna gold melambangkan kemewahan. Warna putih melambangkan kemurnian. Dua hal yang disukai Bos Sean."
Lagi lagi menganggukkan perlahan kepala Sandra, berusaha untuk mencerna tiap baris kalimat informasi pemberian Aga disaat tertekan. "Kalau hitam? melambangkan apa?" lirih Sandra bertanya.
"Kamu bisa menanyakannya langsung ke Bos Sean."
Meremang sudah tubuhya Sandra. Membuatnya mengarahkan pandangannya spontan ke arah Sean yang masih bergeming.
Sudah. Lebih baik menyimpan saja rasa penasarannya ini untuk dirinya sendiri, daripada harus bertanya kepada Bosnya yang begitu sangat menakutkan. "Nggak jadi tanya aku," masih dikuasi oleh dentuman keras di dalam dada, menarik napasnya pelan untuk dia hembuskan perlahan.
"Masuk kerja jam 7 kan? dan pulangnya jam 5 sore," kembali Sandra bertanya. Hanya untuk memastikan agar ia tak pernah salah, namun malah mendapatkan gelengan kepala dari Aga.
"Bagaimana itu maksudnya? kok menggeleng begitu?" sembari meremas jemari tangannya pelan.
"Bos Sean berubah pikiran."
"Berubah pikiran gimana?" membulatkan kedua mata Sandra secara sempurna, jantungnya kembali dipacu cepat. "Bagaimana bisa berubah pikiran begitu?" spontannya tak kenal takut. Sebelum memejamkan kedua matanya dalam, merutuki kebodohanya di dalam berucap.
"Bos Sean memiliki hak mutlak untuk mengatur kembali aturan yang telah disepakati." Masih dengan gurat wajah datarnya, seolah tak memperdulikan gejolak rasa di dalam dada Sandra.
"Tapi kan?" ingin sekali Sandra melayangkan protesnya, namun tak berani karena kedua sorot mata Sean yang mengintimidasi. "Iya," lemahnya. Ia tak ingin cari mati, lebih baik menganggukkan kepalanya pasrah.
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban.
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal