“Jangan menggerakkan bagian tubuh kamu sedikitpun, Sandra. “Oke? atau aku akan,” lanjutnya menggantung, kini mengulaskan senyuman seringainya, sedikit mencondongkan kepalanya ke telinga Sandra. “Atau kamu akan menyesalinya.” Sean kembali berbisik.
Membiarkan harum napas hangatnya menerpa kulit telinga asisten pribadi barunya, kian meremangkan tubuh Sandra diantara ketakutannya yang medera.
“Kamu paham?” masih Sean yang bersuara. Kembali memandang Sandra dengan tatapan tegasnya, menganggukkan perlahan kepala asisten pribadinya.
“Iy-iya.” jawab Sandra terbata, membuatnya menahan napas. Hatinya takut sekali. Sama sekali tak berani melawan ataupun membantah, demi untuk keselamatan nyawa yang harus dia jaga.
Seiring dengan bergeraknya jari telunjuk Sean di atas bibir Sandra. Entah kenapa kini ia dibuat tertarik oleh keranuman bibir milik Sandra. Merah merona. Alami dan pastinya...
"Shit!" umpat Sean. Kian mempercepat debaran di jantungnya. Hatinya berdebar? “Ada apa ini? Kenapa jadi berdebar seperti ini?” batin Sean bingung sendiri.
Menghentikan seketika gerakan jemari tangannya, harus bisa memfokuskan diri dan juga pikiran ke arah rasa yang terbentuk, agar ia bisa menerka rasa apa yang tiba tiba saja tercipta, merasa bingung atas kondisi jantungnya saat ini.
Tak biasanya ia berdebar seperti ini.
"Berdiri!" titah Sean akhirnya. Lebih memilih untuk mengakhiri sesi mengamati dan menikmati, segera berdiri dari duduknya, sedikit memundurkan langkahnya. Menjauhi Sandra yang segera menganggukkan kepala cepat.
Secepat gerakan tubuh Sandra di dalam berdiri, menghilangkan posisi jatuhnya yang sempat membuatnya kehilangan harga diri.
Seiring dengan mengedarnya pandangan Sean, ke arah banyaknya sprei yang berserakan di atas lantai.
“Maafkan saya, Bos. Saya akan membereskan ini semua,” ucap Sandra. Seolah tahu apa yang ada dipikiran Sean, sungguh sama sekali tak ingin menciptakan masalah dengan bos besarnya yang tengah membisu. Sandra masih dikuasai oleh perasaan takutnya.
Sandra tak lagi bersuara, ia pun segera membuang pandangannya ke arah bawah. Akan memunguti beberapa sprei yang berserakan.
“Ebony Black" Suara bariton Sean kembali terdengar, menghentikan gerakan jemari tangan Sandra di atas sprei berwarna hitam. "Kamu nggak mengetahuinya?”
Menolehkan kepala Sandra, kembali jantungnya dipacu cepat, tak berani menjawab pertanyaan bos barunya.
"Hal yang paling nggak aku sukai adalah bertanya dua kali," datar Sean.
"Tidak Bos!" jawab Cepat Sandra. Menggelengkan kepalanya tak kalah cepat, segera menundukkan kepalanya dalam. Sesaat sebelum dibuat tersentak oleh sengitnya suara Sean.
"Tegakkan kepalamu!" sentak Sean.
"Ba-baik Bos." Hati Sandra patah, semangat juga rasa bahagianya yang tadi sempat mendera karena pekerjaan baru dengan gaji tinggi kini telah sirna entah kemana. Perasaannya tak nyaman, bekerja dengan penuh ketakutan begini sungguh membuat hatinya tak tenang.
“AGA!" Panggil Sean tak sabar.
Sedikit menjingkatkan tubuh Sandra yang tak lagi berani menundukkan kepala. Melihat datangnya laki laki bertubuh dempal mendekati.
Aga Abra namanya. Tangan kanan kepercayaan Sean. Hanya satu satunya. karena Sean tak memiliki kepercayaan kepada siapapun itu. Termasuk keluarganya sendiri.
“Saya,Bos.” Jawab Aga. Dengan begitu sigapnya masuk ke dalam kamar menghadap Bosnya.
“Apa kamu belum mengajari apapun ke dia? Apa yang aku suka dan aku nggak suka? Warna apa saja yang boleh ada di kamar ini dan warna apa saja yang nggak boleh ada di kamar ini?" Sengit Sean.
“Ebony, crow, midnight, ink, onys, grease, sable, jet black, spider!” lanjut Sean. Mengucapkan bermacam macam warna hitam dalam tarikan sekali napas.
Membulatkan kedua mata Sandra yang tak percaya, semakin dibuat bingung oleh nama nama yang baru saja disebutkan oleh Sean. Baru pertama kalinya mendengar itu semua.
“Belum semua, Bos.” Jawab Aga. Ikut diserang oleh rasa cemas, bersiap untuk menerima amukan dari Sean.
“Belum?”
“Belum semua,” berusaha untuk tak menundukkan kepala, meskipun hatinya tak berani memperhatikan tajamnya tatapan nyalang Sean.
“Keluar!” usir Sean kepada Sandra. Mengedikkan kepalanya tegas, mengejutkan hati asisten pribadi barunya.
“Ma-,”
“KELUAR!” potong Sean menyentak. Sungguh sama sekali tak suka dengan sanggahan atas titah yang dia berikan. Kembali menjingkatkan hati Sandra yang segera mengalihkan pandangannya ke arah Aga.
“Ba-baik Bos,” lirih Sandra terbata. Semakin diserang oleh dentuman keras di dalam dada. Sungguh jantungnya ini bisa bisa tak sehat jika setiap hari dihadapkan sama Bos kasar seperti Sean.
***
“Lebih baik aku mengundurkan diri,” ucap Sandra. Sudah keluar dari kamar Sean dan baru saja menuruni anak tangga terakhir, menolehkan kepala Aga di depannya. “Aku nggak bisa bekerja seperti ini. Benar benar tertekan dan ketakutan.” imbuhnya memutuskan.
Masih berusaha untuk menata gemuruhnya rasa di dalam dada, tak kunjung mendapatkan jawaban dari Aga yang terdiam, hanya mengayunkan langkah, mengacuhkan ucapannya.
“Pak,” Panggil Sandra. Merasa bingung harus memanggil Aga dengan sebutan apa.
“Aga. Panggil aku Aga.” Tak kalah dinginnya dengan suara Sean. Bedanya hanya datar dan tak emosional.
“Aga,” panggil Sandra kembali.
“Kita bicara di ruangan tengah.” Tegas Aga. Masih mengayunkan langkah lebarnya, sedikit jauh meninggalkan langkah cepat Sandra, susah sekali untuk mejajari.
“Silahkan duduk,” datar Aga, menunjuk sofa yang tersedia.
Hanya menganggukkan pelan kepala Sandra yang tak lagi bersuara. Kembali melangkah akan duduk di atas sofa kosong berwarna coklat tua cenderung hitam. Memperhatikan punggung Aga yang tampak sedang membuka salah satu laci di almari besar.
“Kamu lupa sama aturan ini?” ucap Aga. Ikut duduk di atas sofa di seberang Sandra, meletakkan map bening yang baru saja dia ambil, memperlihatkan surat perjanjian kerja di dalamnya.
Sandra memisu hanya melihat, kemudian memejamkan kedua mata dalam, melupakan sesuatu yang telah dia tandatangani tadi pagi.
“Ingat,” lemah Sandra. Lesu sudah dirinya, lunglai tanpa ada gairah untuk lagi berkilah, mengingat salah satu isi dari aturan yang tertera di dalam surat perjanjian.
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal