William duduk di tepi ranjang dengan ekspresi dingin, matanya menatap lurus ke depan tanpa fokus.
Emily yang sedang mengeringkan rambutnya melihat perubahan ekspresi suaminya itu, lalu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. “Ada apa? Terjadi sesuatu?” tanyanya pelan, menyentuh tangan William dengan lembut. William menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arah istrinya. “Robert baru saja menelepon. Dia menyarankan agar kita tetap di dalam rumah untuk sementara waktu. Ada kemungkinan besar bahaya menunggu kita di luar.” Emily mengerutkan keningnya. “Apakah ini tentang Ibu Kelly?” William mengangguk, jemarinya secara refleks menggenggam tangan Emily lebih erat. “Iblis Kelly itu benar-benar sudah melewati batas. Bukan hanya aku, sekarang dia juga menargetkan mu.” Emily terdiam, hatinya mencelos mendengar itu. Dia tahu Kelly membenci William, tapi tidak menyangka wanita itu akan sampai ke tahap iniPagi itu, Robert meninggalkan apartemennya menuju ke kantor. Tidak ke rumah William, pria itu masih harus tetap di rumah karena ada rencana besar yang harus dilakukannya. Saat berada di tengah jalan, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Robert menatap kaca spion mobilnya dengan tajam. Mobil hitam yang berada di belakangnya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyalip, tetapi juga tidak menjauh. Kecepatannya stabil, seolah-olah sedang menguntitnya. Itu nampak sengaja. Awalnya, Robert tidak ingin berpikiran buruk. Jalanan pagi ini memang lebih sepi dari biasanya, jadi mungkin itu hanya kebetulan saja. Namun, semakin lama, firasatnya menjadi semakin buruk. Tiba-tiba, sistem pendeteksi pada mobilnya berbunyi nyaring, memperingatkan adanya kendaraan besar yang melaju dari arah berlawanan, truk besar, dan kecepatannya tidak normal. Robert mengerutkan keningnya. Mata Robert menyipit. “Ini b
Robert tahu dia tidak punya pilihan lain. “Semoga saja selamat. Kalau tidak, aku juga tidak perlu kecewa.” Robert bersiap, dia akan mengambil tindakan nekat. Jika dia tetap berada di dalam mobil, nyawanya bisa melayang seketika. Dengan sisa tenaga dan perhitungan yang matang, dia membuka pintu dan melompat keluar dari kendaraan yang masih melaju cepat. Tubuhnya membentur pembatas jalan dengan keras sebelum akhirnya terguling ke rerumputan di pinggir jalan. “Akhhhh!!” pekiknya. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk. Namun, dia masih sadar, masih bisa merasakan denyut nyeri yang menyiksa seluruh tubuhnya. Sementara itu, di belakangnya, suara tabrakan keras menggema. Brak!!!! Mobilnya dihantam oleh truk yang se
Kabar tentang kecelakaan Robert menyebar dengan cepat, menggemparkan para petinggi perusahaan. Bahkan, sebagian dari mereka yang sebelumnya tenang oleh isu keraguan terhadap William jadi mulai gelisah. Dalam hitungan jam, mereka semua memutuskan untuk mengadakan rapat darurat di ruang konferensi utama, kompak mencari jalan keluar untuk kemungkinan yang terburuk. Di dalam ruangan itu, suasana terasa begitu tegang. Beberapa eksekutif senior berbicara dengan nada khawatir, membahas kemungkinan dampak besar bagi perusahaan jika Robert, tangan kanan William, benar-benar dalam kondisi serius dan tidak bisa bekerja dalam waktu lama. Bagaimanapun, Robert adalah pilar kokoh untuk William. “Kita semua tahu bagaimana peran Robert di perusahaan ini,” ujar salah satu petinggi dengan wajah yang nampak serius. “Tanpa dia, kita kehilangan keseimbangan. Dan Tuan William... dia...” “Dia itu kan buta,” potong seseorang dengan nada ragu. Rua
Suasana rapat darurat yang semula penuh ketegangan kini berubah menjadi kelegaan setelah pernyataan mengejutkan William barusan. “Tentu saja aku bisa melihat,” ucapnya tenang, namun penuh ketegasan yang tak terbantahkan. Para petinggi perusahaan yang hadir di ruangan itu terdiam sesaat, mencerna kata-kata William barusan. Kemudian, satu per satu ekspresi mereka berubah menjadi keterkejutan, lalu kelegaan yang mendalam. “Syukurlah, Tuan William!” seru salah satu eksekutif dengan wajah yang nampak sumringah. “Ini kabar yang sangat luar biasa!” “Tentu saja!” sahut yang lain. “Kami benar-benar senang mendengar ini! Kami harap, kedepannya anda akan selalu sehat.” William tersenyum tipis. “Aku tidak akan menjelaskan kapan dan bagaimana pengobatan itu berlangsung. Yang terpenting adalah aku telah kembali dengan penglihatan yang normal. Bisa bekerja dengan baik.” Para petinggi perusahaan m
Emily duduk di hadapan William di ruangan kerja. Tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi kepura-puraan, baik di rumah maupun di kantor. William kini bisa bernapas dengan lega, dan itu berarti mereka sudah selangkah lebih dekat menuju akhir dari semua ini. Emily menatap suaminya dengan lembut, tetapi ada kilatan ketegasan di matanya. “Bagaimana perasaanmu sekarang, William?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. William tersenyum, kali ini bukan senyum tipis penuh rahasia seperti biasanya, melainkan senyum lega yang benar-benar tulus. “Aku merasa bebas. Tidak perlu lagi berpura-pura buta, tidak perlu lagi berjalan dengan tongkat atau berpura-pura bergantung pada orang lain untuk membaca dokumen saat berada di luar. Dan yang paling penting,” William menautkan jemarinya dengan Emily, “Kelly pasti sudah kehabisan daya. Dia tahu dia pasti akan kalah.” Emily tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya. “Sekarang, kita hanya perl
Kelly berjalan mondar-mandir di dalam kamar, tubuhnya tegang dan pikirannya kacau. Semua yang ia bangun selama ini hancur begitu saja di hadapan matanya. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Pintu kamar terbuka, dan Sebastian masuk dengan wajah yang datar. Begitu melihat suaminya, Kelly langsung melangkah cepat dan meraih lengan pria itu. “Sebastian, kita harus bicara, aku mohon.” Sebastian hanya menatapnya sejenak tanpa ekspresi. “Kita harus menjual rumah ini dan pergi dari negara ini. Kita bisa menyusul Hendrick, mencari tempat aman sampai semuanya reda. Setelah itu, kita bisa kembali saat situasi sudah tepat,” Kelly berkata cepat, nada suaranya penuh dengan kepanikan. Sebastian menghela napas panjang sebelum menepis tangan Kelly dari lengannya. Matanya yang tajam menatap Kelly dengan dingin. “Aku tidak akan menjual rumah ini. Aku membelinya dengan kerja kerasku sendiri. Ini adalah milikku. Lagi pula, bukankah aku su
Pintu gudang tua di dekat hutan berderit pelan saat terbuka perlahan. Udara dingin menyeruak masuk, menciptakan suasana mencekam yang kental di dalamnya. Di tengah ruangan yang remang-remang, dua pria duduk dengan tubuh terikat erat di kursi kayu. Mulut mereka tersumpal kain, mata mereka dipenuhi ketakutan saat melihat akan ada seseorang yang tiba. Langkah sepatu terdengar bergema, disusul sosok William yang melangkah masuk dengan tenang, makin membuat kedua pria itu ngeri. James berada tepat di belakangnya, berdiri tegap dengan ekspresi tajam yang tak terbantahkan. William berhenti tepat di hadapan kedua pria itu. Dengan satu gerakan ringan, ia menarik kursi kosong dan duduk dengan santai. Matanya menatap mereka dengan dingin, sebelum senyumnya perlahan terangkat di sudut bibirnya. “Aku bukan tipe orang yang membuang waktu,” katanya dengan suara datar. “Jadi, kalian punya dua pilihan. Bicara sekarang... atau aku pastikan kalian tidak akan pernah bisa berbicara lagi se
Malam itu, Kelly melangkah tergesa, membawa tas berisi semua aset dan emas batangan yang adalah milik Sebastian. Ia berjalan mengendap-endap, memastikan tidak ada yang melihatnya. Beruntung semua pelayan rumah sudah dipecat karena ketidakmampuan membayar lagi. Dadanya berdebar kencang, tapi ia berusaha tetap tenang dan fokus. Ia sudah menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Segera setelah mobil itu datang, ia akan pergi jauh, meninggalkan semua kekacauan yang ada di belakangnya, memulai hidupnya yang baru dengan aman dan damai. Begitu sampai di luar pagar rumah, ia berhenti sejenak, menggenggam erat surat rumah yang sejak tadi ada di tangannya. Napasnya tersengal, tapi ada secercah harapan indah di matanya. “Setelah ini... aku akan hidup dengan baik. Kau pantas untuk semua ini, Sebastian,” gumamnya. Lalu, suara mesin mobil terdengar mendekat ke arahnya. Kelly mengangkat wajahnya dan tersenyu
Robert mengerutkan keningnya, tidak menyangka kalau Azura benar-benar akan bersikap sangat dingin seperti ini padanya. “Barusan, kau sedang mengusirku?” tanya Robert, ekspresi tak percaya masih nampak jelas di wajahnya. Azura mengepalkan tangannya. Ia pun menatap Robert dengan tatapan yang tajam. “Menurut anda, setelah makian yang anda berikan kepada ku sebelumnya mudah untuk dilupakan? Siapapun orangnya pasti akan mendendam.” Mendengar itu, Robert pun menghela napas. “Terserah kau saja. Mendendam atau tidak, itu bukan urusan ku.” Azura makin kesal. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia bangkit dari duduknya, dan meninggalkan Robert begitu saja. “Aku benar-benar bodoh karena pernah menyukai pria sialan ini,” batin Azura. Robert berdecih kesal, tidak menyangka kalau ada masanya dia diperlakukan dengan dingin oleh wanita yang dia anggap tidak ada apa-apanya. Ia pun bangkit dari duduknya, meninggalkan cafe milik
Mendengar Emily sudah kembali, Nyonya dan Tuan besar meminta izin untuk bertemu. William sudah menolaknya. Dia tidak ingin Emily dipengaruhi lagi. Namun, Nyonya besar sudah berjanji tidak akan melakukan itu lagi, akhirnya William memperbolehkan Nyonya besar menemui Emily dan Elle. Di ruang tengah, tempat itu menjadi saksi Nyonya besar nampak tertunduk lesu. Wajahnya yang dulunya selalu terlihat tegas dan arogan kini menatap tak berdaya. Sudah empat tahun lebih tidak bertemu William dan Emily, wanita itu kini nampak tak mampu lagi menutupi kerapuhan dibalik wajahnya yang keriput. “Maaf... kalian berdua pasti sangat tidak nyaman dengan kedatangan Nenek. Tapi, mumpung masih ada kesempatan, Nenek ingin meminta maaf kepada kalian berdua,” ucap Nyonya besar, suaranya lemah. Tuan besar mengusap punggung istrinya dengan lembut. Dua tahun belakangan ini Nyonya besar mengalami penurunan kesehatan yang makin mengkhawa
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny