Celine mengangguk lemah, wajahnya mendekat ke arah Valdi, matanya yang setengah terpejam menunjukkan campuran gairah dan ketertundukan.
"Cium gue, say..." bisik Celine dengan suara rendah, hampir putus asa oleh kenikmatan yang sudah menghantam tubuhnya berulang kali.
Valdi menatapnya sebentar sebelum menuruti permintaan itu, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Celine mendesah di antara ciuman, tubuhnya bergetar lebih hebat, dan dalam beberapa detik, dia mencapai puncaknya, menggeliat hebat di samping Valdi, napasnya terhenti sejenak saat gelombang kenikmatan terakhir merambat di setiap inci tubuhnya.
Sementara itu, Valdi masih jauh dari mencapai batasnya, meskipun desahannya semakin intens, tubuhnya tegang akibat hisapan mulut Sarah yang begitu terampil. Setelah Celine mencapai punca
"Anya..." Celine tercekat, suaranya gemetar saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu kamar. Tangannya dengan cepat menepuk Valdi, matanya membelalak tak percaya.Valdi, yang awalnya tenggelam dalam momen bersama Mayang, berbalik dan melihat mantan istrinya berdiri di sana dengan tatapan penuh kemarahan. Wajahnya menegang sejenak sebelum dia berkata dengan suara yang lebih tenang dari yang diharapkan, "Kamu ngapain di sini?"Anya berdiri dengan postur tegas, tangan bertolak pinggang, napasnya berat, jelas menahan emosi yang meluap."Emangnya kenapa? Nggak boleh ke sini? Jadi, ini kerjaan kamu sekarang setelah lepas dari aku?" suaranya melengking, penuh dengan kekecewaan yang menggantung di udara. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, melihat situasi yang baru saja terjadi di hadapannya.
Valdi mendesah panjang, matanya mulai penuh dengan frustrasi."Kenapa? Kamu pikir aku harus ngulangin kesalahanku yang dulu lagi? Setiap kali harus hancur karena ditinggal istri?" suaranya semakin serak, penuh emosi yang terpendam selama bertahun-tahun.Valdi tiba-tiba berdiri, tangannya mengepal kuat, "Kamu suka lihat aku hancur, Anya?" tanyanya dan tanpa menunggu jawaban Anya, dia berjalan menuju balkon lantai dua. Pemandangan luar hanya menawarkan kesunyian, namun pikirannya bergejolak. Dia bersandar pada pagar balkon, menghela napas panjang, mencoba meredakan amarah yang perlahan membakar di dalamAnya tetap duduk di sana, merasa bahwa ada begitu banyak yang ingin ia ucapkan, namun lidahnya terasa kelu. Perasaan bersalah, marah, dan ketidakpastian bercampur dalam dirinya, membuat segala sesuatunya se
Di kamar yang sunyi dan remang, kehangatan malam terasa menekan, membungkus mereka dalam suasana yang berat dan penuh ketegangan. Aroma parfum lembut bercampur dengan keringat, menciptakan hawa yang hampir menyesakkan. Tirai setengah terbuka membiarkan sinar bulan samar menerobos masuk, menyoroti seprai yang kusut di atas tempat tidur, yang kini menjadi saksi pergulatan fisik dan emosional di antara mereka.Tubuh Anya bergetar halus di bawah Valdi, mengikuti irama yang telah berlangsung terlalu lama. Matanya terpejam rapat, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Setiap gerakan Valdi terasa seperti beban yang semakin berat, mendorongnya ke titik di mana ia tak sanggup lagi bertahan. Anya mulai menggelengkan kepalanya perlahan, seolah menolak kenyataan yang tak bisa ia hindari."Cukup, Valdi... cukup..." bisiknya, suaranya terdengar serak dan penuh dengan keputusasaan.Valdi yang berada di ambang puncak kenikmatan, hampir tidak mendengar bisika
Suasana di rumah sakit terasa suram, dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh langkah-langkah kaki perawat. Valdi duduk di kursi ruang tunggu, menatap kosong ke depan, sementara di sebelahnya Mayang menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang mendalam."Ibu... kenapa harus sekarang?" suara Mayang pecah, nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya.Valdi menatapnya dengan penuh simpati, hatinya terasa berat."Mayang... om turut berduka," katanya lembut, mencoba menghibur gadis yang kini menjadi yatim piatu."Kenapa harus seperti ini, Om Valdi?" Mayang meratap, wajahnya basah oleh air mata."Kenapa Ibu harus pergi? Aku... aku sekarang sendirian..." Tangisnya semakin keras, dan Valdi merasakan dorongan kuat untuk menenangkannya."Om tahu ini berat, Mayang. Ini nggak adil, tapi kamu nggak sendirian. Ibumu... dia sudah berjuang sekuat tenaga," ujar Valdi sambil menghela napas panjang.Mayang menggeleng pelan, air mata terus mengalir di pipinya."Kenapa haru
“Apa yang aku pikirkan sih?” bisiknya pada dirinya sendiri, merasa malu dengan dorongan tersebut. Namun, rasa penasaran dan keingintahuan mulai menguasainya, membuat dia berjalan perlahan mendekati pintu kamar Mayang.Mayang, yang masih duduk di tempat tidur, mendengar langkah kaki mendekat ke kamarnya. Jantungnya berdegup kencang, menyadari bahwa Valdi mungkin akan mengetuk pintu. Di kepalanya, berbagai pikiran bercampur aduk—rasa tidak enak hati, kecanggungan, dan entah kenapa, ada juga sedikit rasa penasaran yang muncul.Valdi berdiri di depan pintu kamar Mayang, tangannya terangkat, siap untuk mengetuk. Namun, dia ragu-ragu, menahan diri. Suasana hening semakin mencekam. Pintu kamar itu menjadi penghalang tipis antara mereka, namun juga penghalang antara dorongan hati Valdi dan kesadarannya akan apa yang benar dan salah.Ketika akhirnya Valdi menurunkan tangannya, dia merasa kekuatan itu hampir menariknya kembali. Napasnya terasa berat, dan dia tahu, jika dia tidak berhati-hati, d
Valdi menahan napas sejenak, merasakan dorongan tak terduga itu. Dia melanjutkan, berusaha tetap tenang sambil memperlihatkan beberapa pakaian tidur yang juga tampak agak minim. “Ini bagus buat tidur, adem dan ringan,” ujarnya, menampilkan gambar kostum maid yang sangat ketat.Mayang menatap gambar itu sejenak, merasa agak canggung dengan pilihan pakaian yang terbuka seperti itu. “Ini... nggak kebuka terlalu banyak, Om?” tanya Mayang dengan polos, sambil mendekatkan wajahnya lagi ke layar. Saat itu, dadanya menekan lebih kuat ke tubuh Valdi, membuat napas pria itu tertahan sejenak.“Ah, nggak, Mayang. Ini hanya terlihat aja begitu di foto. Nyatanya, ini baju tidur yang nyaman kok, dan bisa kamu pakai kalau kamu mau,” Valdi berusaha terdengar meyakinkan, meski di dalam dirinya, gairah yang terpendam mulai menggeliat. Ekspresi polos Mayang, yang begitu dekat dengan tubuhnya, membuatnya semakin tergoda untuk terus mendorong gadis itu memilih pakaian-pakaian yang lebih berani.Mayang, ta
Setelah api menyala, Valdi menarik tangannya perlahan, namun posisi mereka masih sangat dekat.“Nah, begitu caranya. Mudah kan?” tanya Valdi, suaranya terdengar lebih pelan dan dalam.“Iya, Om. Ternyata gampang,” jawab Mayang, suaranya terdengar sedikit goyah karena posisi intim mereka. Dia bisa merasakan napas Valdi di lehernya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Valdi merasa bahwa situasi ini semakin intens. Napasnya berat, dan dia harus menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang lebih. Namun, perasaan yang muncul dari sentuhan tadi masih terus menghantui, membuat pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang tidak seharusnya ada.“Baguslah kalau kamu sudah paham,” kata Valdi akhirnya, berusaha mengakhiri momen itu sebelum situasi menjadi lebih canggung. Dia melangkah mundur, memberikan ruang bagi Mayang untuk bergerak lebih bebas.Setelah situasi di dapur yang baru saja terjadi, Valdi merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari ketega
Mayang terkejut sebentar tapi kemudian mengangguk, merasa sulit untuk menolak permintaan Valdi.“Boleh, Om,” jawabnya.Mereka duduk di ruang keluarga yang bersebelahan dengan kamar mereka. Valdi menyalakan TV, memilih sebuah film yang sedang tayang. Mayang duduk di lantai, agak jauh dari sofa tempat Valdi duduk, merasa agak canggung untuk duduk di dekatnya.Namun, Valdi segera menarik pergelangan tangan Mayang dengan lembut, membuatnya terkejut.“Duduk di sini, Mayang. jangan di lantai,” katanya sambil menepuk sofa di sampingnya.Mayang ragu sejenak, tapi kemudian mengikuti arahannya dan duduk di sebelah Valdi. Dia mencuri-curi pandang ke arah Valdi, menyadari bahwa pria itu memang gagah dan tampan. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, dengan sorot mata yang tajam namun lembut.Om Valdi seganteng ini kenapa diceraikan istrinya ya? pikir Mayang, sedikit penasaran. Aroma pheromone yang samar tapi kuat mulai tercium olehnya, membuat perasaannya sedikit bergetar. Ada sesuatu dalam aroma itu ya
Valdi mendesah panjang, matanya mulai penuh dengan frustrasi."Kenapa? Kamu pikir aku harus ngulangin kesalahanku yang dulu lagi? Setiap kali harus hancur karena ditinggal istri?" suaranya semakin serak, penuh emosi yang terpendam selama bertahun-tahun.Valdi tiba-tiba berdiri, tangannya mengepal kuat, "Kamu suka lihat aku hancur, Anya?" tanyanya dan tanpa menunggu jawaban Anya, dia berjalan menuju balkon lantai dua. Pemandangan luar hanya menawarkan kesunyian, namun pikirannya bergejolak. Dia bersandar pada pagar balkon, menghela napas panjang, mencoba meredakan amarah yang perlahan membakar di dalamAnya tetap duduk di sana, merasa bahwa ada begitu banyak yang ingin ia ucapkan, namun lidahnya terasa kelu. Perasaan bersalah, marah, dan ketidakpastian bercampur dalam dirinya, membuat segala sesuatunya se
"Anya..." Celine tercekat, suaranya gemetar saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu kamar. Tangannya dengan cepat menepuk Valdi, matanya membelalak tak percaya.Valdi, yang awalnya tenggelam dalam momen bersama Mayang, berbalik dan melihat mantan istrinya berdiri di sana dengan tatapan penuh kemarahan. Wajahnya menegang sejenak sebelum dia berkata dengan suara yang lebih tenang dari yang diharapkan, "Kamu ngapain di sini?"Anya berdiri dengan postur tegas, tangan bertolak pinggang, napasnya berat, jelas menahan emosi yang meluap."Emangnya kenapa? Nggak boleh ke sini? Jadi, ini kerjaan kamu sekarang setelah lepas dari aku?" suaranya melengking, penuh dengan kekecewaan yang menggantung di udara. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, melihat situasi yang baru saja terjadi di hadapannya.
Celine mengangguk lemah, wajahnya mendekat ke arah Valdi, matanya yang setengah terpejam menunjukkan campuran gairah dan ketertundukan."Cium gue, say..." bisik Celine dengan suara rendah, hampir putus asa oleh kenikmatan yang sudah menghantam tubuhnya berulang kali.Valdi menatapnya sebentar sebelum menuruti permintaan itu, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Celine mendesah di antara ciuman, tubuhnya bergetar lebih hebat, dan dalam beberapa detik, dia mencapai puncaknya, menggeliat hebat di samping Valdi, napasnya terhenti sejenak saat gelombang kenikmatan terakhir merambat di setiap inci tubuhnya.Sementara itu, Valdi masih jauh dari mencapai batasnya, meskipun desahannya semakin intens, tubuhnya tegang akibat hisapan mulut Sarah yang begitu terampil. Setelah Celine mencapai punca
Namun Valdi tetap tak memberikan ampun. Dia menunduk ke leher Celine, menggigitnya lembut namun cukup untuk meninggalkan bekas, sementara tangannya meremas payudara gadis itu, mempermainkannya dengan jari-jarinya yang terlatih. Kali ini, dorongannya semakin brutal, tanpa jeda. Celine bisa merasakan setiap gerakan itu dalam setiap inci tubuhnya, dan dalam sekejap, dia mencapai puncak keempat, jeritannya kini hampir tidak terdengar karena tubuhnya begitu terbawa oleh gelombang kenikmatan."Sekali lagi bisa, kan?" tanya Valdi dengan suara rendah yang penuh dominasi, tapi Celine bahkan tidak bisa menjawab. Tubuhnya sudah terlalu lelah, namun Valdi belum selesai dengannya. Dia mempercepat gerakannya lagi, tak memberinya waktu untuk pulih. Tangan Valdi kini menyelinap di antara kaki Celine, mempermainkan bagian sensitifnya sambil terus menancapkan batangnya ke dalam lubang kenikmatanya, membuat Celine menggeliat
Perlahan, ia mendorong Kamala dengan lembut, matanya mencari penjelasan. Celine, yang menyadari situasi ini, tertawa kecil, matanya penuh canda."Lin, ini kerjaan loe ya?" kata Valdi, jantungnya berdegup kencang. Celine, dengan gerakan yang penuh perhatian, menghampiri Valdi, berusaha meredam kemarahannya. Mayang, yang tertidur mabuk di sofa, tak menyadari apa yang terjadi.Kamala mendekat ke Sarah, sedikit ketakutan.""Iya, gue yang suruh Sarah biar jangan ngomong kalau Mala itu TS. Maaf ya, Val, gue cuma pengen liat reaksi lo," jelas Celine, matanya penuh penyesalan. Valdi, yang masih sedikit kesal, menatap Celine dengan tatapan yang bercampur antara marah dan terkejut."Kampret loe, Lin," desis Valdi, namun suaranya mulai melembut saat Celine merangkulnya dan menciumn
Malam itu, lantai tiga rumah Valdi berubah menjadi tempat yang penuh dengan energi baru. Hadirnya Kamala membawa suasana segar, terutama dengan keahliannya sebagai bartender. Meskipun ia tidak sampai melakukan atraksi lempar-lempar botol, Kamala sangat ahli dalam meracik minuman, menghidangkan berbagai cocktail seperti martini, long island, dan rainbow dengan cekatan.Musik techno yang mengalun lembut memenuhi ruangan, dipadu dengan cahaya lampu yang berkedip-kedip menciptakan atmosfer yang tak kalah seru dari tempat clubbing ternama. Ruangan terasa hangat dengan campuran aroma minuman dan suara tawa yang riang.Mayang, yang biasanya pemalu, tampak sangat mabuk malam itu. Wajahnya memerah, tubuhnya lemas namun penuh semangat, terutama saat ia tertawa dan menggoda Valdi yang duduk di sofa. Dengan riangnya, Mayang berada di samping Valdi, tangannya melingkari leh
Pagi itu, suasana rumah masih sepi. Celine masih tertidur lelap di kamar, sementara Mayang sibuk dengan kuliah online-nya. Valdi, yang baru bangun, memutuskan untuk beranjak ke bawah. Saat tiba di halaman depan, pandangannya tertuju pada Sarah yang sedang mencuci mobil dengan penuh ketelitian, seperti yang sering ia lakukan.Valdi memperhatikan Sarah dalam diam. "Ni anak bersih-bersih terus," pikirnya dalam hati, sambil tersenyum kecil. Namun, apa yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan adalah penampilan Sarah. Kaus V-neck dan rok mini tenisnya sudah basah kuyup, menempel ketat pada tubuhnya, memperlihatkan siluet yang menggoda. Tak ada dalaman yang menutupi tubuhnya di balik rok, dan itu membuat Valdi merasa tergelitik.Tanpa banyak berpikir, Valdi menghampiri Sarah. Sarah yang asyik mencuci, tak menyadari kehadiran Valdi hingga akhirnya sebuah sentuhan
Setelah malam itu hubungan Celine dan Sarah menjadi semakin dekat, suatu malam di malam yang sunyi, di kamar Celine, suasana semakin memanas. Di antara desahan pelan dan ciuman yang semakin intens, tubuh Celine dan Sarah saling menempel erat. Tangan mereka dengan penuh gairah saling menjelajah, sementara jari-jari mereka sibuk memuaskan satu sama lain. Kedua wanita itu tenggelam dalam keintiman yang luar biasa, napas mereka semakin berat, tubuh mereka menggeliat tanpa henti.Celine mendesah panjang, matanya setengah terpejam, tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Sarah. "Sarahhh... aku hampir...," desah Celine, suaranya serak dan penuh gairah, tubuhnya semakin tegang, merasakan sensasi kenikmatan yang tak tertahankan.Sarah, yang juga berada di ujung puncaknya, tak bisa menahan erangan. "Aku juga... mau keluar..." jawabnya, suaranya terdengar terputus-putus, napa
Ketika Sarah meraih puncaknya yang kelima, tubuhnya bergetar hebat, tak mampu menahan gelombang kenikmatan yang menghantamnya bertubi-tubi. Hentakan pinggulnya semakin liar, sementara sensasi yang ia rasakan begitu intens, melebihi apa yang pernah ia alami sebelumnya. Tubuhnya bergetar tanpa henti, dan akhirnya, ia terkulai lemah di bawah Valdi, air mata mulai mengalir di pipinya. Meski tubuhnya terasa puas, ada sesuatu yang mengguncang emosi Sarah hingga membuatnya menangis.Valdi menatapnya dengan bingung, jari-jarinya menyapu lembut air mata yang mengalir di wajah Sarah. "Sarah, kenapa kamu nangis? Kamu nggak suka?" tanya Valdi, suaranya terdengar lebih lembut kali ini, meski masih dipenuhi kendali.Sarah, yang masih terengah-engah, menggelengkan kepalanya pelan. Matanya penuh air mata, namun di balik itu ada perasaan yang sulit dijelaskan. Dia merangkul Val