Tiga bulan berlalu sejak Aurora menjalani rutinitas barunya. Kini, tubuhnya yang dulu penuh perjuangan dan rasa tidak percaya diri telah berubah drastis.
Berat badannya yang dulu sempat melampaui batas kini berada dalam angka yang dianggap ideal, sebuah pencapaian yang terasa begitu memuaskan. Di depan cermin, Aurora memandangi refleksinya dengan tatapan penuh kebanggaan. Setiap lekuk tubuhnya tampak begitu proporsional Kulitnya bersinar lebih cerah daripada sebelumnya. Dulu yang kusam dan tak terawat, kini semakin glowing pun sehat, dan matanya memancarkan rasa percaya diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tinggi 164 cm, bobot 52 kg. Astaga! Aku tak menyangka aku bisa mendapatkan bobot idealku!" pikirnya sambil tersenyum tipis. Angka itu kini terasa sempurna, seperti sebuah karya seni yang diciptakan dengan penuh kesabaran dan usaha. Rambutnya yang semula kusam kini mengkilap, berkat perawatan mewah yang Adam berikan—sesuatu yang jauh dari angan angan Aurora sebelum pertemuan mereka. Adam, pria bermanik birh terang itu benar benar memberikan segala perhatian yang tak pernah ia duga. Dia merasa seolah menerima berkah yang datang bertubi-tubi, seperti durian runtuh yang menggugah setiap sendi tubuhnya. Membuatnya merasa dihargai, diinginkan, dan—seperti tak pernah ia bayangkan sebelumnya—berharga. Tapi yang membuatnya semakin yakin adalah pemikirannya tentang Samuel. Mantan suaminya itu, yang dulu sering menilai penampilannya dengan sinis, pasti akan terkesima melihat perubahan dirinya sekarang. Aurora membayangkan betapa terkejutnya Samuel melihat betapa cantiknya dia sekarang, bagaimana setiap lekuk tubuhnya bercerita tentang perjuangan, keteguhan, dan perubahan yang menakjubkan. Saat dia masih mematut diri di cermin, tiba tiba, pintu kamar terbuka dan Adam masuk, mata langsung tertuju pada Aurora yang tengah mematut diri. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Adam mengikis jarak, pun Aurora yang menoleh spontanitas. "Kau cantik," puji Adam tulus, nadanya penuh kekaguman. Senyum Aurora terhenti sejenak. Tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang, lebih cepat dari biasanya. Adam segera mendekat, meremas payudaranya dan rasa hangat menjalar di pipinya. Pun raa Malu yang bertandang bersamaan. Aurora buru buru berbalik, mencoba mengontrol kegugupan yang muncul di dalam dada. Dia mendorong dada Adam dengan lembut, meski cukup kuat untuk memberi isyarat. "Jangan lakukan itu lagi, Adam!" katanya, suaranya sedikit gemetar, meski ia berusaha untuk tetap tegas. Pria blasteran Swedia Indonesia itu terkekeh. Adam terdiam sejenak, namun tatapannya tetap lembut. Dan Aurora tahu, meski dia berbicara keras, hatinya tahu bahwa perhatian Adam selalu hadir dengan niat baik, bahkan jika itu membuatnya merasa canggung. Namun, untuk saat ini, ia ingin menjaga jarak dari kenyamanan yang baru mulai ia pelajari. Pria itu mengikis jarak, dia mendorong Aurora hingga tubuh wanita itu membentur dinding. "Aaargh! Kondisikan bibirmu!" kata Aurora saat pria ini begitu nakal meremas pantatnya. "Jangan jadi ibu susu untuk Alan saja. Jadilah ibu susu untukku juga, Aurora!" Kata kata itu menggema dalam ruang yang sempit, seperti petir yang menyambar tiba-tiba. Aurora membeku, matanya membelalak tak percaya. Apa yang baru saja Adam katakan? "Apa maksudmu?" Suaranya terdengar tersendat, cemas. Setiap kata terasa begitu berat, seakan beratnya kehadiran Adam yang semakin mendekat. Sebelum menjawab, Adam melumat bibir Aurora. Lantas setelab Aurora kehabisan napas, barulah dia tersenyum. Tetapi senyumnya kali ini bukanlah senyuman biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih mendalam, yang disembunyikan dalam tatapannya. "Tak mau kah kau menjadi istriku?" tanyanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang membelai kulit. "Hah?" Aurora merasakan sebuah getaran di dadanya. Jantungnya berdegup kencang, seakan-akan tubuhnya menolak untuk menerima kenyataan yang tiba tiba begitu dekat. "I'm seriously!" "Adam, ini terlalu cepat!" jawabnya, berusaha menjaga jarak, meski hatinya berperang antara rasa takut dan rasa ingin tahu yang tak bisa ia hindari. "Tidak masalah! Aku bisa memaksamu!" Adam tidak menghiraukan penolakan yang samar dalam suara Aurora. Ia melangkah lebih dekat, dengan keyakinan yang tak terbantahkan. "Kau gila, Adam! Perjanjian kita hanyalah menjadi Ibu susu untuk putramu." "Kau lupa siapa aku, hm?" katanya, suaranya semakin berat. "Aku bisa melakukan apa pun untukmu, Aurora. Aku yang merubahmu, dan aku mau kamu menjadi milikku. Aku bisa menjadikanmu Ibu susu untuk diriku dan aku sepertinya tidak akan mau bersaing dengan putraku sendiri. Lihatlah, dadamu itu terlalu besar. Isinya juga banyak. Jika diminum oleh Alan saja, Mungkin dia tidak akan habis meminumnya setiap hari dan itu akan tersisa banyak. Bukankah itu akan menjadi basi, hm?" Lidah pria itu kembali menjelajah leher jenjang milik Aurora yang begitu membuatnya takjub. Dia sematkan tanda merah di sana untuk menunjukkan betapa dirinya tergila gila pada wanita yang baru selesai dia make over itu, selama berbulan bulan lamanya. "Aaah!" "Kau mau atau tidak!" "Sial! Apakah ini tujuanmu, huh? Kau berniat menjadikanku Ibu susu dan menjadikanku obsesimu?" "Hum, kau tahu itu." Sambil berkata begitu, ia melepaskan pakaian yang melekat pada tubuhnya dengan gerakan perlahan, tanpa ragu. Matanya tetap tertuju pada Aurora, menantikan reaksi dari perempuan yang kini ada di depannya. Sungguh, Aurora merasa tercekik, seolah ruang di sekitarnya mengecil. Bagaimana mungkin semuanya terjadi begitu cepat? Dalam pikirannya, segala yang telah ia alami bersama Adam—perubahan, perhatian, rasa nyaman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya—seolah semua itu mengarah pada titik ini. Namun, di balik rasa tertarik itu, ada ketakutan yang menyelinap masuk, menahan setiap langkah yang ingin ia ambil. "A- Adam! Kau jangan gila!" Ketika pria itu melepaskan seluruh pakaiannya, kini Aurora mundur selangkah, matanya tak mampu lepas dari sosok Adam yang kini berdiri begitu dekat. Ada pergulatan antara keinginan dan keraguan, antara dorongan hati dan logika yang mengingatkan bahwa semua ini terlalu cepat, terlalu mendalam untuk ia pahami saat itu juga. Aurora terkejut, tubuhnya langsung kaku mendengar kata-kata Adam yang keluar begitu tanpa rasa sungkan. Suasana kamar yang sebelumnya terasa hangat dan bersahabay, kini berubah menjadi tegang, penuh ketegasan yang mengerikan. "Come on, jangan tolak aku! Aku sudah menunggumu lama sekali!" kata Adam, suaranya berubah menjadi lebih mendesak, hampir seperti ancaman yang terselubung. Matanya terbakar dengan keinginan yang tak bisa ia sembunyikan. Damn! Tubuh Adam yang tegap pun otot liat yang ada di badannya membuat Aurora meneguk ludah berulang ulang. Ia tidak munafik jika tidak menginginkan sentuhan itu. Jujur, siapapun wanitanya akan terpana kepada sosok bule tampan yang benar benar sangat menggairahkan ini. Matanya yang biru indah, bagaikan Samudra lepas yang begitu menenangkan jika ditatap berlama-lama. Sedangkan rambutnya yang pirang menambah kesan sempurna pada diri pria itu. "Lepas!" elak Aurora namun dia tetap kalah. Suaranya serak, hampir tak terdengar ketika dirinya meronta-ronta supaya pria itu tidak menyentuhnya secara berlebihan seperti ini. "Banyak wanita yang bisa kau miliki, tapi aku tak sehina itu!" Ia berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Adam, namun tubuh Adam terlalu kuat, seolah tak memberi ruang untuknya melarikan diri. Lantas, Adam tertawa pelan. Suara itu seperti dengung yang menambah berat suasana. "Kau tak mau menikah denganku. Jadi, apa susahnya aku paksa dulu? Kalau kau hamil, kau akan meminta pertanggung jawabanku dan kita akan menikah. Simple!" Dia mengucapkannya dengan begitu percaya diri, seolah-olah itu adalah jalan keluar yang tak terbantahkan. Ternganga luar biasa. Aurora merasa dunia seolah berhenti sejenak. Kata-kata Adam menghantamnya dengan keras, mengiris hati dan pikirannya. Wajahnya pucat, dan napasnya terasa sesak. "Kau gila, Adam! Aku tak mau!" teriaknya, suaranya penuh dengan keteguhan yang tergores ketakutan. Aurora menggertakkan giginya, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. "Whatever! Aku tidak peduli dengan apapun yang akan kamu lakukan karena kamu adalah wanita yang telah kutunjuk menjadi milikku selamanya!" Adam menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seakan tak mendengarkan penolakan itu, ia tetap mendekat, penuh dominasi. "Kau pilih mana, menikah dulu atau kuhami dulu?" tanyanya, suara rendah dan berat, memaksa pilihan yang seharusnya tak ada dalam keadaan ini. "Hah?" "Aku bahkan sudah mengurus surat perceraianmu, kau dan Samuel sudah berpisah secara resmi dan aku telah melakukan hal yang membuatnya ketakutan setelah ini." "Ap- apa?" "Menerornya. Kamu mau melakukan pembalasan atau tidak? Jika mau, marilah balas denganku. Aku punya uang, kau bisa menyewaa pembu-nuh bayaran andai ingin membunuhnya. Atau paling tidak, buang tytyd-nya. Itu lebih bagus." "Apa aku bisa membuatnya menyesal setelah ini?" "Ya. Jika kau bersamaku, maka semua akan mudah. Sekarang pilihan ada di tanganmu. Kamu menerima lamaranku dan mari kita balas dendam kepada mantan suamimu itu. Atau jika kau memilih untuk berkeras hati, maka keluar dari rumah ini kau tidak akan selamat! Kau Pilih nomor berapa, Baby?" Tidak! Itu pilihan rumit dan Aurora tentu akan memikirkannya matang-matang terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan."Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya.Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora."Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti."Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan
"Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
Selepas melaksanakan rencana yang telah dirancang dengan hati-hati, Aurora kembali ke rumah dengan langkah tergesa. segera, ia mengangkat Alan yang sedang tidur dan membawa bocah itu ke pelukannya. Setelah menyusui Alan dengan penuh perhatian, Aurora membiarkan dirinya berbaring di ranjang yang sama, menenangkan diri setelah segala yang terjadi. "Hm, Alan lapar ya? Maaf ya, tadi Mama masih ada urusan," bisik Aurora dengan rasa bersalah yang mendalam. Dia mengusap lembut rambut pirang bocah kecil yang sedang lahap menyusu, perasaan sayang yang begitu dalam memenuhi hatinya. "Meski kamu bukan anak kandung Mama, tapi Mama sangat menyayangimu. Sangat, sangat sayang!" kata Aurora, sembari mengusap pucuk kepala Alan Sky Walker dengan penuh kelembutan. Suasana hening itu dipenuhi oleh kedekatan dan kasih sayang yang tak terbantahkan. "Hhhmmm," gumam Alan dengan suara kecil, seolah merespons penuh kepuasan. Melihatnya semakin pintar, Aurora merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan ya
"Ah, ah!" Sungguh, Aurora tak menyangka jika Adam akan berlaku seperti ini. Bahkan saat pria itu memaksanya, rasanya tetap nikmat. "Hhhhmmm." "Jangan tahan, ayo keluarkan racauanmu. Aku tahu, kau pasti menyukai ini, kan?" Adam menyeringai, dia melepaskan kungkungannya pada Aurora, dan dia tetap.mengayun pinggulnya. Memberikan ritme percinthaan panas yang tak akan dilupakan sang janda muda. Kini, napasnya mulai menderu. Ruangan yang semula dingin, menjadi panas yang begitu menggelora. "Eratkan kakimu pada pinggangku, kalungkan tanganmu pada leherku!" Tidak bisa berpikir dan Aurora tidak mampu berpikir secara jernih. Semuanya terasa begitu blank. Aurora menemukan dirinya dalam kebimbangan karena perintah Adam yang di luar perkiraan. Sebagai wanita dewasa, tentunya dia memahami apa yang diinginkan oleh pria berstatus duda beranak satu tersebut. "Come on!" Tubuh Adam semakin merunduk dan merengkuhnya secara erat. Dapat Aurora saksikan betapa nafas pria itu menderu naik
"Aaah. Aaaah." Suara desahan itu bahkan sampai di telinga sang pengasuh dan pembantu. Meteka menutup telinga dan melipir ke depan rumah, bergunjing di sana. "Apa karena lama tak mendapatkan jatah, sampai sampai Tuan kita begitu ganas?" tanya Bibi Ani yang saat itu merinding ketika mendengar jeritan Sang Nona dari dalam rumah. Sang pengasuh pun mengangkat bahu, "Tapi, Bi. Aku rasa, Tuan tidak begitu. Beliau kan baru bercerai dengan istrinya. Apa iya Tuan Adam begitu?" "Bisa jadi. Ngeri juga ya dengernya. Sampe malu sendiri." "Iya, Bi. Apa kita gak pindah aja ke tempat lain, Bi? Kalau lama lama begini, kita juga yang pusing." "Nanti kita bicarakan sama Nyonya Besar." "Baik, Bi. Aku setuju. Sayang sekali, mereka tak memakai peredam suara. Ah, telinga kita kan yang ternodai." "Iya. Dulu, dengan Nona Muda juga tak begitu." "Beda rasa kali, Bi."
Adam tersenyum lebar, sedikit licik, melihat reaksi Aurora yang jelas-jelas menolak. "Ayo mandi!" ajaknya sambil menarik tangan Aurora dengan paksa, berusaha menggiringnya beranjak. Enggan berdekatan dengan pria itu lagi, kini Aurora menatapnya dengan tajam, tubuhnya kaku menahan diri. "Tidak mau!" pekiknya, suaranya tegas namun penuh ketegangan. Matanya menatap Adam, dan dia bisa melihat dengan jelas niat mesum yang terpendam di balik tatapan CEO itu. Baru saja dia digempur habis-habisan, dan kini Adam masih berani bertindak seperti itu? Siapa yang akan percaya padanya setelah semuanya? Lantas, Adam menggelengkan kepala, mencoba menenangkan suasana dengan nada yang lebih santai. "Hei, jangan takut begitu. Kau pikir lelaki bisa bermain kuda dua kali tanpa jeda, hah?" ucapnya, setengah mengejek, setengah merendahkan. Ia tidak menunggu jawaban, hanya tersen
Aurora berdiri di depan cermin, mengenakan blazer hitam yang dipadukan dengan kemeja pres body yang dibelikan Adam di butik ternama. Penampilannya memukau, bak gitar Spanyol yang elegan dan penuh daya tarik. Blazer hitam itu menonjolkan siluet tubuhnya yang ramping, sementara kemeja tersebut menambah kesan anggun namun tetap seksi. Rok span mini yang ia kenakan melengkapi penampilannya dengan sempurna, memamerkan kaki jenjangnya yang tampak semakin menarik. Rok itu terangkat sekitar 15 cm di atas lutut, memberikan kesan modis dan berani. Tak ketinggalan, stiletto hitam yang ia pakai melengkapi penampilannya, membuat setiap langkahnya tampak penuh kepercayaan diri. Di tangannya, tas branded berharga puluhan juta rupiah menambah kesan mewah yang tak terbantahkan. "Perfect!" seru Adam dengan semangat, sambil memperhatikan penampilan Aurora yang semakin memukau di hadapannya.
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer