"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban.
"Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang."
"Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka.
"Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya."
***
Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai.
Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba.
Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang di hari Sabtu? itupun harus kembali lagi di hari Minggu..
Bagaimana dengan nasib anak anak panti jika ia tak pulang? juga Ibu Kasih. Bagaimana dengan Mama angkatnya yang kini sedang berbaring lemah di rumah sakit? siapa yang akan menjaga?
Sungguh berhasil menciptakan sebuah rasa dilema yang mendalam. Hatinya tak tega jika harus berjauhan dengan keluarganya, tapi disisi lain juga ada kengerian jika harus menolak ataupun membantah aturan Sean.
Sandra segera merogoh ponsel miliknya di kantong celana yang dia pakai, agar bisa segera menghubungi salah satu anak panti. Sebelum mengerjakan tugas pertamanya pemberian Sean, di dalam merapikan sprei yang berserakan dan mengganti sprei ranjang.
"Halo, Kak." Suara gadis terdengar dari dalam ponsel Sandra di telinga. Memejamkan kedua mata Sandra dalam, menghela napasnya pelan.
"Adik adik kamu lagi ngapain Cin?" tanya Sandra. Kepada adik pantinya yang telah berusia tujuh belas tahun.
"Adik adik? ada itu pada mainan di ruangan tengah. Kak Sandra pulang jam berapa?"
"Kak Sandra baru bisa pulang nanti di hari Sabtu. Karena ada aturan baru dari Bos Kak Sandra." Jawab Sandra, bertemankan dentuman keras di dalam dada. "Bisa Kak Sandra minta tolong sama kamu?"
"Apa?" terdengar menutupi kebingungan, tak berani memprotes informasi pemberian kakak tertua di panti yang sedang berjuang agar bisa menghidupi keluarga.
"Selama Kak Sandra nggak ada di rumah. Kamu jagain adik adik ya?"
"Terus Ibu gimana?"
"Ibu?" sahut Sandra. Kembali menciptakan buliran bening di balik kelopak matanya yang berkaca kaca. "Nanti Kak Sandra cari suster pribadi untuk Ibu." Gajinya pasti cukup bukan? dua puluh juta satu bulan, dengan uang itu ia pasti bisa mengcover semua kebutuhan.
Sesaat sebelum menengadahkan kepalanya ke arah atas, merasakan bergeraknya handle pintu di atas kepala. "Kak Sandra matikan dulu," ucap cepat Sandra. Lebih memilih untuk segera berdiri dari duduknya, mematikan segera panggilan teleponnya tak kalah cepat, tanpa menunggu jawaban dari Cindy.
Bersamaan dengan terbukanya pintu kamar yang didorong dari arah depan, hingga membuat tubuhnya berjingkat kaget, memberingsut mundur ke arah belakang.
"Ngapain kamu disini?" dingin Sean. Baru saja masuk ke dalam kamar, kembali menciptakan sebuah tekanan di hati Sandra yang gemetar.
"Mau beresin sprei dan ganti sprei, Bos." Jawab Sandra, menahan kuat agar kepalanya tak menuduk dalam, memberanikan diri tetap menatap manik tajam Sean.
"Habis ngapain kamu?"
"Nggak ngapa ngapain, Bos." Menggelengkan kepalanya cepat, sedikit melirik ke arah ponselnya yang dia remas di tangan kanan.
"Habis teleponan sama siapa?" terka Sean.
Menghenyakkan hati Sandra, segera menyembunyikan ponsel di tangan kanannya di belakang punggung. "Keluarga saya, Bos."
Menyipitkan pandangan Sean, masih dengan sikap datarnya cenderung dingin, mencari kebenaran dari kedua sorot mata Sandra yang tampak begitu ketakutan.
"Lima menit sudah kamu menghabiskan waktumu untuk bertelepon ria." cibir Sean. Mengulaskan senyuman seringainya, "Apa kamu lupa berapa waktu yang aku berikan untuk kamu membereskan semuanya?"
"Sepuluh menit, Bos."
"Lima menit sisa waktu yang kamu miliki."
Dan tak lagi membuat Sandra bersuara. Lebih memilih untuk segera mengayunkan langkahnya cepat menuju ruangan ganti. Disela hatinya yang tak berhenti berdoa, semoga Tuhan yang dia sembah membatunya, memberikan kelancaran untuk ia bisa melakukan semua tugas tugas pemberian bos barunya dengan benar dan sempurna.
"Lima menit! jangan sampai melebihi waktu itu atau kamu akan mendapatkan hukumanmu!" pekik Sean tak berperasaan.
Membulatkan kedua mata Sandra yang sedang dibuat kelabakan, "Hukuman?" batin Sandra kelimpungan.
Hukuman apa yang dimaksudkan oleh Sean? bukankah tadi sama sekali nggak ada pembicaraan mengenai hukuman? sungguh semakin dibuat bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Karena menipisnya waktu, sedangkan banyak sekali pekerjaan yang harus dia kerjaan.
Menata kembali sprei yang berserakan di atas lantai, sebelum nantinya harus mengganti sprei menggunakan sprei baru berwarna ebony black.
"Ebony Black?" gumam Sandra. Diantara gerakan cepatnya di dalam menata Sprei untuk dia masukkan kembali ke dalam almari. Ingin sekali berteriak keras, agar bisa sedikit saja menguraikan rasa frustasinya yang meninggi.
Telah melupakan jenis jenis warna yang sempat dia lihat dan dia ingat sewaktu di lantai bawah.
"Ebony, ebony ebony." Bingung Sandra. Tak bisa menghentikan gerakan kakinya yang tampak begitu gelisah, menelisik banyaknya sprei berdominasi warna hitam di hadapannya. "Ingat Sandra! ingat!" berusaha keras untuk mengingatnya.
Diantara dentuman cepat di dalam dada, memejamkan kedua matanya dalam. "Ebony ebony ebony." kini meluruhkan air matanya, membiarkannya jatuh begitu saja membasahi pipi putihnya yang telah berubah warna menjadi sedikit pucat.
Sesaat sebelum meraih salah satu sprei dengan warna hitam yang dia yakini sebagai Ebony. Kemudian mengayunkan langkahnya kembali masuk ke dalam kamar dan tersentak. Mengehentikan langkah cepatnya seketika, tepat di depan Sean yang tengah berdiri menghadang, sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada.
"Ebony," lirih Sandra, diantara ketakutan hatinya, memberanikan diri untuk menunjukkan sprei hitam ditangannya.
"Delapan menit hanya untuk memasukkan sprei ke dalam almari," datar Sean.
Sandra menahan napasnya. Sungguh ia telah berusaha semaksimal dan secepat mungkin didalam menyelesaikan pekerjaannya.
"Kamu telah membuang waktu lima menitmu untuk telepon, dan sekarang kamu belum bisa menyelesaikan tugas pemberianku." Kembali senyuman seringai tersungging di wajah tampan Sean.
Kian mempercepat dentuman keras di jantung Sandra. Ingin kembali meluruhkan tubuh lunglainya di atas lantai.
"Maaf," lirihnya. "Saya harus menghubungi keluarga saya dulu untuk mengatakan mengenai peraturan yang tiba tiba saja berubah. Saya harus menginformasikan mengenai pulangnya saya di hari sabtu,"
Mengatupkan rapat bibir Sean, tak lagi menyanggah ataupun mendebat alasan asisten barunya.
"Dan untuk masalah keleletan saya ini. Saya sudah berusaha secepat mungkin." Menatap lekat tajamnya kedua sorot mata Sean. Meremas sprei di tangan. "Selain itu juga saya masih belajar memahami banyaknya jenis jenis warna hitam, Maafkan atas ketikan tahuan saya ini," menundukkan kepalanya sejenak, sebagai bentuk dari rasa sopannya, kemudian kembali bersitatap dengan bos Barunya.
"Sepuluh menit." jawab Sean akhirnya. Mengayunkan langkahnya mundur ke arah belakang agar bisa memberikan Sandra jalan, "Hanya untuk memasang sprei. Jangan lagi melebihi waktu itu, atau kamu akan benar benar menerima hukumannya."
Menganggukkan cepat kepala Sandra. Tak lagi ingin membuang buang waktu, lebih memilih untuk segera mengayunkan langkahnya mendekati ranjang. Tak ada kesempatan untuk ia memikirkan mengenai hukuman apa kira kira yang dimaksudkan Sean.
"Siapkan aku air hangat di bathup." Titah Sean. Sedari tadi duduk di atas sofa tak jauh dari ranjang sambil memainkan ponsel di tangan, menyambut selesainya Sandra di dalam mengganti sprei.
"Baik, Bos." Tanpa banyak bertanya lagi, segera mengayunkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi bernuansakan warna hitam dan juga putih, namun lebih dominan ke warna hitam.
Tak ada lagi yang bersuara diantara Sean dan juga Sandra. Karena keduanya yang telah sibuk dengan urusan masing masing. Sean dengan ponsel di tangan, sedangkan Sandra tampak sibuk dengan bathup marmer hitam di hadapan.
"Sudah, Bos." Sandra menginformasikan. Baru saja keluar dari kamar mandi, kembali menghadap Sean yang tak menolehkan kepala. Hanya menatap ke arah layar ponsel yang menyala.
"Lepaskan kancing kemejaku," jawab Sean.
"Ya?" sungguh berhasil membulakan kedua mata Sandra yang tersentak. "Lep-lepaskan kancing kemeja?"
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
"Rapikan ranjang itu dengan sempurna. Ganti spreinya dengan sprei ebony black." Suara bariton menitahkan. Menunjuk ranjang besarnya yang tampak berserakan. Jauh sekali dari kata rapi karena tiga ujung sprei tersingkap hampir ke tengah. Membulatkan kedua mata wanita cantik di depannya."Ya?" spontan Sandra. Wanita cantik nan polos yang baru saja diterima kerja sebagai asisten pribadi dengan gaji tinggi. "Eb-ebony Black?" batin Sandra. Kondisi tubuhnya sudah semakin bergetar tak karuan. Karena sikap dingin Sean yang tak pernah menunjukkan keramahan, membuatnya ketakutan."Apa itu Ebony Black?" Sandra masih membatin.Namun hanya mendapatkan lirikan tajam dari Sean yang masih berdiri tegap di hadapannya, mengintimidasi."I-Iya." Gugup Sandra, lebih baik bicara iya saja, meskipun ia sama sekali tak mengerti mengenai warna apa yang dimaksud oleh Sean. "Ebony black?" apa itu?" lagi lagi Sandra membatin, tak berani bertanya. Beberapa kali meremas jemari tangannya sendiri."Pastikan kamar sela
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal