Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala.
"Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?
Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada.
"Kamu menolaknya?" sengit Sean.
"Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali.
"Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean mengingatkan.
Pihak pertama adalah dirinya, sedangkan pihak kedua merupakan Sandra sang asisten pribadinya. Telah menghapal poin poin penting di dalam klausul buatannya sendiri, di surat perjanjian kontrak pekerjaan. Kian mempercepat degupan di jantung Sandra yang terdiam. "Kamu melupakannya?" kian menajamkan tatapannya, menyudutkan asisten pribadinya yang semakin dia buat ketakutan mundur ke belakang.
Seiring dengan ayunan langkah Sean maju ke depan, selepas berdiri dari duduknya lebih mendekati Asisten pribadinya. "Buka sekarang," lirihnya suara Sean namun menekankan.
Membuat Sandra menelan salivanya pelan. Lebih memilih untuk segera memejamkan kedua matanya dalam, demi untuk bisa meraih ketenangan yang begitu sangat dia butuhkan.
"Hanya diam? tetap bersikekeh untuk melawan?" lanjut Sean cenderung mengancam.
Menggelengkan cepat kepala Sandra. Dirinya terpojok, sudah terjebur ke dalam jurang tanpa ada kesempatan lagi untuk ia bisa berlari, didalam menghidari sikap semena mena dari Sean.
"I-iya," masih saja terbata."Sa-saya akan membantu melepaskan kancing kemeja Anda," Benar benar tak bisa mengontrol kencangnya ritme jatungnya sendiri, membernikan diri tetap bersitatap dengan Sean yang tampak terdiam, menatapnya dingin.
"Lakukan," titah Sean mengedikkan kepala.
Dan tak lagi membuat Sandra bersuara. Hanya bisa berusaha untuk mengangkat kaki kanannya agar mau melangkah, lebih mendekati Sean yang tampak begitu gagah namun begitu sangat menyeramkan.
Gemetar.
Jemari tangan Sandra gemetar. Untuk pertama kalinya ia membuka pakaian pria. Melihat tubuh telanjang pria tepat di depan mata kepala, membuatnya harus berkali kali menelan salivanya pelan.
Satu kancing bagian atas terbuka. Seiring dengan mengalihnya pandangan Sandra, beradu pandangan dengan Sean yang membisu, sedari tadi menundukan kepala memperhatikannya lekat.
"Bisa Anda arahkan tatapan Anda lurus ke depan?" batin Sandra. Ingin sekali mengatakan hal itu kepada Sean yang tak kunjung membuang pandangan. Tapi nyali tak ada, sama sekali tak berani sedikitpun membuka suara.
Kancing ketiga pun akhinya terbuka. Sudah mulai menampakkan dada bidang milik Sean yang terlihat begitu sangat sempurnanya. Dengan tonjolan otot yang tampak begitu menggairahkan di pandangan semua wanita. Tak terkecuali pandangan Sandra yang harus menahan napasnya segera.
"Fokus Sandra! fokus!" batin Sandra. Tak boleh terlena dengan pandangan yang tersaji di depannya, segera menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu menyukainya?" beratnya suara Sean terdengar. Mengulaskan senyuman tipisnya, cenderung mencibir.
Mendongakkan kepala Sandra yang tak berani menjawab, lebih memilih untuk segera mempercepat gerakan tangannnya di dalam membuka semua kancing kemeja Bosnya.
"Su-sudah, Bos." Sandra memundurkan langkahnya. Masih bertemankan degupan kencang di dalam dada.
"Lepaskan," ucap Sean.
"Apanya?" kusut sudah pikiran Sandra. Seiring dengan membentangnya kedua tangan Sean ke samping kanan dan juga kiri, menitahkan asisten pribadinya itu agar segera melepaskan kemeja yang dia pakai secara sempurna.
"Cepat," Kembali Sean mengedikkan kepala.
Benar benar tak aman untuk jantung Sandra. Ada apasih dengan Bosnya ini? menyuruhnya membantu melepaskan pakaian layaknya bantuan istri kepada suami. Masih dengan gemetarnya rasa di tangan,mencoba untuk mengayunkan langkahnya perlahan membelakangi Sean.
"Ma-aaf, Bos." lirih Sandra. Entah minta maaf untuk apa, berusaha bersiap untuk mengarahkan kedua tangannya kearah depan, akan menaanggalkan kemeja hitam milik Bosnya.
"Su-sudah, Bos." Sandra masih saja terbata, sudah membuang pandangannya ke arah samping sambil membawa kemeja Sean di kedua tangannya, memberingsut mundur.
Dan tak lagi membuat Sean bersuara. Lebih memilih untuk segera mengayunkan langkahnya akan masuk ke dalam kamar mandi dan meninggalkan asisten pribadinya yang terdiam menundukkan kepala.
Memejamkan kedua mata Sandra dalam, menghela napas leganya pelan. "Jantung jantung. Sehat sehat ya kamu. Kita harus kuat," batin Sandra mengelus dadanya sendiri. Kemudian kembali dibuat berjingkat oleh panggilan Sean.
"Sandra!"
"Sa-saya, Bos."
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
"Rapikan ranjang itu dengan sempurna. Ganti spreinya dengan sprei ebony black." Suara bariton menitahkan. Menunjuk ranjang besarnya yang tampak berserakan. Jauh sekali dari kata rapi karena tiga ujung sprei tersingkap hampir ke tengah. Membulatkan kedua mata wanita cantik di depannya."Ya?" spontan Sandra. Wanita cantik nan polos yang baru saja diterima kerja sebagai asisten pribadi dengan gaji tinggi. "Eb-ebony Black?" batin Sandra. Kondisi tubuhnya sudah semakin bergetar tak karuan. Karena sikap dingin Sean yang tak pernah menunjukkan keramahan, membuatnya ketakutan."Apa itu Ebony Black?" Sandra masih membatin.Namun hanya mendapatkan lirikan tajam dari Sean yang masih berdiri tegap di hadapannya, mengintimidasi."I-Iya." Gugup Sandra, lebih baik bicara iya saja, meskipun ia sama sekali tak mengerti mengenai warna apa yang dimaksud oleh Sean. "Ebony black?" apa itu?" lagi lagi Sandra membatin, tak berani bertanya. Beberapa kali meremas jemari tangannya sendiri."Pastikan kamar sela
Dentuman keras di jantung Sandra. Sama sekali tak berani menggerakkan tubuhnya sedikitpun, berusaha untuk mempertahankan posisi badannya yang tak nyaman."Diam!"Kata itu seolah menghipnotis pikiran Sandra, bersamaan dengan kalimat Aga, sang bodygoard dari bos besarnya ini kembali terngiang di telinga."Jangan pernah membantah apapun ucapan Bos Sean. Atau kamu akan menyesalinya." Pesan Aga menekankan.Memejamkan kedua mata Sandra dalam, sembari menundukkan kepalanya tak kalah dalamnya. Semoga lelaki di depannya ini tak beniat macam macam, "Kenapa harus jatuh dengan posisi begini, sih. Sial! benar benar sial!" batin Sandra, posisi yang tak baik untuk ia sekarang, beberapa kali membuatnya melirik ke arah kulit putihnya yang terbuka."Jangan berani bergerak!" kembali Sean memperingatkan.Sama sekali tak tak tahu tentang gejolak rasa di dada Sandra. Jantungnya bertalu talu tak karuan. Takut, cemas, dan juga....malu."Angkat kepalamu itu, kenapa menunduk seperti itu?" kembali suara Sean t
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal