Marco mengecup bibir Zissy dengan penuh hasrat. Tentu saja, perempuan itu menyambutnya dengan sepenuh hati. Penantian selama sepuluh tahun seakan terbayar lunas berkat obat yang diberikan oleh Reana. Zissy bisa melepaskan kerinduannya selama sepuluh tahun ini.
Dengan penuh hasrat, Marco mengecup perempuan di hadapannya. Badannya yang semakin memanas, membuatnya semakin tak sabar untuk melepaskan birahi yang sengaja di tekannya selama beberapa menit terakhir pada wanita yang dicintainya itu."Cassandra …."Marco semakin menggila. Hanyalah Cassandra yang saat ini berada di benaknya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa semua itu hanya halusinasinya. Ia mulai mencecap setiap inchi tubuh perempuan di hadapannya, hingga meninggalkan noda kemerahan di kulit putihnya.Zissy mengerjapkan sepasang matanya. Perasaan gelisah mulai bergelayut di dalam pikirannya. Mungkin bagi Marco dia hanyalah perempuan yang lewat dan singgah sementara dalam hatinya. Tapi ia hanya bisa menahan perasaan cemburunya saat lagi-lagi nama gadis lain yang keluar dari bibir Marco.Marco adalah satu-satunya bagi Zissy. Dan itu justru membuatnya takut. Apa jadinya jika Marco meninggalkannya setelah semua yang mereka nikmati malam ini. Setelah dia memberikan miliknya yang paling berharga.Bukan lagi mengenai kapan dia akan mengakhiri masa lajangnya, bukan lagi mengenai kapan dia akan mengakhiri kesendiriannya. Lebih dari itu, dia berhak dicintai dan menjadi satu-satunya perempuan di hati lelakinya."Marco, apa kamu sayang aku?" tanya perempuan yang berada di bawah kungkungannya dengan manja. "Apa kamu akan menikahiku?""Cassandra, aku cinta kamu. Tapi kita tidak bisa –"Marco menghentikan gerakannya. Ia menarik kembali tangannya yang sedang asyik mempermainkan kedua gunung kembar perempuan cantik itu.Ia kembali tersadar. Mungkin ia bisa melakukan segala hal buruk dengan perempuan lain. Tapi tidak dengan Cassandra. Keponakannya itu tidak akan pernah disentuhnya walau tak ada perempuan lainpun di dunia ini. Ia tidak boleh menyakitinya."Tidak! Kita tidak bisa melakukan ini, Sandra!" teriaknya tiba-tiba.Mendengar teriakan itu, Zissy bangkit dari ranjangnya. "Cassandra? Sandra? Siapa dia?" tanyanya. "Aku Zissy, Marco. Ini aku, Zissy. Lihat aku–"Marco menepiskan tangan Zissy. Ia merapatkan kembali kemejanya dan dengan kesadaran yang tersisa, lelaki itu menyambar jaketnya."Marco! Tunggu," teriak Zissy. "Kamu tidak bisa meninggalkan aku begitu saja."Teriakan Zissy sama sekali tak mendapatkan respon dari Marco. Lelaki itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar itu."Sialan! Mereka mengkhianatiku," geram Marco. Panas menjalar di tubuhnya. Ditambah lagi pemandangan yang sengaja disuguhkan oleh Zissy sebelumnya, mau tidak mau membuat darah pria normal seperti Marco bergolak. Semakin kuat ia melawan hasrat itu, panas semakin menjalar di pembuluh darahnya.Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali reaksi yang timbul. Marco segera tahu bahwa semua ini adalah ulah kawan-kawannya. Mereka pasti sedang berusaha menyatukannya kembali dengan mantan kekasihnya.Tubuhnya semakin memanas saat ia sampai di rumah. Ia segera turun dari kendaraan yang diparkirkan sekedarnya. Saat ini yang ada di dalam pikirannya hanya satu, mengurung diri di dalam kamarnya. Ia harus mengontrol dirinya agar tidak melukai keponakannya. Ia tidak ingin menghancurkan masa depan Cassandra hanya karena nafsunya."Om Marco!" teriak Cassandra.Gadis manis itu berlari-lari kecil menuruni tangga menyambut kedatangan Marco. Sepasang bukit kembarnya berayun-ayun tanpa bra pengamanan. Wajah ceria sang pemilik kulit putih itu menawarkan sebuah kehangatan dan kenyamanan yang diharapkan oleh Marco."Om Marco dari mana aja, sih? Kenapa nggak ajak-ajak? Sandra jadi makan malam sendirian tadi," berondong gadis bertubuh sintal itu sembari mencebikkan bibirnya dan memasang wajah sedihnya.Tapi bukannya jawaban yang diterimanya. Marco mengabaikannya, ia berlalu begitu saja dari hadapan Sandra. Sandra segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres ketika melihat wajah Marco yang merah padam."Sesuatu sudah terjadi, tapi apa? Apa dia marah?" Pikiran buruk bergelayut di dalam batinnya. "Mungkin … dia sakit!"Sandra berlari kembali naik ke lantai atas, menyusul langkah-langkah kaki Marco yang menapaki anak tangga menuju kamarnya."Om, apa Om sakit?" cicitnya."Tidak, pergilah. Jangan ganggu aku.""Tapi muka Om merah banget. Om pasti sakit!""Aku baik-baik saja. Pergilah!" Usir Marco untuk yang kedua kalinya."Kalo Om baik-baik saja, kenapa Om seperti menghindariku?" Tak menyerah, Cassandra mendesak Marco untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Sandra! Pergilah tidur! Sekarang!" teriak Marco.Sepasang mata gadis itu membulat. Wajahnya memucat. Teriakan itu membuat Sandra terkejut. Baru kali ini ia melihat kemarahan Marco. Sejak kecil, Marco selalu memanjakan Sandra, memperlakukannya dengan manis. Tapi sesaat barusan, Marco terlihat mengerikan di matanya."Om … tapi," ucap Sandra.Marco melihat wajah Sandra yang memucat. Ia mulai merasa menyesal. Tidak seharusnya ia membentaknya, seharusnya ia bisa menahan hasratnya. Sandra tidak bersalah, bagaimana bisa ia marah pada malaikat manis seperti dia.Marco mendekati gadis itu. Ia memeluknya dengan penuh penyesalan. "Maaf. Aku sedang tak ingin diganggu. Biarkan aku sendiri malam ini.""Om Marco demam," lirihnya saat tubuh mereka saling bersentuhan.Sang pemilik kulit eksotis itu justru tak dapat menahan gairahnya setelah kulitnya bersentuhan dengan kulit lembut nan lembab milik Cassandra. Bahkan kekenyalan yang baru saja dirasakan menempel di dadanya, semakin membuat kejantanannya berdiri tegak menantang.Marco menatap gadis itu seperti seekor singa lapar yang siap untuk memangsa calon korbannya.Dengan berani gadis itu menatapnya. Tanpa rasa ragu, sepasang manik matanya yang bening, bergerak ke kiri dan ke kanan dengan raut wajahnya yang polos, sementara telapak tangannya ditempelkannya ke kening Marco."Aku ambil paracetamol dulu. Om Marco berbaringlah di dalam," perintah gadis itu setelah merasa yakin suhu tubuh Marco benar-benar lebih panas dari yang seharusnya.Tapi belum jauh gadis itu melangkah, Marco berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan. Hasratnya tidak boleh mencelakai gadis lugu itu.Suara debam pintu yang tertutup, membuat Cassandra terkejut dan berbalik kembali mendekati pintu. Gadis itu menjadi panik. Cepat-cepat ia masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di hadapan kamar Marco. Dicarinya obat penurun panas di laci tempat ia biasa menyimpan obat-obatannya."Ketemu!"Setengah bersorak, ia mengambil sebotol kapsul parasetamol dari dalam lacinya dan bergegas menuju kamar Marco. Ia memutar knop pintu kamar Marco. Tapi tidak seperti biasanya, kamar itu tertutup rapat, bahkan terkunci!"Om! Bukain pintunya. Sandra bawa obat demam buat Om!" Teriaknya dari luar kamar.Marco berusaha mati-matian menahan hasratnya. Keringat bercucuran di keningnya. Selama ini ia belum pernah merasa tersiksa karena hasratnya. Ia selalu dengan mudahnya melampiaskan pada gadis-gadis yang mendekatinya.Tapi itu terjadi sebelum ia menginjakkan kakinya ke tanah Papua. Hasratnya yang mati, seakan hidup kembali semenjak kedatangannya di rumah ini. Dan semua itu karena seorang gadis yang berdiri tepat di balik pintu kamarnya sekarang.Marco melangkah mendekat ke arah pintu. Hanya dalam beberapa langkah saja, dia tak perlu lagi bersusah payah menahan hasrat yang sejak tadi. Ia tak perlu menahan rasa sakit di kepalanya karena harus melawan nafsu birahinya saat ini."Cassandra tidak mungkin akan menolakku. Bukankah hal ini sebenarnya yang diinginkannya? Bermain kuda-kudaan lalu tidur denganku," batin Marco.Kepalanya semakin berdenyut ketika tangan kanannya berhasil meraih kenop pintu dan mulai memutarnya.."Tidak," batinnya. "Aku tidak mau jadi monster yang bahkan memangsa keluargaku sendiri." Marco melepaskan gagang knop pintu. Dia mengabaikan panggilan dari Cassandra dan berbalik menuju kamar mandi. Dipenuhinya bak mandi dengan air dingin dan tanpa berpikir panjang, ia pun berendam di dalamnya. ***Pagi itu Cassandra telah siap untuk berangkat kuliah. Ia membuka pintu kamarnya. Sesaat ia mematung ketika kembali teringat pada kejadian semalam. Ia teringat tentang bagaimana Marco memeluknya dan betapa panas suhu badan pamannya itu. Gadis itu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya."Dia bukan Om Marco yang dulu. Sudahlah, dia tidak punya waktu melayani bocah seperti aku," batinnya. Dengan sedikit kesal, Cassandra menghentakkan sepatunya dan berlari turun dari lantai satu rumah tinggalnya."Pagi Non Sandra," sapa Bik Sum. "Sarapan dulu, Non. Bibik khusus bikin omelet sama daging teriyaki kesukaan Non." Tanpa sebuah jawaban, Sandra menarik kursi dan duduk di depan meja makan. Te
Ciuman itu mendarat di bibir Marco. Walau hanya beberapa detik saja, serangan mendadak itu mampu membuat jantung Marco berdetak dengan kencang. Pembuluh darahnya seakan terpompa dengan cepat menghantam katup-katup jantungnya. Sebuah perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, dengan perempuan lain yang pernah disentuhnya. Cassandra benar-benar sudah berhasil mempermainkan hatinya. Marco terpaku. Sepasang matanya menatap Cassandra tak berkedip. Waktu seakan berhenti baginya. Wajah merona gadis di hadapannya terlihat begitu menggodanya. Cassandra merasa kikuk setelah berhasil dengan serangannya. Apalagi tatapan mata Marco, membuatnya semakin merasa malu. Wajahnya terasa memanas, seolah aliran darahnya menjadi sangat lancar. "Sandra, kamu nggak boleh melakukan hal seperti itu," ucap Marco setelah kesadarannya pulih. "Apalagi dengan sembarang pria. Kamu –" Sekali lagi Cassandra mendaratkan ciumannya, membungkam kalimat bernada tinggi yang hendak diluncurkan
Zissy menyeka bibir neneknya setelah suapan terakhir tuntas diberikannya. Perempuan berusia delapan puluhan itu masih mencecap makanan yang tersisa dengan giginya yang hanya beberapa saja. “Enak, Oma? Nanti malam mau dimasakin apa?” tanya Zissy dengan senyum lembutnya. “Terserah kamu. Oma makan apapun yang kamu masak. Semua masakan buatanmu enak,” sahut si nenek.“Ya sudah, sekarang Oma mau ngapain?” tanya Zissy. Ia bersiap untuk membantu memposisikan wanita tua itu.“Mau rebahan,” sahutnya, tak terlalu jelas karena jumlah giginya yang nyaris habis. “Kok rebahan, Oma? Apa nggak capek terus rebahan?" tanyanya pada wanita yang telah membesarkannya itu.Belum sempat sang nenek memberikan jawaban, ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya. “Tidak biasanya ada tamu,” gumamnya. Ia bergegas meninggalkan perempuan tua itu untuk membuka pintu rumahnya. Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Marco, mantan kekasihnya berdiri tepat di depan pintu. Sejenak keduanya membisu dan sa
"Teman!" "Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassand
Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.
“Sandra, apa yang kamu lakukan?” Teriakan itu sontak membuat Cassandra mematung. Jemari tangannya berhenti melepaskan manik kancing kemeja yang dipakainya. “Kenapa Om? Bukannya Om Marco sudah biasa melihatku dengan tanktop di rumah,” protes Cassandra. “Tapi … apa kamu nggak malu kalau semua pekerja papa kamu ngeliatin kamu?” “Ish! Mana? Siapa? Ibu Niken maksud Om?” Cassandra tertawa kecil. “Cassandra Armeta! Sebagai adik papa kamu, Om ingatkan bahwa kamu sudah dewasa! Kamu bukan anak kecil lagi,” hardik Marco. “Bersikaplah bijak layaknya perempuan dewasa.” Marco merasa sangat kesal. Bagaimana bisa dirinya membiarkan pria lain menatap tubuh sexy Cassandra. Membayangkan tatapan penuh damba pria lain pada keponakannya itu saja, sudah cukup membangkitkan emosinya. Di lain pihak, Cassandra terkejut mendengar teguran dari pamannya. Baginya teguran itu cukup menjatuhkan harga dirinya. T
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem