William kembali ke rumah.
Pria itu kehilangan kata-kata sejak mendengar ucapan Tuan Xavier. Cukup lega karena Emily dalam keadaan baik-baik saja, tapi juga kesal. Emily baik, tapi dia lah yang menderita sendirian. Apakah sejak awal cuma dia seorang yang begitu menginginkan hubungan ini? Semakin memikirkannya, ia merasa terdorong dalam sebuah keputusan yang seolah mau tak mau memang harus melupakan Emily. “Emily, karena kau benar-benar bertekad meninggalkan ku, maka kau juga pasti lega, kan? Baiklah... kalau kau menginginkan semua ini, maka aku akan mengabulkannya.” Pada akhirnya, Wiliam memaksakan dirinya untuk perlahan melupakan Emily. Meski namanya dan Emily masih tetap tercatat sebagai suami istri sekalipun. Karena Emily tidak menyingung soal perceraian, artinya Emily juga belum ada niat untuk menikah atau menjalin hubungan dengan pria lain. Waktu terus berlalu, Emily dan William bertaruWilliam duduk berseberangan dengan seorang wanita berambut pirang bergelombang yang tanpa anggun dalam balutan gaun elegan berwarna merah anggur. Di hadapannya, Anastasia tersenyum bahagia sambil mengangkat gelas sampanye, matanya berbinar penuh antusias. “Hari ini aku sangat bahagia, Sayang. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk merayakan ulang tahunku,” ujar Anastasia dengan nada menggoda. William hanya tersenyum tipis, mengangkat gelasnya sekedarnya sebelum meneguk sampanye itu tanpa ekspresi. Matanya dingin, tidak ada sedikitpun kehangatan di sana. Kembali mengingatkan, Anastasia adalah gadis yang pernah diselamatkan William pada saat sedang berlibur bersama dengan Emily. Anastasia datang setelah beberapa bulan kepergian Emily. Secara tidak sengaja bertemu dengan William di sebuah acara besar. Anastasia adalah putri dari pengusaha yang cukup besar. Sejak pertemuan itu, Anastasia selalu mencari alasan untuk bisa bertemu dengan W
Emily melangkah keluar dari pesawat dengan perasaan campur aduk. Hawa negara tempat Ia lahir langsung menyambutnya, membawa serta kenangan yang telah berusaha ia kubur selama bertahun-tahun belakangan ini. Tangan kecil Elle menggenggam erat jari-jarinya, seolah tahu bahwa ibunya sedang tidak baik-baik saja. “Ibu, ada apa?” suara Elle terdengar samar dari balik maskernya. Emily tersenyum, mesti hatinya masih bergetar. “Tidak apa-apa, Sayang Ibu. Hanya sedikit lelah saja, kok.” Ia sudah mempersiapkan semuanya sebagai tindakan antisipasi. Gigi palsu untuk sedikit mengubah struktur wajahnya, kacamata bulat untuk menyamarkan ekspresinya, serta masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Ia bahkan memilih pakaian sederhana, tanpa riasan yang mencolok. Bukan karena ia paranoid, tapi karena ia tahu, di tempat ini, ada seseorang yang tidak boleh mengenalinya. Arthur, atasannya yang selalu bersika
Emily memeluk Elle erat di dalam selimut, berusaha mencari ketenangan dari kehangatan putrinya. Namun, pikirannya terus melayang ke kejadian di lobby hotel tadi. William... Emily menggigit bibirnya. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia telah berusaha sebisa mungkin untuk menghindari pria itu, menyembunyikan dirinya dan Elle dari masa lalu yang ingin disimpan rapat. Tapi kini, segalanya terasa begitu dekat lagi. Emily menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Dia tidak boleh panik. Dia akan menyelesaikan pekerjaan di sini secepat mungkin, lalu kembali. Tidak ada alasan untuk bertemu William lagi. Jika ia terus menghindar dan tetap fokus pada pekerjaannya, semuanya akan baik-baik saja. William sudah bisa hidup dengan tenang, tidak seharusnya Emily mengacaukan hubungan William dengan wanitanya yang sekarang. Menatap Elle yang tertidur pulas
Emily mengatur napasnya dengan hati-hati. Ia tidak boleh menunjukkan kegugupan atau kehilangan fokus di depan semua orang. Tangannya tetap berada di atas meja, jari-jarinya sedikit meremas lembaran desain, mencoba mencari pegangan untuk tetap tenang. Presiden direktur JB fashion masih berbicara dengan penuh semangat, menjelaskan detail konsep yang mereka inginkan. “Karena ini difokuskan untuk malam hari, aku harap kesan menonjol tapi tetap anggun, serta terjaga kesan mahalnya menjadi yang utama.” “Kesan sederhana, tapi aura mahalnya tidak bisa ditolak.” Emily mengangguk sesekali, mencatat poin-poin penting dalam pikirannya. Sementara itu, di sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Anastasia yang beberapa kali mengarah padanya, seolah mencoba mengenali sesuatu. Namun, Emily tetap mencoba untuk tenang dan menolak untuk menanggapi. Ar
Setelah makan malam itu, keesokan harinya, setiap hari, Emily dan Arthur datang ke kantor JB fashion untuk menyelesaikan proyek desain mereka. Emily benar-benar berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, mengabaikan segala kekhawatiran yang sempat menghantui pikirannya sejak bertemu dengan Anastasia. Meskipun Elle sudah tidak mau lagi menggunakan masker karena risih, Emily yakin tidak semudah itu orang bisa menebak Siapa ibu dan siapa Ayahnya. Tim desain JB fashion menyambut mereka dengan profesionalisme tinggi. Mereka berdiskusi panjang tentang konsep desain, memilih warna, pola, serta bahan terbaik yang akan digunakan. “Nona Rose, aku suka konsep yang kau buat untuk koleksi musim gugur ini. sepertinya gaun ini juga sangat cocok digunakan saat malam hari. Sangat klasik, tetapi tetap memiliki sentuhan modern,” ucap salah satu anggota tim JB fashion saat mengamati sketsa yang dibuat Emily. Emily pun te
“Elle... a–ayo kita pulang!” ucap Emily. Wanita itu menahan rasa gugup, membuat suaranya agar tidak terlalu mirip dengan suara Emily yang biasanya. William menajamkan matanya, menatap seorang wanita yang menggunakan masker dan juga kacamata bulat tebal di wajahnya. Ada perasaan familiar yang tidak bisa dielak. Anehnya, William juga merasakan jantungnya berdegup kencang. Suaranya mirip seperti Emily, matanya juga. Dengan ragu, Emily perlahan melangkahkan kakinya mendekati Elle. Meraih tangan putrinya itu, namun Elle dengan cepat menepisnya. “Tidak mau!” tegas Elle, dengan ekspresi khas anak-anak. “Aku mau di sini bersama Ayah. Aku tidak mau meninggalkan Ayah. Nanti, kalau Ayah kembali ke laut, aku tidak bisa bertemu Ayah lagi.” Seluruh tubuh Emily bergetar, namun sekuat tenaga dia tetap menahan dirinya. William terus mengarahkan tatapannya kepada Emily, matanya tidak bisa di
Anastasia tersenyum puas ketika William akhirnya menginjakkan kaki di apartemennya. Hari ini, ia tidak akan membiarkan William pergi begitu saja. Ia ingin memastikan bahwa pria itu tidak akan bisa menghindarinya lagi. “William, aku akan mandi sebentar. Anggap saja Ini rumahmu sendiri,” ujar Anastasia dengan nada menggoda sebelum masuk ke kamarnya. William hanya mengangguk tanpa ekspresi. Setelah pintu kamar tertutup, ia menghela napas pelan dan meraih ponselnya. Lemarinya bergerak cepat, membaca pesan dari Robert yang tengah mencari informasi tentang seorang wanita yang bernama Rose dan anak kecil tadi. Rose... Apakah dia Emily?Pikirannya masih penuh dengan kemungkinan itu. Hati kecilnya tidak bisa mengabaikan kecurigaan yang tumbuh sejak pertemuan dengan bocah kecil di depan kantor JB fashion tadi. Tidak lama kemudian, Anastasia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya terbungkus jubah mandi sutra berwarna merah, rambut basahnya dibi
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil, Elle benar-benar tidak berhenti cemberut. Emily merasa sangat bersalah, tapi juga cukup senang karena setidaknya Elle pernah melihat wajah Ayahnya secara langsung. “Sayang, berhentilah cemberut seperti itu. Ibu minta maaf, ya? Janji, nanti akan bertemu dengan ayah yang asli,” bujuk Emily. “Hump!” Elle melengos, lengannya terlipat di dadanya. Meskipun saat ini Elle sedang sangat kesal, Tapi anehnya bocah itu selalu saja terlihat imut dan lucu. “Sayang, tapi yang tadi itu bukan—”Elle pun memotong ucapan Emily. “Itu Ayah! Pokoknya, itu Ayahku.” Bocah itu benar-benar kukuh, jelas apapun yang Emily Katakan tidak akan pernah mau didengar. Emily pun memutuskan untuk tidak membahas soal itu lagi. “Ngomong-ngomong, kau harus bersiap juga, kita akan bertemu dengan nenek dan kakekmu, Elle,” ucap Emily. Elle masih enggan bicara dengan ibunya. Bebera
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek