"Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.
Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya. Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora. "Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti. "Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan selingkuhannya yang telah menghancurkan hidupnya. "Apa yang harus ku perbuat padanya?" Suaranya hampir berbisik, penuh kekosongan. Rasa sakit itu kembali menjalar, membuat dadanya sesak. Tanpa ragu, Adam memberikan jawaban yang begitu keras, seperti seorang yang sudah terbiasa mengambil keputusan dengan tangan sendiri. "Teror mereka, datangi ke rumahnya, tem-bak atau tu-suk, beres!" katanya, gerakannya penuh dengan ketegasan, seolah membenarkan tindakannya. "Hah? Aku tidak mau!" Aurora terkesiap mendengar jawaban itu. Tubuhnya merinding, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena realitas yang menyakitkan ini semakin dekat. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang hampir meledak. "Kau pikir aku berani? Aku ingin pembalasan yang smooth," jawabnya, suara itu tersembunyi di balik rasa cemas. Ia tidak ingin menjadi sosok yang penuh kekerasan, tidak ingin terjerumus dalam jalan yang bisa menghancurkannya lebih dalam lagi. "Hm, ya sudah." Adam mengamati wajah Aurora dengan seksama, tahu betul bahwa Aurora sedang berjuang antara membalas dendam dan mempertahankan dirinya dari kekerasan itu. Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, penuh pemahaman, tapi juga masih ada kekuatan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. "Kalau begitu, mari kita kejutkan mereka. Mereka tahunya kamu sudah pergi, kan? Jadi, mari buat sedikit guncangan." "Memangnya, kau mau mengajakku ke mana?" "Kantor!" **** Hari itu, suasana di Walker Corporation terasa berbeda. Pagi yang biasanya sibuk dengan rutinitas kantor, kini dipenuhi dengan bisik-bisik karyawan yang penasaran. Pengumuman besar telah disebarkan: perusahaan akan memiliki CEO baru. Setelah lama dipimpin oleh Tuan Besar Walker yang terkenal dengan ketegasan dan kepemimpinannya yang tak tertandingi, kini saatnya ada perubahan. Pukul 9 pagi, dengan langkah tegas, seorang pria muda memasuki ruang pertemuan utama. Adam Sky Walker, sang anak sulung dari keluarga Walker, akhirnya tiba untuk menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit. Nama besar keluarga ini kini berada di tangannya, meskipun dia bukanlah orang yang biasanya ingin mencuri perhatian. Dengan postur tubuh tegap dan wajah yang penuh karisma, dia jelas memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. "Selamat datang, Tuan Muda Walker," sambut salah seorang eksekutif senior yang berdiri di depannya, suaranya formal namun penuh rasa hormat. Tak terlalu antusias, Adam hanya mengangguk tipis. Namun, ekspresinya datar namun tetap terjaga. Matanya melirik ke mana karyawan yang bernama Samuel berada. "Hm," jawabnya singkat, suaranya tegas, tidak terburu buru, seolah ingin menunjukkan bahwa dia mengendalikan situasi. Beberapa orang di ruangan itu langsung menundukkan kepala, memberi salam dengan cara yang sudah mereka lakukan selama bertahun tahun. "Selamat datang, Tuan Muda. Senang bertemu dengan Anda," ujar mereka. Mengucapkan dengan hormat, sementara beberapa lainnya menatapnya dengan rasa ingin tahu yang jelas. Adam tidak terburu-buru untuk menjawab, ia mengamati satu per satu wajah yang ada di sekitarnya. Setelah beberapa detik tersenyum, dia berkata dengan suara yang mantap, "Baik. Semoga kita bisa bekerja sama." Kata-katanya yang sederhana itu terdengar seperti perintah, namun juga menawarkan kesempatan bagi semua orang untuk melangkah maju. Ruangan itu seketika hening, seolah menunggu tindakannya selanjutnya. Adam, meskipun baru saja mengambil alih kepemimpinan, sudah memperlihatkan ketegasan dan sikap profesional yang tidak bisa diragukan lagi. Kini, Walker Corporation berada di bawah kendali Tuan Muda Walker—dan para karyawan tahu bahwa mereka akan menghadapi era baru yang penuh tantangan dan peluang. Meskipun sudah berpengalaman, Andrew tak bisa menghindari sedikit kegugupan di dalam dirinya. Dia menarik tangannya perlahan setelah Adam tidak membalas dengan penuh semangat seperti yang diharapkannya. "Tentu, Tuan Muda. Kami siap mendukung Anda." Di sebelah Andrew, Douglas, Kepala Divisi Pemasaran, berdiri agak jauh, menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Seperti yang lainnya, dia ingin melihat bagaimana pemimpin baru ini akan mengendalikan perusahaan besar seperti Walker Corporation. Douglas melangkah maju, melemparkan senyum ramah meski sedikit tegang. "Selamat datang, Tuan Muda Walker," kata Douglas, suaranya lebih hangat namun penuh kehati hatian. "Saya Douglas, Kepala Divisi Pemasaran. Kami di tim pemasaran sudah menyiapkan beberapa rencana yang kami rasa akan mendukung pertumbuhan perusahaan." "Baik." Adam menatapnya sebentar, membaca ekspresi wajah Douglas yang penuh harapan. "Saya akan melihat rencana kalian, Douglas. Pemasaran adalah kunci untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Pastikan kita tidak hanya mengikuti tren, tetapi menciptakan tren yang akan diikuti oleh semua orang." Lalu, Douglas mengangguk, sedikit terkejut dengan jawaban Adam yang begitu tajam dan penuh visi. "Tentu, Tuan Muda. Kami akan segera mengatur pertemuan untuk mempresentasikan semua rencana kami." Sementara itu, Ronald, Kepala Operasional yang selalu menjadi sosok tenang di perusahaan, menatap dengan seksama. Dia sudah lama menunggu kedatangan Adam, karena tahu bahwa transisi ini adalah momen penting bagi masa depan Walker Corporation. "Tuan Muda," kata Ronald, berbicara dengan suara yang lebih dalam, berwibawa. "Selamat datang. Kami di departemen operasional sedang menyusun strategi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Kami berharap bisa segera berbicara lebih lanjut tentang itu." "Tentu."* Adam menatap Ronald, memikirkan kata-katanya sejenak. "Efisiensi adalah prioritas utama," jawabnya, matanya tajam dan penuh penilaian. "Saya ingin melihat rencana rinciannya, dan kita akan mulai bekerja dari situ." "Terima kasih, Tuan Muda. Kami akan segera menyiapkan laporan tersebut," jawab Ronald, merasa sedikit lega, karena Adam jelas sudah memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang perlu dilakukan. Setelah selesai berbicara, Adam melangkah menuju ruang kerjanya, meninggalkan para eksekutif yang masih merenung, mencoba memetakan bagaimana mereka akan bekerja dengan CEO baru yang terlihat begitu berbeda dengan ayahnya. Sebelum pergi, Adam menghentikan langkahnya. Dia menoleh pada Samuel. "Kamu ...." "Saya, Tuan Muda?" Samuel menunjuk dadanya dan Adam pun menganggukkan kepala setelah itu. "Ya, kamu. Siapa namamu?" "Samuel, Tuan!" "Ya, kau jemput calon istriku ke apartement. Tunggu di lobby, dia akan menghampirimu." Perintah yang keluar dari bibir Adam tersebut seketika membuat beberapa orang sontak melototkan matanya. "Tuan, tapi ada sopir yang lain," sergah Douglas. Lalu, Adam mengeluarkan tanduknya. "Kau yang CEO atau aku?" "Anda, Tuan Muda." "Bagus. Silakan pergi ke ruanganmu, dan Bukankah aku bebas memerintah siapa saja?" "Be- benar, Tuan." "Ya sudah." **** Samuel segera melangkah pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun setelah Tuan Muda Walker memasuki ruang kerjanya. Wajahnya yang masam tampak jelas, tapi dia tak peduli. Ada perasaan kesal yang menggelayuti hatinya setelah perintah mendadak itu. Sedangkan Raline, yang baru saja datang dan melihat kepergian Samuel, segera menanyakan arah tujuannya. "Kau akan ke mana?" tanya Raline, sambil menatapnya dengan bingung. Wajahnya terlihat penuh tanya, seakan mencoba menebak apa yang sedang terjadi. "Menjemput kekasih Tuan Muda Walker," jawab Samuel singkat, suaranya berat. "Kau tak dengar tadi?" Sontak saja, Raline mengernyit. "Hei, aku baru datang. Tadi, aku diminta untuk mengambil makan siangnya. Bagaimana aku bisa tahu kamu diperintahkan apa dan diperintahkan oleh siapa? Kamu ini mengada ngada saja! Apa kamu sudah pikun, hah? Aku bahkan sudah mengatakannya padamu dipesan tadi," jawabnya, sedikit terkejut dengan pernyataan Samuel. Samuel menghela napas, matanya tajam menatap ke depan. "Ah, ya sudah. Aku lupa, maaf. Aku ke bandara dulu. Sudah tahu, kerjaanku banyak, ini malah Tuan Muda memerintahkan aku ke bandara. Sudah tak ada bonusnya, ini malah menambah pekerjaan." "Apa tak ada sopir?" Raline bertanya, rasa herannya semakin meningkat. "Ada, tapi dia mau aku sendiri yang ambil," jawab Samuel, tampak frustrasi dengan permintaan Tuan mudanya yang terlalu mengada-ngada. "Itu aneh," sahut Raline dengan nada bingung. Pria itu mengendikkan bahunya. Samuel hanya menggelengkan kepala dan langsung melangkah keluar. "Aku berangkat dulu," katanya sambil bergegas menuju mobil. Dengan mobilnya, Samuel melaju ke bandara. Ia memikirkan perintah Tuan Muda yang mendadak dan sepertinya tak ada alasan jelas mengapa ia harus menjemput seseorang. Ia merasa ini semakin tak masuk akal, seperti pekerjaan tambahan yang tak diinginkan. Waktu menunjukkan pukul 11.00 ketika dia tiba di sebuah apartemen, dan ia segera menuju ke resepsionis dan bertanya sebentar. Setelahnya, dia bergumam, "Gaun merah, tinggi, seksi. Ck! Ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami! Apa iya ada dia? Mengapa Tuan Muda tak memberiku foto?" gumamnya kesal, mencoba membayangkan sosok yang dimaksud. Saat itu, ruang tunggu tampak ramai dengan para penumpang yang baru tiba. Samuel menatap sekelilingnya, matanya terus berusaha mencari sosok yang ia cari, namun dia hampir kehilangan harapan. Lalu, pada pukul 11.03, seseorang yang mencuri perhatian memasuki area lobby. Seorang wanita dengan gaun merah delima yang begitu mencolok, tinggi, dan berpostur tubuh ideal. Setiap langkahnya memancarkan aura percaya diri dan seksualitas yang tak terbantahkan. Wanita itu mendekat ke arah Samuel dan menyapa dengan suara lembut namun penuh wibawa. "Kau yang bernama Samuel?" tanyanya, suaranya manis namun cukup tegas. Sontak, Samuel menoleh dan terbelalak. Wajahnya berubah seketika, ekspresinya tak bisa disembunyikan. Kedua bola matanya nyaris melompat dari tempatnya dan dia sendiri pun tak menyangka sama sekali akan bertemu dengan sang mantan istri yang telah dia telantarkan sejak beberapa bulan yang lalu. Orang yang berdiri di depannya adalah seseorang yang sangat familiar di matanya. "A—Aurora?" kata Samuel terbata, matanya membesar karena terkejut. Wanita yang berdiri di depannya itu tersenyum. Meskipun senyumnya itu elegan dan penuh misteri, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Kecantikan yang dulu tampak biasa-biasa saja, kini berubah menjadi sesuatu yang begitu mempesona, dan membuat Samuel terkesima. "Ka— kau?" Aurora meletakkan pisau lipat di perut pria itu. menekannya hingga Samuel meringis. "Apa kabar, Masa Lalu? Mau menjemputku, atau mau menjemput kematianmu sekarang juga?""Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
Selepas melaksanakan rencana yang telah dirancang dengan hati-hati, Aurora kembali ke rumah dengan langkah tergesa. segera, ia mengangkat Alan yang sedang tidur dan membawa bocah itu ke pelukannya. Setelah menyusui Alan dengan penuh perhatian, Aurora membiarkan dirinya berbaring di ranjang yang sama, menenangkan diri setelah segala yang terjadi. "Hm, Alan lapar ya? Maaf ya, tadi Mama masih ada urusan," bisik Aurora dengan rasa bersalah yang mendalam. Dia mengusap lembut rambut pirang bocah kecil yang sedang lahap menyusu, perasaan sayang yang begitu dalam memenuhi hatinya. "Meski kamu bukan anak kandung Mama, tapi Mama sangat menyayangimu. Sangat, sangat sayang!" kata Aurora, sembari mengusap pucuk kepala Alan Sky Walker dengan penuh kelembutan. Suasana hening itu dipenuhi oleh kedekatan dan kasih sayang yang tak terbantahkan. "Hhhmmm," gumam Alan dengan suara kecil, seolah merespons penuh kepuasan. Melihatnya semakin pintar, Aurora merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan ya
"Ah, ah!" Sungguh, Aurora tak menyangka jika Adam akan berlaku seperti ini. Bahkan saat pria itu memaksanya, rasanya tetap nikmat. "Hhhhmmm." "Jangan tahan, ayo keluarkan racauanmu. Aku tahu, kau pasti menyukai ini, kan?" Adam menyeringai, dia melepaskan kungkungannya pada Aurora, dan dia tetap.mengayun pinggulnya. Memberikan ritme percinthaan panas yang tak akan dilupakan sang janda muda. Kini, napasnya mulai menderu. Ruangan yang semula dingin, menjadi panas yang begitu menggelora. "Eratkan kakimu pada pinggangku, kalungkan tanganmu pada leherku!" Tidak bisa berpikir dan Aurora tidak mampu berpikir secara jernih. Semuanya terasa begitu blank. Aurora menemukan dirinya dalam kebimbangan karena perintah Adam yang di luar perkiraan. Sebagai wanita dewasa, tentunya dia memahami apa yang diinginkan oleh pria berstatus duda beranak satu tersebut. "Come on!" Tubuh Adam semakin merunduk dan merengkuhnya secara erat. Dapat Aurora saksikan betapa nafas pria itu menderu naik
"Aaah. Aaaah." Suara desahan itu bahkan sampai di telinga sang pengasuh dan pembantu. Meteka menutup telinga dan melipir ke depan rumah, bergunjing di sana. "Apa karena lama tak mendapatkan jatah, sampai sampai Tuan kita begitu ganas?" tanya Bibi Ani yang saat itu merinding ketika mendengar jeritan Sang Nona dari dalam rumah. Sang pengasuh pun mengangkat bahu, "Tapi, Bi. Aku rasa, Tuan tidak begitu. Beliau kan baru bercerai dengan istrinya. Apa iya Tuan Adam begitu?" "Bisa jadi. Ngeri juga ya dengernya. Sampe malu sendiri." "Iya, Bi. Apa kita gak pindah aja ke tempat lain, Bi? Kalau lama lama begini, kita juga yang pusing." "Nanti kita bicarakan sama Nyonya Besar." "Baik, Bi. Aku setuju. Sayang sekali, mereka tak memakai peredam suara. Ah, telinga kita kan yang ternodai." "Iya. Dulu, dengan Nona Muda juga tak begitu." "Beda rasa kali, Bi."
Adam tersenyum lebar, sedikit licik, melihat reaksi Aurora yang jelas-jelas menolak. "Ayo mandi!" ajaknya sambil menarik tangan Aurora dengan paksa, berusaha menggiringnya beranjak. Enggan berdekatan dengan pria itu lagi, kini Aurora menatapnya dengan tajam, tubuhnya kaku menahan diri. "Tidak mau!" pekiknya, suaranya tegas namun penuh ketegangan. Matanya menatap Adam, dan dia bisa melihat dengan jelas niat mesum yang terpendam di balik tatapan CEO itu. Baru saja dia digempur habis-habisan, dan kini Adam masih berani bertindak seperti itu? Siapa yang akan percaya padanya setelah semuanya? Lantas, Adam menggelengkan kepala, mencoba menenangkan suasana dengan nada yang lebih santai. "Hei, jangan takut begitu. Kau pikir lelaki bisa bermain kuda dua kali tanpa jeda, hah?" ucapnya, setengah mengejek, setengah merendahkan. Ia tidak menunggu jawaban, hanya tersen
Aurora berdiri di depan cermin, mengenakan blazer hitam yang dipadukan dengan kemeja pres body yang dibelikan Adam di butik ternama. Penampilannya memukau, bak gitar Spanyol yang elegan dan penuh daya tarik. Blazer hitam itu menonjolkan siluet tubuhnya yang ramping, sementara kemeja tersebut menambah kesan anggun namun tetap seksi. Rok span mini yang ia kenakan melengkapi penampilannya dengan sempurna, memamerkan kaki jenjangnya yang tampak semakin menarik. Rok itu terangkat sekitar 15 cm di atas lutut, memberikan kesan modis dan berani. Tak ketinggalan, stiletto hitam yang ia pakai melengkapi penampilannya, membuat setiap langkahnya tampak penuh kepercayaan diri. Di tangannya, tas branded berharga puluhan juta rupiah menambah kesan mewah yang tak terbantahkan. "Perfect!" seru Adam dengan semangat, sambil memperhatikan penampilan Aurora yang semakin memukau di hadapannya.
Kemarin, Samuel dibekap dan dibawa ke rumah bordil. kini, Samuel merasa cemas saat terbangun di sebuah ruangan yang asing baginya. Cahaya lampu yang temaram menyinari wajahnya, sementara dia mendapati dirinya terikat di atas ranjang, tak bisa bergerak. Di sekelilingnya, ada enam wanita yang duduk dengan sikap yang penuh percaya diri. Mereka sangat cantik, manis, juga bertubuh seksi bak gitar Spanyol. Bahkan Samuel lohat, para wanita itu meremas keja*ntanannya yang mengeras dengan gemas. Salah satunya berseru, "Wow. Tidak besar, tidak juga kecil. Pas. Meski tak melegakan untuk kita, tapi setidaknya keras dan tidak letoy." Tak percaya dengan ucapan rekannya, wanita satu lagi mendekat dan dia membuka celana Samuel. Saat dia meremas, batang coklat itu pun berkedut manja. Dia mendekatkan wajahnya, kemudian menjilat ujung genital Samuel dengan lembut. "Eumh, dia sudah on. Mari kita lihat, seberapa lama dia bertahan dari goyangan kita." Samuel mendelik. Matanya membola da
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer