Anastasia tersenyum puas ketika William akhirnya menginjakkan kaki di apartemennya. Hari ini, ia tidak akan membiarkan William pergi begitu saja. Ia ingin memastikan bahwa pria itu tidak akan bisa menghindarinya lagi.
“William, aku akan mandi sebentar. Anggap saja Ini rumahmu sendiri,” ujar Anastasia dengan nada menggoda sebelum masuk ke kamarnya.William hanya mengangguk tanpa ekspresi. Setelah pintu kamar tertutup, ia menghela napas pelan dan meraih ponselnya. Lemarinya bergerak cepat, membaca pesan dari Robert yang tengah mencari informasi tentang seorang wanita yang bernama Rose dan anak kecil tadi.Rose... Apakah dia Emily?Pikirannya masih penuh dengan kemungkinan itu. Hati kecilnya tidak bisa mengabaikan kecurigaan yang tumbuh sejak pertemuan dengan bocah kecil di depan kantor JB fashion tadi.Tidak lama kemudian, Anastasia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya terbungkus jubah mandi sutra berwarna merah, rambut basahnya dibiSepanjang perjalanan, di dalam mobil, Elle benar-benar tidak berhenti cemberut. Emily merasa sangat bersalah, tapi juga cukup senang karena setidaknya Elle pernah melihat wajah Ayahnya secara langsung. “Sayang, berhentilah cemberut seperti itu. Ibu minta maaf, ya? Janji, nanti akan bertemu dengan ayah yang asli,” bujuk Emily. “Hump!” Elle melengos, lengannya terlipat di dadanya. Meskipun saat ini Elle sedang sangat kesal, Tapi anehnya bocah itu selalu saja terlihat imut dan lucu. “Sayang, tapi yang tadi itu bukan—”Elle pun memotong ucapan Emily. “Itu Ayah! Pokoknya, itu Ayahku.” Bocah itu benar-benar kukuh, jelas apapun yang Emily Katakan tidak akan pernah mau didengar. Emily pun memutuskan untuk tidak membahas soal itu lagi. “Ngomong-ngomong, kau harus bersiap juga, kita akan bertemu dengan nenek dan kakekmu, Elle,” ucap Emily. Elle masih enggan bicara dengan ibunya. Bebera
“Aku harap, tidak ada dari kalian yang memberitahu William soal ini,” ucap Emily, memohon. Julia, yang kala itu sedang memangku Elle yang sudah tertidur pun nampak bingung. “Memang kenapa? Apa sampai saat ini William belum tahu juga adanya Elle?” Emily tersenyum kelu. “Belum. Karena aku berencana hanya tinggal di sini beberapa Minggu saja, aku juga tidak ingin menimbulkan masalah baru. Lagi pula, William juga sudah ada pasangan. Takut juga kalau nanti William merebut Elle, dan akhirnya membuat hubungan William dan kekasihnya jadi tidak nyaman.” Johan dan Julia hanya bisa terdiam. Sean sejak tadi mendengarkan ucapan Emily dengan seksama. Ia merasa keberatan akan sesuatu. “Kau yakin William akan sejahat itu padamu? Setahuku, dia adalah orang yang paling menomorsatukan mu. Jangan terlalu jahat juga padanya, Emily.” Mendengar itu, Emily pun hanya bisa membuang napas yang terasa berat. “Kak, William baru saja menjalin hubungan deng
Emily datang ke kantor JB fashion pagi itu. Hari ini, dia merasa cukup tenang karena telah menitipkan Elle bersama kedua orang tuanya. Untuk sementara waktu, kedua orang tua Emily tinggal di mansion kosong milik Tuan Xavier sambil menjaga Elle, dan menghabiskan waktu bersama. “Rose!” panggil Arthur. Mendengar itu, Emily tentu saja sudah tahu siapa yang memanggilnya. Ia pun menoleh, lalu tersenyum. “Kau sudah datang juga?” Arthur tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Iya. Hari ini anakku agak rewel, pagi sekali sudah terus menghubungiku, memintaku cepat pulang. Yah... jadi aku makin bersemangat menyelesaikan pekerjaanku supaya bisa cepat pulang.” Emily terkekeh mendengarnya. Arthur memang adalah suami yang sangat menyayangi istrinya, sangat melindungi dan mencintai anaknya. “Ya. Aku juga ingin cepat kembali. Jadi, mari kita bekerja keras dengan kompak supaya pekerjaan kita cepat selesai!” ucap Emily
Pertanyaan William yang begitu tegas dan menuntut membuat Emily semakin gemetaran. Sungguh, gelapnya lift itu membuat Emily terselamatkan. “Kenapa kau diam saja?” tanya lagi William. “I–itu... sebenarnya, Saya pernah melihat artikel tentang Nona Anastasia dan juga anda di salah satu forum berita online. Maaf, cara Saya memanggil nama anda tadi agak keterlaluan. Tolong jangan tersinggung, Tuan William,” ucap Emily, kebohongannya begitu lancar keluar dari mulutnya meskipun pada awalnya sempat gugup dan ragu. William mengeraskan rahangnya. Alasan yang digunakan oleh wanita itu begitu tepat, sulit untuknya bisa mengelak. William pun hanya bisa membuang napas kasarnya. “Bukan hanya cara memanggilmu yang sedang aku permasalahkan sebenarnya. Hanya saja, suaramu, dan caramu berbicara itu mengingatkanku pada seseorang,” ujar William. Dibalik perkataannya barusan, jelas dia sedang menaburkan percikkan kepanikan.
Emily menghela napas tak percaya. Bodohnya, dia patuh saja masuk ke dalam mobil William. Melihat itu, William hanya tersenyum tipis. “Kau tinggal di mana?” tanya William. Emily ragu untuk menjawab. Kalau dia bilang di hotel sebelumnya dia tinggal, jelas saja jaraknya sangat dekat dari kantor JB fashion. Dia sudah terlanjur mengatakan kalau dia tinggal jauh tadi. Jelas tidak mungkin memberitahu kalau dia tinggal di mansion Tuan Xavier. Ah, sialan! “Aku... aku tinggal di jalan A. Antarkan saja ke jalan itu, Tuan Wilson. Tempat saya tinggal tidak jauh dari sana,” jawab Emily cepat, namun kebohongannya bisa dengan mudah disadari oleh Wiliam. William menghela napas. “Nona Rose, sepertinya anda perlu memahami ku. Aku adalah orang yang totalitas saat bertindak. Kalau aku sudah berniat mengantarkan mu pulang, bahkan setidaknya harus sampai di depan kamarmu.”
Emily memutuskan untuk menginap di hotel yang ada di jalan A. Bukan tanpa alasan, Emily merasa William mengantarkannya pulang pasti karena ingin tahu tempat tinggalnya. William memiliki banyak orang yang bisa bergerak Diam-diam. Merasa diikuti, Emily pun mengambil langkah yang mana membuatnya tidak bisa bertemu Elle malam ini. Sesampainya di kamar hotel, Emily langsung melepaskan kacamata dan masker yang menutupi wajahnya. Dia membuang napas kasarnya. “Untung saja tadi William tidak membuka maskerku. Aku tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan gigi palsu tadi.” Emily mengusap wajahnya dengan kasar. Sebenarnya, lelah sekali harus beraktivitas dengan kebohongan seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi? “Ck! Menggunakan gigi palsu seharian membuat mulutku pegal, kemarin sampai gusiku sedikit luka,” gumam Emily. Emily duduk di sisi tempat tidur
Mendengar pertanyaan itu, William pun menunjukkan dengan jelas ekspresi wajahnya yang muak. “Aku membiarkanmu terus berada di dekatku, bukan berarti aku sudah menganggap mu bagian dari hidupku. Bukankah sejak awal kau juga sudah paham? Aku tidak mungkin menjalin hubungan dengan wanita manapun,” ucap William. Anastasia nampak sangat tertekan dan juga sedih. “Tapi... kau sudah mengetahui perasaanku sejak lama, kan? Apa tujuanku dekat denganmu, kau juga pasti mengetahuinya. Karena kau tidak pernah dengan tegas menunjukkan perasaanmu, aku terus berada di sisimu sambil melakukan yang terbaik. Tapi, kenapa baru belakangan ini kau menunjukkan ketegasan itu setelah aku semakin dalam mencintaimu?” William terdiam sejenak. Dia coba mengingat kembali kapan dia memberikan harapan dan memaksa Anastasia untuk berada di dekatnya. Yah... dia memang memanfaatkan Anastasia agar tidak ada wanita lain yang berani men
William sudah meraih kartu nama itu. Dia hendak bangkit, tapi matanya tidak sengaja terarah kan kepada Emily. Dug dug! Jantung William serasa copot. Saat itu, dia melihat Emily sedang menggunakan gigi palsunya. “Emily...” pikirnya. Seketika itu, William langsung bangkit. Anastasia tersenyum. Gadis itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada William. Dengan manja, dia memeluk lengan William dan bergelayut manja di sana. William mengepalkan tangannya. “Menjauh lah, Anastasia. Demi Tuhan... emosiku sedang sulit untuk di kontrol sekarang.” Mendengar itu, Anastasia terkejut. Ia pun menjauh dengan perasaan kecewa. Emily sudah bangkit, duduk dengan perasaan lega tanpa tahu apa yang barusan William lihat. Dia menarik piringnya untuk lebih dekat, mulai memakan sup abalon dengan daging ayam yang empuk, membuat gigi palsunya tidak perlu bekerja keras. Namun, dia
Dengan luka di lengannya yang terus mengalirkan darah, Lavine tetap berusaha tenang. Ia tahu, jika membuat keributan, orang-orang di area barbeque bisa panik dan suasana akan menjadi kacau. Ia menekan lukanya dengan kain yang ia temukan di sekitar tempat sampah, lalu menyusuri lorong belakang penginapan menuju jalan alternatif ke kamarnya. “Badjingan itu... jangan harap kau bisa mengelak kali ini,” batin Lavine. Langkahnya cepat dan sigap meski tubuhnya terasa lemas. Beberapa kali ia berhenti untuk memastikan tidak ada lagi yang mengikutinya. Begitu sampai di kamar, ia langsung mengunci pintu dan menahan napas sejenak, berusaha memproses apa yang barusan terjadi. Sebelum melakukan yang lain, ia cepat mengambil ponselnya, menghubungi Jordi. “Jemput aku sekarang. Seseorang mencoba untuk membunuhku. Aku di pantai...” Setelah selesai menghubungi Jordi, Lavine membuka laci dan mengambil kotak P3K yang tersedia di kamar itu, l
Lavine terbahak-bahak melihat bagaimana Elle terus-menerus mual sambil memegangi perutnya yang sakit. Cara Lavine mengendarai boat sebelumnya memang sangat ekstrem dan tidak stabil, membuat Elle kewalahan menahan rasa pusing dan mual. Elle menoleh dengan wajah kesal, lalu memukul lengan Lavine pelan. “Kau sengaja ya melakukan itu, biar aku muntah?” gerutunya. Lavine hanya tertawa makin keras sambil mengangkat tangan, pura-pura minta maaf. “Sumpah, aku cuma ingin memberikan sebuah pengalaman seru!” katanya, masih dengan nada menggoda. “Tapi, sepertinya terlalu seru untukmu, ya? Hahaha.....” Elle menghela napas panjang, lalu duduk kembali sambil menenangkan perutnya. “Pengalaman seru katamu... aku hampir mati mabuk laut,” gumamnya pelan. Lavine hanya bisa tersenyum geli, menatap Elle yang masih cemberut tapi dalam hatinya justru terlihat manis saat marah-marah seperti itu.
Elle tersenyum kecil tanpa sadar, matanya mengikuti setiap langkah Lavine yang berjalan dengan santai mendekatinya. Pria itu tampak sangat berbeda dari biasanya, setelan santainya kali ini justru membuatnya terlihat semakin menarik. Celana pendek berwarna netral, kemeja polos berlengan pendek yang sedikit tergulung di lengan, serta rambutnya yang berantakan ditiup angin, semua itu berpadu sempurna dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Elle menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis pikirannya sendiri yang makin tidak karuan belakangan ini. “Apa yang sebenarnya aku pikirkan, sih? Bisa-bisanya aku memiliki perasaan aneh ini?” gumamnya di dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memalingkan pandangannya, berharap detak jantungnya bisa kembali tenang. Tapi dari sudut matanya, ia tahu, Lavine menyadari pandangan yang tertuju padanya sejak tadi. Lavine tersenyum lebar saat akhirnya bisa d
“Kenapa kau tidak membalas pesan dariku?” Lavine menghela napas. “Takutnya kau cuma terpaksa mengajak saja, jadi aku tidak membalas pesan mu.” Elle pun berdecih sebal. “Sejak kapan kau peduli sekali dengan pendapatan ku? Bukanya kau hobi melakukan apa yang ingin kau lakukan tanpa peduli pendapat orang lain?” Mendengar itu, Lavine pun terkikik sendiri. “Ya ampun... Sekarang ini kau sudah sangat memahami ku, ya? Duh... jadi tersanjung. Kau pasti banyak memperhatikan ku belakangan ini, ya?” Elle menghela napas dengan ekspresi wajahnya yang sebal. “Gila kau ini. Mau atau tidak? Ada banyak kegiatan seru yang akan dilakukan dengan para staff kantor. Aku juga sudah menyiapkan door prize, loh...” Lavine tersenyum, sejak tadi terus mengamati ekspresi wajah Elle yang seperti berharap padanya. “Baiklah...” Setelah selesai berbicara dengan Elle, Lavine masuk ke dalam mobilnya dengan gerakan malas. Jordi, yang sudah menunggu di b
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun