Bayi mungil itu terbaring dalam pelukan Adam, tubuhnya yang lemah menggeliat perlahan, matanya tertutup rapat.
Dengan wajah yang penuh haru, Aurora menatap bayi itu dengan rasa cinta yang campur aduk, seolah kehilangan anaknya yang sendiri membuat hatinya hancur. Baby Alan Sky Walker— mengingatkannya pada sosok anak yang telah ia lahirkan dan tak bisa dia jaha dan untuk sejenak, rasa itu terasa begitu nyata. "Di- dia ...." Aurora bergumam, suaranya bergetar. Ia tak tahu bagaimana harus memulai, dan kalimat itu menggantung di udara, penuh dengan berbagai perasaan yang tak terucapkan. "Perkenalkan, dia adalah Alan Sky Walker, putraku, Aurora," ujarnya. Adam berkata dengan penuh ketulusan. Tatapannya lembut saat memperkenalkan bayinya kepada Aurora, dan meskipun penuh dengan rasa kehilangan, ada kebanggaan di matanya. Lantas, dia memutar pandangan. Aurora menatap Alan, merasakan hatinya tergerak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan tangis. "Kau ingin aku menyusuinya?" Suaranya hampir tak terdengar, terkejut dan bingung. Ia tahu betapa dalam kebutuhannya, namun tetap merasa ada jarak antara dirinya dan bayi ini—sebuah rasa yang begitu asing dan membingungkan. "Ya. Putraku baru lahir 17 hari yang lalu. Dia tak cocok susu formula jenis apa pun. Beberapa hari ini, aku selalu mencari stok ASI dalam jumlah yang besar. Tapi, putraku kadang tak suka dan justru muntah. Jadi, aku memintamu untuk menyusuinya." Adam berbicara dengan tenang, seolah ini adalah permintaan yang sangat wajar baginya. Namun, ada kesan keteguhan dalam suaranya, seperti tidak ada pilihan lain selain meminta bantuan Aurora. Mendengar hal itu, lantas Aurora terdiam, hatinya bergejolak dan ingin tahu lebih dalam. Ia mengangguk perlahan, meski ada kekhawatiran di wajahnya. "Ya, ya. Aku setuju. Dia tampan sekali. Andai anakku hidup, aku pasti akan senang menyusuinya." Kalimat itu keluar dengan gemetar, tetapi ada senyum kecil yang merekah di bibirnya, meskipun hati ini penuh dengan duka. Mendengar persetujuan wanita yang akan menjadi obsesinya, maka Adam mengangguk. Dia seakan mengerti perasaan yang sedang menguasai Aurora. "Hm. Aku tahu, kau sangat kehilangan. Jadi, kau bisa menganggapnya sebagai putramu sendiri. Kemarin, kau sudah memompa ASI mu selama 4 hari saat kau dirawat di rumah sakit. Jadi, aku kira ASI mu akan cocok." Adam mencoba memberikan kenyamanan, meskipun dalam hatinya, ia sendiri merasakan beratnya kehilangan yang dialami Aurora. Lantas, Aurora kembali menatap bayi itu, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh. Namun, rasa penasaran masih ada, mendorongnya untuk bertanya lebih jauh. "Maaf jika lancang ingin tahu. Dia anakmu, tapi di mana ibunya? Apa ... ibunya tiada? Maaf juga. Karena ku tahu, kamu belum menikah dan ku dengar dari beberapa pemberitaan, kau enggan terjebak dalam hubungan rumah tangga yang rumit. Apa itu benar?" Pertanyaan itu keluar perlahan, tanpa berniat menyelidik, namun lebih pada pencarian pemahaman tentang kehidupan Adam dan bayi ini. "Benar." Adam menghela napas panjang, matanya mengarah ke bayi kecil itu sejenak sebelum menjawab dengan nada yang datar. "Tapi, pemberitaan di luaran sana terlalu didramatisir. Sejujurnya, aku mau menikah." "Oh, begitu ya. Apa Alan juga anak lahir di salam pernikahan?" "Tentu. Tapi, Ibunya mengejar karir ke Paris menjadi model dan dia tak mau menyusui. Dia juga tak mau pernikahan kami terekspose. Karena kau jelas tahu, bagaimana kehidupan artis. Kami menikah karena adanya Alan. Jika tidak, kami juga tak bersama. Jadi, dia mau aku menutupi semuanya. Jika ku bongkar semuanya, maka itu akan beresiko untuk karirnya." Ada keheningan setelah kalimat itu, seolah tidak ingin membahas lebih lanjut tentang ibunya, dan Aurora bisa merasakan ada sesuatu yang tak terungkap sepenuhnya di balik kata-kata itu. "Oh, begitu ya?" Aurora berkata, meskipun perasaan dalam dirinya masih tersisa. Ada kebingungan, ada kesan yang belum sepenuhnya ia pahami tentang hubungan mereka, namun ia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. "Hm." Adam hanya mengangguk, seperti ingin mengakhiri topik itu. Sedangkan Aurora pun tak bertanya lagi, sebaliknya, ia lebih memilih untuk fokus pada bayinya. Aurora segera membawa Alan menuju jendela yang terang, sinar matahari pagi masuk melalui tirai yang sedikit terbuka. Keheningan sesaat meliputi mereka, dan tanpa sadar, Aurora mencium bayi itu dengan penuh kasih sayang. "Ya Tuhan. Jadi begini rasanya menyusui bayi secara langsung," gumamnya, seolah tidak percaya dengan apa yang tengah ia alami. Bayi Alan mulai menyusu dengan lahap, dan Aurora merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. Ada ketenangan yang perlahan meresap, meski air mata kembali jatuh tanpa bisa dihentikan. Lantas, dia menoleh pada Adam dengan tatapan penuh harap, sembari menutupi dadanya dengan kain khusus. "Ehm, ... Bolehkah aku menganggapnya anak sendiri? Maksudku, bolehkan dia memanggilku Mama meski kita tak ada hubungan?" Suaranya lembut, penuh keraguan, tetapi juga harapan. Matanya bersinar dengan rasa ingin memberi dan menerima kasih sayang yang tulus. "Ha ha." Adam menatap Aurora, sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. Ia mengangguk dengan penuh keyakinan. "Why not?" jawabnya singkat, tetapi penuh arti, seperti memberikan restu atas ikatan yang terbentuk di antara mereka. Mendengar persetujuan itu, kini Aurora mengangguk pelan, matanya berbinar. Bayi itu kini tampak begitu tenang dalam pelukannya. Meski ini bukanlah perjalanan yang mudah, Aurora tahu bahwa di sini, di saat yang penuh rasa kehilangan ini, ia telah menemukan sesuatu yang baru— sebuah kesempatan untuk menjadi ibu lagi, meskipun dalam cara yang berbeda. "Susuilah dia, karena setelah anakku lahap, aku yang akan berganti menyusu padamu. Oh, damn! Dadamu besar sekali dan aku suka itu. Kau akan menjadi wanita cantik setelah ini. Lihatlah, akan ku angkat derajatmu, dan akan ku buat kau menjadi obsesiku, Aurora. Kau hanya butuh gym beberapa kali agar berat badanmu ideal. Juga, ... Kamu butuh tratment yang mahal supaya wajahmu tak kusam," gumamnya seraya berlalu. Dia bersiul, dan entah apa yang sedang direncanakan sang duda mesum itu. **** Sedangkan di lain tempat, Samuel menghela napas lega saat tak ada pihak kepolisian yang datang ke rumahnya. Sudah dua minggu sejak kejadian itu, dia memang tak bisa bernapas lega. Dan akhirnya hari ini, dia pun bisa tenang. "Yang ...," sapa Raline. Dia duduk di samping Samuel yang saat itu menikmati kopi di ruang tamu. "Udah bangun? Tumben," sahut Samuel. Dia hafal betul jika Raline memang tak serajin istrinya dulu. "Hm. Ada urusan nanti, mau nail art. Kamu tahu kan, besok itu kita harus menghadiri pernikahan rekan kamu si Tommy? Ya aku harus cantik paripurna lah. Transfer 20 juta ya nanti. Cukup kok, sekalian buat shopping." "Kamu ini uang mulu kerjaannya. Kemarin udah aku transfer 10 juta. Ya kali nail att semahal itu sih, Lin? Kamu itu hemat dikit, lah! Jangan dikit dikit uang. Pusing aku itu. Tabungan kita bisa habis kalau kamu gak hemat!" "Bilang aja kamu pelit, Yang!" "Bukan pelit. Tapi, masalah Aurora aja belum kelar. Ini aku masih nyewa detektif buat lacak di mana dia sekarang. Eh, kamu malah minta duit lagi." "Tuh, kan? Aurora mulu yang kamu pikirin. Udah lah, Mas. Dia itu udah mati." "Mati gimana? Kalau dia tetiba datang, membawa polisi dan meringkus kita, kamu mau apa? Mau mendekam di penjara?" "Ya itu urusan kamu, Yang. Kan kamu yang buang Aurora!" "Tapi, kamu kan yang dorong dia sampai jatuh dsri lantai dua?" "Kamu nyalahin aku, Yang?" "Salah semua! Aku cek memang dia gak napas dari hidung. Tapi, siapa tahu kalau nadinya masih berdenyut dan dia masih hidup?" Saat mereka sedang beradu argumen, tetiba seuara bel berndeting dari depan sana. Ya, rumah Samuel memang belum ada gerbangnya. Jadi, tamu bisa langsung masuk ke rumah dan memencet bel di dekat pintu. Mereka sontak mengalihkan perhatian ke sana. Sedangkan Samuel pun menyuruh, "Bukain gih!" "Ih, kamu aja kan bisa, Yang? Aku mau sarapan ah!" "Sarapan apa? Kamu aja jarang masak! Kalau makan mie terus, yang ada kamu bentar lagi pasti ada masalah kesehatan. Udah, sana buka. Aku TF Copipay 100, beli makanan di depan sana." Mendengar nominal uang, Raline lekas beranjak. Dia segera menuju pintu. Saat dia membukanya, entah mengapa dia tak mendapati siapa pun. Namun, di hadapannya ada sebuah kotak kado besar dan membuatnya senang. "Pasti Samuel yang memberiku ini!" Gegas wanita muda itu membuka kotak kado besar seukuran 1x1 meter. Dengan penuh antusias, dia membukanya. Namun saat penutup itu dibuka, matanya membulat sempurna lantaran mendapati boneka ungu berlumuran darah dengan kepala terpenggal. Di dadanya tertancap sebuah pisau belati berkarat, dan Raline syok berat. "Aaaaaaa!" Dalam hati, dia berpikir. Siapa yang berani menerorku?Tiga bulan berlalu sejak Aurora menjalani rutinitas barunya. Kini, tubuhnya yang dulu penuh perjuangan dan rasa tidak percaya diri telah berubah drastis. Berat badannya yang dulu sempat melampaui batas kini berada dalam angka yang dianggap ideal, sebuah pencapaian yang terasa begitu memuaskan.Di depan cermin, Aurora memandangi refleksinya dengan tatapan penuh kebanggaan. Setiap lekuk tubuhnya tampak begitu proporsional Kulitnya bersinar lebih cerah daripada sebelumnya. Dulu yang kusam dan tak terawat, kini semakin glowing pun sehat, dan matanya memancarkan rasa percaya diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tinggi 164 cm, bobot 52 kg. Astaga! Aku tak menyangka aku bisa mendapatkan bobot idealku!" pikirnya sambil tersenyum tipis. Angka itu kini terasa sempurna, seperti sebuah karya seni yang diciptakan dengan penuh kesabaran dan usaha.Rambutnya yang semula kusam kini mengkilap, berkat perawatan mewah yang Adam berikan—sesuatu yang jauh dari angan angan Aurora sebelum pert
"Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya.Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora."Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti."Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan
"Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
Selepas melaksanakan rencana yang telah dirancang dengan hati-hati, Aurora kembali ke rumah dengan langkah tergesa. segera, ia mengangkat Alan yang sedang tidur dan membawa bocah itu ke pelukannya. Setelah menyusui Alan dengan penuh perhatian, Aurora membiarkan dirinya berbaring di ranjang yang sama, menenangkan diri setelah segala yang terjadi. "Hm, Alan lapar ya? Maaf ya, tadi Mama masih ada urusan," bisik Aurora dengan rasa bersalah yang mendalam. Dia mengusap lembut rambut pirang bocah kecil yang sedang lahap menyusu, perasaan sayang yang begitu dalam memenuhi hatinya. "Meski kamu bukan anak kandung Mama, tapi Mama sangat menyayangimu. Sangat, sangat sayang!" kata Aurora, sembari mengusap pucuk kepala Alan Sky Walker dengan penuh kelembutan. Suasana hening itu dipenuhi oleh kedekatan dan kasih sayang yang tak terbantahkan. "Hhhmmm," gumam Alan dengan suara kecil, seolah merespons penuh kepuasan. Melihatnya semakin pintar, Aurora merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan ya
"Ah, ah!" Sungguh, Aurora tak menyangka jika Adam akan berlaku seperti ini. Bahkan saat pria itu memaksanya, rasanya tetap nikmat. "Hhhhmmm." "Jangan tahan, ayo keluarkan racauanmu. Aku tahu, kau pasti menyukai ini, kan?" Adam menyeringai, dia melepaskan kungkungannya pada Aurora, dan dia tetap.mengayun pinggulnya. Memberikan ritme percinthaan panas yang tak akan dilupakan sang janda muda. Kini, napasnya mulai menderu. Ruangan yang semula dingin, menjadi panas yang begitu menggelora. "Eratkan kakimu pada pinggangku, kalungkan tanganmu pada leherku!" Tidak bisa berpikir dan Aurora tidak mampu berpikir secara jernih. Semuanya terasa begitu blank. Aurora menemukan dirinya dalam kebimbangan karena perintah Adam yang di luar perkiraan. Sebagai wanita dewasa, tentunya dia memahami apa yang diinginkan oleh pria berstatus duda beranak satu tersebut. "Come on!" Tubuh Adam semakin merunduk dan merengkuhnya secara erat. Dapat Aurora saksikan betapa nafas pria itu menderu naik
"Aaah. Aaaah." Suara desahan itu bahkan sampai di telinga sang pengasuh dan pembantu. Meteka menutup telinga dan melipir ke depan rumah, bergunjing di sana. "Apa karena lama tak mendapatkan jatah, sampai sampai Tuan kita begitu ganas?" tanya Bibi Ani yang saat itu merinding ketika mendengar jeritan Sang Nona dari dalam rumah. Sang pengasuh pun mengangkat bahu, "Tapi, Bi. Aku rasa, Tuan tidak begitu. Beliau kan baru bercerai dengan istrinya. Apa iya Tuan Adam begitu?" "Bisa jadi. Ngeri juga ya dengernya. Sampe malu sendiri." "Iya, Bi. Apa kita gak pindah aja ke tempat lain, Bi? Kalau lama lama begini, kita juga yang pusing." "Nanti kita bicarakan sama Nyonya Besar." "Baik, Bi. Aku setuju. Sayang sekali, mereka tak memakai peredam suara. Ah, telinga kita kan yang ternodai." "Iya. Dulu, dengan Nona Muda juga tak begitu." "Beda rasa kali, Bi."
Adam tersenyum lebar, sedikit licik, melihat reaksi Aurora yang jelas-jelas menolak. "Ayo mandi!" ajaknya sambil menarik tangan Aurora dengan paksa, berusaha menggiringnya beranjak. Enggan berdekatan dengan pria itu lagi, kini Aurora menatapnya dengan tajam, tubuhnya kaku menahan diri. "Tidak mau!" pekiknya, suaranya tegas namun penuh ketegangan. Matanya menatap Adam, dan dia bisa melihat dengan jelas niat mesum yang terpendam di balik tatapan CEO itu. Baru saja dia digempur habis-habisan, dan kini Adam masih berani bertindak seperti itu? Siapa yang akan percaya padanya setelah semuanya? Lantas, Adam menggelengkan kepala, mencoba menenangkan suasana dengan nada yang lebih santai. "Hei, jangan takut begitu. Kau pikir lelaki bisa bermain kuda dua kali tanpa jeda, hah?" ucapnya, setengah mengejek, setengah merendahkan. Ia tidak menunggu jawaban, hanya tersen
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer