Setelah makan malam itu, keesokan harinya, setiap hari, Emily dan Arthur datang ke kantor JB fashion untuk menyelesaikan proyek desain mereka.
Emily benar-benar berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, mengabaikan segala kekhawatiran yang sempat menghantui pikirannya sejak bertemu dengan Anastasia. Meskipun Elle sudah tidak mau lagi menggunakan masker karena risih, Emily yakin tidak semudah itu orang bisa menebak Siapa ibu dan siapa Ayahnya. Tim desain JB fashion menyambut mereka dengan profesionalisme tinggi. Mereka berdiskusi panjang tentang konsep desain, memilih warna, pola, serta bahan terbaik yang akan digunakan. “Nona Rose, aku suka konsep yang kau buat untuk koleksi musim gugur ini. sepertinya gaun ini juga sangat cocok digunakan saat malam hari. Sangat klasik, tetapi tetap memiliki sentuhan modern,” ucap salah satu anggota tim JB fashion saat mengamati sketsa yang dibuat Emily. Emily pun te“Elle... a–ayo kita pulang!” ucap Emily. Wanita itu menahan rasa gugup, membuat suaranya agar tidak terlalu mirip dengan suara Emily yang biasanya. William menajamkan matanya, menatap seorang wanita yang menggunakan masker dan juga kacamata bulat tebal di wajahnya. Ada perasaan familiar yang tidak bisa dielak. Anehnya, William juga merasakan jantungnya berdegup kencang. Suaranya mirip seperti Emily, matanya juga. Dengan ragu, Emily perlahan melangkahkan kakinya mendekati Elle. Meraih tangan putrinya itu, namun Elle dengan cepat menepisnya. “Tidak mau!” tegas Elle, dengan ekspresi khas anak-anak. “Aku mau di sini bersama Ayah. Aku tidak mau meninggalkan Ayah. Nanti, kalau Ayah kembali ke laut, aku tidak bisa bertemu Ayah lagi.” Seluruh tubuh Emily bergetar, namun sekuat tenaga dia tetap menahan dirinya. William terus mengarahkan tatapannya kepada Emily, matanya tidak bisa di
Anastasia tersenyum puas ketika William akhirnya menginjakkan kaki di apartemennya. Hari ini, ia tidak akan membiarkan William pergi begitu saja. Ia ingin memastikan bahwa pria itu tidak akan bisa menghindarinya lagi. “William, aku akan mandi sebentar. Anggap saja Ini rumahmu sendiri,” ujar Anastasia dengan nada menggoda sebelum masuk ke kamarnya. William hanya mengangguk tanpa ekspresi. Setelah pintu kamar tertutup, ia menghela napas pelan dan meraih ponselnya. Lemarinya bergerak cepat, membaca pesan dari Robert yang tengah mencari informasi tentang seorang wanita yang bernama Rose dan anak kecil tadi. Rose... Apakah dia Emily?Pikirannya masih penuh dengan kemungkinan itu. Hati kecilnya tidak bisa mengabaikan kecurigaan yang tumbuh sejak pertemuan dengan bocah kecil di depan kantor JB fashion tadi. Tidak lama kemudian, Anastasia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya terbungkus jubah mandi sutra berwarna merah, rambut basahnya dibi
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil, Elle benar-benar tidak berhenti cemberut. Emily merasa sangat bersalah, tapi juga cukup senang karena setidaknya Elle pernah melihat wajah Ayahnya secara langsung. “Sayang, berhentilah cemberut seperti itu. Ibu minta maaf, ya? Janji, nanti akan bertemu dengan ayah yang asli,” bujuk Emily. “Hump!” Elle melengos, lengannya terlipat di dadanya. Meskipun saat ini Elle sedang sangat kesal, Tapi anehnya bocah itu selalu saja terlihat imut dan lucu. “Sayang, tapi yang tadi itu bukan—”Elle pun memotong ucapan Emily. “Itu Ayah! Pokoknya, itu Ayahku.” Bocah itu benar-benar kukuh, jelas apapun yang Emily Katakan tidak akan pernah mau didengar. Emily pun memutuskan untuk tidak membahas soal itu lagi. “Ngomong-ngomong, kau harus bersiap juga, kita akan bertemu dengan nenek dan kakekmu, Elle,” ucap Emily. Elle masih enggan bicara dengan ibunya. Bebera
“Aku harap, tidak ada dari kalian yang memberitahu William soal ini,” ucap Emily, memohon. Julia, yang kala itu sedang memangku Elle yang sudah tertidur pun nampak bingung. “Memang kenapa? Apa sampai saat ini William belum tahu juga adanya Elle?” Emily tersenyum kelu. “Belum. Karena aku berencana hanya tinggal di sini beberapa Minggu saja, aku juga tidak ingin menimbulkan masalah baru. Lagi pula, William juga sudah ada pasangan. Takut juga kalau nanti William merebut Elle, dan akhirnya membuat hubungan William dan kekasihnya jadi tidak nyaman.” Johan dan Julia hanya bisa terdiam. Sean sejak tadi mendengarkan ucapan Emily dengan seksama. Ia merasa keberatan akan sesuatu. “Kau yakin William akan sejahat itu padamu? Setahuku, dia adalah orang yang paling menomorsatukan mu. Jangan terlalu jahat juga padanya, Emily.” Mendengar itu, Emily pun hanya bisa membuang napas yang terasa berat. “Kak, William baru saja menjalin hubungan deng
Emily datang ke kantor JB fashion pagi itu. Hari ini, dia merasa cukup tenang karena telah menitipkan Elle bersama kedua orang tuanya. Untuk sementara waktu, kedua orang tua Emily tinggal di mansion kosong milik Tuan Xavier sambil menjaga Elle, dan menghabiskan waktu bersama. “Rose!” panggil Arthur. Mendengar itu, Emily tentu saja sudah tahu siapa yang memanggilnya. Ia pun menoleh, lalu tersenyum. “Kau sudah datang juga?” Arthur tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Iya. Hari ini anakku agak rewel, pagi sekali sudah terus menghubungiku, memintaku cepat pulang. Yah... jadi aku makin bersemangat menyelesaikan pekerjaanku supaya bisa cepat pulang.” Emily terkekeh mendengarnya. Arthur memang adalah suami yang sangat menyayangi istrinya, sangat melindungi dan mencintai anaknya. “Ya. Aku juga ingin cepat kembali. Jadi, mari kita bekerja keras dengan kompak supaya pekerjaan kita cepat selesai!” ucap Emily
Pertanyaan William yang begitu tegas dan menuntut membuat Emily semakin gemetaran. Sungguh, gelapnya lift itu membuat Emily terselamatkan. “Kenapa kau diam saja?” tanya lagi William. “I–itu... sebenarnya, Saya pernah melihat artikel tentang Nona Anastasia dan juga anda di salah satu forum berita online. Maaf, cara Saya memanggil nama anda tadi agak keterlaluan. Tolong jangan tersinggung, Tuan William,” ucap Emily, kebohongannya begitu lancar keluar dari mulutnya meskipun pada awalnya sempat gugup dan ragu. William mengeraskan rahangnya. Alasan yang digunakan oleh wanita itu begitu tepat, sulit untuknya bisa mengelak. William pun hanya bisa membuang napas kasarnya. “Bukan hanya cara memanggilmu yang sedang aku permasalahkan sebenarnya. Hanya saja, suaramu, dan caramu berbicara itu mengingatkanku pada seseorang,” ujar William. Dibalik perkataannya barusan, jelas dia sedang menaburkan percikkan kepanikan.
Emily menghela napas tak percaya. Bodohnya, dia patuh saja masuk ke dalam mobil William. Melihat itu, William hanya tersenyum tipis. “Kau tinggal di mana?” tanya William. Emily ragu untuk menjawab. Kalau dia bilang di hotel sebelumnya dia tinggal, jelas saja jaraknya sangat dekat dari kantor JB fashion. Dia sudah terlanjur mengatakan kalau dia tinggal jauh tadi. Jelas tidak mungkin memberitahu kalau dia tinggal di mansion Tuan Xavier. Ah, sialan! “Aku... aku tinggal di jalan A. Antarkan saja ke jalan itu, Tuan Wilson. Tempat saya tinggal tidak jauh dari sana,” jawab Emily cepat, namun kebohongannya bisa dengan mudah disadari oleh Wiliam. William menghela napas. “Nona Rose, sepertinya anda perlu memahami ku. Aku adalah orang yang totalitas saat bertindak. Kalau aku sudah berniat mengantarkan mu pulang, bahkan setidaknya harus sampai di depan kamarmu.”
Emily memutuskan untuk menginap di hotel yang ada di jalan A. Bukan tanpa alasan, Emily merasa William mengantarkannya pulang pasti karena ingin tahu tempat tinggalnya. William memiliki banyak orang yang bisa bergerak Diam-diam. Merasa diikuti, Emily pun mengambil langkah yang mana membuatnya tidak bisa bertemu Elle malam ini. Sesampainya di kamar hotel, Emily langsung melepaskan kacamata dan masker yang menutupi wajahnya. Dia membuang napas kasarnya. “Untung saja tadi William tidak membuka maskerku. Aku tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan gigi palsu tadi.” Emily mengusap wajahnya dengan kasar. Sebenarnya, lelah sekali harus beraktivitas dengan kebohongan seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi? “Ck! Menggunakan gigi palsu seharian membuat mulutku pegal, kemarin sampai gusiku sedikit luka,” gumam Emily. Emily duduk di sisi tempat tidur
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek
Emily menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. William duduk di hadapannya dengan ekspresi dingin sambil memangku Elle. Bocah itu tidak mau jauh dari ayahnya. “Maaf. Aku hanya takut kau akan membawa Elle pergi dariku,” ucap Emily lagi. Dia sudah coba menjelaskan tadi, tapi tatapan tajam William membuatnya gugup. Emily mengangkat wajahnya, menatap William dan Elle. Hah...? Emily benar-benar keheranan, bagaimana bisa ayah dan anak itu berekspresi sama sambil menatapnya? Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, Kenapa mereka menjadi sangat kompak seperti itu? Akhhh! Emily merasa ngilu dadanya, dia cemburu. “Ayah kenapa tidak boleh membawaku? Aku juga mau ikut Ayah kok, Bu,” ujar Elle dengan ekspresi wajahnya yang polos. William tersenyum tipis, penuh kemenangan. Emily mencebikkan bibirnya, jelas dia merasa makin cemburu. “Baiklah, bisakah kau sebutkan
Emily perlahan berjalan mendekat. Ia pun berbaring di sisi lain tempat tidur. Lelah sekali, tubuhnya juga sakit semua. Tidak butuh waktu lama, Emily juga langsung terlelap. William membuka matanya. Dia menatap Elle dan Emily. Ia mulai membayangkan kehidupan seperti apa yang Emily dan Elle jalani selama ini. Bagaimana bisa Emily membesarkan Elle sendiri namun putrinya itu bisa mengenali Ayahnya bahkan saat tidak pernah bertemu sama sekali sebelumnya? “Setelah dipikirkan lagi, sepertinya, kau juga menjalani hari yang sulit, kan? Kenapa kau harus melakukan semua ini? Tapi... berkat kau pergi, aku pun makin sadar bahwa aku tidak pernah ingin membencimu walaupun aku bertekad. Emily, terimakasih sudah hidup dengan baik-baik saja selama ini. Terimakasih karena kau melahirkan anakku dengan baik dan membuatnya mengenaliku,” ucap William di dalam hatinya. Perlahan, ia pun meraih tangan Emily dan menggenggamnya.
Emily dan William sampai di mansion Tuan Xavier. Kedatangan mereka disambut oleh keluarga dengan ekspresi bingung. Julia dan Johan saling menatap dengan segala pemikiran mereka. Sean membuang napas kasarnya saat melihat Emily dan William di depan pintu. “Sudah kubilang, Emily itu tidak berprinsip. Jauh-jauh dia pergi sampai empat tahun lebih, akhirnya kembali ke William juga, kan?”“Diam! Siapa yang tidak berprinsip?!” kesal Emily. “Aku cuma... dipaksa William saja! Aku juga bukan perempuan yang mudah seperti yang Kakak pikirkan.”Sean tersenyum, menaikkan satu sisi bibirnya. “Ah, lalat sekarat saja tidak mungkin percaya ucapan mu, Emily.”Julia menyikut Sean, melotot, meminta kepada Sean untuk menutup mulutnya. Emily merengut kesal. Yah... apapun yang dia katakan mana mungkin mereka percaya?William menghela napasnya. “Kaki ku sudah pegal berdiri. Kapan kalian akan memberikan jalan untukku?”Mereka
“Ahhh!” pekik Emily. Ia terkejut saat William menggigit pundaknya. “Sakit, William!” Namun, pria itu tidak peduli. Rasa marah yang menggerogoti akal sehatnya membuatnya tidak tahu lagi harus melakukan apa selain melampiaskan hal itu. Benar, dia merindukan dengan amat sangat seorang Emily. Tapi, dia juga sangat marah dan kecewa karena Emily masih tidak ingin kembali padanya, masih ingin menghindar saat sudah berada di negara ini. Tidak cukup hanya dengan tindakan itu, William melakukan apapun yang ingin dia lakukan tanpa berpikir ulang. “William, tunggu! Kita harusnya bicara dulu, kenapa—” Emily ingin menghentikan William yang semakin kehilangan kendali. Namun, pria itu sengaja menutup telinga dan matanya. Srett!! Tanpa peduli apapun, William yang tidak sabaran karena emosi itu merobek pakaian yang digunakan Emily. Melepas roknya dengan kasar juga. Emily hanya bisa terdiam. Dia tidak ingin menghenti
Selama dalam perjalanan, tangan Emily mencengkram erat rok yang ia kenakan. Jantungnya berdegup cepat, sementara pikirannya dipenuhi ketakutan. Ia menelan ludah berkali-kali, mencoba menenangkan diri, tetapi gagal. “Tuan William, kita mau pergi ke mana?” tanyanya dengan suara bergetar. “Saya harus menemui anak Saya di rumah. Dia pasti sudah menunggu.” Bukannya menjawab, William justru menyeringai tipis, ekspresinya penuh dengan amarah yang tertahan. Tiba-tiba, dia membanting setir ke kanan, menghentikan mobil di jalan yang gelap dan sepi. Emily melotot kaget. Ia menoleh keluar jendela, menyadari bahwa tempat ini jauh dari keramaian. tidak ada kendaraan lain yang lewat. “Anda... Anda mau saya turun dari sini sekarang?” suaranya bergetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. William tidak menjawab. Sebagai gantinya, pria itu menatapnya lekat-lekat, tatapan tajam yang menusuk jantung Emily seperti belati ta
William sudah meraih kartu nama itu. Dia hendak bangkit, tapi matanya tidak sengaja terarah kan kepada Emily. Dug dug! Jantung William serasa copot. Saat itu, dia melihat Emily sedang menggunakan gigi palsunya. “Emily...” pikirnya. Seketika itu, William langsung bangkit. Anastasia tersenyum. Gadis itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada William. Dengan manja, dia memeluk lengan William dan bergelayut manja di sana. William mengepalkan tangannya. “Menjauh lah, Anastasia. Demi Tuhan... emosiku sedang sulit untuk di kontrol sekarang.” Mendengar itu, Anastasia terkejut. Ia pun menjauh dengan perasaan kecewa. Emily sudah bangkit, duduk dengan perasaan lega tanpa tahu apa yang barusan William lihat. Dia menarik piringnya untuk lebih dekat, mulai memakan sup abalon dengan daging ayam yang empuk, membuat gigi palsunya tidak perlu bekerja keras. Namun, dia