Kabar tentang kecelakaan Robert menyebar dengan cepat, menggemparkan para petinggi perusahaan. Bahkan, sebagian dari mereka yang sebelumnya tenang oleh isu keraguan terhadap William jadi mulai gelisah.
Dalam hitungan jam, mereka semua memutuskan untuk mengadakan rapat darurat di ruang konferensi utama, kompak mencari jalan keluar untuk kemungkinan yang terburuk. Di dalam ruangan itu, suasana terasa begitu tegang. Beberapa eksekutif senior berbicara dengan nada khawatir, membahas kemungkinan dampak besar bagi perusahaan jika Robert, tangan kanan William, benar-benar dalam kondisi serius dan tidak bisa bekerja dalam waktu lama. Bagaimanapun, Robert adalah pilar kokoh untuk William. “Kita semua tahu bagaimana peran Robert di perusahaan ini,” ujar salah satu petinggi dengan wajah yang nampak serius. “Tanpa dia, kita kehilangan keseimbangan. Dan Tuan William... dia...” “Dia itu kan buta,” potong seseorang dengan nada ragu. RuaSuasana rapat darurat yang semula penuh ketegangan kini berubah menjadi kelegaan setelah pernyataan mengejutkan William barusan. “Tentu saja aku bisa melihat,” ucapnya tenang, namun penuh ketegasan yang tak terbantahkan. Para petinggi perusahaan yang hadir di ruangan itu terdiam sesaat, mencerna kata-kata William barusan. Kemudian, satu per satu ekspresi mereka berubah menjadi keterkejutan, lalu kelegaan yang mendalam. “Syukurlah, Tuan William!” seru salah satu eksekutif dengan wajah yang nampak sumringah. “Ini kabar yang sangat luar biasa!” “Tentu saja!” sahut yang lain. “Kami benar-benar senang mendengar ini! Kami harap, kedepannya anda akan selalu sehat.” William tersenyum tipis. “Aku tidak akan menjelaskan kapan dan bagaimana pengobatan itu berlangsung. Yang terpenting adalah aku telah kembali dengan penglihatan yang normal. Bisa bekerja dengan baik.” Para petinggi perusahaan m
Emily duduk di hadapan William di ruangan kerja. Tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi kepura-puraan, baik di rumah maupun di kantor. William kini bisa bernapas dengan lega, dan itu berarti mereka sudah selangkah lebih dekat menuju akhir dari semua ini. Emily menatap suaminya dengan lembut, tetapi ada kilatan ketegasan di matanya. “Bagaimana perasaanmu sekarang, William?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. William tersenyum, kali ini bukan senyum tipis penuh rahasia seperti biasanya, melainkan senyum lega yang benar-benar tulus. “Aku merasa bebas. Tidak perlu lagi berpura-pura buta, tidak perlu lagi berjalan dengan tongkat atau berpura-pura bergantung pada orang lain untuk membaca dokumen saat berada di luar. Dan yang paling penting,” William menautkan jemarinya dengan Emily, “Kelly pasti sudah kehabisan daya. Dia tahu dia pasti akan kalah.” Emily tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya. “Sekarang, kita hanya perl
Kelly berjalan mondar-mandir di dalam kamar, tubuhnya tegang dan pikirannya kacau. Semua yang ia bangun selama ini hancur begitu saja di hadapan matanya. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Pintu kamar terbuka, dan Sebastian masuk dengan wajah yang datar. Begitu melihat suaminya, Kelly langsung melangkah cepat dan meraih lengan pria itu. “Sebastian, kita harus bicara, aku mohon.” Sebastian hanya menatapnya sejenak tanpa ekspresi. “Kita harus menjual rumah ini dan pergi dari negara ini. Kita bisa menyusul Hendrick, mencari tempat aman sampai semuanya reda. Setelah itu, kita bisa kembali saat situasi sudah tepat,” Kelly berkata cepat, nada suaranya penuh dengan kepanikan. Sebastian menghela napas panjang sebelum menepis tangan Kelly dari lengannya. Matanya yang tajam menatap Kelly dengan dingin. “Aku tidak akan menjual rumah ini. Aku membelinya dengan kerja kerasku sendiri. Ini adalah milikku. Lagi pula, bukankah aku su
Pintu gudang tua di dekat hutan berderit pelan saat terbuka perlahan. Udara dingin menyeruak masuk, menciptakan suasana mencekam yang kental di dalamnya. Di tengah ruangan yang remang-remang, dua pria duduk dengan tubuh terikat erat di kursi kayu. Mulut mereka tersumpal kain, mata mereka dipenuhi ketakutan saat melihat akan ada seseorang yang tiba. Langkah sepatu terdengar bergema, disusul sosok William yang melangkah masuk dengan tenang, makin membuat kedua pria itu ngeri. James berada tepat di belakangnya, berdiri tegap dengan ekspresi tajam yang tak terbantahkan. William berhenti tepat di hadapan kedua pria itu. Dengan satu gerakan ringan, ia menarik kursi kosong dan duduk dengan santai. Matanya menatap mereka dengan dingin, sebelum senyumnya perlahan terangkat di sudut bibirnya. “Aku bukan tipe orang yang membuang waktu,” katanya dengan suara datar. “Jadi, kalian punya dua pilihan. Bicara sekarang... atau aku pastikan kalian tidak akan pernah bisa berbicara lagi se
Malam itu, Kelly melangkah tergesa, membawa tas berisi semua aset dan emas batangan yang adalah milik Sebastian. Ia berjalan mengendap-endap, memastikan tidak ada yang melihatnya. Beruntung semua pelayan rumah sudah dipecat karena ketidakmampuan membayar lagi. Dadanya berdebar kencang, tapi ia berusaha tetap tenang dan fokus. Ia sudah menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Segera setelah mobil itu datang, ia akan pergi jauh, meninggalkan semua kekacauan yang ada di belakangnya, memulai hidupnya yang baru dengan aman dan damai. Begitu sampai di luar pagar rumah, ia berhenti sejenak, menggenggam erat surat rumah yang sejak tadi ada di tangannya. Napasnya tersengal, tapi ada secercah harapan indah di matanya. “Setelah ini... aku akan hidup dengan baik. Kau pantas untuk semua ini, Sebastian,” gumamnya. Lalu, suara mesin mobil terdengar mendekat ke arahnya. Kelly mengangkat wajahnya dan tersenyu
William menyunggingkan senyuman jahatnya. Berjalan mendekati Kelly yah nampak semakin ketakutan, lalu mencengkram leher wanita itu. “Ugh!!” pekik Kelly. William menatap dengan tatapan tajam. Hasrat untuk membunuh wanita itu benar-benar sangat besar. Namun, mati dengan mudah adalah hal yang indah untuk Kelly. Ia akan membuat wanita itu merasakan tidak pernah damai barang sedetikpun. Setiap hari seperti sekarat, tapi kematian masih sangat jauh. “Ibu tiri ku,” bisik William. “Bagaimana rasanya sekarang? Sesuatu yang kau dapatkan dengan menipu Ibuku, membunuh Ibuku, merebut apapun yang bisa kau rebut?” Kelly terus berusaha melepaskan lehernya. Cengkraman tangan William benar-benar erat, wajahnya sampai merah, urat-urat di wajahnya pun nampak menonjol. William menepis tangannya dengan kasar. “Uhuk uhuk uhuk!” Kelly menjadi terbatuk-batuk, sibuk untuk mengambil dan mengatur napasnya. William masih terus menatap tajam. “Dari ekspresi mu tadi, kau pasti sepertinya s
Kelly berteriak histeris, suaranya menggema di dalam kamar rumah sakit yang terasa semakin sempit, dan sesak. Ia berusaha untuk mengangkat tubuhnya, ingin meraih William, ingin menghentikan apa yang pria itu lakukan saat ini. Tapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya hanya bisa meronta tanpa daya. Bahkan membuka mulutnya lebih lebar pun sulit untuk dilakukannya. “Jangan lakukan itu, William! Aku mohon! Jangan sakiti Hendrick! Cukup aku saja, jangan dia!” suaranya parau, putus asa, dan penuh ketakutan. Namun, William hanya tersenyum dingin di sana. Dengan santai, ia menekan tombol panggilan di ponselnya, lalu berbicara dengan suara yang tenang namun menusuk, “Sebarkan videonya sekarang juga. Pastikan menggunakan akun anonim yang sudah terlindungi.” Kelly menjerit lebih keras, tangannya mengepal di atas selimut. “Tidak. Tolong, aku mohon! Jangan lakukan ini! Hendrick anakku satu-satunya!” William menutup telepon
Johan menatap layar ponselnya dengan tangan yang gemetar. Video ditangannya itu masih berputar, menampilkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia lihat dengan jelas seperti ini. Wajahnya menjadi pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Julia yang duduk di sampingnya sudah menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak penuh keterkejutan. Dia tidak menyangka akan melihat itu. “Astaga... Ini tidak mungkin kan...” suara Julia bergetar, hampir tidak terdengar. Johan akhirnya meletakkan ponsel di meja, seolah benda itu bisa membakar habis tangannya kapan saja. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menyandarkan tubuh ke kursi dengan tubuh melemas. Nampak frustrasi wajahnya. “Kita sudah hancur, Julia. Mereka lah yang telah menghancurkan kita,” suaranya lirih, penuh dengan rasa penyesalan. Julia menoleh, tatapannya kosong. “Bagaimana bisa terjadi seperti ini...? Bukankah selama ini kita berusaha k
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak