Ciuman itu mendarat di bibir Marco. Walau hanya beberapa detik saja, serangan mendadak itu mampu membuat jantung Marco berdetak dengan kencang. Pembuluh darahnya seakan terpompa dengan cepat menghantam katup-katup jantungnya.
Sebuah perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, dengan perempuan lain yang pernah disentuhnya. Cassandra benar-benar sudah berhasil mempermainkan hatinya.Marco terpaku. Sepasang matanya menatap Cassandra tak berkedip. Waktu seakan berhenti baginya. Wajah merona gadis di hadapannya terlihat begitu menggodanya.Cassandra merasa kikuk setelah berhasil dengan serangannya. Apalagi tatapan mata Marco, membuatnya semakin merasa malu. Wajahnya terasa memanas, seolah aliran darahnya menjadi sangat lancar."Sandra, kamu nggak boleh melakukan hal seperti itu," ucap Marco setelah kesadarannya pulih. "Apalagi dengan sembarang pria. Kamu –"Sekali lagi Cassandra mendaratkan ciumannya, membungkam kalimat bernada tinggi yang hendak diluncurkan Marco kepadanya.Jantung Marco berdegup semakin kencang ketika sensasi lembut dan kenyal itu kembali mendarat di bibirnya. Dan celakanya, saat ini ia tak dapat mengontrol hasratnya. Lelaki itu tak lagi peduli dengan status kekerabatan mereka, ia justru membalas kecupan itu dengan penuh hasrat.“Ah!” teriak Marco. Lelaki itu melepaskan pelukannya. Ia menatap keponakannya dengan kesal.“Kenapa?” tanyanya. “Bukankah itu yang kamu mau? Kenapa malah menggigitku?”Lelaki itu menyambar lembaran tisu yang berada di atas dashboardnya. Ia menyeka darah yang keluar dari bibirnya.“Terpaksa,” sahut Cassandra dengan perasaan bersalah. “Habisnya … kalo Om nggak berhenti, aku bakalan benar-benar terlambat untuk mata pelajaran pertamaku.”Marco menggelengkan kepalanya. Ia merasa bahwa ini adalah sebuah peringatan baginya. Sebuah peringatan bahwa ia tidak boleh membiarkan perasaannya berkembang.Dalam waktu singkat, Cassandra pun tiba di tempat kuliahnya. Pagi yang semula suram, kini berubah menjadi begitu cerah. Bahkan semua orang terlihat begitu ramah di matanya. Mulai dari Pak Samsul, sang penjaga gerbang sampai Pak Manurung, si dosen killer yang berpapasan dengannya.“Selamat pagi, Pak!” sapa Cassandra dengan senyum sumringah di wajahnya.“Selamat pagi,” balasnya dengan satu tangan memegang buku cetaknya tebal. “Jam berapa ini? Kenapa kamu belum masuk kelas?”Melihat buku itu terangkat ke udara seolah mengancam nyawanya, Cassandra pun melarikan diri. Ia tertawa terkekeh sambil berlari melalui lorong yang mulai sepi.Bukan hanya itu, saat pelajaran berlangsung pun, ia masih tak bisa melupakan momen kebersamaannya pagi itu. Ia masih dapat merasakan kehangatan bibir Om Marco di bibirnya. Ia masih dapat merasakan ketika lidah lelaki itu menjelajahi rongga mulutnya."Cassandra, coba jelaskan inti dari wacana yang sedang kita bahas hari ini!" Bu Zissy seperti menyadari bahwa gadis itu hanya hadir secara fisik, seperti cangkang tanpa isi. Pikirannya terbang melayang tanpa arah.Mendengar namanya disebut, Cassandra tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Wajahnya terlihat tegang dalam seketika. Ia menatap sekelilingnya, tentu saja untuk mencari pertolongan dari kawan-kawannya. Yang dibutuhkannya saat ini adalah jawaban atas pertanyaan guru bahasanya itu.Akan tetapi tak ada satupun di antara mereka yang membantunya. Sepertinya jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah. Hanya Hanny, sahabatnya yang memberikan kode, ia mengarahkan jarinya ke atas lembaran kertas yang dibagikan di awal pelajaran tadi."Apa yang Farhan dan Risa rasakan dalam wacana itu? Konflik apa yang diangkat oleh sang penulis? Bukankah semuanya sudah dijabarkan dengan jelas dalam narasinya?" desak Bu Zissy, wanita berusia tiga puluhan itu melangkah menghampirinya."Farhan marah pada Risa karena ia tidak mau kehilangan Risa. Ia tidak mau mengakui perasaan yang dipendamnya selama bertahun-tahun karena takut kehilangan, demikian pula sebaliknya.""Benar. Semua perasaan dinarasikan dengan jelas melalui permainan diksi penulis, bukan?" timpal Bu Zissy. Dosen cantik itu merasa senang karena Cassandra bisa menjawab pertanyaannya dengan baik."Tidak, Bu."Sahutan Cassandra, sontak membuat Bu Zissy mengerutkan dahinya. "Jelaskan alasanmu.""Penulis mengekspresikan tulisannya dengan cara bertele-tele. Pada kenyataannya, kenapa Farhan tidak langsung mengatakannya saja kalau memang dia mencintai Risa, demikian pula sebaliknya. Saya rasa dengan plot seperti ini, pembaca dibuat bosan dengan kisah yang berputar di tempat yang sama.Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Jika tidak dengan kalimat, Farhan bisa melakukannya dengan perbuatan. Jika tidak keduanya, maka bisa disimpulkan bahwa Farhan tidak mencintai Risa."Mendengar jawaban Cassandra, wajah Bu Zissy langsung memerah."Baik, kalau begitu kalian semua silahkan membuat sebuah cerita pendek sebanyak tiga lembar kertas. Ibu mau lihat, seberapa pandai kalian merangkai diksi dan bernarasi dengan plot yang kalian atur sendiri.""Huuu!" Teriakan seisi ruang kelas terdengar.Cassandra duduk kembali di kursinya. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan kelas. Dari suara gaduh yang terdengar, sangat mudah baginya untuk menyimpulkan jika kawan-kawannya sedang mempersalahkannya atas tugas itu."Njir, rese amat sih, ngatain tulisan Bu Zissy bertele-tele! Kita-kita juga kan yang jadi rempong dapat tugas nggak jelas macem gini," keluh seorang siswa tepat saat sang dosen sudah meninggalkan kelas.Mendengar kalimat itu, Cassandra pun terkejut. "I–itu … wacana itu buatan Bu Zissy, Han? Kamu yakin itu buatan dia?""Ah … makanya, kamu itu kalau baca yang lengkap! Budayakan membaca! Tuh ada nama dia juga tercantum di bagian penulis." Hanny menunjuk sebuah nama yang tercetak lebih kecil tepat di bawah judul wacana."Astaga! Dia pasti marah sama aku sekarang."Hanny mengedikkan pundaknya. "Nggak ada cara lain. Kamu mesti minta maaf sama dia. Datangin rumahnya, daripada nilai-nilai kamu jeblok nantinya.""Ah! Ngeselin amat sih!"Peristiwa itu spontan membuat mood Cassandra kembali buruk. Bagaimana ia harus meminta maaf pada Bu Zissy, sementara ia bahkan tak merasa bersalah. Semua yang dikatakannya itu benar. Kisah itu terlalu mengada-ngada bagi Cassandra.Hanya ada satu cara agar ibu dosen itu mau memaafkannya, atau setidaknya mempertimbangkan supaya tidak memberikan nilai buruk, yaitu membawa ayahnya ke dalam kasus ini. Tapi kali ini ia tak bisa memanfaatkan ayahnya karena dia sedang pergi jauh."Om Marco!" panggil Cassandra. Gadis itu mengetuk pintu kamar pamannya dengan tak sabar.Tak lama kemudian, Marco keluar dari kamarnya. Ia menatap heran keponakannya yang berwajah kusut. Ia dapat menebak bahwa sesuatu telah terjadi."Kenapa? Apa kamu abis bertengkar dengan temanmu? Ada yang sakit?" Cecar Marco. "Katakan siapa yang berani melakukan semua ini?"Wajah ceria yang biasanya sama sekali tak terlihat, hanya wajah suram dengan bibir manyun yang ada di hadapannya."Dosenku marah sama aku, Om. Cuman gara-gara aku terlalu jujur menjawab pertanyaannya," lapor Cassandra."Jujur?" Ulang Marco karena tak percaya. "Guru mana yang tidak suka muridnya jujur. Sepertinya aku perlu menemuinya!""Jadi … Om Marco mau temanin aku ketemu sama dosenku itu? Terus terang, aku takut nilaiku bakal dibuat jeblok hanya karena masalah ini.""Ya! Aku rasa aku harus memberinya pelajaran tentang bagaimana cara menjadi guru yang baik!"Cassandra tersenyum senang. "Syukurin! Bu Zissy, tamat riwayatmu! Om Marco bakal kasih kamu pelajaran! Gila aja kasih tugas bikin karangan sebanyak itu."Zissy menyeka bibir neneknya setelah suapan terakhir tuntas diberikannya. Perempuan berusia delapan puluhan itu masih mencecap makanan yang tersisa dengan giginya yang hanya beberapa saja. “Enak, Oma? Nanti malam mau dimasakin apa?” tanya Zissy dengan senyum lembutnya. “Terserah kamu. Oma makan apapun yang kamu masak. Semua masakan buatanmu enak,” sahut si nenek.“Ya sudah, sekarang Oma mau ngapain?” tanya Zissy. Ia bersiap untuk membantu memposisikan wanita tua itu.“Mau rebahan,” sahutnya, tak terlalu jelas karena jumlah giginya yang nyaris habis. “Kok rebahan, Oma? Apa nggak capek terus rebahan?" tanyanya pada wanita yang telah membesarkannya itu.Belum sempat sang nenek memberikan jawaban, ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya. “Tidak biasanya ada tamu,” gumamnya. Ia bergegas meninggalkan perempuan tua itu untuk membuka pintu rumahnya. Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Marco, mantan kekasihnya berdiri tepat di depan pintu. Sejenak keduanya membisu dan sa
"Teman!" "Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassand
Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.
“Sandra, apa yang kamu lakukan?” Teriakan itu sontak membuat Cassandra mematung. Jemari tangannya berhenti melepaskan manik kancing kemeja yang dipakainya. “Kenapa Om? Bukannya Om Marco sudah biasa melihatku dengan tanktop di rumah,” protes Cassandra. “Tapi … apa kamu nggak malu kalau semua pekerja papa kamu ngeliatin kamu?” “Ish! Mana? Siapa? Ibu Niken maksud Om?” Cassandra tertawa kecil. “Cassandra Armeta! Sebagai adik papa kamu, Om ingatkan bahwa kamu sudah dewasa! Kamu bukan anak kecil lagi,” hardik Marco. “Bersikaplah bijak layaknya perempuan dewasa.” Marco merasa sangat kesal. Bagaimana bisa dirinya membiarkan pria lain menatap tubuh sexy Cassandra. Membayangkan tatapan penuh damba pria lain pada keponakannya itu saja, sudah cukup membangkitkan emosinya. Di lain pihak, Cassandra terkejut mendengar teguran dari pamannya. Baginya teguran itu cukup menjatuhkan harga dirinya. T
Marco menghela napas, mencoba mengusir emosi yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. “Bagus. Sekarang sebaiknya kamu pulang untuk menemui kekasihmu itu,” sahut Marco setelah berhasil mengatasi rasa emosinya. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya ke atas pundak keponakannya dan memutarnya hingga menghadap ke pintu. Namun saat Marco membuka pintu, Cassandra justru memanfaatkan kelengahannya. Gadis itu berputar, berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir Marco. Jantung Marco berdetak dengan kencang saat bibir lembab nan lembut itu menyentuh bibirnya. Pikiran dan hatinya saling bertentangan. Otaknya memerintahkan untuk melepaskan Cassandra, namun hatinya tak dapat merelakan perasaan indah ini. Cassandra terlalu indah untuk dilepaskan. Bahkan jika ini adalah mimpi, ia tak ingin terbangun lagi. “Cassandra.” Gadis itu kembali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Marco. Ia bahkan meletakkan kepalanya di dada bidang pamannya. “Aku sudah berada di depannya. Lalu untuk apa aku pergi,”
“Cassandra, apa-apaan ini. Letakkan pisau itu,” titah Marco saat melihat benda tajam di tangan Cassandra. Cassandra menggelengkan kepalanya. “Untuk apa aku hidup, tak ada satupun yang menyayangi aku. Bahkan orang tuaku juga membenciku. Lalu apa alasanku untuk tetap hidup?” “Sandra …” Marco melangkah mendekat dengan penuh waspada. “Jangan lakukan itu. Percayalah, jangan sampai kamu melakukan sesuatu yang akan kamu sesali.” "Jalanmu masih panjang, jangan menyakiti dirimu sendiri," lanjutnya. "Baiklah," sahut Cassandra. "Tapi katakan dengan jujur, sebenarnya Om juga mencintaiku, bukan?"Marco menelan kasar salivanya, ia seakan terjebak dalam jalan yang dipilihnya sendiri. Tentu saja dia tidak mungkin mengelak setelah mencumbu Cassandra barusan. Ia tidak mungkin bisa mengatakan tidak mempunyai perasaan apapun, sementara keponakannya telah merasakan luapan hasratnya."Cassandra," panggilnya. "Aku …." Cassandra melepaskan pisau itu dari tangannya. Gadis itu melangkah mundur sembari men
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem