Bayi mungil itu terbaring dalam pelukan Adam, tubuhnya yang lemah menggeliat perlahan, matanya tertutup rapat.
Dengan wajah yang penuh haru, Aurora menatap bayi itu dengan rasa cinta yang campur aduk, seolah kehilangan anaknya yang sendiri membuat hatinya hancur. Baby Alan Sky Walker— mengingatkannya pada sosok anak yang telah ia lahirkan dan tak bisa dia jaha dan untuk sejenak, rasa itu terasa begitu nyata. "Di- dia ...." Aurora bergumam, suaranya bergetar. Ia tak tahu bagaimana harus memulai, dan kalimat itu menggantung di udara, penuh dengan berbagai perasaan yang tak terucapkan. "Perkenalkan, dia adalah Alan Sky Walker, putraku, Aurora," ujarnya. Adam berkata dengan penuh ketulusan. Tatapannya lembut saat memperkenalkan bayinya kepada Aurora, dan meskipun penuh dengan rasa kehilangan, ada kebanggaan di matanya. Lantas, dia memutar pandangan. Aurora menatap Alan, merasakan hatinya tergerak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan tangis. "Kau ingin aku menyusuinya?" Suaranya hampir tak terdengar, terkejut dan bingung. Ia tahu betapa dalam kebutuhannya, namun tetap merasa ada jarak antara dirinya dan bayi ini—sebuah rasa yang begitu asing dan membingungkan. "Ya. Putraku baru lahir 17 hari yang lalu. Dia tak cocok susu formula jenis apa pun. Beberapa hari ini, aku selalu mencari stok ASI dalam jumlah yang besar. Tapi, putraku kadang tak suka dan justru muntah. Jadi, aku memintamu untuk menyusuinya." Adam berbicara dengan tenang, seolah ini adalah permintaan yang sangat wajar baginya. Namun, ada kesan keteguhan dalam suaranya, seperti tidak ada pilihan lain selain meminta bantuan Aurora. Mendengar hal itu, lantas Aurora terdiam, hatinya bergejolak dan ingin tahu lebih dalam. Ia mengangguk perlahan, meski ada kekhawatiran di wajahnya. "Ya, ya. Aku setuju. Dia tampan sekali. Andai anakku hidup, aku pasti akan senang menyusuinya." Kalimat itu keluar dengan gemetar, tetapi ada senyum kecil yang merekah di bibirnya, meskipun hati ini penuh dengan duka. Mendengar persetujuan wanita yang akan menjadi obsesinya, maka Adam mengangguk. Dia seakan mengerti perasaan yang sedang menguasai Aurora. "Hm. Aku tahu, kau sangat kehilangan. Jadi, kau bisa menganggapnya sebagai putramu sendiri. Kemarin, kau sudah memompa ASI mu selama 4 hari saat kau dirawat di rumah sakit. Jadi, aku kira ASI mu akan cocok." Adam mencoba memberikan kenyamanan, meskipun dalam hatinya, ia sendiri merasakan beratnya kehilangan yang dialami Aurora. Lantas, Aurora kembali menatap bayi itu, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh. Namun, rasa penasaran masih ada, mendorongnya untuk bertanya lebih jauh. "Maaf jika lancang ingin tahu. Dia anakmu, tapi di mana ibunya? Apa ... ibunya tiada? Maaf juga. Karena ku tahu, kamu belum menikah dan ku dengar dari beberapa pemberitaan, kau enggan terjebak dalam hubungan rumah tangga yang rumit. Apa itu benar?" Pertanyaan itu keluar perlahan, tanpa berniat menyelidik, namun lebih pada pencarian pemahaman tentang kehidupan Adam dan bayi ini. "Benar." Adam menghela napas panjang, matanya mengarah ke bayi kecil itu sejenak sebelum menjawab dengan nada yang datar. "Tapi, pemberitaan di luaran sana terlalu didramatisir. Sejujurnya, aku mau menikah." "Oh, begitu ya. Apa Alan juga anak lahir di salam pernikahan?" "Tentu. Tapi, Ibunya mengejar karir ke Paris menjadi model dan dia tak mau menyusui. Dia juga tak mau pernikahan kami terekspose. Karena kau jelas tahu, bagaimana kehidupan artis. Kami menikah karena adanya Alan. Jika tidak, kami juga tak bersama. Jadi, dia mau aku menutupi semuanya. Jika ku bongkar semuanya, maka itu akan beresiko untuk karirnya." Ada keheningan setelah kalimat itu, seolah tidak ingin membahas lebih lanjut tentang ibunya, dan Aurora bisa merasakan ada sesuatu yang tak terungkap sepenuhnya di balik kata-kata itu. "Oh, begitu ya?" Aurora berkata, meskipun perasaan dalam dirinya masih tersisa. Ada kebingungan, ada kesan yang belum sepenuhnya ia pahami tentang hubungan mereka, namun ia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. "Hm." Adam hanya mengangguk, seperti ingin mengakhiri topik itu. Sedangkan Aurora pun tak bertanya lagi, sebaliknya, ia lebih memilih untuk fokus pada bayinya. Aurora segera membawa Alan menuju jendela yang terang, sinar matahari pagi masuk melalui tirai yang sedikit terbuka. Keheningan sesaat meliputi mereka, dan tanpa sadar, Aurora mencium bayi itu dengan penuh kasih sayang. "Ya Tuhan. Jadi begini rasanya menyusui bayi secara langsung," gumamnya, seolah tidak percaya dengan apa yang tengah ia alami. Bayi Alan mulai menyusu dengan lahap, dan Aurora merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. Ada ketenangan yang perlahan meresap, meski air mata kembali jatuh tanpa bisa dihentikan. Lantas, dia menoleh pada Adam dengan tatapan penuh harap, sembari menutupi dadanya dengan kain khusus. "Ehm, ... Bolehkah aku menganggapnya anak sendiri? Maksudku, bolehkan dia memanggilku Mama meski kita tak ada hubungan?" Suaranya lembut, penuh keraguan, tetapi juga harapan. Matanya bersinar dengan rasa ingin memberi dan menerima kasih sayang yang tulus. "Ha ha." Adam menatap Aurora, sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. Ia mengangguk dengan penuh keyakinan. "Why not?" jawabnya singkat, tetapi penuh arti, seperti memberikan restu atas ikatan yang terbentuk di antara mereka. Mendengar persetujuan itu, kini Aurora mengangguk pelan, matanya berbinar. Bayi itu kini tampak begitu tenang dalam pelukannya. Meski ini bukanlah perjalanan yang mudah, Aurora tahu bahwa di sini, di saat yang penuh rasa kehilangan ini, ia telah menemukan sesuatu yang baru— sebuah kesempatan untuk menjadi ibu lagi, meskipun dalam cara yang berbeda. "Susuilah dia, karena setelah anakku lahap, aku yang akan berganti menyusu padamu. Oh, damn! Dadamu besar sekali dan aku suka itu. Kau akan menjadi wanita cantik setelah ini. Lihatlah, akan ku angkat derajatmu, dan akan ku buat kau menjadi obsesiku, Aurora. Kau hanya butuh gym beberapa kali agar berat badanmu ideal. Juga, ... Kamu butuh tratment yang mahal supaya wajahmu tak kusam," gumamnya seraya berlalu. Dia bersiul, dan entah apa yang sedang direncanakan sang duda mesum itu. **** Sedangkan di lain tempat, Samuel menghela napas lega saat tak ada pihak kepolisian yang datang ke rumahnya. Sudah dua minggu sejak kejadian itu, dia memang tak bisa bernapas lega. Dan akhirnya hari ini, dia pun bisa tenang. "Yang ...," sapa Raline. Dia duduk di samping Samuel yang saat itu menikmati kopi di ruang tamu. "Udah bangun? Tumben," sahut Samuel. Dia hafal betul jika Raline memang tak serajin istrinya dulu. "Hm. Ada urusan nanti, mau nail art. Kamu tahu kan, besok itu kita harus menghadiri pernikahan rekan kamu si Tommy? Ya aku harus cantik paripurna lah. Transfer 20 juta ya nanti. Cukup kok, sekalian buat shopping." "Kamu ini uang mulu kerjaannya. Kemarin udah aku transfer 10 juta. Ya kali nail att semahal itu sih, Lin? Kamu itu hemat dikit, lah! Jangan dikit dikit uang. Pusing aku itu. Tabungan kita bisa habis kalau kamu gak hemat!" "Bilang aja kamu pelit, Yang!" "Bukan pelit. Tapi, masalah Aurora aja belum kelar. Ini aku masih nyewa detektif buat lacak di mana dia sekarang. Eh, kamu malah minta duit lagi." "Tuh, kan? Aurora mulu yang kamu pikirin. Udah lah, Mas. Dia itu udah mati." "Mati gimana? Kalau dia tetiba datang, membawa polisi dan meringkus kita, kamu mau apa? Mau mendekam di penjara?" "Ya itu urusan kamu, Yang. Kan kamu yang buang Aurora!" "Tapi, kamu kan yang dorong dia sampai jatuh dsri lantai dua?" "Kamu nyalahin aku, Yang?" "Salah semua! Aku cek memang dia gak napas dari hidung. Tapi, siapa tahu kalau nadinya masih berdenyut dan dia masih hidup?" Saat mereka sedang beradu argumen, tetiba seuara bel berndeting dari depan sana. Ya, rumah Samuel memang belum ada gerbangnya. Jadi, tamu bisa langsung masuk ke rumah dan memencet bel di dekat pintu. Mereka sontak mengalihkan perhatian ke sana. Sedangkan Samuel pun menyuruh, "Bukain gih!" "Ih, kamu aja kan bisa, Yang? Aku mau sarapan ah!" "Sarapan apa? Kamu aja jarang masak! Kalau makan mie terus, yang ada kamu bentar lagi pasti ada masalah kesehatan. Udah, sana buka. Aku TF Copipay 100, beli makanan di depan sana." Mendengar nominal uang, Raline lekas beranjak. Dia segera menuju pintu. Saat dia membukanya, entah mengapa dia tak mendapati siapa pun. Namun, di hadapannya ada sebuah kotak kado besar dan membuatnya senang. "Pasti Samuel yang memberiku ini!" Gegas wanita muda itu membuka kotak kado besar seukuran 1x1 meter. Dengan penuh antusias, dia membukanya. Namun saat penutup itu dibuka, matanya membulat sempurna lantaran mendapati boneka ungu berlumuran darah dengan kepala terpenggal. Di dadanya tertancap sebuah pisau belati berkarat, dan Raline syok berat. "Aaaaaaa!" Dalam hati, dia berpikir. Siapa yang berani menerorku?Tiga bulan berlalu sejak Aurora menjalani rutinitas barunya. Kini, tubuhnya yang dulu penuh perjuangan dan rasa tidak percaya diri telah berubah drastis. Berat badannya yang dulu sempat melampaui batas kini berada dalam angka yang dianggap ideal, sebuah pencapaian yang terasa begitu memuaskan.Di depan cermin, Aurora memandangi refleksinya dengan tatapan penuh kebanggaan. Setiap lekuk tubuhnya tampak begitu proporsional Kulitnya bersinar lebih cerah daripada sebelumnya. Dulu yang kusam dan tak terawat, kini semakin glowing pun sehat, dan matanya memancarkan rasa percaya diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tinggi 164 cm, bobot 52 kg. Astaga! Aku tak menyangka aku bisa mendapatkan bobot idealku!" pikirnya sambil tersenyum tipis. Angka itu kini terasa sempurna, seperti sebuah karya seni yang diciptakan dengan penuh kesabaran dan usaha.Rambutnya yang semula kusam kini mengkilap, berkat perawatan mewah yang Adam berikan—sesuatu yang jauh dari angan angan Aurora sebelum pert
"Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya.Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora."Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti."Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan
"Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
"Aaah, Yang, udah! Kamu harus ke rumah sakit, Aurora nelponin kamu loh itu!" Raline memekik dengan keras saat hunjaman demi hunjaman dia terima. "Diem lah bentar! Berisik!" Sedangkan Samuel tetap memompa dan dia tak peduli rintihan kekasihnya itu. Tubuh Aurora menegang mendengar hal itu. Tiga jam dia di klinik dan sudah bukaan satu, tapi suaminya tak kunjung datang setelah mengatakan iya. Saat dia pulang, justru dia mendapatkan kejutan luar biasa. "Mas Samuel! Kamu tega duain aku,Mas? Aku sebentar lagi lahiran anak kamu, loh! Aku bahkan udah kontraksi, Mas!" "Kenapa? Ada masalah? Kamu kan udah gak cantik lagi. Lihat diri kamu, burik, badan kamu gendut, dan jelas kamu gak buat aku berhasrat lagi. Jadi, lebih baik kita pisah!" "Aku begini karena kamu yang mau anak, Mas! Bukan aku! Aku juga gak mau badan aku rusak!" "Terus? Mau gimana? Semua udah terlanjur. Pergi saja sana, deh! Berisik banget. Dan mulai detik ini, kita cerai! Rumah ini milikku, pergi kamu!" "Oh, kau menant
"Tuan Walker, Nona Muda ini bayinya sudah meninggal dari dalam. Sepertinya, beliau mengalami benturan yang cukup serius. Kami terpaksa harus melakukan proses caesar malam ini juga."Suasana ruangan rumah sakit itu penuh dengan ketegangan. Para dokter bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi darurat. Di ruang tunggu, seorang pria duduk dengan tenang, namun wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan. Tuan Walker, seorang CEO ternama, memegangi ponselnya, seolah menunggu kabar buruk."Lakukan yang terbaik. Semua biayanya akan ku tanggung," katanya. Suara Adam Sky Walker datar, namun tajam. Itu bukan sekadar pernyataan, tetapi lebih seperti perintah yang tidak bisa dibantah."Baik. Bagaimana dengan bayinya nanti? Apakah Anda meminta kami sekalian mengurusnya?" tanya salah satu dokter, memecah keheningan sejenak, matanya memandang pria itu penuh hormat namun penuh keraguan."Pastikan wanita itu selamat. Untuk bayinya, bawa saja ke kamar jenazah. Aku
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
"Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya.Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora."Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti."Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan
Tiga bulan berlalu sejak Aurora menjalani rutinitas barunya. Kini, tubuhnya yang dulu penuh perjuangan dan rasa tidak percaya diri telah berubah drastis. Berat badannya yang dulu sempat melampaui batas kini berada dalam angka yang dianggap ideal, sebuah pencapaian yang terasa begitu memuaskan.Di depan cermin, Aurora memandangi refleksinya dengan tatapan penuh kebanggaan. Setiap lekuk tubuhnya tampak begitu proporsional Kulitnya bersinar lebih cerah daripada sebelumnya. Dulu yang kusam dan tak terawat, kini semakin glowing pun sehat, dan matanya memancarkan rasa percaya diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tinggi 164 cm, bobot 52 kg. Astaga! Aku tak menyangka aku bisa mendapatkan bobot idealku!" pikirnya sambil tersenyum tipis. Angka itu kini terasa sempurna, seperti sebuah karya seni yang diciptakan dengan penuh kesabaran dan usaha.Rambutnya yang semula kusam kini mengkilap, berkat perawatan mewah yang Adam berikan—sesuatu yang jauh dari angan angan Aurora sebelum pert
Bayi mungil itu terbaring dalam pelukan Adam, tubuhnya yang lemah menggeliat perlahan, matanya tertutup rapat. Dengan wajah yang penuh haru, Aurora menatap bayi itu dengan rasa cinta yang campur aduk, seolah kehilangan anaknya yang sendiri membuat hatinya hancur. Baby Alan Sky Walker— mengingatkannya pada sosok anak yang telah ia lahirkan dan tak bisa dia jaha dan untuk sejenak, rasa itu terasa begitu nyata. "Di- dia ...." Aurora bergumam, suaranya bergetar. Ia tak tahu bagaimana harus memulai, dan kalimat itu menggantung di udara, penuh dengan berbagai perasaan yang tak terucapkan. "Perkenalkan, dia adalah Alan Sky Walker, putraku, Aurora," ujarnya. Adam berkata dengan penuh ketulusan. Tatapannya lembut saat memperkenalkan bayinya kepada Aurora, dan meskipun penuh dengan rasa kehilangan, ada kebanggaan di matanya. Lantas, dia memutar pandangan. Aurora menatap Alan, merasakan hatinya tergerak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha m
"Tuan Walker, Nona Muda ini bayinya sudah meninggal dari dalam. Sepertinya, beliau mengalami benturan yang cukup serius. Kami terpaksa harus melakukan proses caesar malam ini juga."Suasana ruangan rumah sakit itu penuh dengan ketegangan. Para dokter bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi darurat. Di ruang tunggu, seorang pria duduk dengan tenang, namun wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan. Tuan Walker, seorang CEO ternama, memegangi ponselnya, seolah menunggu kabar buruk."Lakukan yang terbaik. Semua biayanya akan ku tanggung," katanya. Suara Adam Sky Walker datar, namun tajam. Itu bukan sekadar pernyataan, tetapi lebih seperti perintah yang tidak bisa dibantah."Baik. Bagaimana dengan bayinya nanti? Apakah Anda meminta kami sekalian mengurusnya?" tanya salah satu dokter, memecah keheningan sejenak, matanya memandang pria itu penuh hormat namun penuh keraguan."Pastikan wanita itu selamat. Untuk bayinya, bawa saja ke kamar jenazah. Aku
"Aaah, Yang, udah! Kamu harus ke rumah sakit, Aurora nelponin kamu loh itu!" Raline memekik dengan keras saat hunjaman demi hunjaman dia terima. "Diem lah bentar! Berisik!" Sedangkan Samuel tetap memompa dan dia tak peduli rintihan kekasihnya itu. Tubuh Aurora menegang mendengar hal itu. Tiga jam dia di klinik dan sudah bukaan satu, tapi suaminya tak kunjung datang setelah mengatakan iya. Saat dia pulang, justru dia mendapatkan kejutan luar biasa. "Mas Samuel! Kamu tega duain aku,Mas? Aku sebentar lagi lahiran anak kamu, loh! Aku bahkan udah kontraksi, Mas!" "Kenapa? Ada masalah? Kamu kan udah gak cantik lagi. Lihat diri kamu, burik, badan kamu gendut, dan jelas kamu gak buat aku berhasrat lagi. Jadi, lebih baik kita pisah!" "Aku begini karena kamu yang mau anak, Mas! Bukan aku! Aku juga gak mau badan aku rusak!" "Terus? Mau gimana? Semua udah terlanjur. Pergi saja sana, deh! Berisik banget. Dan mulai detik ini, kita cerai! Rumah ini milikku, pergi kamu!" "Oh, kau menant