Marco mengintip keluar kamarnya. Tidak terdengar suara apapun, bahkan dari kamar Cassandra, keponakannya.
"Hmm … mungkin dia sedang mandi setelah berenang tadi," batinnya. "Mending aku cepat-cepat keluar sekarang, daripada nanti berurusan dengan bocah itu."Cepat-cepat Marco menuruni tangga. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Bik Sum, asisten rumah tangga yang sudah belasan tahun mengabdikan dirinya di rumah itu. "Loh, Den Marco mau kemana?" tanyanya. "Bibik sudah masakin opor ayam kesukaan Den Marco loh."Marco hanya melambaikan tangannya. "Mau ketemu teman-teman, Bik," sahutnya singkat sambil mempercepat langkahnya menuju pintu. Sesaat ia menoleh ke belakang, mencari tahu apakah suara berisik itu membuat Cassandra menyadari jika ia sedang menghindarinya. Dan Marco pun dapat menghela napas lega ketika tak melihat gadis ayu itu muncul dari kamarnya. Entah kenapa ada perasaan mengganjal saat ia hendak meninggalkan rumah itu. Tapi jalan terbaik adalah menghindarinya. Apa jadinya jika ia benar-benar tidur dengan keponakannya sendiri nanti malam. Ah! Sandra benar-benar nyaris membuatnya jantungan di hari pertamanya kembali ke rumah."Lihat! Siapa ini?" sambut Reana. "Woah! Kulitnya lebih eksotis dari sepuluh tahun yang lalu. Njir, Nyet, kenapa pacar lo jadi ganteng gini. Jangan-jangan karena dia pake ramuan penduduk asli ….""Ish! Apaan sih?" tangkis seorang wanita muda di sisinya. Marco hanya tertawa kecil menanggapi celoteh sahabat-sahabatnya yang sudah sepuluh tahun tidak didengarnya lagi. Ia tidak menanggapi perkataan yang hanya dianggapnya sebagai lelucon itu. "Emang, lo udah punya pacar? Kenapa nggak balikan aja sama Zissy?" cetus Reana. "Nyet, daripada lo ngejomblo ngerecokin gue terus, mendingan lo balik deh sama Marco."Mendengar kalimat ceplos yang diucapkan Reana, membuat Zissy merasa malu. Ia mencubit pinggang sahabatnya itu dengan keras. "Sialan lo!""Sudah … sudah. Yang lalu biar berlalu," tukas Marco. "Sekarang kita jalani saja malam ini."Rexy mengangkat gelasnya dan menempelkannya di gelas Marco. "Untuk kita berempat malam ini."Reana menatap Zissy dengan heran. Ia tahu bahwa sahabatnya itu begitu menyesali putusnya hubungannya dengan Marco sepuluh tahun yang lalu. Ia tahu bahwa Zissy juga tidak bisa membuka hati pada siapapun selama sepuluh tahun ini. Tapi kenapa ia seakan mengkhianati perasaannya sendiri. "Nyet, lo yakin nggak mau balikan sama dia," bisik Reana. Zissy menghela napas panjang. Perempuan itu mengedikkan pundaknya dengan pasrah. "Gue cuma nggak mau terlihat payah di hadapan dia.""Jujur aja deh, lo mau kan sama dia?" desak Reana. "Gimana kalo gue bantu lo. Gue bisa bikin dia nggak bakalan bisa lepas lagi dari lo.""Gimana caranya? Pake pelet? Makin gila aja lo!" sahutnya. Untung saja musik yang terdengar, jauh lebih keras daripada suara Zissy. Tak ada yang mendengar perkataannya selain Reana. "Tapi lo mau, kan?" tanya Reana sekali lagi. Zissy tak menjawab. Ia semakin gelisah di antara menerima bantuan Reana atau menolaknya. Sesekali ia melirik Marco, mengamati sosok lelaki yang sepuluh tahun ia rindukan. Dan yang lebih menyakitkan baginya adalah Marco terlihat acuh, seakan tak pernah ada hubungan apapun di antara mereka. Kehadirannya bahkan seperti sebuah kehampaan yang tak berarti. Kali ini tanpa ragu, Zissy pun menganggukkan kepalanya. "Gue mau. Tapi nggak pake pelet atau ilmu hitam. Gue anti sama yang mistis begituan."Reana tertawa terkekeh. "Njir! Lo pikir gue biasa pake yang begituan, apa?"Zissy menghela napas lega. Setidaknya ketakutan dalam pikirannya tidak akan terjadi. Ia tahu bahwa memakai ilmu hitam akan mempersulit kehidupannya kelak.Reana merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan sebutir kapsul dari dalam sebuah kantong plastik kecil dan menyerahkannya pada Zissy. "Nih, pasang di minumannya." Zissy menatap sahabatnya penuh keraguan. "Bukan racun!" lanjut Reana. "Itu obat yang biasa gue pakein ke Rexy kalo gue lagi pingin.""Tapi Re," potong Zissy. "Gimana kalo dia marah?""Ck! Mana ada kucing yang nolak dikasih ikan," sahut Reana. "Udah, nurut aja. Gue juga kasihan sama lo. Udah kepala tiga, masih aja perawan."Zissy menggigit bibirnya. Kalimat itu sudah sering diterimanya. Bukan hanya dari mulut Reana, bahkan dari mulut kawan-kawannya di tempat kerjanya. Lamunan Zissy buyar saat ia merasakan tepukan di pundaknya. "Cepetan! Sekarang waktunya. Mumpung mereka ke toilet." Mendengar instruksi Reana, dengan gugup Zissy pun membuka kapsul yang ada dalam genggamannya. Ia menaburkan serbuk putih itu ke dalam minuman Marco.***"Gue pulang duluan," pamit Marco.Lelaki itu sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tubuhnya. Tubuhnya terasa memanas dan ada perasaan tak nyaman yang begitu mengganggunya. "Lo belum mabuk, kan Mar?" tanya Rexy. "Kenapa udah mau pulang?""Gue anterin!" tawar Zissy cepat. "Lo nggak bisa nyetir dalam keadaan mabuk kayak gini." "Tapi gue nggak mabuk." Marco menepiskan tangannya."Nggak ada orang mabuk, yang mengatakan dirinya mabuk," timpal Reana. Perempuan itu mengedipkan satu matanya pada Zissy. "Antar dia sampai tujuan, Nyet!" Zissy menganggukkan kepalanya. Mau tak mau Marco menuruti perkataan teman-temannya. Di dalam mobil, pengaruh obat mulai berjalan. Beberapa kali Marco mendesis dan berusaha menenangkan dirinya. Ia kembali teringat pada keponakannya di rumah. Seandainya ia pulang malam ini, maka sudah dapat dipastikan ia tidak akan dapat beristirahat dengan nyaman. "Magnolia," ucapnya. "Hah?" Mendengar Marco menyebutkan nama sebuah hotel, membuat Zissy mendadak gugup. Bagaimana tidak, dengan pengaruh obat itu, kemungkinan Marco akan berubah menjadi harimau yang ganas di ranjang. "Aku tidak mungkin pulang malam ini. Keponakanku terus menempel seperti permen karet," keluhnya. "Jangan berpikir yang aneh-aneh." Zissy menelan kasar salivanya. "Apa kamu benar-benar sudah melupakan semua kenangan kita?" "Tidak," sahut Marco. "Seperti sejarah, semua tidak mungkin terlupakan walau perasaan yang ada bisa saja berubah." Zissy memutar kemudinya, mengendalikan kendaraan beroda empat itu masuk ke halaman parkir sebuah hotel. Dengan tangkas, ia menempatkan kendaraan itu sejajar dengan kendaraan lainnya. "Terima kasih, kamu bisa pulang sekarang." Marco berbalik dan masuk ke dalam lobi hotel. Tapi Zissy tetap membuntutinya. Reana sudah memberitahunya bahwa efek obat itu akan segera muncul, tidak lebih dari tiga puluh menit setelah Marco meneguknya. Dengan sisa keberanian, Zissy mengikuti dan menerobos masuk ke dalam kamar Marco. Ia sudah melepaskan semua perasaan malunya. Tanpa ragu, ia memeluk Marco. "Tapi perasaanku tak pernah berubah. Marco, aku benar-benar menyesali perpisahan itu. Sepuluh tahun jauh darimu, adalah hukuman terberat bagiku," ucapnya. Marco berbalik. Pandangannya tampak kabur. Bahkan wajah perempuan di hadapannya tak terlihat jelas. Lelaki itu memicingkan matanya. Kini wajah perempuan itu terlihat di matanya. Sosok gadis cantik yang seharian seolah menggoda dirinya. "Cassandra …." Marco membalas pelukannya lebih erat. Suhu tubuhnya semakin meningkat seiring hasratnya untuk dipuaskan.Marco mengecup bibir Zissy dengan penuh hasrat. Tentu saja, perempuan itu menyambutnya dengan sepenuh hati. Penantian selama sepuluh tahun seakan terbayar lunas berkat obat yang diberikan oleh Reana. Zissy bisa melepaskan kerinduannya selama sepuluh tahun ini. Dengan penuh hasrat, Marco mengecup perempuan di hadapannya. Badannya yang semakin memanas, membuatnya semakin tak sabar untuk melepaskan birahi yang sengaja di tekannya selama beberapa menit terakhir pada wanita yang dicintainya itu. "Cassandra …." Marco semakin menggila. Hanyalah Cassandra yang saat ini berada di benaknya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa semua itu hanya halusinasinya. Ia mulai mencecap setiap inchi tubuh perempuan di hadapannya, hingga meninggalkan noda kemerahan di kulit putihnya. Zissy mengerjapkan sepasang matanya. Perasaan gelisah mulai bergelayut di dalam pikirannya. Mungkin bagi Marco dia hanyalah perempuan yang lewat dan singgah sementara dalam hatinya. Tapi ia hanya bisa menahan perasaan cemburu
"Tidak," batinnya. "Aku tidak mau jadi monster yang bahkan memangsa keluargaku sendiri." Marco melepaskan gagang knop pintu. Dia mengabaikan panggilan dari Cassandra dan berbalik menuju kamar mandi. Dipenuhinya bak mandi dengan air dingin dan tanpa berpikir panjang, ia pun berendam di dalamnya. ***Pagi itu Cassandra telah siap untuk berangkat kuliah. Ia membuka pintu kamarnya. Sesaat ia mematung ketika kembali teringat pada kejadian semalam. Ia teringat tentang bagaimana Marco memeluknya dan betapa panas suhu badan pamannya itu. Gadis itu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya."Dia bukan Om Marco yang dulu. Sudahlah, dia tidak punya waktu melayani bocah seperti aku," batinnya. Dengan sedikit kesal, Cassandra menghentakkan sepatunya dan berlari turun dari lantai satu rumah tinggalnya."Pagi Non Sandra," sapa Bik Sum. "Sarapan dulu, Non. Bibik khusus bikin omelet sama daging teriyaki kesukaan Non." Tanpa sebuah jawaban, Sandra menarik kursi dan duduk di depan meja makan. Te
Ciuman itu mendarat di bibir Marco. Walau hanya beberapa detik saja, serangan mendadak itu mampu membuat jantung Marco berdetak dengan kencang. Pembuluh darahnya seakan terpompa dengan cepat menghantam katup-katup jantungnya. Sebuah perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, dengan perempuan lain yang pernah disentuhnya. Cassandra benar-benar sudah berhasil mempermainkan hatinya. Marco terpaku. Sepasang matanya menatap Cassandra tak berkedip. Waktu seakan berhenti baginya. Wajah merona gadis di hadapannya terlihat begitu menggodanya. Cassandra merasa kikuk setelah berhasil dengan serangannya. Apalagi tatapan mata Marco, membuatnya semakin merasa malu. Wajahnya terasa memanas, seolah aliran darahnya menjadi sangat lancar. "Sandra, kamu nggak boleh melakukan hal seperti itu," ucap Marco setelah kesadarannya pulih. "Apalagi dengan sembarang pria. Kamu –" Sekali lagi Cassandra mendaratkan ciumannya, membungkam kalimat bernada tinggi yang hendak diluncurkan
Zissy menyeka bibir neneknya setelah suapan terakhir tuntas diberikannya. Perempuan berusia delapan puluhan itu masih mencecap makanan yang tersisa dengan giginya yang hanya beberapa saja. “Enak, Oma? Nanti malam mau dimasakin apa?” tanya Zissy dengan senyum lembutnya. “Terserah kamu. Oma makan apapun yang kamu masak. Semua masakan buatanmu enak,” sahut si nenek.“Ya sudah, sekarang Oma mau ngapain?” tanya Zissy. Ia bersiap untuk membantu memposisikan wanita tua itu.“Mau rebahan,” sahutnya, tak terlalu jelas karena jumlah giginya yang nyaris habis. “Kok rebahan, Oma? Apa nggak capek terus rebahan?" tanyanya pada wanita yang telah membesarkannya itu.Belum sempat sang nenek memberikan jawaban, ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya. “Tidak biasanya ada tamu,” gumamnya. Ia bergegas meninggalkan perempuan tua itu untuk membuka pintu rumahnya. Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Marco, mantan kekasihnya berdiri tepat di depan pintu. Sejenak keduanya membisu dan sa
"Teman!" "Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassand
Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem