"Teman!"
"Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassandra membulat. Ia benar-benar tak menduga jika dosennya itu bahkan sudah merayu pamannya. Kali ini jawaban itu membuatnya benar-benar bungkam.Marco mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan perubahan raut wajah Cassandra yang begitu cepat. Wajah ceria dan suara manja itu tiba-tiba saja berubah menjadi datar tanpa ekspresi. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Marco. "Nggak," sahut Cassandra singkat sembari membuang muka ke jendela sampingnya. Melihat perubahan mood keponakannya, Marco kehilangan selera untuk menggodanya. Ia kembali mengendarai mobilnya menuju rumah mereka.Cassandra segera turun dari mobil. Gadis itu melangkah cepat masuk ke dalam rumah, tanpa menghiraukan teriakan Marco. Satu hal yang ingin dilakukannya saat ini, mengurung diri di kamar. Ia tidak ingin melihat wajah pamannya ataupun membayangkan sosoknya dan Bu Zissy yang sedang bermesraan.Entah mengapa firasat Sandra dengan jelas mengatakan bahwa hubungan keduanya bukan hanya sekedar teman. Dan firasat itu membuat perasaannya tak nyaman. Ia bahkan menyesal sudah meminta bantuan Marco untuk menyelesaikan masalahnya dengan Bu Zissy."Sandra! Dengarkan aku!" teriak Marco. Sepasang kakinya bergerak dengan cepat menyusul langkah Cassandra. Suara ketukan langkahnya ketika menaiki anak tangga terdengar dengan ritme yang cepat."Nggak ada yang perlu dijelaskan Om. Dari bahasa tubuh kalian, Aku bisa tahu sejauh apa hubungan Om dengan Bu Zissy," ucap Cassandra. Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Marco tepat di depan pintu kamarnya. "Aku tahu, aku cuma anak ingusan yang nggak ada artinya buat Om. Dan aku sadar kalau … Bu Zissy jauh lebih berharga dari pada aku." "Cassandra!" hardik Marco dengan kesal. "Apa yang coba kamu katakan? Apa kamu kira kamu bisa membaca pikiranku? Apa kamu kira kamu seorang cenayang yang bisa mengerti tanpa mendengarkan penjelasan dariku?”Kali ini Cassandra terdiam. Ia berdiri mematung dengan perasaan yang tak menentu. Sementara itu Marco melangkah perlahan mendekatinya. Marco menjentik kening Cassandra. "Gadis bodoh! Kamu pikir siapa yang lebih berharga daripada keponakanku?" Cassandra mengelus keningnya yang sakit karena jentikan itu. Bibirnya manyun, karena kesal. Namun ia juga merasa seakan melambung ke atas langit karena pengakuan Marco. "Secantik apapun wanita itu, bagi Om, kamu adalah satu-satunya permata yang paling berharga," lanjut Marco. "Jadi … apa Om akan tetap bersamaku seumur hidup Om?" tanya gadis itu. “Tidak,” sahut Marco. “Aku tidak bisa menjanjikan itu. Tapi … Om akan selalu ada setiap kamu membutuhkan Om.” Cassandra menarik sudut bibirnya, membingkai seulas senyumannya yang indah. ***Malam itu begitu terasa berat bagi Cassandra. Ia masih saja berkutat di depan layar komputernya. Sepasang matanya menatap layar yang masih bersih tanpa satu kata pun.“Ah … aku sama sekali nggak punya ide,” keluhnya. “Gimana ini? Apa yang harus aku tulis?” Gadis itu mendorong papan ketiknya dan meletakkan kepalanya ke atas meja dengan frustasi. Sudah berjam-jam ia duduk di depan komputer, tapi di kepalanya tak terlintas sedikitpun topik untuk bahan tugas bahasa. “Ah … mungkin Om Marco punya kenalan yang biasa bikin tugas seperti ini.” Cassandra menjentikkan jarinya seolah itu adalah sebuah ide cemerlang. Gadis itu bergegas berdiri dan mencari pamannya.Ia mengetuk pintu kamarnya tanpa ragu. “Om Marco,” panggilnya sembari membuka knop pintu yang ternyata tak terkunci itu. Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Dari lapisan kaca es, tampak siluet tubuh lelaki itu tatkala menikmati guyuran air yang turun dari showernya. Bukannya kembali ke dalam kamarnya, Cassandra justru menunggunya. Ia mendekati audio yang ada di dalam ruangan itu. Sepasang tangannya mencari disk lagu kesukaannya dan memasangnya ke dalam perangkatnya. Suara musik lembut yang terdengar, membuat Marco segera mematikan kran showernya. Seseorang sedang berada di dalam kamarnya. Ia tidak bisa gegabah untuk keluar begitu saja dari ruangan kecil yang sudah dipenuhi uap air itu. Tapi bagaimana caranya jika ia tidak membawa selembar pakaian pun untuk dikenakan. Marco melingkarkan handuknya di pinggangnya. Setidaknya untuk menutupi bagian intimnya dari keponakannya. Ia harus memperingatkan Cassandra untuk tidak sembarang masuk ke kamarnya dan memintanya untuk menunggu di luar kamar. Marco membuka pintu kamar mandi. Tepat saat itu ia melihat Cassandra sedang asyik memperhatikan barang-barang yang masih tersisa di dalam tas kopernya. Dan celakanya, Cassandra sedang menimang barang berharga yang biasa disimpannya. Karet pengaman miliknya. “Ini apa Om? Baunya manis, tapi kok mirip balon?” tanya Cassandra dengan polosnya. Menyadari benda miliknya berada di tangan keponakannya, membuat Marco mendadak gugup. Ia berlari untuk merampas benda yang seharusnya disimpannya di tempat yang aman itu.“Sandra, lain kali jangan sembarangan masuk ke kamar Om,” ucapnya sembari memasukkan karet pengaman yang sudah keluar dari foil nya ke dalam tong sampah. Sandra mengamati tingkah pamannya. “Lah, kok dibuang? Itu permen karet kan Om?” Marco menepuk keningnya. “Dan satu lagi, kamu dilarang memegang barang-barang milik Om di kamar ini.” “Huh! Pelit amat, sih. Permen karet aneh itu paling juga berapa,” protesnya. Marco menghela napas. Ia tak ingin melanjutkan perdebatan ini. Lelaki itu berbalik dan melangkah menuju lemari pakaiannya, masih dengan handuk yang melilit di pinggangnya.“Ada apa kamu kemari?” tanya Marco. Lelaki itu meraih sebuah kaos dan celana pendek dari dalam lemarinya, sebelum kembali berbalik menatap keponakannya. “Om Marco sibuk? Sandra butuh sedikit bantuan Om,” sahut gadis itu. “Bantuan? Bantuan apa?” tanya Marco penasaran. Mendengar kalimat bernada menantang itu, senyuman lebar terbit di bibir Cassandra. “Sini deh Om! Sandra mau nunjukin sesuatu!” sahut Cassandra.Tanpa peduli kalau pamannya bahkan belum memakai pakaiannya, gadis itu menggenggam tangannya dan menariknya masuk ke dalam kamarnya sendiri. Marco yang mengira Sandra sedang dalam masalah, tak bisa menolaknya. Lelaki itu dengan patuhnya mengikuti langkah Cassandra. Ia baru tersadar ketika sudah berada di dalam kamar Cassandra. Kamar dengan aroma wangi melati dengan gaya khas gadis remaja jaman now itu sontak membuat jantungnya berdebar. Ditambah lagi saat melihat gaya busana keponakannya yang serba minim. Sebagai seorang lelaki normal, kejantanannya langsung tergugah. Batangnya mengeras di balik balutan handuk putihnya. “Om! Please, bikinin dong Om! Ntar sebagai bayarannya, Sandra bakal kasih apapun yang Om minta.”Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.
