"Hei kalian berdua!!" Jari telunjuk laki-laki paruh baya itu menuding ke arah pasangan pengantin, "Bisa-bisanya kalian tertawa senang sementara anakku baru saja meninggal! Bisa-bisanya kalian mengadakan pesta semewah ini padahal keluarga kita sedang berduka! Ya Tuhan, bahkan tanah kuburan anakku saja belum kering, Angela!!"
Angela yang tengah sibuk mengendalikan pikirannya seketika roboh. Ia mengangkat gaunnya, hendak berjalan turun menghampiri laki-laki itu tapi dicegah oleh Sebastian. Tangannya dengan cepat memegang lengan Angela, menatapnya tajam,
"Kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya, bukan?! Jangan kemana-mana, tetap disini!"Angela jelas menolak, dalam hatinya berteriak, "Kamu tidak ada hak untuk mengaturku!" perasaannya terasa teriris melihat laki-laki paruh baya yang dihormatinya terlihat sangat kacau. Ia berusaha melepaskan pegangan tangan Sebastian namun seketika tubuhnya dipaksa menurut saat mendengar bisikan Sebastian di telinganya.
"Jangan kamu kira aku sudi menyentuhmu seperti ini! Kalau kamu mau mempermalukan ayahmu dan menjadikannya sebagai bahan bulan-bulanan media massa, silahkan turun! Lakukan semaumu!"Suara tegas penuh penekanan Sebastian bagai tembakan peringatan yang melengking di telinga Angela. Seakan memaksa Angela segera menyadari apa yang sedang terjadi saat ini. Manik mata indahnya segera menyampaikan info pada otaknya agar segera menyesuaikan diri dan kembali berpura-pura menjadi pasangan pengantin yang bahagia.
Ada setidaknya 1000 tamu undangan yang memenuhi ruangan luas tersebut. Beberapa dari mereka merupakan menteri dan pejabat negara. Banyak dari mereka mengagumi betapa sempurnanya pasangan pengantin yang sedang berada di atas altar.
Sebastian Evan Sanders, anak laki-laki dan satu-satunya pasangan Andrian Yova Sanders dan Sarah Sanders. Dengan tinggi badan 190 cm, paras sempurna perpaduan Canada dan Paris menghasilkan visual yang luar biasa.
Sementara sang pengantin wanita, Angela Sasha, Siapa yang tidak mengenal Angela Sasha? Seorang influencer, model dan juga Duta nasional Unicef Canada. Ia juga merupakan anak dari Ketua Yayasan Future Foundation, Yayasan yang dikelola ayahnya berfokus pada kegiatan sosial dan pendidikan terutama bagi anak-anak di pinggir jalan. Kegiatan lain yang dilakukan Yayasan ini juga berfokus pada partisipasi pembangunan sarana dan prasarana pendidikan akibat bencana alam.
Di tengah pesta meriah yang sedang berlangsung, seorang laki-laki yang berjalan sempoyongan nampak kontras dengan gemerlap sorot lampu pesta. Ia berjalan ke arah altar lalu tertawa keras. Suara tawanya yang menggelegar seketika membuat suasana hening, semua tatapan para tamu undangan berpusat padanya.
Beberapa saling berbisik, menebak siapakah laki-laki itu. Ia tidak mungkin kekasih Angela karena dilihat dari penampilannya, usianya sudah mendekati kepala enam. Terlalu tua untuk disebut sebagai kekasih Angela.
Lalu, siapa orang itu?
Saat seluruh pandangan mata mengarah padanya, laki-laki itu mengucapkan kalimat kedua yang membuat seluruh tamu memandang tak percaya ke arah pasangan pengantin diatas pelaminan.
"Hahahha....! Ini gilaa!! Hey, Angela! Calon suamimu baru saja meninggal dan kamu masih bisa tersenyum?! Dasar perempuan jalang!! Selama ini kamu menggerus harta anakku lalu sekarang kamu beralih pada kakaknya?!"
Matanya merah, rambutnya kacau dan setelan jas yang ia pakai nampak lusuh oleh air mata. Sekuat tenaga ia berontak saat dua laki-laki bertubuh kekar itu mengangkat tubuhnya menuju pintu keluar.
Sebastian yang awalnya masih cukup tenang menyalami tamu yang hendak berpamitan, kini menghela nafas kesal. Ia merangkul pundak Angela lalu membimbingnya untuk masuk ke ruangan yang disiapkan khusus untuk Angela beristirahat, ia bermaksud menyelamatkannya dari jepretan kamera yang menyilaukan mata.
Namun Angela mengeraskan tubuhnya, ia menolak mengikuti Sebastian. Matanya sudah memerah, air matanya hampir jatuh.Sial! Ini bisa menjadi bahan pembicaraan selama tiga bulan kedepan!
Kedua bibir Sebastian yang memasang senyuman sempurna nampak kontras dengan kalimat yang ia bisikkan pada Angela,
"Kendalikan ekspresi wajahmu! Astaga, apa kamu tidak menyadari bagaimana situasi kita saat ini?"Angela mengepalkan tangannya kuat, berusaha menahan segala rasa sakit dalam hati yang ternyata belum terobati.
Dengan cepat ia mengganti ekspresi wajahnya lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Sebastian, "Tutup mulutmu! Aku tahu apa yang harus kulakukan!"Melihat Angela menurut, bibir merah Sebastian tersenyum puas. Kalimat kasar Angela tidak terlalu ia pedulikan. Fokusnya saat ini adalah mengatasi keadaan yang menunggu untuk dibereskan.
Dengan wajah tanpa ekspresi ia memberikan kode lewat gerakan tangannya kepada para penjaga keamanan. Dengan sigap dua orang bertubuh kekar mengangguk lalu berlari ke arah laki-laki setengah baya yang masih berbicara tidak beraturan.
Sebastian bergerak cepat. Ia tidak bisa membiarkan begitu saja keadaan menjadi tidak terkendali. Mentalnya sudah sangat terbiasa menghadapi situasi yang tidak terduga seperti ini. Dengan penuh percaya diri, ia berjalan ke atas panggung lalu dengan gerakan tangan meminta suara musik di hentikan. Lagipula siapa juga yang masih bisa menikmati alunan musik saat ada tontonan yang lebih menarik di depan mereka?
Pandangan matanya memberikan kode kepada dua bodyguard untuk segera menyeret laki-laki paruh baya itu pergi. Dalam hati, ia berjanji akan membuat perhitungan dengan dua penjaga tidak berguna itu!
"Selamat siang, Bapak Ibu para tamu undangan. Mohon maaf jika kejadian tadi mengganggu kenyamanan kita bersama. Dengan berat hati saya sampaikan, keluarga besar kami memang sedang berduka. Anak dari Paman saya, yang baru saja Bapak Ibu lihat tadi, baru saja meninggal dunia tujuh hari lalu."
Terdengar suara gumaman dari para tamu undangan. Raut wajah mereka tampak terkejut dan menunjukkan ekspresi duka. Walau tentu saja, lewat sedikit saja pandangan mata, Sebastian sangat mengetahui bahwa kejadian ini adalah bahan empuk untuk dijadikan bantalan pembicaraan yang mengasyikkan bagi mereka.
Sebastian tersenyum, sorot matanya yang tajam mampu membuat seketika suasana kembali hening, mempersilahkan ia untuk melanjutkan kalimatnya.
"Tentu tidak ada yang dapat mengatur kematian, bukan? Kematian yang begitu tiba-tiba mengejutkan kami sekeluarga besar. Bagaimana ini? Apakah kami yang harus disalahkan atas kematian mendadak seseorang?" Ia kembali menghentikan kalimatnya, sekedar melihat bagaimana respon para tamu undangan. Bibirnya tersenyum puas saat melihat dengan jelas banyak sorotan kamera dari berbagai stasiun televisi dan juga media massa online yang menyorotnya. Dengan cepat ia mengubah ekspresi wajah.
"Kepada Paman kami, Ferdinand Sanders, kami mohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan yang mungkin tidak kami sadari. Tidak mungkin Om Ferdinand sengaja datang kesini dengan sadar mengacaukan pesta pernikahan yang kita tunggu bersama-sama," Sebastian mengusap air mata yang menetes di pipinya. Ia tertunduk sesaat, membiarkan jepretan kamera menangkap momen yang pas.Selang tiga detik, Sebastian kembali mengangkat wajahnya, "Karena walau bagaimanapun, Mendiang Garvin Reviano Agler, adalah adik sepupu yang sangat saya cintai. Saya sangat merasa kehilangan, kami semua merasa kehilangan. Oleh karena itu saya meminta kepada Bapak Ibu mohon jangan memvonis Paman kami dengan dugaan tidak berdasar. Semua orang tua akan terasa kehilangan dunianya bersamaan dengan kehilangan seorang anak yang dicintainya.""Dan untuk istri saya, Angela Sasha. Siapapun yang mengganggunya, mulai sekarang akan berhadapan dengan saya. Saya siap pasang badan untuk setiap hujatan atau bahkan ucapan miring yang tidak berdasar terhadap istri saya, dalam bentuk apapun itu."Sebastian mengalihkan pandangannya pada Angela, berharap sedikit saja melihat senyumannya. Namun ia hanya bisa menelan kecewa saat ia kembali melihat tatapan yang sama selama tujuh hari pernikahan mereka, tatapan kebencian bercampur luka.
Saat hendak mengakhiri kalimatnya, seorang pria yang mengalungi name tag sebagai jurnalis dari sebuah media online mengangkat tangannya, "Maaf, Tuan Sebastian. Apakah yang disampaikan paman anda tadi benar bahwa calon suami istri anda yang ia maksud adalah anaknya sekaligus adik sepupu anda sendiri?"
Sebastian tersenyum, pertanyaan ini yang ia tunggu. Ia muak dihujani tatapan juga tulisan banyak orang yang yang merasa paling tahu kehidupan mereka di dunia maya.
"Jika ada saudara kalian, yang menjelang akhir hayatnya, memohon agar kalian menikahi dan menitipkan seseorang yang ia sayangi, apakah akan kalian tolak? Sanggupkah kalian menolaknya?"
Wajah jurnalist itu nampak belum puas. Ia masih hendak mengajukan pertanyaan namun seketika bungkam saat dengan tegas Angela maju ke atas panggung lalu mengamit lengan Sebastian sambil berkata dengan intonasi yang sangat terjaga.
“Apa maksud anda saya harus melajang selama sisa hidup saya, Mr. Chriss?”
“Tapi menurut paman anda...”
“Saya mencintai mendiang Garvin.” Dengan cepat Angela memotong pembicaraan laki-laki berwajah pucat tersebut, “Calon suami saya yang dengan tiba-tiba meninggal di sepuluh menit sebelum pernikahan kami berlangsung. Karena saya mencintai Garvin, maka saya harus melaksanakan permintaan terakhir dari mendiang. Maaf, Mr Chriss, jika anda menuntut tangisan atau ungkapan kesedihan, maka anda akan harus menelan kecewa karena saya tidak akan pernah menampakkan semua itu di depan jurnalist seperti anda.”
Angela membuang gaun pengantin yang tadi ia pakai ke atas kasur. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Ia muak terhadap semua kepalsuan yang harus ia tunjukkan. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Bukan tangisan kesedihan yang ia ratapi, tapi kepanikan dan kebodohan yang telah ia lakukan. Hatinya sibuk berteriak menyesali keputusan terbodoh yang pernah ia buat. Ya, menikah dengan Sebastian bagaikan menggali kuburannya sendiri. Ia dengan bodohnya memancing dewi kematian menghantuinya setiap hari. Apa yang sudah kamu lakukan, Angela?!! Angela menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan tidak peduli jika ada orang lain yang mendengar jeritannya. Ia tidak peduli prasangka apa yang akan melekat padanya setelah acara resepsi hari ini. Ia mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ia baik-baik saja namun nyatanya, ia sangat bersukur sampai saat ini pikirannya tidak menjadi gila. Ia hanya ingin lari dari kepedihan dan rasa sesak yang menyiksanya. Sorot matanya menatap sendu telapak tangann
"Aku mohon, penuhi janjimu, Sebastian!" Sebastian menarik rambutnya kasar, ia berjalan mondar mandir di depan seorang laki-laki yang sedang kesulitan mengatur nafasnya,"Kamu gila, Garvin! Bagaimana mungkin aku menikahi kekasihmu? Apalagi kamu adalah adik sepupuku!" Garvin memejamkan matanya, berusaha mengatasi rasa sakit yang teramat sangat di dadanya. Namun ketika mengingat nama Angela, ia membuka matanya lalu berkata pelan, "Bukankah kamu sudah berjanji padaku akan menjaga Angela setelah aku pergi?" "Ya! Tapi maksudku bukan untuk menikahinya, Garvin!" Tanpa sadar Sebastian mengeraskan suaranya, membuat ia dengan cepat menyesali kesalahannya lalu mendekati Garvin, "I'm so sorry, Garvin. Tapi kamu tahu, Angela sangat membenciku. Dia tidak mungkin mau menikah denganku." Garvin tersenyum, "Bukankah hubungan kalian mulai membaik akhir-akhir ini? Angela bahkan sudah beberapa kali menegurmu terlebih dahulu." "Kamu benar, tapi... dia tetap tidak menyukai aku." Perasaan takut dan sakit
Angela menepikan mobil sedan Lexus GS F miliknya di pinggir kawasan Chinatown. Letaknya berada di pusat Pender Street, dikelilingi oleh Gaston dan Kawasan pusat bisnis dan keuangan. Dengan sangat hati-hati Angela menutup pintu mobil. Sebenarnya mobil ini bukan miliknya, namun Sebastian bersikeras agar ia memakai mobil pemberiannya ini kemanapun ia pergi. Angela tidak punya pilihan, mobil yang ia beli dengan jerih payahnya harus ia relakan sesaat setelah ia resmi menikah dengan Sebastian. Ia yang tidak mempunyai celah untuk membela diri, dengan bodohnya harus merelakan uang hasil jerih payahnya membeli mobil sedan BMW i8 coupe hybrid jatuh begitu saja ke tangan adiknya Lavenska. Bukan hanya mobil, tapi rumah, beauty studio dan juga butik kecil miliknya. Semua yang ia punya. Angela menggelengkan kepalanya kuat, Tidak... Lavenska bukan adiknya. Ia tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun dengan wanita itu. Kehadiran Lavenska dan Ibunya membuat hari di dalam hidupnya mendadak gelap, ta
Sebastian segera menyambar kunci mobilnya. Ia merutuki dirinya yang telah membiarkan Angela pergi keluar sendirian sedangkan ia tahu, kondisi psikis Angela sedang tidak baik-baik saja. "Tuan, Zoe baru saja mengirimkan lokasi hotel." Edward, orang kepercayaan Sebastian berjalan mensejajari langkah Tuannya. "Bawa mobilnya kedepan!" Edward mengangguk cepat. Ia segera mengambil kunci mobil yang diserahkan tuannya dan segera berlari ke arah basement. Jari kokoh Sebastian menekan handsfree di telinganya, "Hey, jangan lakukan pergerakan apapun! Tunggu aba-aba dariku! Kau dengar?!" Laki-laki di seberang sana tidak melepaskan tatapannya dari kamar nomor 708, ia berbisik pelan menahan rasa takut pada Tuannya, "T-tapi Tuan... mereka sudah lima menit yang lalu di dalam. Apa Nona Angela baik-baik saja?" "Ah, sial!!" Teriak Sebastian kesal. Ia terdiam sesaat, "Panggil dua orang lain. Tunggu aku di depan kamar!" Mobil Land Cruiser VX-R berhenti tepat di depan teras rumah mewah Sebastian. Seten
Sebastian membanting tubuhnya ke atas tempat tidur berukuran Queen Size. Ia baru bisa bernafas lega setelah memastikan karyawan wanita itu telah memakaikan kembali pakaian Angela dan membawanya ke tempat tidur dirumahnya.Ia juga sudah memerintahkan pelayan wanita untuk memakaikan Angela piyama dan membersihkan wajahnya dari sisa makeup yang masih menempel di wajahnya. Sebastian sangat mengerti, wajah Angela adalah hal yang paling penting baginya.Kejadian tadi sampai saat ini membuat detak jantungnya masih tidak beraturan. Saat pandangan matanya bertindak bodoh dengan tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.Lihat akibat dari perbuatanmu, Angela!Ya, berkat mata kurang ajar ini, sampai sekarang sesuatu dibawah sana masih mengejeknya dengan tetap tegak berdiri, tidak turun walau sedikitpun. Mengejek ketidakmampuannya mengendalikan istrinya sendiri.Mengingat kejadian tadi membuat emosinya naik kembali. Kemarahan sekaligus hasrat yang menging
Angela mengerjapkan matanya perlahan, mencoba beradaptasi dengan ruangan berlampu tidur temaram. Setelah matanya mulai terbiasa, ia bangkit dari posisi tidurnya dan duduk termenung, memandangi sekitar dengan bingung.Mengapa aku ada disini?Seingatnya, dia sedang berada di klub, seseorang mengajaknya berbicara tapi ia tidak ingat siapa. Lalu bagaimana bisa ia tiba-tiba berada di kamarnya seperti ini?Tok! Tok!"Nona, anda ditunggu Tuan di ruang makan."Ah, aktivitas menjengkelkan ini lagi.Angela menyahut memberitahukan bahwa sebentar lagi ia akan turun.Saat ia bangkit berdiri, tubuhnya terhuyung. Kepalanya terasa sangat pusing, dunia terasa berputar saat kakinya berdiri menginjak lantai.Sial! Ada apa denganku?Ia memaksa bangkit kembali namun selanjutnya ia menyerah. Ia tahu, tubuhnya tidak mampu melayani keinginannya untuk dapat tegak berdiri.Saat baru saja memutuskan untuk kembali tidur, suara perutnya terdengar jelas. Sudut matanya melirik jam dinding dan menyadari ini sudah pu
"Apa?! Dia belum juga keluar dari kamar?!"Dua pelayan wanita itu menunduk ketakutan, mereka hanya takut jika tuannya salah mengira bahwa mereka sengaja membiarkan Angela tertidur hingga malam hari, padahal sudah tidak terhitung berapa kali mereka mengetuk pintu kamar Angela dan tidak ada sahutan darinya.Sebastian menarik dasinya, meregangkan lehernya yang tiba-tiba terasa tercekik. Niat untuk berendam air hangat sambil menikmati segelas wine seketika buyar. Tanpa mengganti bajunya, ia segera naik ke lantai tiga, tempat di mana kamarnya dan Angela berada.Tok! Tok!"Angela??"Tidak ada sahutan dari dalam."Hey, buat apa meminta pelayan mengantarkan makanan jika sama sekali tidak kamu sentuh? Merepotkan orang saja!"Ia sengaja memancing emosi Angela, berharap wanita itu menjawab ucapannya dengan kemarahan seperti biasa. Namun hingga beberapa detik berlalu, Angela tidak mengatakan apapun.Perasaan khawatir menyelimuti hati Sebastian. Ia segera merogoh kunci kamar Angela yang selalu dib
Sialan! Perempuan sialaaann!!Dorongan yang menggebu-gebu seketika menghilang. Menyisakan rasa sakit yang menyesakkan dada."Kenapa, Sayang?" tanya Angela dengan wajah polosnya. Ia tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba marah.Dengan hati-hati Sebastian mengangkat tubuh Angela lalu kembali membaringkannya ke atas tempat tidur."Mungkin aku sudah gila. Bisa-bisanya aku berharap lebih."Saat melihat pria itu membalikkan badan hendak pergi, Angela panik. Dengan cepat tangannya menyambar lengan Sebastian, mencegahnya pergi.Terdengar helaan nafas berat dari Sebastian, ia menoleh ke arah tangannya yang dipegang erat oleh Angela, "Sebaiknya kamu istirahat, Angela.""Temani aku, Garvin. Please..."Emosi Sebastian kian memuncak. Ia sangat muak mendengar nama Garvin. Dengan emosi yang meluap, ia membalikkan badannya, hendak memaki wanita yang ada di depannya. Namun saat matanya menatap manik mata berwarna coklat milik Angela, kemarahannya lenyap. Bagaimana mungkin ia tega memarahi wanita me
Angela membantu Sebastian mencuci peralatan makan dengan mesin cuci piring, lalu membersihkan dapur setelah mereka selesai makan. Angela tidak tahu apa yang tengah terjadi, Sebastian tiba-tiba mengajaknya berlibur ke villa dekat pantai dan menugaskan tidak ada satu pelayan pun yang ikut bersama mereka. Ini aneh, pikir Angela. Mereka terbiasa liburan ke villa tapi Sebastian tidak pernah meliburkan pelayan di villa. Apalagi, saat aku sedang hamil, pikir Angela. Tetapi ia menduga, mungkin Sebastian hanya ingin menghabiskan waktu berdua, benar-benar berdua dengan dirinya. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuannya dengan Mark dan pria itu jelas pembual yang ulung. Kurang dari dua puluh empat jam katanya? Huh, sudah berlalu tujuh hari dan Mark belum melaporkan apapun padanya. Pria itu bahkan terkesan menghindari dirinya. Telepon iseng itu memang sudah berhenti. Tapi Angela tidak menemukan ada satu pun pelayan yang menghilang atau diberhentikan. Semua berjalan seperti biasa. Seperti tidak
Diluar dugaan, Anna justru tertawa. Suara tawa keras yang membuat Edward bingung haruskah ia ikut tertawa atau hanya menunggu tawa Anna selesai.“Apa kau berharap aku mempercayaimu begitu saja?” tanya Anna sambil menepuk pundak Edward. “Kau tidak bisa membodohiku, Ed. Aku sudah melakukan segala upaya untuk mendapatkan dirimu tapi kau jelas-jelas menolakku. Lalu tiba-tiba, setelah tiga hari aku merawatmu saat kau sakit, kau datang padaku dan bilang bahwa kau mencintaiku?”Edward tidak mengatakan apapun. Untuk sesaat mereka hanya saling memandang berlama-lama, pandangan yang makin lama membuat nafas mereka sesak dan tak pelak lagi, pandangan itu membuat mereka bergairah.Edward mengambil langkah maju. Ia mencium lagi. Lebih lembut. Semesra mungkin. Anna tidak menolak, tidak melawan, tidak berusaha lari. Edward menggoda mulut Anna dengan kecupan-kecupan lembut, gigitan mesra, dan gelitikan kecil di lidahnya.Ketika Anna mendesah senang, Edward memanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke
“Kau jelas menyukainya, Mr. Harrison. Kau menyukainya lebih dari yang kau duga.”Edward terdiam. Cornelia benar. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya selama ini? Bagaimana mungkin orang lain bahkan lebih mengetahuinya dibandingkan dirinya sendiri?“Lalu, bagaimana perasaanmu melihat pemandangan itu?”Edward menatap wajah Cornellia bingung lalu mengikuti arah matanya. Kini ia melihat Alex, wanita yang menjadi alasan kehadirannya ke tempat ini, wanita itu membuat seolah matanya terhipnotis. Teman lelakinya, memojokkan Alex ke tikar, rok wanita itu tersingkap sehingga menampakkan pahanya yang langsing. Lalu tangan si lelaki menyelinap ke balik rok, mendekap bokong Alex.Mulut Cornelia menganga. “Aku tidak menyangka Alex seberani itu.”Edward kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin Alex yang polos dan ceria, yang bahkan Edward tidak menyangka usianya sudah dua puluhan, melakukan hal itu di tengah keramaian acara yang bertema keluarga seperti ini?“Aku tanya, bagaimana perasaanmu, Ed?”
Edward Harrison mengedarkan pandangannya ke lapangan tempat para pengunjung membentangkan selimut di tanah di depan panggung, dan asyik menikmati daging panggang sambil mendengarkan musik yang dibawakan band berirama country dan penyanyi lokal.Ia bertanya-tanya, dimana Alexandria di tengah lautan manusia ini. Ia tadi mengunjungi toko roti Alex dan menurut karyawannya, Alex menghadiri perayaan tanggal empat juli yang selalu diadakan setiap tahun di taman ini, jadilah Edward tahu gadis itu ada disini.Terlintas dalam benaknya untuk mengajak Alex datang bersamanya, tapi, itu sungguh perbuatan yang lancang. Ya, setelah apa yang dilakukannya pada gadis itu. Edward cukup tahu diri untuk tidak terlalu bertingkah meski tahu bahwa ia menguasai hati dan pikiran Alex.Banyak lelaki hari ini merasa iri padanya karena seorang wanita seksi, berambut panjang dan pirang dengan kedua tonjolan yang memukau di dadanya, duduk di sebelahnya. Ya, ia sengaja mengajak Cornellia Marshall, Asistennya di kanto
Callahan’s ramai oleh suara tamu mengobrol selama jam makan siang di rumah makan itu, sejak jam sebelas sampai jam dua selama hari kerja. Terletak di pusat kota, bangunan yang sudah di restorasi itu, yang dulu pernah dipakai sebagai toko obat pada awal tahun tiga puluhan hingga pertengahan tahun delapan puluhan.Mereka menempati lokasi yang sangat strategis untuk melayani kegiatan bisnis sehari-hari, termasuk karyawan pengadilan, perbankan serta para karyawan yang kantornya tersebar di segala penjuru kota. Pesaing mereka hanya rumah kana cepat saji yang melayani pengendara mobil, dan restoran kecil yang melayani roti isi.Jika seseorang ingin mengadakan rapat atau pertemuan sambil makan siang, Callahan’s-lah tempat yang paling nyaman.Ketika Angela tiba, pelayan mengantarkannya ke meja di belakang yang agak terpencil, di tempat Mark sudah menunggu. Mark, kepala keamanan rumah Sebastian dan Angela yang menggantikan posisi Zoe.Angela sengaja mengajak Mark bertemu di luar. Selain ia tid
Diluar dugaan, Anna mengantar Edward sampai ke depan pintu. Hal itu membuat Edward merasa, minimal ia harus mengundang wanita itu bertemu atau makan malam. Jika ia memang belum yakin dengan perasaannya, bukankah seharusnya ia membalas budi?“Bukankah banyak hal yang harus kau kerjakan, Ann?” tanya Edward. “Dan kau bisa tidak menunggu dan mengantarkanku seperti ini, lagipula...”“Jangan terlalu percaya diri, Ed.”Edward tergagap mendengar ucapan itu. Merasa malu tapi juga sekaligus membenarkan ucapan Anna. Ya, ada apa dengannya? Mengapa ia mengeluarkan kalimat sampah itu dari mulutnya?“Aku hanya terlambat karena mengerjakan beberapa hal tadi. Dan kebetulan waktu selesainya bersamaan dengan waktu kau keluar.”“Ya. Kau benar. Maafkan aku.”Pengecut. Anna mengumpat dirinya sendiri setelah ia mengatakan kalimat itu. Sistem pertahanan dirinya memang luar biasa. Entah ia harus bangga atau marah pada dirinya sendiri saat ini. Ia bangga karena mampu membuat wajah Edward memerah malu sekaligus
Sudah dua hari Edward hanya berada di atas tempat tidur. Dan sudah dua hari Anna melayaninya layaknya seorang pasien. Anna melakukannya secara profesional. Tidak ada candaan nakal atau celetukan yang membuatnya marah.Seharusnya hidup terasa damai, bukan? Tapi entah mengapa, sesuatu terasa hilang. Hambar.Ia benar-benar dilayani seperti orang yang asing bagi Anna. Pagi hari, ia akan masuk ke kamar, mengunjungi Edward, tersenyum dengan hanya bibir yang tertarik ke samping tanpa guratan. Kelihatan sekali sebenarnya ia tidak ingin tersenyum tapi ia memaksakan senyum itu keluar.Lalu kemudian ia akan memeriksa kondisi Edward, memeriksa infus lalu memastikan apa saja yang boleh Edward lakukan hari itu, kemudian ia akan berbicara dengan seorang perawat laki-laki di sampingnya lalu setelah itu ia pergi.Perawat itulah yang datang setiap dua puluh menit sekali, secara rutin memeriksa cairan infus Edward, lalu kondisinya secara keseluruhan. Sedangkan Anna, Ed tidak tahu kemana gadis itu pergi.
Dipenuhi ketidakpastian, Anna berhenti di ambang pintu kamar tamu di rumahnya. Terakhir kali melihat Edward di rumah ini, ia hanya berada di koridor antara ruang tamu dan ruang tengah rumahnya. Tapi kali ini, pria itu tergeletak tak berdaya di kamar tamu.Anna sengaja membawa Edward kerumahnya, bukan ke klinik pengobatan miliknya atau rumah sakit. Sudah menjadi kebiasaan bagi Sebastian, Edward ataupun beberapa orang di perusahaan untuk lebih memilih di rawat di rumah Anna daripada harus kerumah sakit atau klinik.Sekarang, berdiri disini merupakan sebuah momen yang canggung. Edward berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup, dengan selang infus yang menempel di tangannya. Terlihat sangat lemah, jauh dari keangkuhan dan sikap arogan yang sering ia tunjukkan.“Dia akan baik-baik saja,” gumam Anna pada dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya, meremas ujung gaun hitam yang ia pakai lalu menghela nafas panjang. Ia hanya takut ketika Edward bangun dan membuka mata, maka pria itu akan mar
Begitu Alex memusatkan perhatian kepada teman makan siangnya, senyum di wajah Edward lenyap. Pandangannya terpusat ke tempat pria di samping Alex yang dengan lancang memeluk pinggang gadis itu.Ingin benar ia menyeberang jalan, merebut Alex dari tangan pria itu, memanggilnya ke tempat yang menjamin privasi lalu mengatakan, “Kau sudah menemukan pria baru, Alexandria Porter?”Pada saat Alex dan pria itu menghilang masuk ke Callahan’s, Edward langsung menyebrang dan mengikuti mereka masuk ke dalam Restoran. Pelayan sedang mengantarkan pasangan itu menuju meja mereka ketika Edward duduk di bar.Ia dapat melihat mereka berdua dari tempatnya, karena area bar letaknya lebih tinggi sekitar satu meter daripada restoran. Ia memesan sekaleng kola dan memasukkan beberapa butir kacang ke dalam mulutnya, berusaha untuk bersikap seolah-olah tidak peduli.Edward melepaskan kaca mata hitamnya, memasukkannya ke dalam saku kaosnya, dan mengawasi pasangan yang berada di meja di pojok ruangan itu.Edward