"Rapikan ranjang itu dengan sempurna. Ganti spreinya dengan sprei ebony black." Suara bariton menitahkan. Menunjuk ranjang besarnya yang tampak berserakan. Jauh sekali dari kata rapi karena tiga ujung sprei tersingkap hampir ke tengah. Membulatkan kedua mata wanita cantik di depannya.
"Ya?" spontan Sandra. Wanita cantik nan polos yang baru saja diterima kerja sebagai asisten pribadi dengan gaji tinggi. "Eb-ebony Black?" batin Sandra. Kondisi tubuhnya sudah semakin bergetar tak karuan. Karena sikap dingin Sean yang tak pernah menunjukkan keramahan, membuatnya ketakutan.
"Apa itu Ebony Black?" Sandra masih membatin.
Namun hanya mendapatkan lirikan tajam dari Sean yang masih berdiri tegap di hadapannya, mengintimidasi.
"I-Iya." Gugup Sandra, lebih baik bicara iya saja, meskipun ia sama sekali tak mengerti mengenai warna apa yang dimaksud oleh Sean. "Ebony black?" apa itu?" lagi lagi Sandra membatin, tak berani bertanya. Beberapa kali meremas jemari tangannya sendiri.
"Pastikan kamar selalu rapi disaat berantakan." Lanjut Sean menginformasikan.
"Ba-baik Pak,"
"Bos. Panggil aku Bos." Sahut Sean. "Apa kamu melihatku sebagai pria tua?"
"Tampan Bos." Jawaban spontan Sandra. Ia membulatkan mata, menyadari kesalahannya dalam berbicara. "Mak-maksud saya, muda."
"Nggak akan ada Asisten rumah tangga yang akan masuk ke dalam kamarku selain kamu." lanjut Sean tak menanggapi jawaban Sandra. Kembali mendengar sahutan spontan asisten pribadinya.
"Kenapa begitu?" tanya Sandra. Membekap mulutnya segera, mendapatkan tatapan nyalang dari sang majikan baru. "Ba-baik, Bos." Kembali memilih untuk menganggukkan kepalanya patuh.
"Jangan pernah membantah apapun tiap ucapan dari Bos Sean. Atau kamu akan menyesalinya." Pesan laki laki berbadan tegap beberapa saat yang lalu. Sang bodyguard Sean, kembali terngiang di kepala Sandra yang sedang berusaha untuk tetap bisa bersikap tenang diantara kondisi tubuhnya yang gemetar.
"Iya, Bos" Tambahan jawaban Sandra. Ia harus mengiyakan apapun perintah dari bos barunya, tak boleh mendebat, ataupun banyak bertanya. Apalagi menolak.
"Lima menit. Kamu harus bisa merapikan semuanya dalam waktu lima menit." Titah Sean.
"Lima menit Bos?" tersentaknya hati Sandra. "Kok cuma lima-" Protes Sandra memotong kalimatnya sendiri. Ia merutuki lamisnya bibir yang kenapa tak mau diam dan bilang iya saja.
"Baik," pasrah Sandra. Meskipun hatinya menangis, merasa bingung harus mencari warna sprei hitam yang seperti apa, saat ia tak tahu apa apa. "Lima menit?" batin Sandra menelan salivanya pelan.
Bagaimana bisa ia menyelesaikannya dalam waktu lima menit? juga ebony? apa itu ebony?" Sandra mengalihkan pandangan, mencari keberadaan almari yang harus dia tuju terlebih dahulu.
"Kenapa kamu diam dan hanya menoleh begitu?" protes Sean.
"Cari almari Bos," Jawab Sandra. Kemudian dibuat berjingkat oleh sentakan suara Sean yang tak sabar.
"Ayo cepat!".
"Ba...baik, Bos." Jawab cepat Sandra. "Haiss!" gumamnya pelan. Akan melangkah dan berlari, namun tertahan oleh suara Sean.
"Tunggu!"
Membalikkan cepat badan Sandra, kembali menghadap ke Bos besarnya. "Kenapa Bos?"
"Kamu tadi bilang apa?"
"Ha?"
"Kamu tadi bilang apa!" sentak Sean.
"Kenapa Bos?" jawab spontan Sandra. Selalu dibuat senam jantung oleh Seaan yang suka sekali menyentaknya.
"Sebelum itu!"
Membuang pandangan Sandra. "Sebelum itu?" frustasinya Sandra, ia benar benar lupa dan tak bisa bepikir.
"Sebelum itu saya bilang apa ya Bos?"
"Ck!" mendeliknya Sean.
Menjingkatkan kembali Sandra, mundur ke arah belakang.
"Pergi cepat!"
"I-iya Bos." Sandra kemudan berlari, akan menuju ruangan yang terhubung dengan kamar. Mungkin disana tempatnya.
Seiring dengan mengayunnya langkah Sean. Hendak duduk di atas kursi yang tersedia, sambil menggeser geser layar ponsel, akan mengecek harga saham di dalamnya.
Sama sekali tak tahu mengenai membulatnya kedua mata Sandra. Ia baru saja membuka salah satu pintu almari besar berwarna putih. Sudah disuguhi dengan banyaknya pakaian, juga celana berwarna hitam semua.
Namun tak hitam sempurna, melainkan ada yang sedikit keabu abuan ataupun sedikit kecoklatan. Hanya sedikit. Karena yang pasti gelap semuanya.
"Terserahlah." gumam Sandra. Tak ingin terpaku hanya karena sebuah warna baju. Karena tugasnya sekarang bukanlah itu. "Sprei? dimana sih letak sprei?" Sandra semakin frustasi. Kenapa pekerjaan pertamanya harus seperti ini. Tertekan sekali.
"Empat menit!" terdengar suara Sean berteriak.
Kian memompa ritme jantung Sandra yang tergesa. Baru saja menemukan almari untuk sprei di samping almari baju. Namun sayangnya ia tak bisa bernapas lega. Karena permintaan warna dari Sean yang tak kunjung dia dapatkan.
Tapi bagaimana bisa dia dapatkan? jika arti dari warna ebony black saja dia pun masih belum mengetahuinya.
"Sepuluh!" Sean kembali berteriak.
"Sembilan!" lanjut Sean menghitung mundur detik menuju habisnya waktu.
Kian mempercepat degupan di jantung Sandra yang semakin ketakutan. Masih dikuasai oleh rasa bingungnya. Segera mengambil asal salah satu sprei berwarna gelap.
"Astaga... kenapa susah sekali sih ini diambilnya." Gumam Sandra. Kian dibuat frustasi oleh tekanan yang terjadi.
Jantungnya bergejolak sebagai tanda dari rasa takutnya merajai hati. Hingga membuat jemari tangannya gemetar. Hanya untuk mengambil salah satu sprei dari tumpukan saja bingung sendiri.
"Lemot sekali sih kinerjamu!" sentak Sean tiba tiba, sudah berada di pintu penghubung diantara kamar dan juga ruangan ganti. Sungguh berhasil menjingkatkan tubuh Sandra yang segera menolehkan kepalanya cepat.
"Maaf maaf, Bos." Ucap Sandra tak kalah cepatnya, diantara gerakan tangannya masih menarik kuat salah satu lipatan sprei di dalam almari. Secara acak, tanpa melihat warna ataupun motifnya. Membuatnya tak sengaja menarik tumpukan yang paling bawah, dan...
"Aaaah!" pekik Sandra. Merasa terdorong oleh tarikan kuatnya sendiri, hingga membuat tubuhnya oleng ke arah belakang, sebelum akhirnya terjatuh dan terjungkal di atas lantai. Menyingkapkan dress floral coklat selutut yang dipakainya.
"Maaf, maaf, Bos." Sama sekali tak mengetahui, mengenai terpampangnya kulit paha putih mulus yang sedari tadi tertutup rapi. Tampak nyata di pandangan Sean yang dia buat terpaku. Membeku di tempat.
"Diam!" titah tegas Sean. Menghentikan gerakan tubuh Sandra yang akan beranjak bangun.
Dentuman keras di jantung Sandra. Sama sekali tak berani menggerakkan tubuhnya sedikitpun, berusaha untuk mempertahankan posisi badannya yang tak nyaman."Diam!"Kata itu seolah menghipnotis pikiran Sandra, bersamaan dengan kalimat Aga, sang bodygoard dari bos besarnya ini kembali terngiang di telinga."Jangan pernah membantah apapun ucapan Bos Sean. Atau kamu akan menyesalinya." Pesan Aga menekankan.Memejamkan kedua mata Sandra dalam, sembari menundukkan kepalanya tak kalah dalamnya. Semoga lelaki di depannya ini tak beniat macam macam, "Kenapa harus jatuh dengan posisi begini, sih. Sial! benar benar sial!" batin Sandra, posisi yang tak baik untuk ia sekarang, beberapa kali membuatnya melirik ke arah kulit putihnya yang terbuka."Jangan berani bergerak!" kembali Sean memperingatkan.Sama sekali tak tak tahu tentang gejolak rasa di dada Sandra. Jantungnya bertalu talu tak karuan. Takut, cemas, dan juga....malu."Angkat kepalamu itu, kenapa menunduk seperti itu?" kembali suara Sean t
“Jangan menggerakkan bagian tubuh kamu sedikitpun, Sandra. “Oke? atau aku akan,” lanjutnya menggantung, kini mengulaskan senyuman seringainya, sedikit mencondongkan kepalanya ke telinga Sandra. “Atau kamu akan menyesalinya.” Sean kembali berbisik.Membiarkan harum napas hangatnya menerpa kulit telinga asisten pribadi barunya, kian meremangkan tubuh Sandra diantara ketakutannya yang medera.“Kamu paham?” masih Sean yang bersuara. Kembali memandang Sandra dengan tatapan tegasnya, menganggukkan perlahan kepala asisten pribadinya.“Iy-iya.” jawab Sandra terbata, membuatnya menahan napas. Hatinya takut sekali. Sama sekali tak berani melawan ataupun membantah, demi untuk keselamatan nyawa yang harus dia jaga.Seiring dengan bergeraknya jari telunjuk Sean di atas bibir Sandra. Entah kenapa kini ia dibuat tertarik oleh keranuman bibir milik Sandra. Merah merona. Alami dan pastinya..."Shit!" umpat Sean. Kian mempercepat debaran di jantungnya. Hatinya berdebar? “Ada apa ini? Kenapa jadi berdeb
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
Membulatnya kedua mata Sandra. Sambil membekap mulutnya segera, bagaimana bisa ia tetap banyak tanya setelah diancam oleh Sean?"Mak-maksud saya."Tiga menit.Waktu kamu untuk bersiap siap nggak boleh lebih dari tiga menit." dinginnya ucapan Sean.Kian menghenyakkan hati Sandra yang semakin dia buat tertekan"Tiga menit?" batin Sandra. Ia tak lagi berani berkata ataupun bertanya."Lebih dari satu detik saja. Siap siap terima hukumannya."Membulatkan kedua mata Sandra, ia masih saja diam dan tak lagi berani bersuara. "Astaga Tuhan, tolonglah hambamu ini." Cepatnya dentuman di jantung Sandra. Benar benar dibuat tertekan oleh pekerjaan yang awalnya dia anggap enak namun ternyata mengancam nyawa. Sekali bicara, bisa saja ia mati sekarang juga.Sandra membeku, kenapa kedua kakinya ini tak mau dia ajak melangkah. Hanya membatu dan layaknya terpaku."Kenapa Diam?" Sean mengangkat salah satu alisnya?""Kan kamu yang menyuruhku diam? dan sekarang tanya kenapa aku diam?" batin Sandra, mana bera
Tersentaknya hati Sean, tertutup rapi di balik gurat wajah datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya segera dan tak jadi menyentuh rok asisten pribadinya. "Bo-bos mau ngapain saya?" kembali Sandra bertanya. Diantara gemuruhnya rasa. degupan di jantungnya pun sudah bertalu talu tak karuan. "Aku? ngapain?" Sean mengangkat salah satu alisnya. Menganggukkan cepat kepala Sandra. "Iya. Bos mau ngapain?" sambil menutupi rok yang dia pakai menggunakan kedua tangan. Sandra memberingsut mundur ke arah belakang, menjauhi Sean. "Nggak ngapa ngapain." Masih dengan suara datarnya, Sean melemparkan begitu saja minyak kayu putih ke atas ranjang, ikut mengalihkan pandangan Sandra. "Sudah bangun kan? ayo berdiri." Titah Sean. Ia kemudian berdiri, kembali menolehkan kepala Sandra ke arahnya. Tanpa penjelasan tentang niatnya yang ingin membantu menyadarkan Sandra. Kini Sean berkacak pinggang, menatap tajam Sandra yang segera berdiri, menghadapnya. "Tadi itu apa?" tanya Sandra, memberanikan diri untu
“Ngapain kamu?” protes Sean. Menghentikan cepat gerakan tangan Aga yang akan menyingkap rok Sandra. “Ini Bos.” Ragunya jawaban Aga. Menunjukkan minyak kayu putih di tangan, selepas membalurkan minyak tersebut di telapak kaki, juga tangan Sandra. “Kenapa minyak itu?” Sean mengedikkan kepala. "Mau di balurkan disana," jawab Aga, sambil menunjuk perut wanita yang tengah pingsan di depannya. “Mau kamu balurkan ke perutnya?” tersentaknya hati Sean, membulatkan mata. “Iya, Bos.” Aga pun membenarkan. Mencebikkan bibir Sean, meyaut begitu saja minyak kayu putih di tangan Aga. “Mau kamu buka itu rok dia? Terus kamu lihat bagian dalamnya?” sengitnya suara Sean. Mempercepat degupan di jantung Aga.“Itu Bos," bingung Aga. "Itu apa?" kejar Sean. "Itu yang buat saya ragu," jawab Aga. Tak ingin dianggap melakukan pelecehan kepada wanita yang tak sadar. "Keluar sana," usir Sean. "Kemana Bos," pertanyaan bodoh Aga, kemudian menganggukkan kepalanya pelan, melihat dinginnya kedua sorot mata S
"Ah! Suara pekikan Sandra yang tersentak. Terkena cipratan kopi tepat dibagian dadanya. Akibat gerakan tak hati hati dari tangannya sendiri. "Panas!" Sandra meritih.Bersamaaan dengan berdirinya Sean, mengambil alih cepat nampan dari tangan Asisten barunya yang sedang mengibas ngibaskan baju di bagian depan."Lap sama tisu," reflek Sean. Menghilangkan sikap tenangnya seketika, mengarahkan tiga lembar tisu yang baru saja diambilnya ke dada Sandra."Aaah!" pekik spontan Sandra memundurkan langkahnya. Akibat kondisi hatinya yang tersentak, menerima sentuhan Sean di buah dadanya."Ng-ngapain Anda?" semakin kencang sekali degupan di jantung Sandra, kian bertalu tak karuan. "Kenapa Anda menyentuh itu saya?" entah apa yang terjadi di dirinya sekarang. Berani sekali ia melayangkan protesnya."Itu?" gumam Sean, mengerutkan keningnya."Ini!" Sandra menunjuk dadanya sendiri."Buah dada?" sahut Sean. Mengartikan kalimat 'itu' Sandra dengan begitu entengnya. Sama sekali tak mempertimbangkan ras
Memejamnya kedua mata Sean. Menghindari muncratnya darah merah segar dari dahi penyusup yang berhasil dia lumpuhkan. Roboh seketika."Aisss," gumamnya lirih. Memasang wajah jengahnya, sembari mengusap muncratan darah di pipi dan juga hidungnya. "Tikus satu ini ya," gumamnya kesal. "Apa kamu nggak tahu gimana perihnya punggungku ini kalau dibuat mandi?" sungguh ingin sekali kembali menembak tepat di jantung pria pengganggunya yang telah kehilangan nyawa.Namun dia urungkan. Lebih memilih untuk mempertahankan sisa empat peluru di dalam pistol revolvernya, daripada harus membuangnya begitu saja ke tubuh penyusup yang begitu sangat tak disukainya.Sama sekali tak mengetahui tentang gemetarnya tubuh Sandra di dalam dapur. Ia masih menutup telinganya takut, sembari duduk berjongkok di bawah meja tempat dia meletakkan kopi untuk Bosnya. Akibat terdengarnya suara tembakkan, memekakkan telinga."Apa itu tadi?" gumam Sandra. Masih belum berani menurunkan bekapan tangan di telinga, mengedar
"Sandra!" "Sa-saya, Bos." Menegakkan kepalanya cepat, menurunkan tangannya tak kalah cepat. "Buatkan aku secangkir kopi," "Baik Bos." Seiring dengan ayunan langkah kaki Sean, masuk ke dalam kamar mandi. Kembali menciptakan helaan napas lega di bibir Sandra yang terdiam, sudah mulai bisa mengendalikan degupan di jantungnya yang telah berangsur normal. Meluruhkan tubuhnya perlahan, akan duduk berjongkok di atas dinginnya lantai kamar. Sedangkan Sean yang terdiam. Tampak menghela napasnya pelan tepat di samping bathup marmer hitam mengkilat. Tak kunjung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalamnya, sedikit menggerakkan bahunya perlahan, menikmati tiap tarikan di ototnya. "Lucu." Gumam Sean tersenyum tipis. Sambil memegangi salah satu lengannya yang tak nyaman. Entah kenapa tak bisa melupakan gurat wajah polos Sandra yang memucat dan tampak ketakutan. Hanya karena sentakan, juga ketegasannya di dalam berbicara. Membuatnya tak sengaja mengulaskan senyuman di bibirnya. "Shit!" umpa
Cepatnya degupan di jantung Sandra. Selepas membulatkan kedua matanya sempurna, namun kini harus dibuat memberingsut mundur oleh nyalangnya tatapan tajam milik Sean yang telah menegakkan kepala."Ke-kenapa saya harus membuka kancing kemeja Anda?" tanya Sandra terbata. Memberanikan diri demi untuk sebuah harga diri yang harus dia jaga. Bagaimana bisa ia dititahkan oleh Bos galaknya ini membuka kemeja?Bukankah itu artinya ia akan melihat Sean bertelanjang dada? terhenyak sudah hatinya Sandra. Antara takut dan juga tak terima, bercampur menjadi satu hingga menciptakan sebuah gejolak rasa di dalam dada."Kamu menolaknya?" sengit Sean."Saya bukan istri Anda. Jadi saya nggak pantas membuka kancing kemeja Anda," Berusaha untuk tetap bisa berdiri tegak di atas kakinya yang gemetar. Namun malah dibuat ketakutan oleh senyuman seringai yang tercipta di bibir Sean. Seram sekali."Klausul nomor sepuluh. Pihak kedua tidak diperbolehkan membantah apapun perintah dari Pihak pertama." Ucap Sean meng
"Jadi aku harus berangkat dan pulang jam berapa?" tanya Sandra. Sesaat sebelum dibuat terhenyak, ia tercekat, mendengar jawaban. "Menginap disini. Hari sabtu siang setelah memastikan keperluan Bos Sean tersedia kamu boleh pulang, dan harus kembali lagi di hari minggu sebelum pukul dua belas siang." "Peraturan apa itu?" sahut Sandra. Sungguh hatinya tak menyangka. "Dan gaji kamu akan dinaikkan dua kali lipat. Menjadi dua puluh juta di setiap bulannya." *** Ayunan langkah gontai Sandra. Baru saja memasuki kembali pintu kamar Sean yang dia buka, segera dia tutup kembali agar bisa meluruhkan tubuhnya segera di atas lantai. Sebentar saja. Agar bisa sedikit saja menguraikan ketakutan yang mendera. Sungguh tubuhnya masih lemas, ditekan kuat oleh tingginya nada suara sentakan dari Sean. Juga tatapan tajam yang selalu menghujamnya, dan terlebih lagi berubahnya jam kerja secara tiba tiba. Bagaimana bisa seperti ini? ia tak memiliki jam pulang kerja setiap harinya? dan baru boleh pulang d
Rasa lemas dan juga lunglai menguasai tubuh Sandra. Menghilangkan seketika rasa semangat yang tadinya sempat membara, disaat memiliki harapan yang begitu sangat besar. Bahwa ia akan mendapatkan penghasilan besar, yang akan bisa dia gunakan untuk biaya pengobatan sang ibu angkat. Namun kini menguap begitu saja. Asa menghilang bersamaan dengan datangnya ketakutan terhadap Sean. Bos barunya yang begitu sangat menakutkan. Menekan dengan suara keras dan juga lantang, hingga membuatnya tak nyaman. Ingin sekali keluar untuk mencari pekerjaan baru yang bisa membuat hatinya tenang. “Ingat,” lemah Sandra, selepas membaca salah satu klausul di dalam surat perjanjian pekerjaan yang kini sedang dia buka. Bahwa ia, tak boleh keluar ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan selama satu tahun ke depan. Atau dia harus mengganti rugi, membayar denda senilai sepuluh kali lipat dari total penghasilannya dalam satu tahun. Dimana tiap bulannya dia akan mendapatkan gaji sebesar sepuluh juta rupiah. 10 kal