“Sandra, apa yang kamu lakukan?” Teriakan itu sontak membuat Cassandra mematung. Jemari tangannya berhenti melepaskan manik kancing kemeja yang dipakainya. “Kenapa Om? Bukannya Om Marco sudah biasa melihatku dengan tanktop di rumah,” protes Cassandra. “Tapi … apa kamu nggak malu kalau semua pekerja papa kamu ngeliatin kamu?” “Ish! Mana? Siapa? Ibu Niken maksud Om?” Cassandra tertawa kecil. “Cassandra Armeta! Sebagai adik papa kamu, Om ingatkan bahwa kamu sudah dewasa! Kamu bukan anak kecil lagi,” hardik Marco. “Bersikaplah bijak layaknya perempuan dewasa.” Marco merasa sangat kesal. Bagaimana bisa dirinya membiarkan pria lain menatap tubuh sexy Cassandra. Membayangkan tatapan penuh damba pria lain pada keponakannya itu saja, sudah cukup membangkitkan emosinya. Di lain pihak, Cassandra terkejut mendengar teguran dari pamannya. Baginya teguran itu cukup menjatuhkan harga dirinya. T
Marco menghela napas, mencoba mengusir emosi yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. “Bagus. Sekarang sebaiknya kamu pulang untuk menemui kekasihmu itu,” sahut Marco setelah berhasil mengatasi rasa emosinya. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya ke atas pundak keponakannya dan memutarnya hingga menghadap ke pintu. Namun saat Marco membuka pintu, Cassandra justru memanfaatkan kelengahannya. Gadis itu berputar, berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir Marco. Jantung Marco berdetak dengan kencang saat bibir lembab nan lembut itu menyentuh bibirnya. Pikiran dan hatinya saling bertentangan. Otaknya memerintahkan untuk melepaskan Cassandra, namun hatinya tak dapat merelakan perasaan indah ini. Cassandra terlalu indah untuk dilepaskan. Bahkan jika ini adalah mimpi, ia tak ingin terbangun lagi. “Cassandra.” Gadis itu kembali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Marco. Ia bahkan meletakkan kepalanya di dada bidang pamannya. “Aku sudah berada di depannya. Lalu untuk apa aku pergi,”
“Cassandra, apa-apaan ini. Letakkan pisau itu,” titah Marco saat melihat benda tajam di tangan Cassandra. Cassandra menggelengkan kepalanya. “Untuk apa aku hidup, tak ada satupun yang menyayangi aku. Bahkan orang tuaku juga membenciku. Lalu apa alasanku untuk tetap hidup?” “Sandra …” Marco melangkah mendekat dengan penuh waspada. “Jangan lakukan itu. Percayalah, jangan sampai kamu melakukan sesuatu yang akan kamu sesali.” "Jalanmu masih panjang, jangan menyakiti dirimu sendiri," lanjutnya. "Baiklah," sahut Cassandra. "Tapi katakan dengan jujur, sebenarnya Om juga mencintaiku, bukan?"Marco menelan kasar salivanya, ia seakan terjebak dalam jalan yang dipilihnya sendiri. Tentu saja dia tidak mungkin mengelak setelah mencumbu Cassandra barusan. Ia tidak mungkin bisa mengatakan tidak mempunyai perasaan apapun, sementara keponakannya telah merasakan luapan hasratnya."Cassandra," panggilnya. "Aku …." Cassandra melepaskan pisau itu dari tangannya. Gadis itu melangkah mundur sembari men
Tiga hari berlalu begitu saja. Cassandra masih berusaha untuk melupakan Marco. Ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, karena begitu banyak kenangan pamannya di rumah itu. Kejadian malam itu benar-benar membuat perubahan pada sikap Cassandra. Seperti pada siang itu, di saat matahari terasa panas menyengat di kulit. Cassandra justru menghabiskan waktunya bercengkrama dengan kawan-kawannya di taman kampusnya. "Jadi gimana? Kamu beneran mau jadi pacar aku?" Nando menggenggam tangan Cassandra dengan tatapan penuh harap. Cassandra langsung menarik tangannya saking risihnya. “E, e, eh! Enak aja main serobot.” Fritz yang baru saja muncul dan disuguhi adegan itu, spontan memisahkan keduanya. Lelaki itu duduk di antara keduanya, sehingga membuat kedua temannya bergeser menjauh. “Gue sudah berkali-kali menyatakan perasaan gue sama dia,” lanjutnya. “Seharusnya lo nggak main serobot gebetan orang.”“Ah … rese lo! Udah ditolak berkali-kali juga, nggak nyadar,” gumam Nando dengan kesal. Lela
"Cassandra.” Marco membelalakkan matanya. Ia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan keponakannya itu. Apalagi setelah malam kejadian tiga hari yang lalu. Belum habis rasa terkejutnya, gadis itu menyeruak masuk ke dalam kamar Marco. Tanpa ragu ia melewati pamannya yang masih terpaku di depan pintu. “Kenapa bengong, sih Om?” sapanya seolah tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Kedatangan Cassandra tentu saja menghadirkan begitu banyak teka teki di dalam kepala Marco. Apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Cassandra? Apa semuanya baik-baik saja? Dan apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Apa Cassandra mengalami amnesia, sehingga ia bisa melupakan kejadian itu? Apa pria di dalam mobil itu telah mencuci otaknya? Sialan! Ini semua karena kecerobohannya, sehingga kehilangan jejak malam itu. “Sini,Om. Cepetan. Sandra udah lapar nih!” ajak gadis itu. Sepasang tangannya sibuk mengeluarkan bungkusan berbentuk kerucut dari kantong belanjanya ke atas meja makan.Mendengar ajakan
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem