"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
Selepas melaksanakan rencana yang telah dirancang dengan hati-hati, Aurora kembali ke rumah dengan langkah tergesa. segera, ia mengangkat Alan yang sedang tidur dan membawa bocah itu ke pelukannya. Setelah menyusui Alan dengan penuh perhatian, Aurora membiarkan dirinya berbaring di ranjang yang sama, menenangkan diri setelah segala yang terjadi. "Hm, Alan lapar ya? Maaf ya, tadi Mama masih ada urusan," bisik Aurora dengan rasa bersalah yang mendalam. Dia mengusap lembut rambut pirang bocah kecil yang sedang lahap menyusu, perasaan sayang yang begitu dalam memenuhi hatinya. "Meski kamu bukan anak kandung Mama, tapi Mama sangat menyayangimu. Sangat, sangat sayang!" kata Aurora, sembari mengusap pucuk kepala Alan Sky Walker dengan penuh kelembutan. Suasana hening itu dipenuhi oleh kedekatan dan kasih sayang yang tak terbantahkan. "Hhhmmm," gumam Alan dengan suara kecil, seolah merespons penuh kepuasan. Melihatnya semakin pintar, Aurora merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan ya
"Ah, ah!" Sungguh, Aurora tak menyangka jika Adam akan berlaku seperti ini. Bahkan saat pria itu memaksanya, rasanya tetap nikmat. "Hhhhmmm." "Jangan tahan, ayo keluarkan racauanmu. Aku tahu, kau pasti menyukai ini, kan?" Adam menyeringai, dia melepaskan kungkungannya pada Aurora, dan dia tetap.mengayun pinggulnya. Memberikan ritme percinthaan panas yang tak akan dilupakan sang janda muda. Kini, napasnya mulai menderu. Ruangan yang semula dingin, menjadi panas yang begitu menggelora. "Eratkan kakimu pada pinggangku, kalungkan tanganmu pada leherku!" Tidak bisa berpikir dan Aurora tidak mampu berpikir secara jernih. Semuanya terasa begitu blank. Aurora menemukan dirinya dalam kebimbangan karena perintah Adam yang di luar perkiraan. Sebagai wanita dewasa, tentunya dia memahami apa yang diinginkan oleh pria berstatus duda beranak satu tersebut. "Come on!" Tubuh Adam semakin merunduk dan merengkuhnya secara erat. Dapat Aurora saksikan betapa nafas pria itu menderu naik
"Aaah. Aaaah." Suara desahan itu bahkan sampai di telinga sang pengasuh dan pembantu. Meteka menutup telinga dan melipir ke depan rumah, bergunjing di sana. "Apa karena lama tak mendapatkan jatah, sampai sampai Tuan kita begitu ganas?" tanya Bibi Ani yang saat itu merinding ketika mendengar jeritan Sang Nona dari dalam rumah. Sang pengasuh pun mengangkat bahu, "Tapi, Bi. Aku rasa, Tuan tidak begitu. Beliau kan baru bercerai dengan istrinya. Apa iya Tuan Adam begitu?" "Bisa jadi. Ngeri juga ya dengernya. Sampe malu sendiri." "Iya, Bi. Apa kita gak pindah aja ke tempat lain, Bi? Kalau lama lama begini, kita juga yang pusing." "Nanti kita bicarakan sama Nyonya Besar." "Baik, Bi. Aku setuju. Sayang sekali, mereka tak memakai peredam suara. Ah, telinga kita kan yang ternodai." "Iya. Dulu, dengan Nona Muda juga tak begitu." "Beda rasa kali, Bi."
Adam tersenyum lebar, sedikit licik, melihat reaksi Aurora yang jelas-jelas menolak. "Ayo mandi!" ajaknya sambil menarik tangan Aurora dengan paksa, berusaha menggiringnya beranjak. Enggan berdekatan dengan pria itu lagi, kini Aurora menatapnya dengan tajam, tubuhnya kaku menahan diri. "Tidak mau!" pekiknya, suaranya tegas namun penuh ketegangan. Matanya menatap Adam, dan dia bisa melihat dengan jelas niat mesum yang terpendam di balik tatapan CEO itu. Baru saja dia digempur habis-habisan, dan kini Adam masih berani bertindak seperti itu? Siapa yang akan percaya padanya setelah semuanya? Lantas, Adam menggelengkan kepala, mencoba menenangkan suasana dengan nada yang lebih santai. "Hei, jangan takut begitu. Kau pikir lelaki bisa bermain kuda dua kali tanpa jeda, hah?" ucapnya, setengah mengejek, setengah merendahkan. Ia tidak menunggu jawaban, hanya tersen
Aurora berdiri di depan cermin, mengenakan blazer hitam yang dipadukan dengan kemeja pres body yang dibelikan Adam di butik ternama. Penampilannya memukau, bak gitar Spanyol yang elegan dan penuh daya tarik. Blazer hitam itu menonjolkan siluet tubuhnya yang ramping, sementara kemeja tersebut menambah kesan anggun namun tetap seksi. Rok span mini yang ia kenakan melengkapi penampilannya dengan sempurna, memamerkan kaki jenjangnya yang tampak semakin menarik. Rok itu terangkat sekitar 15 cm di atas lutut, memberikan kesan modis dan berani. Tak ketinggalan, stiletto hitam yang ia pakai melengkapi penampilannya, membuat setiap langkahnya tampak penuh kepercayaan diri. Di tangannya, tas branded berharga puluhan juta rupiah menambah kesan mewah yang tak terbantahkan. "Perfect!" seru Adam dengan semangat, sambil memperhatikan penampilan Aurora yang semakin memukau di hadapannya.
Kemarin, Samuel dibekap dan dibawa ke rumah bordil. kini, Samuel merasa cemas saat terbangun di sebuah ruangan yang asing baginya. Cahaya lampu yang temaram menyinari wajahnya, sementara dia mendapati dirinya terikat di atas ranjang, tak bisa bergerak. Di sekelilingnya, ada enam wanita yang duduk dengan sikap yang penuh percaya diri. Mereka sangat cantik, manis, juga bertubuh seksi bak gitar Spanyol. Bahkan Samuel lohat, para wanita itu meremas keja*ntanannya yang mengeras dengan gemas. Salah satunya berseru, "Wow. Tidak besar, tidak juga kecil. Pas. Meski tak melegakan untuk kita, tapi setidaknya keras dan tidak letoy." Tak percaya dengan ucapan rekannya, wanita satu lagi mendekat dan dia membuka celana Samuel. Saat dia meremas, batang coklat itu pun berkedut manja. Dia mendekatkan wajahnya, kemudian menjilat ujung genital Samuel dengan lembut. "Eumh, dia sudah on. Mari kita lihat, seberapa lama dia bertahan dari goyangan kita." Samuel mendelik. Matanya membola da
Melihat mantan suaminya dikerjai beramai ramai seperti itu, Aurora mendadak ngilu. Dia membekap mulutnya dan memuntahkan isi perutnya ke westafel. "Hoek, hoek!" Seruan itu membuat Adam menyeringai. Dia mendekati Aurora, kemudian menggoda dengan jahil, "Udah hamil aja, Buk!" "Hamil gigimu itu!" "Terus kalau nggak hamil kenapa muntah-muntah terus? Dedek bayi udah tumbuh di sini, ya? Ugh, gemes!" Tawa Adam terdengar begitu ringan, namun Aurora bisa merasakan amarah yang mulai merayap dalam dirinya. Namun, ia menepis tangan Adam dengan kasar. "Kamu sengaja bawa aku ke tempat ini dan memperlihatkan semua yang dialami Samuel padaku?" suaranya penuh dengan kemarahan. Matanya yang tajam menatap Adam, tak berniat menyembunyikan perasaan kecewanya. Adam terkejut, sejenak menahan reaksi dari Aurora yang langsung memprotesnya. "Kamu kan yang minta?" jawabnya, mencoba mencari pembenaran. "Iya, tapi nggak gini juga kali!" Aurora merasa hatinya semakin hancur dengan apa yang baru saja
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer